Rabu, 25 Juni 2025

Diplomasi Lembek Tak Hasilkan Apapun, Bersiagalah!

Indonesia berdiri di persimpangan sejarah, tempat di mana politik dan ekonomi bertemu untuk menentukan masa depan bangsa. Kekuasaan politik yang sejati—yang berada di tangan rakyat—adalah kunci utama untuk memajukan ekonomi. Namun, jalan menuju kekuasaan itu bukanlah jalan yang lembut dan nyaman. Ia menuntut aksi revolusioner yang teratur, keberanian tanpa tunduk pada tekanan, dan komitmen yang tak tergoyahkan.

Sejarah telah mengajarkan kita bahwa diplomasi lembek dan kongres penuh basa-basi tak pernah berhasil meruntuhkan imperialisme. Dewan Rakyat, misalnya, hanya menjadi tempat permainan kata-kata tanpa tindakan nyata. Bagi bangsa yang haus akan kebebasan, kekuasaan yang sesungguhnya tidak bisa diperoleh melalui kompromi dengan penjajah, tetapi dengan mengguncang sistem yang menindas.

Indonesia harus memahami bahwa perjuangan kemerdekaannya bukanlah perjuangan lokal semata. Ini adalah bagian dari pertempuran yang lebih besar—antara Timur dan Barat, antara bangsa-bangsa berwarna melawan dominasi kekuasaan kulit putih. Kebebasan Indonesia akan menjadi sinyal bagi bangsa-bangsa Asia lainnya untuk bangkit melawan penindasan.

Bayangkan, kemerdekaan Indonesia adalah seperti letusan sebuah pistol yang menggema ke seluruh Asia, mengancam kedudukan Barat. Ketika Indonesia bebas, dunia akan menyaksikan perubahan besar dalam keseimbangan kekuasaan global. Seperti yang ditakuti oleh kekuatan Barat, kebebasan Indonesia adalah katalis bagi pemberontakan di seluruh benua.

Namun, untuk mewujudkan itu, aksi massa yang terorganisir adalah keharusan. Rakyat harus bersatu, melangkah maju dengan keyakinan yang tak tergoyahkan. Tidak ada ruang untuk kepasifan. Mengandalkan keputusan-keputusan kongres atau perbincangan di warung kopi hanya akan menjadi fatamorgana yang menyesatkan.

Rakyat Indonesia harus menggali semua pengetahuan dan sumber daya yang dimilikinya untuk membangun gerakan yang solid. Dengan aksi yang terencana, kemerdekaan adalah takdir yang tak terelakkan, seperti ayam yang pulang ke kandangnya.

Kita harus sadar bahwa perjuangan ini tidak hanya soal politik dan ekonomi; ia adalah perjuangan untuk martabat dan kebebasan bangsa. Setiap langkah menuju kemerdekaan adalah langkah yang menggerakkan roda sejarah, tak hanya bagi Indonesia tetapi bagi seluruh Asia.

Kemerdekaan Indonesia akan menjadi pesan yang kuat: bahwa bangsa-bangsa Asia tidak lagi tunduk di bawah kekuasaan kolonial. Ketika kekuatan rakyat bersatu dalam satu tujuan, tidak ada kekuatan imperialisme yang dapat bertahan.

Dan ketika saat itu tiba, Indonesia tidak hanya akan merdeka, tetapi juga menjadi obor bagi bangsa-bangsa lain untuk bangkit, menerangi jalan menuju dunia yang lebih adil dan merdeka.

Selasa, 24 Juni 2025

Indonesia: Mata Rantai Utuh

Indonesia, dengan segala tantangannya, berdiri di ambang perubahan besar. Kesadaran kolektif bangsa ini adalah awal dari sebuah kebangkitan yang tak bisa lagi dibendung. Di tengah keterpurukan ekonomi dan penindasan sosial, muncul bibit-bibit perlawanan yang tak hanya berakar pada rasa sakit, tetapi juga pada harapan yang mengakar kuat.

Keunikan perjuangan Indonesia terletak pada keberanian untuk melawan tanpa dukungan modal besar, tanpa perlindungan tuan tanah lokal, dan tanpa sistem pendidikan yang memadai. Tetapi, justru inilah yang menjadi kekuatannya. Keberanian itu lahir dari kesadaran bahwa bangsa yang tertindas harus menggantungkan masa depannya pada tekad dan kebersamaan.

Di balik semua tantangan itu, sejarah mencatat bahwa tanah ini telah melahirkan pemikir-pemikir besar, tokoh-tokoh intelektual yang menjadi obor di tengah gelapnya penjajahan. Mereka mengingatkan bangsa ini akan satu hal: kemerdekaan bukanlah hadiah dari penjajah, tetapi sesuatu yang harus direbut dengan perjuangan.

Sebuah perlawanan yang dimulai dari kebangkitan rakyat kecil—petani yang dirampas tanahnya, buruh yang diperas tenaganya, dan pedagang kecil yang tergusur dari pasar—mulai menjelma menjadi sebuah gelombang besar. Gelombang yang menyatukan lintas golongan, lintas suku, dan lintas agama.

Indonesia yang dulu dianggap mata rantai terlemah, kini berubah menjadi bara perjuangan yang menyala. Setiap langkah maju bangsa ini menjadi ancaman bagi imperialisme, dan setiap kesadaran baru yang tumbuh di hati rakyatnya adalah tamparan bagi sistem penjajahan yang sudah rapuh.

Kebangkitan Asia adalah kisah yang baru dimulai, dan Indonesia akan menuliskan bab-bab terpentingnya. Bangsa ini akan menunjukkan kepada dunia bahwa kemerdekaan bukan sekadar impian, tetapi sebuah hak yang diperjuangkan dengan darah, air mata, dan pengorbanan.

Di ujung jalan ini, kemerdekaan bukan hanya untuk Indonesia. Gelora perjuangan ini akan menginspirasi bangsa-bangsa Asia lainnya untuk bangkit dari belenggu yang sama. Dan ketika saat itu tiba, sejarah akan mengingat Indonesia bukan hanya sebagai sebuah bangsa yang merdeka, tetapi juga sebagai pemantik kebangkitan dunia Timur.

Indonesia tidak lagi menjadi mata rantai terlemah. Indonesia telah menjadi mata rantai yang memutus belenggu penjajahan!

Senin, 23 Juni 2025

Indonesia: Ayo Bangkit dari Rantai Keterpurukan

Tulisan ini dibuat dalam konteks situasi dunia sedang terjadi perang Israel yang menyerang Iran, kemudian dibalas dengan rudal hipersonik yang mengagetkan dunia. Pertahanan Israel yang digembar-gemborkan itu, ternyata koyak oleh serangan balasan Iran yang selama ini dipikir lemah.

Melihat kekuatan ini, membangkitkan banyak pihak kelompok Islam. Mereka menyaksikan, Iran dapat mengambil tongkat estafet keberanian menyerang Israel secara langsung. Negara yang selama ini seolah-olah bisa leluasa bertindak dengan menyerang seenaknya. Terutama terhadap Palestina, yang sudah "tidak berdaya"...

Kondisinya, mirip meski dalam konteks yang berbeda ketika Jepang memegang panji kebangkitan Asia, yang memberikan semangat negara-negara Asia bangkit melawan negara penjajah. Ketika itu, tahun 1940-an, Asia sedang menggeliat. Satu demi satu, bangsa-bangsa yang terbelenggu di Timur mulai menggugat kebebasan. Namun, tak seorang pun dapat memastikan kapan dan di mana bendera kemerdekaan akan pertama kali berkibar. Bagi mereka yang menelisik dalam-dalam persoalan ekonomi, politik, dan sosiologi Timur, jelaslah bahwa Indonesia adalah mata rantai terlemah dalam belenggu panjang imperialisme. Di sinilah, benteng penjajahan Barat pertama-tama bisa dijebol.

Imperialisme Belanda, yang sudah tua dan usang, berdiri di atas pondasi yang rapuh dibandingkan dengan Inggris atau Amerika. Jarak yang membentang luas antara negeri Belanda dan tanah jajahannya di Indonesia mempertegas jurang ini. Negeri Belanda, tanpa sumber daya alam yang cukup untuk industrinya sendiri, mengandalkan hasil bumi Indonesia sejak dahulu kala. Ironisnya, pusat ekonomi yang menopang kehidupan Belanda sebenarnya berada di Indonesia, sementara para bankir, pengusaha, dan pedagang besar tinggal di tanah Eropa.

Di sinilah paradoks muncul. Antara penjajah dan yang terjajah terbentang perbedaan besar—bangsa, agama, bahasa, hingga adat istiadat. Di dalam struktur imperialisme yang mencengkeram dunia kala itu, hubungan antara Indonesia dan Belanda adalah sesuatu yang luar biasa. Kaum pribumi di Indonesia hampir sepenuhnya terpinggirkan dari dunia modal. Tidak ada lapisan pengusaha bumiputra yang kuat untuk menjadi perantara, apalagi sekutu, bagi imperialisme Belanda dalam mempertahankan kekuasaan ekonominya.

Berbeda dengan negara-negara lain seperti Mesir, India, atau Filipina, Indonesia tidak memiliki tuan tanah lokal yang signifikan. Mereka yang pernah ada kini hanyalah bayang-bayang—menjadi buruh, kuli, atau bahkan sekadar pekerja tinta di balik meja. Kaum pedagang besar, menengah, hingga kecil dikuasai oleh bangsa-bangsa lain seperti Eropa, Tionghoa, dan Arab. Sementara itu, lapisan menengah pribumi nyaris lenyap, terkikis oleh masuknya barang-barang pabrik dari Eropa.

Kunci

Pendidikan, salah satu jalur penting menuju kemajuan, sengaja diabaikan oleh penguasa Belanda. Dengan intelektual yang terbatas, upaya membangun kekuatan ekonomi pribumi hampir mustahil. Tidak ada kaum saudagar atau pemodal lokal yang bisa menopang pembangunan industri pribumi, meskipun mereka ada sekalipun. Akibatnya, jalan parlementer yang diimpikan oleh berbagai partai nasional menjadi sia-sia belaka.

Bagaimana mungkin “bapak gula” dan “nenek minyak” di Belanda menyerahkan hak pilih kepada rakyat Indonesia yang mayoritas petani dan buruh miskin? Sistem pemerintahan yang tunduk pada modal asing takkan pernah diakui sebagai pemerintahan dari rakyat dan oleh rakyat.

Realitas ini menunjukkan bahwa Indonesia pada saat itu tidak memiliki faktor ekonomi, sosial, atau intelektual yang cukup kuat untuk melepaskan diri dari imperialisme Belanda. Impian akan kebebasan melalui jalur parlementer hanyalah ilusi, lamunan yang sia-sia.

Namun, bukan berarti harapan itu hilang selamanya. Justru dari kesadaran akan ketimpangan dan ketidakadilan inilah api perjuangan menyala. Bangsa Indonesia mulai menyadari bahwa hanya dengan melawan—menantang kekuatan imperialisme di medan juang—kemerdekaan yang hakiki dapat diraih.

Asia sedang bangkit, dan Indonesia adalah ujung tombak perjuangan itu.

Minggu, 22 Juni 2025

Tuntaskanlah!



Musim panas, Peter Hollins, penulis buku Finish What You Start: The Art of Following Through, Taking Action, Executing, & Self-Discipline, dia membuat ukiran berupa sebuah kano kayu kecil sepanjang 30 senti. 

Minggu pertama berjalan mulus, minggu kedua terasa berat akibat otot tangan yang pegal, dan pada minggu ketiga godaan menonton film baru membuatnya berhenti. Kano itu menjadi saksi bisu kemalasan dan penundaan yang terus membayangi. 

Namun, ketika ia mengenal konsep temptation bundling — menggabungkan tugas yang harus diselesaikan dengan imbalan instan yang kita nikmati — semua berubah. Sambil mendengarkan album favoritnya, Hollins berhasil menuntaskan kano itu hingga selesai.

Cerita Hollins mengajari kita bahwa memulai sesuatu jauh lebih mudah daripada menuntaskannya. 

Banyak dari kita yang pernah menjadi seperti Esther yang bertekad membuka usaha kue rumahan setelah bertahun-tahun terkekang rutinitas kantor dan rindukan kebahagiaan dari hobinya. 

Saat cuti dua minggu tiba, ia membayangkan riset resep, survei pasar, dan perencanaan matang. Namun hari-harinya terbuang untuk tidur siang, urusan rumah, dan nongkrong bersama teman tanpa sekalipun menanyakan dukungan atau masukan. 

Impiannya tetap teronggok di kepala, tanpa jejak tindakan nyata.

Begitu pula Sally, idealis yang mendirikan yayasan untuk membantu kaum miskin. Semangatnya berkobar saat mendirikan badan amal, hingga ia dihadapkan pada realita pahit: menggalang dana, bersaing mendapatkan donasi, dan merancang kampanye pemasaran. 

Beban itu membuatnya tercekam frustrasi, hingga dalam hitungan bulan ia memutuskan berhenti, tanpa pernah merencanakan cara agar sisi positif yayasan bisa menutupi tantangan bisnis di baliknya.

Di sisi lain, ada John, penulis novel yang berjuang membagi energi antara pekerjaan kantor dan menulis. Tanpa aturan tegas, tekadnya menulis dua bab per malam luntur saat lelah—hingga novel itu terus tertunda. 

Namun ketika ia menetapkan satu-satunya aturan: setiap malam wajib menyelesaikan dua bab tanpa kompromi, ia mendapati dirinya menuntaskan naskah dengan bangga, meski tubuhnya kelelahan.

Rasa takut juga menghantui Lara, sukarelawan yang merencanakan kampanye galang dana. Idenya brilian, tetapi bayangan penolakan dan penilaian membuatnya membatalkan segala sesuatunya sebelum langkah pertama. Alih-alih kehilangan peluang, ia malah menolak dirinya sendiri, membiarkan kegemarannya padam dalam ketakutan.

Perfectionism pun tak kalah merusak. Paul, sudah bertahun-tahun menambah sertifikasi dan gelar pascasarjana demi persiapan promosi, tetapi tak kunjung melamar. Itu karena dia merasa “resume” belum sempurna. 

Jadinya, kesempurnaan yang dikejar menutup pintu kesempatan lebih awal, membuatnya terjebak stagnasi.

Gerald punya cita-cita besar sebagai pengusaha, namun investasi modal dan pemangkasan gaya hidupnya terlalu menakutkan—hingga ia memilih kembali ke pekerjaan nyaman, meninggalkan mimpinya. Ketakutan akan ketidaknyamanan mengalahkan keberanian berkorban untuk masa depan.

Michael, konsultan lepas, salah satu korban false hope syndrome, kondisi menanam harapan berlebihan untuk perubahan cepat, kecewa dan kehilangan motivasi.  

Ia membayangkan pendapatan besar dengan usaha minimal, namun kenyataan menuntut jam kerja pagi yang tak sesuai ritme tubuhnya. 

Setelah kecewa berulang, ia menyesuaikan jadwal dengan kebiasaan terbaiknya—bangun saat tubuhnya fit dan menunda tugas yang menguras tenaga, sehingga ia dapat menindaklanjuti langkah-langkah kecil secara konsisten.

Sepanjang kisah ini, satu pelajaran jelas: menyelesaikan apa yang dimulai adalah seni mengatur fokus, disiplin, dan momentum. 

Dengan strategi seperti temptation bundling, pembagian tugas kecil harian, aturan tak tergoyahkan, dan kesadaran akan biaya peluang setiap pilihan, kita dapat menyeimbangkan antara kenyamanan masa kini dan hasil masa depan. 

Menindaklanjut berarti mengambil langkah—sekecil apa pun—setiap hari, hingga puncak tujuan akhirnya pun tercapai.

Penulis: Edhy Aruman

Sabtu, 21 Juni 2025

Memo Itu Menyelamatkan Nyawa


Katharine Gun adalah penerjemah bahasa Mandarin di Government Communications Headquarters (GCHQ) Inggris. 

Di balik kesunyiannya itu, dia menyaring ribuan koridor elektronik.

Dia menerjemahkan, menyusun, dan memahami rahasia negara.

Tapi pada 31 Januari 2003, hidupnya berubah selamanya ketika memo Top Secret//COMINT//X1 dari National Security Agency (NSA) AS tiba di antarmukanya .

Selama ini, Katharine menjalaninya sebagai rutinitas biasa: bangun pagi, meneguk kopi, lalu menyelami dokumen intelijen. 

Namun, pagi yang dingin itu, sebuah pesan dari Frank Koza, Kepala Staf Pertahanan Regional NSA, terkuak: NSA dan GCHQ diminta melakukan operasi spionase rahasia untuk memanipulasi suara anggota Dewan Keamanan PBB; Angola, Bulgaria, Kamerun, Chili, Guinea, dan Pakistan, agar mendukung resolusi perang Irak. 

“It was quite cold that Friday morning… I felt quite excited—no, more shocked than anything else,” kenang Katharine, saat mengetahui operasi ilegal itu .

Hatinya bergejolak. Ia selalu percaya bahwa intelijen seharusnya hanya mengumpulkan fakta, bukan menghancurkan kedaulatan diplomatik. 

Ia merenung: jika publik tahu bahwa Presiden AS George Bush dan Perdana Menteri Inggris Tony Blair diam-diam menekan suara-suara penentang dengan cara kotor, mungkin invasi itu bisa dicegah. 

“What I hoped,” ujarnya kemudian, “was that people would see what was happening and be so disgusted that nobody would support the war in Iraq… And I even hoped that the US general public would somehow realize that they were being dragged hook, line, and sinker into the war”.

Keputusan moral itu tiba-tiba—segera setelah membaca memo, Katharine menyelinapkan selembar salinan ke dalam tas tangan. 

Dia mencari satu orang yang bisa dia percaya untuk meneruskan pesan itu: teman karibnya—sebut saja “Jane” — yang diketahui memiliki koneksi ke jurnalis investigasi. 

Tanpa ragu, Katharine mengirim memo itu melalui email, berharap anonimitasnya terjaga .

Memo itu berpindah tangan dengan cepat. Jane menyerahkan naskahnya kepada wartawati Yvonne Ridley, yang menandainya sebagai dokumen otentik dan menghubungi Martin Bright, editor The Observer. 

Setelah tiga minggu verifikasi yang penuh gentar, termasuk usaha membuktikan keaslian serta mempertimbangkan potensi risiko hukum, The Observer mempublikasikan seluruh memo Koza pada 2 Maret 2003 itu. 

Editor Bright kemudian mengakui, “More of a concern to us was that we would be joined in the prosecution. To publish is an offence under the Official Secrets Act as well … So they preferred to take on the little guy—in this case, little woman—rather than us big guys” .

Keesokan harinya, panggilan dari GCHQ datang. Katharine ditanyai di departemen keamanan, lalu diserahkan ke polisi Metropolitan. 

Di ruang tahanan Cheltenham, ia digelandang tanpa gelang dan diborgol, merasakan dinginnya sel beton. 

Ia pun memutuskan untuk jujur: _“I have only ever followed my conscience,” tegasnya. 

Dia mengaku pembocoran memo demi menghentikan perang ilegal yang akan merenggut ribuan nyawa sipil dan tentara Inggris .

Proses peradilan berlangsung dramatis. Tim pembela dari organisasi hak asasi Liberty mengajukan “Advance Notice of Defence Statement” yang menuntut pengungkapan dokumen pendukung pandangan bahwa perang Irak tanpa resolusi baru PBB melanggar hukum internasional . 

Saat itulah pemerintah terjepit, membuka kemungkinan terbongkarnya nasihat hukum Lord Goldsmith tentang legalitas invasi. 

Enam hari sebelum persidangan di Old Bailey, jaksa memutuskan menghentikan kasus tanpa penjelasan resmi. 

Ruang sidang sunyi sesaat, lalu bergemuruh sorak sorai ketika Katharine keluar .

Keputusan itu menghindarkan pemerintah dari aib besar. Seandainya sidang berlanjut, legalitas perang dan kebebasan pers akan diuji tuntas dengan risiko bocornya dokumen rahasia tertinggi, termasuk surat menyurat Blair–Bush. 

Sir Menzies Campbell menyatakan, “Dropping the charges will avoid severe government embarrassment … It is even possible that the full text of the attorney general’s advice to the cabinet might have been published at last.”

Dampaknya meluas ke ranah politik Inggris dan AS. 

Di Inggris, kepercayaan publik terhadap Tony Blair merosot tajam. Momentum ini memberikan kontribusi pada kejatuhan pemerintahnya. 

Di AS, media mulai mempertanyakan narasi WMD dan melahirkan gerakan pemeriksaan ulang keputusan invasi. 

Laporan Chilcot 2016 akhirnya menyimpulkan bahwa invasi itu “tidak sah” dan “berdasarkan intelijen yang dipertanyakan” . 

Dalam debat panjang tentang legalitas perang, kasus Katharine Gun menjadi simbol penting konflik antara keamanan nasional dan hak publik untuk mengetahui kebenaran.

Katharine Teresa Harwood tumbuh sebagai “third-culture kid.”.

Masa kecilnya dihabiskan di Taiwan. Dia menguasai Bahasa Mandarin tanpa aksen asing sebelum melanjutkan pendidikan di Morrison Academy, AS. Kemudian dia mengajar selama dua tahun di pedesaan Jepang, memperkaya wawasan lintas budaya dan mematangkan etos kerjanya. 

Keahliannya dalam bahasa Mandarin dan pengetahuan lintas budaya mempersiapkannya menjadi salah satu penerjemah paling handal di Government Communications Headquarters (GCHQ), di mana ia menangani komunikasi intelijen tingkat tinggi antara NSA dan pemerintah Inggris . 

Pada 4 Januari 2001, Katharine menandatangani dokumen Official Secrets Act sebagai syarat bergabung dan melewati serangkaian tes keamanan serta kemahiran bahasa yang ketat sebelum resmi menjadi penerjemah di Cheltenham pada usia 26 tahun . 

Selama proses rekrutmen, ia juga menjalani pekerjaan sementara guna mendukung hidupnya di Inggris barat daya, termasuk mengajar bahasa dan pekerjaan serabutan lainnya . Di Cheltenham, Katharine menetap bersama suaminya, Yasar, imigran Turki yang menjalankan sebuah kafe di dekat markas GCHQ, saling mendukung dalam kehidupan yang tenang namun penuh tantangan

Kisah Katharine menegaskan peran pers sebagai penegak akuntabilitas. Tanpa Observer, operasi NSA itu mungkin tetap tersembunyi. Kebebasan pers menguat, whistleblower lain terinspirasi oleh keberaniannya. 

Julukan “moral compass” pun melekat padanya.  Katharine rela mengorbankan karier, kebebasan, dan rasa aman keluarga demi menyalakan lentera kebenaran di lorong kelam kekuasaan.

Setelah semua gegap gempita politik mereda, Katharine memilih hidup sederhana bersama suaminya, Yasar, di pedesaan Turki, mengajar bahasa Mandarin, dan menuntut ilmu etika global . Namun, suaranya tidak pernah padam: “I would do it again,” katanya, menegaskan komitmen bahwa pada momen kritis, hanya suara nurani yang dapat diandalkan .

Kisah Katharine Gun adalah pengingat abadi bahwa kebenaran, sekecil apa pun, memiliki kekuatan untuk mengguncang monolit kekuasaan. Dalam dilema antara ketaatan dan keadilan, ia memilih keberanian—dan mengubah jalannya sejarah.

Penulis: Edhy Aruman


RUJUKAN

Mitchell, M., & Mitchell, T. (2019). The spy who tried to stop a war: Katharine Gun and the secret plot to sanction the Iraq invasion. HarperCollins Publishers.

Jumat, 20 Juni 2025

Ahab di Tengah Samudra Konflik: Netanyahu, Iran, dan Obsesi yang Menenggelamkan


Herman Melville membuka Moby-Dick dengan kata-kata sederhana namun penuh makna: "Call me Ishmael." Sebuah undangan bagi pembaca untuk menyelami cerita epik yang penuh obsesi, dendam, dan kehancuran. Di tengah samudra yang luas, kita bertemu Kapten Ahab, seorang pria tua yang karisma dan kebenciannya menyatu menjadi nyala api. Dengan kapal Pequod, ia memimpin awaknya untuk memburu seekor paus putih raksasa bernama Moby Dick — makhluk yang baginya lebih dari sekadar binatang. Moby Dick adalah lambang kekuatan tak terlihat yang, dalam pandangan Ahab, mempermainkan penderitaan manusia.

Narasi ini dibawakan oleh Ishmael, seorang pelaut muda yang gelisah, mencari pelipur di lautan. Ia bergabung dengan awak Pequod bersama Queequeg, seorang harpuner eksotis dengan tato yang melingkupi tubuhnya. Hubungan mereka menjadi simbol persatuan manusia yang melampaui ras, agama, dan budaya. Ketika mereka berlayar, barulah sosok Ahab muncul, seorang kapten pincang dengan pandangan gelap dan suara yang mampu menundukkan hati setiap orang di sekitarnya.

Misi Ahab bukanlah perburuan paus biasa. Ia ingin mengalahkan Moby Dick untuk membuktikan bahwa manusia tidak sepenuhnya tunduk pada nasib. Tetapi obsesi itu perlahan menggerogoti dirinya, menjadikannya seorang tiran yang buta akan realitas. Beberapa, seperti Starbuck, perwira pertama yang religius dan rasional, berusaha mengingatkan Ahab bahwa kebencian terhadap sesuatu yang tidak dapat dimengerti adalah bahaya terbesar. Namun suara logika tenggelam di bawah badai dendam Ahab.

Moby Dick jarang muncul, tetapi kehadirannya merasuki setiap sudut cerita. Ia adalah dewa yang tenang dan tak terjangkau, simbol misteri alam semesta yang menolak untuk dijelaskan. Ahab membencinya karena paus itu adalah cerminan ketidakpastian, sesuatu yang tak bisa dikontrol atau dipahami. Dan kebencian itu membawa Pequod pada kehancuran. Setelah berbulan-bulan melaut, mereka akhirnya bertemu Moby Dick. Dalam tiga hari perburuan, paus itu menghancurkan kapal, membunuh awaknya, dan menyeret Ahab ke kedalaman laut. Hanya Ishmael yang selamat — terapung di atas peti mati Queequeg — untuk menjadi saksi dan penutur tragedi ini.

Kisah Ahab bukan sekadar cerita fiksi. Sosoknya kini menjelma dalam rupa perdana menteri Israel, Benjamin Netanyahu. Sejak awal kariernya, Netanyahu menjadikan Iran sebagai "paus putih" geopolitik yang harus dikalahkan. Baginya, Iran adalah ancaman eksistensial: pengembang senjata nuklir, pendukung terorisme, penyebar kebencian. Di panggung dunia, ia berdiri seperti Ahab, memegang harpun diplomatik dan militer, menatap horison, siap menyerang.

Namun seperti Ahab, obsesi Netanyahu juga memiliki harga. Ketika Hamas menyerang Israel pada 7 Oktober 2023, Netanyahu melihat kesempatan untuk memukul poros Iran: Gaza, Beirut, Damaskus. Tetapi respons Iran datang langsung — rudal dan drone menghujani Israel. Kota-kota seperti Tel Aviv dan Haifa kini menghadapi kekacauan yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Sirene berbunyi tanpa henti, ledakan menggetarkan tanah, rasa aman menghilang.

Netanyahu, seperti Ahab, melihat musuhnya sebagai entitas metafisik, bukan aktor rasional. Dalam kebenciannya, ia kehilangan kemampuan untuk membaca perubahan zaman, menyeret rakyatnya ke dalam konflik yang tidak lagi bisa dikendalikan. Sementara itu, dunia mulai mempertanyakan legitimasi Israel. Demonstrasi bermunculan di Barat, Mahkamah Pidana Internasional membuka penyelidikan, dan kepercayaan publik runtuh. Namun Netanyahu tetap teguh, percaya bahwa satu-satunya jalan keluar adalah dengan menusukkan harpun terakhir ke "paus putih" itu — Iran.

Dalam Moby-Dick, hanya Ishmael yang selamat. Ia adalah saksi yang selamat untuk menceritakan kisah kehancuran itu. Mungkin Ishmael di dunia nyata adalah rakyat Israel yang mulai bertanya: apakah semua ini sepadan? Atau mungkin Ishmael adalah dunia luar, yang mengamati tragedi ini dari kejauhan, mencatat, dan memperingatkan: hati-hati, jangan menjadi Ahab.

Melville memulai novelnya dengan kutipan dari Ayub: “Cuma aku yang bisa lolos agar aku bisa bercerita.” Tragedi besar meninggalkan satu saksi, bukan untuk menang, tetapi untuk menjadi penutur. Jika Netanyahu terus melangkah tanpa mendengar suara waras di sekitarnya, takdirnya bisa jadi tak berbeda dari Ahab: tenggelam bersama dendam yang tidak pernah bisa ditebus.

Selasa, 17 Juni 2025

Wajah di Balik Bayang-Bayang

Malam itu, ia kembali merenung di ruang tamu yang megah, dikelilingi oleh perabotan mahal yang berkilauan di bawah cahaya lampu gantung kristal. Namun, bagi dirinya, semua itu kini seperti ilusi belaka—kekosongan yang menyamar sebagai kemewahan. Kata-kata dari syair Han San yang pernah ia dengar bertahun-tahun lalu muncul kembali dalam pikirannya, seolah menjadi cermin yang memperlihatkan betapa jauhnya ia tersesat.

"Ketika aku masih tinggal di desa
orang-orang menyanjungku tiada taranya.
Tapi ketika esok hari aku pergi ke ibu kota
anjing pun melihatku dengan memicingkan mata.
Seorang bergumam celanaku terlalu sempit."

Syair itu seperti lukisan getir tentang kehidupannya. Dulu, di desanya, ia adalah seseorang yang dipuja, dicintai karena kehangatannya yang tulus. Tapi di ibu kota, tempat segala sesuatu diukur dengan kekayaan dan status, ia menemukan dirinya hanya sebuah objek. Bahkan sekarang, di puncak kekayaan dan kehormatannya, ia merasa tidak lebih dari seseorang yang celananya terlalu sempit untuk mendapatkan penghormatan sejati.

Ia bangkit dari kursinya, melangkah ke jendela besar yang menghadap ke kota yang gemerlap di bawah sana. Gedung-gedung pencakar langit memancarkan cahaya yang menyaingi bintang-bintang, tetapi ia tahu, di balik kaca jendela itu ada dunia yang tidak peduli padanya—yang hanya melihatnya sebagai angka di rekening bank atau koleksi barang mewah.

Ia teringat hari-hari di desa, saat setiap orang mengenalnya bukan karena apa yang ia miliki, tetapi karena siapa dirinya. Orang-orang mendekat bukan untuk memanfaatkan, melainkan untuk berbagi tawa, cerita, dan kesederhanaan yang menghangatkan hati. Di sana, ia merasa hidup. Kini, meski memiliki segalanya, ia merasa seperti bayang-bayang yang memudar.

Pagi harinya, ia memutuskan untuk berjalan-jalan ke pasar tradisional di pinggiran kota. Tanpa membawa apa pun yang menunjukkan statusnya, ia mengenakan pakaian sederhana, mengikat rambutnya, dan menyembunyikan wajahnya di balik syal tipis. Di pasar itu, ia menyaksikan kehidupan yang begitu berbeda dari dunia yang biasa ia kenal. Pedagang menawar, pembeli tertawa, anak-anak bermain di sekitar keranjang sayur.

Ia berhenti di sebuah lapak kecil, tempat seorang lelaki tua menjual lukisan-lukisan sederhana di atas kertas cokelat yang mulai usang. Salah satu lukisan itu menarik perhatiannya: gambar seorang pengembara yang berdiri di tengah persimpangan jalan, dengan satu wajah terukir di langit dan tubuhnya kosong.

“Apa maksud lukisan ini?” ia bertanya, suaranya lembut.

Lelaki tua itu tersenyum, matanya tajam namun ramah. “Itu adalah gambaran jiwa yang tersesat. Wajah di langit itu adalah dirinya yang sejati, tapi tubuhnya telah kehilangan arah. Ia harus mencari wajahnya kembali, atau ia akan selamanya menjadi bayang-bayang tanpa makna.”

Kata-kata itu mengguncangnya. Ia membeli lukisan itu dan membawanya pulang. Di rumah, ia menggantungnya di dinding kamar tidurnya. Setiap kali menatapnya, ia merasa diingatkan akan perjalanan yang masih harus ia tempuh.

Hari demi hari berlalu. Ia mulai membuka hatinya untuk dunia yang pernah ia lupakan. Ia kembali membaca buku-buku lama, menggali pelajaran dari syair-syair seperti milik Han San yang dulu hanya ia baca sepintas lalu. Ia mengunjungi desa-desa, membantu mereka yang membutuhkan, bukan karena ia ingin dipuja, tetapi karena ia ingin merasa berarti.

Dan perlahan, wajah yang dulu hilang itu mulai kembali. Bukan wajah yang penuh polesan atau berkilau oleh harta, tetapi wajah yang dipenuhi makna dan kehangatan. Wajah seorang manusia yang telah menemukan dirinya kembali.

Suatu malam, ia kembali menatap cermin di kamarnya. Kali ini, ia melihat sesuatu yang berbeda. Ada senyum kecil yang terlukis di wajah itu, bukan karena kepuasan materi, tetapi karena ia tahu, ia telah kembali menjadi dirinya sendiri.

Ia membisikkan satu kalimat, seperti mantra yang ia temukan dalam perjalanannya: “Aku adalah aku, bukan karena apa yang aku miliki, tetapi karena apa yang aku bagikan.”

Ketika aku mencari wajahku
Di balik bayang-bayang kota yang gemerlap,
Aku hanya menemukan kosong,
Cahaya palsu yang memudar dalam sekejap.

Ketika aku menengadah ke langit malam,
Bulan berkata padaku tanpa suara,
“Wajahmu tidak hilang,
Hanya tersembunyi di tempat yang terlupa.”

Lalu aku kembali ke akar tanahku,
Mencari jejakku di antara embun pagi,
Menemukan kehangatan yang sederhana,
Dalam tawa riang dan peluh di dahi.

Dan kini aku tahu jawabannya:
Wajahku bukanlah kilau permata,
Bukan harta yang ditumpuk setinggi angkasa,
Melainkan cermin jiwaku, yang hidup dari makna.

Untukmu, wahai syair Han San,
Yang melihat dunia dengan mata tajam,
Aku telah kembali dari kota penuh ilusi,
Menemukan diriku di jalan yang sunyi.

Maka biarlah ini menjadi pesanku:
Bagi siapa saja yang tersesat di persimpangan,
Carilah wajahmu di dalam hati,
Di sanalah arti sejati ditemukan.

Senin, 16 Juni 2025

Desiran Angin Menyentuh Kulit

Malam itu, ia duduk di tepi sungai desa, memandangi bayangan rembulan yang memantul di permukaan air. Angin malam berembus lembut, menyisir rambutnya yang kusut. Ia menarik napas panjang, membiarkan udara dingin meresap ke dalam tubuhnya yang selama ini dipeluk oleh kemewahan tanpa rasa.

“Hai angin,” bisiknya pelan, hampir seperti doa, “wajahku kauterbangkan ke mana? Apakah kau menyimpannya di suatu tempat yang jauh, di mana aku tak bisa mencapainya lagi?”

Angin menjawab dengan desiran yang menyentuh kulitnya, tetapi tidak memberikan jawaban pasti. Ia menghela napas, matanya menatap langit. Awan yang bergerak perlahan di atas sana seolah menari tanpa peduli pada beban hatinya.

“Hai awan,” pintanya, suaranya bergetar, “runtuhkanlah hujanmu menjadi wajahku. Biarkan aku menemukannya lagi di setiap tetes yang jatuh ke bumi. Aku ingin merasakan diriku kembali, meski hanya untuk sesaat.”

Namun, awan hanya bergerak tanpa henti, membawa dirinya menjauh dari pandangan. Ia menunduk, tangannya menggenggam erat segenggam tanah di tepi sungai. Ia merasa begitu kecil, begitu tak berarti.

Kemudian, ia menatap bulan yang menggantung di langit, cahayanya redup tetapi penuh kelembutan. Seolah-olah bulan itu mengerti kesedihannya. Dengan lirih, ia berbisik, “Hai bulan, jadilah kau cermin. Biarkan aku melihat wajahku yang hilang dalam sinarmu. Jangan biarkan aku terus menjadi bayang-bayang yang tak dikenal.”

Tetapi bulan hanya diam, memantulkan kehangatan yang menenangkan tetapi tanpa jawaban.

Dan di malam yang sunyi itu, untuk pertama kalinya, ia benar-benar memahami. Apa arti seorang manusia tanpa wajahnya? Bukan wajah yang dilihat orang lain, tetapi wajah yang ia lihat dalam dirinya sendiri, wajah yang menjadi cermin jiwanya. Apakah gunanya tumpukan emas, istana megah, dan kekayaan yang tak terhitung, jika di balik semua itu ia hanyalah sosok yang kehilangan makna?

Ia mengingat semua yang telah ia miliki. Kekayaannya yang dulu begitu ia banggakan kini terasa seperti beban. Bukannya menolongnya menemukan wajahnya, harta itu justru menenggelamkannya lebih dalam ke dalam jurang kehampaan. Ia sadar, di atas segala tumpukan kemewahan itu hanya ada satu hal: mawar hitam.

Wajahnya kini bagai mawar hitam. Tidak harum, tidak bercahaya. Kelopak-kelopaknya kering, melayu, kehilangan segala keindahan.

“Wajahku,” katanya pelan, dengan suara yang nyaris hilang, “adalah wajah dari mawar. Hitam, melayu, tanpa sinar.”

Ia melihat dirinya sebagai Putri Cina mawar hitam, telanjang, tersesat dalam malam. Tidak ada gemerlap, tidak ada sorak sorai. Hanya kegelapan yang menelannya, perlahan tapi pasti. Dan dalam keheningan itu, ia sadar bahwa ia harus menemukan kembali dirinya, bukan melalui kekayaan, tetapi melalui sesuatu yang jauh lebih abadi—makna.

Pagi menjelang, dengan mata yang bengkak karena tangis, ia berdiri di bawah pohon tua dekat sungai. Embun pagi membasahi rerumputan di sekelilingnya, seolah menyentuh kakinya dengan kelembutan yang menghibur. Matahari mulai merangkak naik di ufuk timur, memancarkan cahaya keemasan yang mengintip di antara daun-daun.

“Hari baru,” bisiknya, mencoba memberi dirinya kekuatan. “Mungkin ini adalah awal untuk menemukanku kembali.”

Ia kembali ke desa, berjalan menyusuri jalanan berbatu yang sederhana, menghirup udara segar pagi yang penuh dengan aroma tanah dan dedaunan basah. Di setiap langkah, ia melihat orang-orang menjalani hidup mereka—bukan dalam kemewahan, tetapi dalam kedamaian. Para petani sibuk di ladang, anak-anak bermain dengan tawa riang, dan para ibu bercakap-cakap sambil menjemur pakaian. Tidak ada emas, tidak ada perhiasan, tetapi ada sesuatu yang jauh lebih berharga—kebahagiaan yang sederhana dan nyata.

Di sebuah gubuk kecil, ia berhenti dan memperhatikan seorang gadis muda yang sedang menggambar di atas tanah dengan ranting kecil. Gambar itu sederhana: sebuah bunga matahari yang besar dengan kelopak lebar. Gadis itu mendongak, menyadari kehadirannya.

“Cantik sekali gambarmu,” katanya lembut. Gadis itu tersenyum malu-malu, tetapi matanya bersinar dengan antusiasme.

“Terima kasih, Kakak. Ini bunga matahari. Mereka selalu menghadap ke matahari, mencari cahayanya. Kalau bunga itu menghadap ke tanah, dia akan layu,” jawab gadis itu polos.

Kata-kata itu menghentak seperti petir dalam benaknya. Bunga matahari, pikirnya. Ia merasa dirinya seperti bunga yang selama ini menunduk, tidak lagi mencari cahaya sejatinya. Ia telah membiarkan dirinya terjerat dalam bayangan harta dan kemewahan, lupa untuk mencari sesuatu yang lebih penting: cahaya yang membawa kehidupan dan makna.

Tanpa sadar, ia meraih tangan gadis kecil itu. “Terima kasih,” katanya, suaranya sedikit bergetar. Gadis itu hanya mengangguk, lalu kembali menggambar, tidak menyadari betapa dalam kata-katanya telah menyentuh hati seorang yang tengah tersesat.

Hari-hari berikutnya, ia menghabiskan waktu di desa. Ia belajar mengolah tanah, menanam padi, dan merasakan hangatnya tawa yang tulus dari para petani yang bekerja bersamanya. Ia merasakan bagaimana peluh di dahi terasa jauh lebih memuaskan dibandingkan perhiasan yang pernah ia kenakan. Ia mulai menemukan bagian kecil dari wajahnya yang hilang, terkubur di bawah semua lapisan kepalsuan yang selama ini ia banggakan.

Bulan berganti. Ia kembali ke kota megahnya, tetapi kali ini ia tidak lagi sama. Gaun-gaun mewahnya ia tinggalkan. Perhiasan berkilauan itu ia simpan di kotak kayu tua. Ia mulai membangun kembali dirinya, bukan dengan kemewahan, tetapi dengan memberikan sesuatu yang berarti. Ia mendirikan sekolah kecil di desanya, tempat anak-anak bisa belajar menggambar, membaca, dan bermimpi. Ia menyumbangkan hartanya untuk mereka yang membutuhkan, bukan untuk mendapatkan pujian, tetapi untuk merasakan kehangatan yang ia temukan kembali.

Dan malam itu, di balkon rumahnya, ia kembali menatap bulan. Kali ini, ia tidak meminta bulan menjadi cermin. Ia tersenyum lembut. Di cermin kecil yang ia bawa dari desa, ia melihat wajahnya—bukan wajah yang sempurna seperti dulu, tetapi wajah yang hidup, penuh dengan cerita dan makna.

“Wajahku telah kembali,” bisiknya pelan. “Bukan karena kekayaan, tetapi karena aku kembali mencari cahaya.”

Minggu, 15 Juni 2025

Kehilangan Wajah

Dulu, ia adalah surga yang menelurkan kehangatan bagi siapa saja yang menjamahnya. Setiap orang yang beruntung bersentuhan dengannya akan merasakan kenikmatan yang seolah-olah tak berujung. Ia adalah sosok yang sempurna dalam pandangan dunia—kaya, cantik, dan selalu memikat. Keindahannya bukan hanya pada wajah, tetapi pada caranya mengalirkan pesona dari kekayaan yang ia punya.

Ketika ia melangkah, mata-mata terpaku. Gaun-gaunnya, gemerlap perhiasannya, bahkan aroma tubuhnya berbicara tentang kesempurnaan yang hampir mustahil ditandingi. Ia tahu itu. Setiap gerakannya seolah dirancang untuk memamerkan segala yang dimilikinya. Ia mencintai kekayaannya, dan kekayaannya mencintainya kembali, memperindah segala yang melekat padanya.

Namun, waktu bergerak dengan cara yang tak selalu memihak.

Kini, ia masih memeluk kekayaan yang jauh melampaui apa yang pernah ia bayangkan. Hartanya bagaikan lautan tanpa batas. Segala yang ia inginkan—apa pun itu—hanya sejauh satu bisikan. Tapi anehnya, semua kemudahan itu menjadi seperti hantu yang menggigit perlahan. Ia merasa tak lagi hidup dalam kebahagiaan yang dulu begitu nyata.

Orang-orang yang dulu menatapnya dengan kagum kini hanya memandangnya sebentar, lalu pergi tanpa berkata apa-apa. Cermin di kamarnya yang megah memantulkan bayangan tubuhnya, tetapi wajahnya tampak samar. Seperti lukisan yang warnanya memudar, ia kehilangan dirinya sedikit demi sedikit.

“Mengapa ini terjadi?” ia bertanya dalam hati, sambil menyentuh permukaan wajahnya. Tapi ia tahu, tak ada jawaban yang bisa memuaskan. Kekayaan yang dulu menjadi pijakan untuk berdiri kini seperti ilusi yang melemahkan.

Hari itu, ia keluar dengan gaun terindahnya. Mencoba sekali lagi menunjukkan bahwa ia masih ada, masih berharga. Tapi langkah-langkahnya terasa berat. Orang-orang yang dulu tersenyum kini hanya mengangguk datar. Ia seperti bayang-bayang yang tak dikenali.

Wajahnya, pikirnya. Di mana wajahku? Apakah semua ini karena aku terlalu bergantung pada kemilaunya harta, sampai lupa memberi jiwa pada diri sendiri?

Malam itu, ia duduk sendiri di balkon besar rumahnya, menatap bintang yang berkerlap-kerlip di kejauhan. Tidak ada yang menemaninya kecuali kesunyian. Ia sadar, kehilangan wajah bukan sekadar kehilangan bentuk. Ia kehilangan arti. Keindahan tanpa makna hanyalah ketelanjangan tanpa daya.

Dan untuk pertama kalinya, ia menangis. Bukan tangisan kehilangan harta atau kekayaan, tetapi tangisan rindu pada dirinya sendiri—yang telah hilang entah ke mana.

Tangisannya malam itu bukan sekadar derai air mata, tetapi juga sebuah pengakuan. Ia mengakui sesuatu yang selama ini selalu ia hindari: kekayaannya tidak mampu membeli dirinya kembali.

Di balkon itu, dengan cahaya bulan yang samar menerangi, ia mengingat masa lalu. Betapa dulu ia hidup dengan gairah yang menyala-nyala. Orang-orang mendekatinya bukan hanya karena kekayaannya, tetapi karena kehangatan yang ia pancarkan. Ia menyadari bahwa ia dulu bukan hanya indah, tetapi juga hidup—benar-benar hidup. Namun, seiring bertambahnya harta, ia membangun tembok-tembok tinggi, bukan hanya di sekeliling rumahnya tetapi juga di dalam hatinya.

Kini, tembok-tembok itu menjadi penjara. Di dalamnya, ia kaya, tetapi sunyi.

“Bagaimana aku bisa kembali ke diriku yang dulu?” gumamnya pada malam yang bisu. Tidak ada jawaban, hanya gemerisik angin yang menggoyangkan dedaunan di taman luas miliknya. Kekayaan itu seperti bisu, mengelilinginya dengan kesunyian tanpa makna.

Keesokan paginya, ia memutuskan untuk berjalan keluar tanpa perhiasan, tanpa gaun mewah, tanpa pengawal. Hanya ia sendiri, dalam balutan busana sederhana, mencoba menemukan sesuatu yang hilang.

Langkah-langkahnya membawanya ke tempat yang telah lama ia tinggalkan: sebuah desa kecil di tepi hutan, tempat ia dilahirkan. Rumah-rumah di sana masih sama seperti dulu, sederhana, dengan aroma tanah basah dan suara anak-anak yang bermain riang. Warga desa menatapnya dengan bingung, beberapa mengenalinya meskipun ia tampak sangat berbeda tanpa segala atribut kekayaannya.

Di sana, ia bertemu seorang perempuan tua yang dulu menjadi seperti ibu kedua baginya. Perempuan itu duduk di teras rumah yang reot, mengupas singkong dengan tangan yang keriput. Ia menatap perempuan tua itu dan seketika tangisnya pecah lagi.

“Ibu... aku kehilangan wajahku,” katanya, suaranya bergetar.

Perempuan tua itu menatapnya dengan mata yang lembut. “Nak, wajahmu tidak pernah hilang. Wajahmu ada di sini,” ia menunjuk hati. “Tapi kau terlalu lama mencarinya di tempat yang salah. Kekayaan bisa membeli apa saja, tapi tidak bisa membeli jiwa.”

Kata-kata itu seperti petir di siang bolong. Ia terdiam lama, memandangi perempuan tua itu. Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, ia merasakan sesuatu yang berbeda—bukan kesunyian, tetapi kehangatan. Kehangatan yang pernah ia berikan dulu, kehangatan yang selama ini ia rindukan.

Hari itu, ia tinggal di desa lebih lama dari yang ia rencanakan. Ia membantu perempuan tua itu memasak, berbincang dengan warga, dan tertawa dengan anak-anak kecil. Ia merasa kembali menjadi manusia, bukan sekadar sosok yang dipuja karena kekayaan.

Malamnya, saat ia menatap dirinya di cermin kecil yang dibawanya, ia melihat sesuatu yang berbeda. Wajahnya yang dulu ia kira hilang, kini perlahan kembali. Tidak lagi semegah dulu, tetapi ada sesuatu yang lebih berharga—kehidupan. Ia tersenyum kecil. Ia tahu, perjalanan untuk menemukan dirinya kembali masih panjang, tetapi untuk pertama kalinya, ia merasa punya alasan untuk melangkah.

Dan di dalam hatinya, ia berjanji: kali ini, ia tidak akan kehilangan wajahnya lagi.

Sabtu, 14 Juni 2025

Tahun 1980-an

Seperti biasa, setiap akhir pekan aku membantu orangtua membuku toko yang menjadi sandaran hidup bagi keluargaku. Pekerjaan yang kubenci, karena saat itu teman-teman sekolahku bisa menikmati hari liburnya untuk sekedar bermalas-malasan atau pun sekedar nongkrong bersama teman-temannya.

Tapi untuk meninggalkan begitu saja, pekerjaan membantu membuka toko itu, dan pergi bersama teman-teman, aku pun tak tega. Dengan agak malas, aku pun mengambil kunci toko dan memasukkan dalam saku celana panjang. Kuambil sepeda, dan segera belalu menuju pasar tempat toko itu nangkring.

Proses membuka toko dan menata ulang, serta bersih-bersih, biasanya memakan waktu sekitar satu sampa dua jam. Sambil menanti pembeli biasanya, aku segera menikmati koran pagi. Sebuah kebiasaan yang mungkin tidak dilakukan teman-temanku. Itu sebabnya, mungkin pelajaran ilmu sosial ku jadi jagoan di sekolah. 

Aku melahap semua berita yang disajikan koran. Biasanya, kumulai dengan membaca cerita bersambung yang disajikan setiap hari. Kemudian aku membaca cerpen dan baru setelah itu membaca berita yang disajikan di halaman 1 koran.

Fokusku ke koran saat membaca, memang  terbagi dengan pandangan pada jalan di depan toko dan waspada kalau ada pelanggan yang datang, agar bisa segera menyambut mereka. Tapi biasanya, baru sekitar menjelang siang, pelanggan banyak yang datang. Kalau masih pagi, hanya pedagang pelanggan yang mengambil barang pesanan mereka untuk dijual. Biasanya, barang-barang itu sudah di masukkan dalam kotak besar sehari sebelumnya.

Pada malam sebelum toko tutup, semua sudah dipersiapkan dengan cermat semua pesanan mereka. Jadi, saat pagi ini mereka langsung mengambilnya sendiri, setelah sekedar basa-basi padaku yang tetap duduk di kursi sambil tangan memegang koran. Di sampingku, biasanya sudah kuseduh kopi panas dan membuka bekal yang sudah disiapkan iku sebelum berangkat tadi pagi.

Sambil membaca, terkadang pikiranku melayang dan melintas pada pesan atau apa yang dibicarakan bapakku sambil lalu, saat sedang bersamad di toko.

Manusia itu harus punya akar. Kita jangan sampai kehilangan akar budaya. Sebagai orang Jawa di perantauan Sumatra ini, jangan sampai kehilangan Jawane. Meski kamu nggak bisa fasih berbahasa Jawa, tetapi minimal mengerti bahasa Jawa.

Jika tidak punya akar, maka kita bisa diterbangkan ke mana-mana seperti debu yang berhamburan di jalanan. Kita terbawa ke segala arah, bertumbukan dengan angin melayang, kemudian jatuh terguling-guling.

Apalagi, sesungguhnya hidup kita pendek. Kamu harus bisa mandiri, kalau ada apa-apa dengan bapak atau ibu, kamu sudah siap. Apalagi sebagai anak tertua, kamu harus menjaga adik-adikmu. Memang hidup kita ini sangatlah pendek. 

Piye-piye, adik-adikmu itu tunggal darah. Jangan sampai terpisah, saling jagalah.

Jika mengingat ini, maka kekesalanku karena diminta membuka toko ini akan hilang. Semangat muncul, dan semangat untuk bisa menguasai dan mengendalikan sebuah toko kelontong seperti bapak ini, segera terpatri dalam kepala.

Pesan itu mengingatkan pada sebuah sajak T’ao Ch’ien, yang selalu diingat oleh Putri Cina dalam novel karangan Romo Sindhunata.

Kisah ini pun ingin menukilkan apa  yang ditulis Sindhunata dalam bukunya yang berjudul Putri Cina.

Berikut nukilan dari tulisan Sindhunata. Kata leluhur Putri Cini, sajak itu ditulis pada abad ke-empat Masehi. Sebuah sajak yang sangat tua. Ia tahu, sajak itu pasti tidak dibuat untuk dia. Namun ternyata, sajak itu menjadi ramalan yang membentangkan nasibnya.

Tidakkah hidupnya memang tidak punya akar, yang mengikat dia pada suatu tanah, tempat ia bisa berpijak? Katanya, ia berasal dari Cina. Tapi ia tak tahu sama sekali, apakah dan bagaimanakah keadaan di tanah leluhurnya itu. Dan ke sana, sekali pun ia tak pernah.

Dan tidakkah ia dan kaumnya terbang seperti debu, yang berhamburan ke mana-mana? Kaumnya tak bisa bicara satu sama lain. Bahasa mereka berupa-rupa, tergantung di mana mereka tinggal. Sementara ia dan kebanyakan kaumnya pun tak bisa sama sekali bicara dalam bahasa leluhur.

Apa artinya merasa menjadi saudara serumpun dan seleluhur, jika mereka tidak mempunyai bahasa yang bisa menjalin mereka untuk saling berbicara? Ia berpikir, andaikan ia dan kaumnya tidak diikat dengan daging dan darah, takkan pernah mereka merasa saling bersaudara. Betapa daging dan darah sama sekali tak cukup untuk menjadikan dirinya sebagai manusia sepenuh-penuhnya. Malahan daging dan darah itu membatasi dia untuk menjadi manusia yang diterima di tempat ia berada. Ya, setiap kali ia mengeluh tentang dirinya, ia pun bertanya:

Kita datang ke dunia ini sebagai saudara. Tapi mengapa kita mesti diikat pada daging dan darah? Malam sedang terang benderang, ketika ia menanyakan perihal hidupnya itu. Bulan seperti keluar dari sarangnya, lalu menghampiri biliknya. Cahayanya demikian dekat padanya, sampai bulan itu terasa menari-nari di hadapannya. Disapanya bulan dengan mesra, seolah kekasihnya, ”Sejak kita berpisah, betapa aku ingin kau datang kembali padaku. Ternyata kau hanya datang dalam mimpiku. Sungguhkah kau datang, dan mau bersama dengan aku di dalam bilikku? Aku khawatir, kau hanyalah nyala yang keluar dari lilin di hadapanku. Dan begitu lilin ini habis mencair, kau pun hilang bersama nyalanya yang padam. Apakah kau hanya boleh kunikmati dalam mimpi?”

Tentu tiada jawaban baginya. Bulan pun segera pergi meninggalkannya. Ia merasa, bukan kekasih yang ia cari, tapi dirinya sendiri. Dan dirinya itu tak pernah ia temukan sampai kini.

Ia meraba wajahnya. Wajahnya ternyata tiada. Anehnya, orang-orang mengatakan, ia cantik jelita. Matanya nyaris sipit, tapi menambah wajahnya jadi lebih manis. Hidungnya tak terlalu mancung, tapi ia tampak sebagai gadis opera Peking yang amat anggun. Kulit wajahnya langsat kuning. Indah, meski tak seasli gadis-gadis asli Cina di tanah leluhurnya. 

Orang-orang bilang, ia cantik. Tapi ia sendiri tak pernah melihat kecantikannya. Tiap kali ia berkaca, dalam cermin ia hanya melihat mawar yang gosong kehitam-hitaman. Kelihatan amat menyedihkan. Kendati ia sudah berdandan layaknya gadis Cina, dengan gaun sutra merah berceplok-ceplok bunga, wajahnya tetap tak muncul-muncul juga. Malahan, pakaian yang dikenakannya makin membuat ia kelihatan sedih. Sebab, justru karena pakaiannya yang mewah, mawar hitam yang menjadi kepalanya makin membuat ia layu, seperti bunga yang sebentar lagi akan mati.

Semua jalan untuk menemukan kembali wajahnya seakan sudah tertutup. Dulu ia menaburkan keharuman di mana-mana. Tiap orang mencium, betapa harum aroma yang dibawanya. Sekarang keharuman itu pergi, hilang diterbangkan angin, bercampur dengan debu-debu jalanan.

Jumat, 13 Juni 2025

Transisi

 


Oktober 2019, SAP – perusahaan perangkat lunak asal Jerman yang fokus pada solusi bisnis dan enterprise – mengumumkan keputusan yang mengejutkan banyak orang. 

Pemegang saham mengangkat Jennifer Morgan – bersama Christian Klein -- sebagai co-CEO SAP menggantikan CEO legendaris Bill McDermott.

Penunjukan ini mencetak sejarah. Morgan menjadi perempuan Amerika pertama di dewan eksekutif SAP. Dia juga co-CEO wanita pertama di antara perusahaan-perusahaan besar Jerman. Sebelumnya, itu tidak pernah terjadi.

Pemegang saham berharap penuh keduanya menjaga kontinuitas kepemimpinan setelah Bill McDermott mundur. Keduanya dianggap mampu menggabungkan keahlian teknologi dan bisnis, serta mempercepat transformasi digital SAP melalui struktur kepemimpinan kolaboratif dan berbagi tanggung jawab strategis.

Christian Klein berlatar belakang keuangan dan operasional. Ia pernah menjabat sebagai Chief Operating Officer (COO) dan Chief Financial Officer (CFO) di SAP. Dia ahli dalam efisiensi proses internal, transformasi organisasi, dan stabilitas operasional.

Jennifer Morgan, di sisi lain, berasal dari sisi komersial dan transformasi digital. Sebagai Presiden SAP’s Cloud Business Group, ia memimpin pertumbuhan layanan cloud SAP secara global. Ia jago dalam membangun hubungan pelanggan, ekspansi pasar, dan kepemimpinan strategis dalam inovasi.

Namun, apa yang terjadi? Ibarat kata, orang boleh berencana, Tuhan menentukan. 

Enam bulan setelah pengangkatan, Morgan mengundurkan diri. 

April 2020, SAP mengumumkan bahwa mereka kembali ke model CEO tunggal, dan menunjuk Klein sebagai satu-satunya pemimpin.

Alasannya? Krisis global akibat pandemi COVID-19. SAP menyatakan bahwa “dalam krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya ini, kami memerlukan satu suara kepemimpinan yang kuat dan jelas,” kata Klein.

“Awalnya (degan dua CEO), kami memulai dengan agenda bersama. Namun dalam situasi penuh gejolak ini, kami merasa sekarang adalah waktu yang tepat untuk kembali ke model CEO tunggal.” 

Sang pendiri SAP, Hasso Plattner, mendukung keputusan ini. Dia mengakui bahwa meskipun model co-CEO memiliki tempat dan waktu tersendiri, “Sekarang bukan waktu tang tepat.” 

Analis Commerzbank menyatakan bahwa pasar tidak pernah sepenuhnya menyukai struktur kepemimpinan ganda, meskipun kepergian Morgan berarti hilangnya juru bicara cloud yang berpengaruh (Business Insider, 2020).

Cerita Morgan hanyalah satu dari sekian banyak transisi eksekutif yang berakhir prematur, meski sebelumnya para ekskutif itu memiliki kinerja yang cemerlang. 

Di Hewlett-Packard, Léo Apotheker hanya bertahan sebelas bulan. Ia membuat keputusan strategis kontroversial. Dia mengumumkan rencana untuk menjual divisi PC dan mengakuisisi perusahaan Inggris, Autonomy, senilai $10,6 miliar. 

Reaksi pasar begitu negatif, dan nilai pasar HP anjlok lebih dari $30 miliar. Apotheker pun dipecat, membawa serta pesangon sebesar $25 juta (Bloomberg, 2011; CNN, 2011).

Di Boeing, Harry Stonecipher diminta kembali dari pensiunnya untuk memimpin pemulihan perusahaan. Namun hanya bertahan 15 bulan. Ia dipecat karena hubungan pribadi dengan seorang eksekutif wanita, hubungan yang dinilai melanggar etika perusahaan meski tidak berdampak langsung pada operasional (Deseret News, 2005).

Jeff Jones di Uber membawa gaya kepemimpinan berbasis nilai dari Target. Namun, ia memilih mengundurkan diri enam bulan setelah bergabung. Alasannya, dia merasa nilai-nilai kepemimpinannya tidak cocok dengan budaya Uber, yang saat itu sedang bergulat dengan krisis internal. Ia tidak ingin mengkompromikan prinsipnya demi jabatan (Vox, 2017).

Dalam banyak hal, keputusan Jones adalah refleksi dari seorang pemimpin yang sadar bahwa perubahan sejati tidak bisa dipaksakan jika sistem belum siap.

Apa benang merah dari kisah-kisah ini?

Menurut Navid Nazemian (2021), transisi eksekutif adalah masa paling rentan dalam siklus hidup organisasi. Transisi eksekutif bukan soal kemampuan individu semata, tetapi tentang bagaimana pemimpin baru menghadapi dan menavigasi ruang transisi yang kompleks.

Ironisnya, perusahaan seringkali lebih fokus pada proses perekrutan daripada penyusunan strategi yang kuat. Padahal, jika dijalankan dengan baik, transisi yang terstruktur bisa memangkas risiko kegagalan hingga 50 persen.

Transisi CEO bukan sekadar hari pertama atau 90 hari pertama. Ia adalah proses adaptasi dan integrasi mendalam, yang menuntut keseimbangan antara ekspektasi pasar, budaya organisasi, dan integritas pribadi. Tanpa fondasi ini, bahkan pemimpin paling cemerlang pun bisa tersandung.

Jennifer Morgan, Leo Apotheker, Harry Stonecipher, dan Jeff Jones semuanya memiliki rekam jejak luar biasa, menduduki posisi senior di perusahaan besar, dan diakui sebagai pemimpin visioner di bidang masing-masing. 

Namun justru di sinilah letak pelajaran pentingnya: kompetensi saja tidak cukup dalam transisi kepemimpinan.

Kegagalan mereka bukan karena kekurangan kapasitas intelektual atau pengalaman, tetapi karena ketidaksesuaian antara gaya kepemimpinan, nilai pribadi, ekspektasi organisasi, dan kondisi lingkungan saat itu. Transisi memerlukan kemampuan untuk memahami konteks baru secara mendalam—budaya perusahaan, dinamika kekuasaan internal, tekanan eksternal, serta sensitivitas terhadap momen historis seperti krisis pandemi atau perubahan strategi besar.

Kepemimpinan yang efektif bukan hanya soal siapa Anda, tetapi bagaimana Anda masuk ke dalam sistem yang sudah berjalan. 

Apakah sistem itu siap menerima perubahan yang Anda bawa. Kompeten? Ya. Tapi dalam ruang transisi, kompetensi perlu disertai kejelian, kerendahan hati, dan dukungan organisasi yang tepat. Tanpa itu, bahkan bintang pun bisa jatuh. 

Penulis: Edhy Aruman

Kamis, 12 Juni 2025

Catatan


Hampir setiap malam, setelah dunia politik yang hiruk-pikuk reda dan seluruh urusan negara ditanggalkan untuk sementara, Barack Obama berdiam di ruangan pribadinya di Gedung Putih: Treaty Room.

Itu bukan aula megah, bukan ruang konferensi berlapis emas, melainkan ruang sederhana dengan cahaya kuning lembut, buku-buku bertumpuk, dan meja kayu yang sudah sedikit berumur.

Obama duduk sendirian. 

Di luar, pasukan keamanan masih berjaga. Dunia masih menatapnya sebagai Presiden Amerika Serikat, pemimpin negara paling berpengaruh di bumi. Tapi di dalam ruangan itu, ia bukan lagi presiden. Ia hanya Barack—seorang suami, ayah, dan manusia yang sedang berusaha memahami hari yang telah ia jalani.

Disitu dia menyusun rutinitas kecil. Tujuh butir almond. Tidak delapan, tidak enam. Tujuh. Sambil menonton pertandingan bola di layar televisi kecil, atau membuka iPad untuk bermain Words with Friends, ia melangkah ke dalam refleksi pribadi. 

Ia membaca surat-surat dari rakyat biasa, membuka laporan negara. Dia renungkan, pelajari, mencari yang kurang, dan dia diperbaiki besoknya. Dan dalam diamnya yang sakral, dia mengingat hal-hal kecil yang layak ia syukuri hari itu.

Bermuhasabah, kata teman-teman

Bagi Obama, waktu itu adalah ruang hening untuk kembali menjadi manusia. Ia tidak menyebutnya “praktik bersyukur.” Ia tidak menuliskannya dalam jurnal harian. Tapi dari cara ia hadir dalam ritual itu — disiplin, tenang, dan sadar — ia sedang mempraktikkan salah satu kekuatan spiritual paling kuat dalam hidup: bersyukur.

Lynne Twist, dalam buku The Soul of Money, menyebut bahwa syukur bukanlah sikap pasif. Ia adalah praktik aktif. Seperti yoga yang tak berarti apa pun jika tak pernah dilakukan di atas matras. Syukur pun demikian. Ia tak cukup hanya diimani; ia harus dihidupi. 

Twist menyebut bahwa kita hidup dalam budaya kelangkaan. Kita selalu merasa "tidak cukup" : tidak cukup kaya, tidak cukup sukses, tidak cukup dicintai.

Padahal, katanya, kecukupan bukan soal jumlah. Ia adalah kesadaran. Sebuah deklarasi dalam batin bahwa “apa yang saya miliki sekarang, cukup untuk membuat perbedaan.” Dan ketika kita menghargai apa yang kita miliki—apapun bentuknya—nilai itu akan berkembang, meluas, dan menciptakan kehidupan yang penuh makna.

“.... jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu...”

Bersyukur bukan berarti menyerah. Bukan pula puas dalam stagnasi. Bersyukur adalah kekuatan lembut yang mampu mengalihkan perhatian kita dari keluhan menuju kemungkinan. Ia mengubah rasa takut menjadi pengakuan akan keindahan saat ini. Ia menumbuhkan ketangguhan bukan karena hidup menjadi mudah, tetapi karena kita mampu melihat makna di dalam yang sulit.

Oprah Winfrey, dalam banyak kisahnya, bercerita bahwa ia memulai hari dengan menuliskan lima hal yang ia syukuri. Di masa-masa tergelap sekalipun— saat ia kesepian, dihujat, dan lelah secara emosional — ia tetap menulis. 

Dia menulis bukan hal-hal yang selalu besar. Kadang dia menulis tentang secangkir teh hangat, tawa stafnya, atau sepasang sepatu nyaman. 

Tapi dari situlah kekuatannya tumbuh. Dari pengakuan kecil yang konsisten, ia membangun istana batin yang kokoh.

Keanu Reeves, yang kehilangan adik, pacar, dan anaknya dalam rentang waktu yang singkat, tidak pernah tenggelam dalam amarah. 

Ia hidup sederhana, menyapa orang-orang di jalan, duduk di bangku taman sendirian, menikmati kopi pagi. 

Ketika ditanya apa yang membuatnya tetap berdiri, ia hanya berkata pelan, “Aku bersyukur aku masih hidup.”

Mereka—Obama, Oprah, Keanu—adalah orang-orang yang telah merasakan kepedihan dan tetap memilih untuk tidak menumpulkan rasa. Mereka memilih untuk bersyukur. 

Brené Brown, dalam bukunya The Gifts of Imperfection, mengatakan bahwa tidak satu pun dari orang-orang yang mengalami kebahagiaan tulus dalam hidupnya luput dari praktik syukur. 

“Kegembiraan adalah hasil samping dari praktik syukur yang konsisten,” katanya. 

Dan dalam dunia yang diliputi kecemasan, kita sering berpikir, “Jangan terlalu bahagia. Nanti kalau hilang, sakitnya akan lebih dalam.” Brown menyebut ini sebagai bagian dari mentalitas kelangkaan, yang menumpulkan rasa.

 “Kita tidak bisa menumpulkan emosi secara selektif. Ketika kita menumpulkan yang menyakitkan, kita juga menumpulkan kegembiraan,” kata Brown,

Praktik syukur bukan sesuatu yang terjadi saat semuanya berjalan baik. Justru di tengah kekacauan, di saat hati ingin menyerah, kita bisa memilih untuk tetap hadir dan berkata: “Saya masih di sini. Saya masih bisa merasakan. Saya bersyukur.”

Mulai dari yang sederhana. Tarik napas dalam. Lihat mata anak Anda saat ia tertidur. Rasakan tanah di bawah kaki saat berjalan. Ucapkan dengan keras, “Saya bersyukur karena saya bisa mencintai, meski hari ini melelahkan.”

Dan dari sana, sebuah ruang baru akan terbuka—ruang di mana kehidupan tidak harus sempurna untuk bisa indah, tidak harus besar untuk bisa berarti. Ruang di mana kita tahu, bahwa dalam segala kekurangan, kita tetap cukup. 

Penulis: Edhy Aruman

Rabu, 11 Juni 2025

Muhammad dari Najd: Suara dari Padang Pasir

Ini bukan kisah sesungguhnya manusia alim ini. Tulisan ini dibuat juga bukan untuk mengecilkan nama, yang kebetulan sama. 

Matahari menyentuh ufuk di atas tanah Najd, memantulkan cahaya keemasan di atas bukit-bukit pasir yang seolah diam tapi menyimpan kisah besar. Di tengah padang pasir itulah, seorang anak laki-laki kecil berjalan kaki pulang dari masjid dengan secarik kertas di tangannya. Namanya Muhammad bin Abdil Wahhab — dan tanpa ia sadari, langkah-langkah kecilnya akan menoreh sejarah besar yang masih terasa sampai hari ini.

Muhammad tumbuh di kota kecil bernama ‘Uyaynah, sebuah wilayah tenang di jazirah Arab. Ayahnya adalah seorang ulama. Sejak kecil, Muhammad terbiasa mendengar diskusi agama, membaca kitab-kitab klasik, dan mendalami tafsir serta fiqih. Tapi ada satu hal yang selalu membuat hatinya bertanya-tanya: Mengapa banyak orang yang menyembelih hewan di kuburan keramat? Mengapa mereka menggantung jimat dan minta perlindungan kepada benda-benda selain Allah?

“Apakah ini benar ajaran Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ?” tanyanya suatu malam kepada ayahnya.
Sang ayah terdiam sejenak, lalu berkata pelan, “Itulah tugas generasi kalian. Membersihkan agama ini dari segala kotoran yang telah lama menempel.”

Perkataan itu tertanam kuat di hati Muhammad. Ia pun semakin giat belajar. Setelah menguasai banyak ilmu di kampung halaman, ia memutuskan pergi merantau: ke Makkah, Madinah, hingga ke Basrah. Di setiap kota, ia menimba ilmu dari para ulama besar. Tapi yang paling ia cari bukan hanya ilmu, melainkan kebenaran yang murni. Tauhid yang asli. Islam yang seperti zaman Rasulullah ﷺ dan para sahabat.

Di Basrah, ia menyaksikan masyarakat yang memuja wali-wali, menggantungkan hidup pada kuburan, dan menganggap hal-hal mistis sebagai bagian dari ibadah. Muhammad tertegun.

“Ini bukan Islam. Ini bukan ajaran Rasulullah,” bisiknya dalam hati.

Ia pulang ke kampung dengan semangat yang membara. Ia ingin mengubah umat.

Tapi perubahan bukan sesuatu yang disukai semua orang. Ketika ia mulai berdakwah, mengajak masyarakat untuk meninggalkan syirik, membakar jimat, dan berhenti meminta kepada kuburan, banyak orang marah. Para tokoh adat dan orang-orang yang diuntungkan oleh praktik syirik itu merasa terancam. Muhammad diusir, difitnah, bahkan nyawanya beberapa kali terancam.

Namun Muhammad tidak menyerah. Ia tahu jalan ini berat. Tapi jika bukan dia, lalu siapa lagi?

Di tengah masa-masa sulit itu, Allah mempertemukannya dengan seorang pemimpin daerah bernama Muhammad bin Su’ud, penguasa Dir’iyyah. Keduanya bersepakat: sang pemimpin akan mendukung dakwah Muhammad, dan Muhammad akan membimbing dengan ilmu. Dari sinilah gerakan dakwah yang kuat dan terorganisir lahir. Mereka menyebarkan ajakan tauhid ke seluruh wilayah Arabia.

Gerakan ini kelak dikenal sebagai Gerakan Dakwah Salafiyah. Tapi sayangnya, banyak orang salah paham. Ada yang menuduh ajarannya keras, terlalu kaku, bahkan menganggapnya membuat agama baru. Tapi jika kita mau membaca sendiri kitab-kitabnya, seperti Kitabut Tauhid, kita akan tahu: yang ia ajarkan hanyalah ajakan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah, sebagaimana pemahaman para sahabat.

Bayangkan, betapa beratnya hidup menjadi orang yang ingin mengubah dunia. Tapi itulah keberanian. Itulah makna dakwah.

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab wafat di usia tua, setelah menyaksikan dakwahnya tersebar, meski belum seluruhnya diterima. Tapi hari ini, jutaan orang di seluruh dunia membaca karya-karyanya, mendengar namanya, dan mengamalkan ilmunya.

Dan kamu, anak muda yang sedang membaca ini…
Tahukah kamu bahwa perubahan besar seringkali dimulai dari seseorang yang berani berbeda?

Asy-Syaikh Muhammad tak hanya menyampaikan dakwah, tapi menunjukkan bahwa kita semua bisa memilih jalan yang benar — meski sulit, meski sunyi, meski penuh tantangan.

Jadi, pertanyaannya sederhana:

Apakah kamu akan menjadi bagian dari orang-orang yang berani menjaga kemurnian agama ini… atau hanya diam dan mengikuti arus yang menyesatkan?

pertanyaan ini pun perlahan lewat dan diam-diam menghilang ditelan suara keheningan malam 

Lintingan Terakhir


Pasar mulai padat ketika matahari baru naik sejengkal. Di antara deretan penjual ikan, sayur, dan kain batik, seorang perempuan muda berjalan anggun. 

Baki bambu di tangannya berisi rokok lintingan. Rambutnya disanggul rapi, kainnya bersih, matanya jernih meski menyimpan lautan yang tak bisa dibaca.

"Rokok, Gusti?" suaranya lembut, nyaris seperti tembang.

Seorang bangsawan muda menoleh. "Ah, Roro Mendut," sapa lelaki itu sambil tersenyum. "Hari ini aku datang bukan karena rokokmu. Tapi karena kau."

Roro Mendut tersenyum tenang. "Kalau begitu, Gusti tidak perlu membeli. Karena yang hamba jual hanya rokok."

"Tapi tak ada lintingan yang selembut ini. Apa rahasianya?"

Ia menatap lelaki itu sejenak. "Doa, dan ketabahan."

Roro Mendut menjual rokok bukan semata demi kebutuhan, tapi demi pilihan. Setelah menolak dijadikan selir oleh Ki Tumenggung Wiroguno, ia keluar dari keraton dan kehilangan seluruh kenyamanan yang dulu ia miliki. 

Dalam karya sastra Ajip Rosidi, Wiroguno digambarkan sebagsai sesorang yang memiliki keberanian, kebijaksanaan, dan kesetiaannya yang tak tergoyahkan. Dia bukan hanya dihormati oleh para bangsawan dan rakyat jelata, tetapi juga dicintai oleh Sang Sultan dari Mataram.

Wiroguno mengawali pengabdiannya dari posisi rendah, namun perlahan menapaki tangga kepercayaan dengan kerja keras dan dedikasi luar biasa. Ia dikenal sebagai prajurit tangguh yang tak segan berada di barisan terdepan, bahkan rela menjadi tameng hidup bagi Sultan. 

Kesetiaannya tak sekadar ucapan, tetapi terbukti dalam setiap medan tempur yang dilalui, di mana banyak negeri kecil berhasil ia taklukkan dan persembahkan kepada junjungannya.

Atas segala jasanya, Sultan Agung menganugerahkan gelar Tumenggung kepada Wiroguno, sekaligus menjadikannya wedana—pemimpin para bupati seantero Mataram. Sebuah kehormatan yang tak sembarang orang bisa raih. 

Wilayah kekuasaannya dikenal dengan nama Wirogunan, sebuah tempat yang kelak menjadi simbol kebesaran dan keteladanannya.

Wiroguno juga mendapat hadiah berupa Roro Mendut dari Sultan. Namun, hubungan mereka menjadi rumit karena Roro Mendut menolak untuk menjadi istri atau selir Ki Tumenggung, meskipun ia telah diberi banyak kemewahan. 

Penolakan ini menimbulkan konflik karena Ki Tumenggung merasa dipermalukan dan marah besar atas keberanian Roro Mendut yang dianggap lancang sebagai wanita kelas bawah (anak tukang bakul) yang menolak seorang pejabat tinggi kerajaan.

Konflik ini bukan hanya menggambarkan ketegangan pribadi, tapi juga benturan nilai-nilai—antara kekuasaan yang menganggap semua bisa dimiliki, dan kehendak bebas seorang perempuan yang menuntut hak atas dirinya sendiri.

Keputusan Roro Mendut menolaknya bukan tanpa risiko. Dunia di sekelilingnya tidak memberi banyak pilihan bagi perempuan yang berani berbeda. Namun, dari keterbatasan itulah ia menemukan jalan perlawanan yang sederhana tapi penuh makna.

Ia memilih menjual lintingan, rokok dari daun jagung dan tembakau, karena itu satu-satunya cara ia bisa hidup tanpa menjual dirinya. Ia tidak sekadar mencari nafkah, ia mempertahankan kehormatan.

Namun lebih dari itu, Roro Mendut menjual dengan hati. Ia membangun hubungan dengan pelanggannya, bukan sekadar menjajakan barang, tetapi menyentuh emosi mereka dengan ketulusan. 

Inilah kekuatan dari Emotional Selling : memahami emosi, membangun koneksi, dan menawarkan lebih dari sekadar produk—yakni kepercayaan dan kenyamanan (Mayer & Salovey, 1997; Goleman, 1998).

Penelitian membuktikan bahwa kecerdasan emosional (emotional intelligence/EI) bukan hanya meningkatkan adaptasi penjual terhadap situasi pelanggan, tapi juga menciptakan loyalitas yang lebih tinggi melalui pendekatan yang empatik dan personal (Dulewicz et al., 2005; Wisker & Poulis, 2015). 

Dalam hal ini, Roro Mendut jauh lebih maju dari zamannya. Dengan intuisinya, ia telah mempraktikkan seni menjual dengan hati.

"Kau tahu risikonya. Dia bisa menghancurkanmu," kata lelaki itu.

"Biarlah," bisiknya. "Lebih baik tubuh ini hancur karena mempertahankan kehormatan, daripada utuh tapi hampa."

Angin pagi menyapu pasar. Sejenak keduanya terdiam.

Lelaki itu mengambil satu lintingan dan menyalakannya. "Rokokmu hari ini terasa lebih dalam."

Roro Mendut menatap jauh ke arah langit. "Karena ini lintingan terakhir. Besok hamba akan pergi dari kota ini. Menuju tempat yang tidak menuntut perempuan untuk menjual diri agar dianggap berarti."

Lintingan terakhir ini bukan hanya penutup dagangan, tapi pernyataan: bahwa hidup bisa dipilih, bahwa kehormatan bukan untuk ditukar, dan bahwa perempuan punya suara, bahkan jika hanya disampaikan lewat sebatang rokok yang perlahan terbakar.

Ia tidak lari—ia pergi dengan kepala tegak. Lintingan itu adalah jejak terakhir di tanah yang coba mengubur dirinya. Sebuah simbol penghabisan, namun juga permulaan. Karena dengan meletakkan lintingan terakhir itu, ia memulai hidup yang baru—dengan kebebasan utuh.

Lelaki itu tak berkata. Ia hanya menatap lintingan yang perlahan habis—seperti pagi yang mengantar seorang perempuan pergi, dengan kepala tegak dan hati yang tak bisa dibeli. 


Penulis: Edhy Aruman


RUJUKAN

Rosidi, A. (1985). Roro Mendut. Jakarta: Gunung Agung

Selasa, 10 Juni 2025

Tiga Bulan Saja


Tepuk tangan bergemuruh di Forum Romanum saat Senat dengan suara bulat memilih seorang lelaki tua, jujur, dan berwibawa untuk menjadi Kaisar. 

Ia bukan bangsawan besar, bukan anak kaisar sebelumnya, melainkan anak dari seorang mantan budak yang meniti hidupnya melalui kerja keras dan kehormatan. 

Nama lelaki itu: Publius Helvius Pertinax.

Kita tahu – lewat gambar-gambar sejarah Romawi -- forum Romanum itu sejenis plaza persegi yang dikelilingi oleh sejumlah bangunan pemerintahan kuno di pusat kota Roma. 

Selama berabad-abad, tempat ini menjadi pusat kehidupan masyarakat Romawi: tempat prosesi kemenangan dan pemilihan umum; tempat pidato umum, pengadilan kriminal, dan pertandingan gladiator; dan inti dari segala aktivitas perdagangan.

Dotilah Pertinax dipilih dan diumumkan menggantikan Kaisar Commodus yang kejam dan banyak sensasi. Kaisar itu banyak bohongnya daripada kerja nyata.

Saat menerima tongkat kekaisaran, Pertinax berdiri sejenak di depan para senator, lalu menatap langit seolah mencari restu dari para dewa—atau mungkin dari suara hati nuraninya sendiri.

“Aku tidak mencari kekuasaan,” katanya pelan, nyaris berbisik, “tapi jika tak ada yang tersisa untuk menyelamatkan negeri ini kecuali seorang tua yang sudah lelah namun masih jujur, maka biarlah aku berdiri di sini.”

Pertinax mengutuk warisan Commodus. Bukan dengan kata-kata hinaan, tapi dengan menampilkan kontras. Keadilan menggantikan ketakutan, kesederhanaan melawan kemewahan, kebajikan menyaingi kebusukan.

Hari-hari awal pemerintahannya bagai embun pagi setelah malam panjang yang penuh badai. Rakyat Roma, terbiasa dengan kekacauan dan kekejaman Kaisar Commodus, nyaris tak percaya ketika mendengar kabar-kabar ini: pajak dikurangi, budak-budak dibebaskan, para tahanan politik dipulihkan kehormatannya. 

Pertinax mengembalikan seluruh kekayaan pribadinya kepada istri dan putranya. Katanya, dengan kekayaan itu, istri dan anak-anaknya tidak boleh memiliki alasan untuk menggantungkan keuntungan pada negara. 

Ia menolak gelar Augusta bagi istrinya dan Caesar bagi putranya, serta mendidik anaknya dalam kesederhanaan yang keras—bukan sebagai pewaris tahta, tapi sebagai murid kehidupan.

Ketika seorang penasihat memprotes, Pertinax menjawab dengan lirih:

“Jika aku ajarkan anakku kekuasaan sebelum ia tahu kesederhanaan, maka aku sedang menciptakan Commodus kedua.”

Wajahnya mungkin tampak keras di hadapan publik, tapi suaranya lembut dan penuh perhatian. Ia bersahabat dengan para senator berbudi luhur. Bukan karena mereka kuat, tapi karena mereka bermoral. 

Ia membuka kembali pintu pengampunan bagi mereka yang pernah dipenjara atau diasingkan secara tidak adil, dan dengan tangan yang sama ia menghukum para delator, para penuduh palsu yang selama ini menjadi alat kekuasaan tirani. 

Dalam sidang pertama sebagai kaisar, ia berujar:

“Tak ada kedamaian tanpa keadilan, dan tak ada keadilan tanpa keberanian.”

Pada suatu pagi, ia berjalan tanpa pengawal menuju sebuah rumah kecil di pinggiran Roma. Itu adalah rumah seorang pria tua yang pernah diasingkan karena difitnah oleh penguasa lama. 

Pertinax mengetuk pintu sendiri. Si pria tua membuka pintu dengan gemetar, tak percaya melihat Kaisar berdiri di hadapannya.

“Kau bukan budakku,” ujar Pertinax, “tapi aku berutang padamu karena negara ini telah mempermalukanmu. Pulanglah ke dewan, dan bawa kembali kehormatanmu.”

Air mata mengalir di wajah lelaki tua itu.

Namun tak semua menyukai perubahan. Para prajurit elit, Praetorian Guard, murka karena Pertinax tak mau “membeli” kesetiaan mereka dengan emas dan pesta. Mereka memandang disiplin sebagai ancaman, bukan perbaikan.

Maka pada hari ke-86 dari pemerintahannya, mereka datang. 

Di istana, beberapa pengawal pribadi lari ketakutan. Hanya seorang pelayan yang tertinggal, menggenggam tangan sang Kaisar dengan gemetar.

“Pergilah, selamatkan diri Anda,” bisik pelayan itu.

Pertinax menatapnya dengan damai.

“Aku tidak lari dari keadilan, mengapa aku harus lari dari ketidakadilan?”

Saat para pembunuh masuk, Pertinax berdiri tegak, mengenakan toga putih bersih. Ia tidak melawan, tidak memohon.

“Jika darahku bisa menyelamatkan Roma dari ketamakan kalian, maka biarlah ia mengalir.”

Ia gugur dalam keheningan. Tidak dengan pekikan, tidak dengan kepanikan, tapi dengan martabat yang membuat sejarah menundukkan kepala.

Sejarawan Simon Elliott menyebut Kaisar Pertinax sebagai "JFK-nya Roma" karena kemiripan mereka dalam hal asal-usul sederhana, komitmen terhadap reformasi, dan akhir tragis yang mengguncang bangsa.

Pertinax hanya berkuasa kurang dari tiga bulan. Namun lebih dari itu, ia menunjukkan bahwa kejujuran bukan kelemahan, kesederhanaan bukan kemiskinan, dan integritas tidak memerlukan waktu lama untuk bersinar.

Seorang filsuf pernah berkata, “Kehidupan yang dijalani dengan benar tidak perlu panjang, cukup dalam saja.” Pertinax tidak hanya menjalani itu. Ia menjadi itu.

Dan dalam gema sejarah, namanya tidak berbisik—ia menggema: sebagai Kaisar yang tak lama berkuasa, tetapi selamanya menginspirasi. 


Penulis: Edhy Aruman

Senin, 09 Juni 2025

Karakter Post-truth Menggema Hari-hari Ini

Berikut tulisan seorang sahabat teman sejawat ketika masih bekerja sebagai jurnalis tentang sejumlah fenomena sosial politik yang terjadi akhir-akhir ini.

Fenomena politik yang kita saksikan di sekitar kita, entah itu soal menyangkut Ijazah palsu, atau kasus izin tambang nikel di Raja Ampat akhir-akhir ini, sangat pekat dengan politisasi. Bukan menyangkut soal data atau perizinan semata. Tapi juga menjadi bagian dari lanskap komunikasi publik yang sarat dengan fenomena post-truth — di mana emosi dan identitas politik lebih menentukan sikap seseorang daripada fakta-fakta objektif.

Ketika seseorang dengan mudah menuduh pihak lain sebagai “penjilat” atau “tak tahu malu” tanpa membuka ruang untuk klarifikasi atau dialog berbasis data, itu menunjukkan bahwa opini telah dibentuk dan dikunci bukan oleh bukti, tapi oleh afiliasi politik dan narasi emosional. Inilah karakter khas era post-truth.

Lebih lanjut, situasi ini juga mencerminkan strategi komunikasi yang disebut sebagai ‘firehose of falsehood’ — dalam bentuk penyebaran masif informasi palsu atau menyesatkan dari banyak sumber sekaligus, bahkan juga “sumber intelektual” dengan volume tinggi dan pengulangan terus-menerus, sehingga membingungkan publik dan merusak persepsi tentang mana yang benar dan mana yang salah. 

Dalam konteks ini, ketika fakta dikaburkan dengan narasi yang terus-menerus diulang, publik akan kesulitan membedakan mana informasi sahih dan mana yang manipulatif. Mana yang pener, mana yang keblinger.

Pantesan saja, Dahlan Iskan, mantan jurnalis dan mantan menteri ketika ia menerima gelar doktor kehormatan, memunculkan orasi tentang “kebenaran baru”. Ia mengatakan bahwa kebenaran hari ini tidak lagi ditentukan oleh siapa yang paling benar secara substansi, tetapi siapa yang paling banyak didengar dan paling dipercaya. Apalagi itu dari kalangan intelektual datangnya. Di tengah banjir informasi dan opini, kebenaran bisa dibentuk, dikonstruksi, bahkan dibeli, asalkan memiliki panggung dan pengikut.

Karena itu, yang dibutuhkan saat ini bukan hanya klarifikasi fakta atau pembuktian data, tapi juga ketahanan berpikir kritis dan keberanian untuk tetap waras di tengah “semburan kebohongan” yang membentuk opini publik. Kita harus kembali menempatkan kebenaran sebagai fondasi, bukan sekadar narasi yang menang dan lantang di ruang echo chamber politik. Harus berani berbeda pendapat. Perlu disensus, ketimbang konsensus dalam ‘amok kebohongan’ yang jelas bertendensi tujuan politik.

Yang dibutuhkan saat ini bukan hanya klarifikasi fakta atau pembuktian data, tapi juga ketahanan berpikir kritis dan keberanian untuk tetap waras di tengah “semburan kebohongan” yang membentuk opini publik. Kebenaran itu bukan sekadar narasi yang menang di ruang echo chamber politik… (sha)

Sabtu, 07 Juni 2025

Prasangka


Tahun 1983, Lynne Twist – penulis buku The Soul of Money mengunjungi Mumbai. Di bandara dia disambut langsung oleh pengundangnya, Ramkrishna Bajaj . Dia itu tokoh terhormat, industrialis konglomerat, dan dermawan besar India.

Perjalanan menuju kediaman Ramkrishna Bajaj, Twist melihat hiruk pikuk manusia, mendengar suara klakson, dan menyaksikan gubuk-gubuk yang menempel di setiap sisi jalan. Selama itu,  Twist mengamati kongklomerat Bajaj bijak ini dengan penuh hormat. 

Dia juga sempat berjalan berdampingan dengan seorang pria yang dijuluki “anak kelima Gandhi" di jalanan utama Mumbai. Julukan itu melekat di dia karena kedekatan batin dengan Mahatma Gandhi dan totalitasnya dalam menjalani hidup berdasarkan nilai-nilai Gandhian.

Dia menjalani ahimsa (tanpa kekerasan), satyagraha (perjuangan kebenaran), swadeshi (kemandirian), dan pelayanan sosial.

Namun hari itu, Twist melihat sesuatu yang lain. Bertolak belakang, pikirnya. Yang membuat sebuah kebenaran seakan goyah. 

Ketika melewati jalanan dari bandara ke kediaman Ramkrishna, dia menyaksikan sang konglomerat itu tidak melihat sedikitpun pada para pengemis yang berbaring di trotoar. 

Dia tidak menoleh pada tangan-tangan kecil yang menggapai. Bahkan dia tidak memberi reaksi pada tangisan bayi-bayi yang kelaparan. Ia berjalan melewati mereka seolah mereka tak ada.

Twist, yang selama itu mendedikasikan hidupnya untuk mengakhiri kelaparan dunia, merasa terbelah. Bagaimana bisa seorang yang begitu mulia, kaya dan dermawan itu menutup mata terhadap penderitaan nyata? 

Namun, dengan cepat menemukan kejelasan. Di balik kebutaan itu ada perlindungan. Perlindungan terhadap hati yang terlalu sering patah karena menyaksikan kesengsaraan setiap hari (Twist, 2003).

Ramkrishna Bajaj tampak tidak peduli bukan karena hatinya keras, tetapi karena ia terlalu sering melihat penderitaan, sampai hatinya perlu “melindungi diri.” 

Ramkrishna tak mau membiarkan dirinya merasakan setiap tangisan dan luka yang ia temui, hatinya bisa hancur. Jadi, “kebutaan” itu adalah cara bertahan—bukan karena ia tak peduli, tapi justru karena ia terlalu peduli dan harus tetap kuat untuk bisa terus membantu.

Hari-hari berikutnya di India membuka matanya tentang wajah uang yang belum pernah ia bayangkan. Ia menyaksikan kenyataan pahit bahwa kemiskinan, di beberapa titik, telah menjadi industri. 

Anak-anak dimutilasi agar lebih “efektif” dalam meminta belas kasihan. Keluarga-keluarga, didorong oleh ketidakberdayaan, terkadang dengan sadar mengorbankan tubuh anak-anak mereka demi sesuap nasi. 

Bukan sekadar penderitaan—ini adalah sistem. Sebuah konspirasi sunyi antara belas kasihan, penderitaan, dan kebutaan kolektif. Ia pun tersadar: bukan hanya kekayaan yang bisa merusak jiwa, kemiskinan juga mampu mereduksi cinta menjadi transaksi (Twist, 2003).

Namun, kisah Ramkrishna Bajaj tidak berhenti di sana. Ia bukanlah orang yang mengabaikan penderitaan, melainkan seseorang yang memilih untuk mengelolanya dengan sistem dan nilai. 

Sebagai pejuang kemerdekaan, ia telah mengorbankan masa mudanya, dipenjara selama empat tahun karena keterlibatannya dalam gerakan Quit India (Kamath, 1995). Ia belajar Sansekerta dari Vinoba Bhave di dalam penjara, memperkuat fondasi spiritual yang kemudian membimbing kiprahnya dalam dunia sosial dan industri.

Di tengah dunia yang mudah tergoda oleh laba, Ramkrishna Bajaj justru menekankan integritas dan etika. Ia memimpin Bajaj Group bukan untuk mengejar keuntungan semata, tetapi sebagai wadah pelayanan publik. 

Ia memperjuangkan perdagangan yang adil dengan mendirikan Council for Fair Business Practices dan Advertising Standards Council of India, menolak segala bentuk manipulasi dan eksploitasi dalam bisnis (FICCI, 1994).

Di dunia pendidikan dan filantropi, ia menjadi teladan. Melalui Jamnalal Bajaj Foundation, ia membangun sistem dukungan yang memperkuat masyarakat dari bawah—bukan sekadar menyantuni, tapi memberdayakan. 

Sebagai Ketua Shiksha Mandal di Wardha, ia memperluas akses pendidikan dan mendorong integrasi nilai-nilai Gita dalam pendidikan anak-anak.

Ramkrishna Bajaj wafat pada 1994, tetapi warisannya hidup terus. IMC Ramkrishna Bajaj National Quality Award yang didirikan dua tahun setelah wafatnya, menjadi bukti nyata komitmennya terhadap keunggulan berbasis etika. 

Ia dikenang bukan sebagai pemilik kekayaan besar, melainkan sebagai penjaga nilai yang teguh. Bagi banyak orang, ia bukan hanya industrialis—ia adalah hati nurani yang berjalan di tengah sistem, mencoba tetap jernih di tengah kemelut uang dan ketidakadilan.

Kisah Lynne Twist dan Ramkrishna Bajaj terselip pesan inspiratif yang kuat: jangan mudah berprasangka terhadap sikap yang tampak dingin atau tidak peduli. Kadang, apa yang terlihat seperti ketidakpedulian sebenarnya adalah cara seseorang bertahan agar tetap bisa membantu dalam jangka panjang.

Ramkrishna Bajaj bukan menutup mata karena cuek, tapi karena terlalu banyak melihat penderitaan, dan jika ia menyerap semuanya, ia tak akan mampu berdiri. Ia memilih diam bukan karena tak punya hati, tapi karena ia menjaga agar hatinya tetap utuh untuk bisa terus melayani. 

Inspirasi ini mengingatkan kita untuk menggali lebih dalam sebelum menilai orang lain, karena kebaikan sejati sering bekerja dalam keheningan yang tidak mencolok.

Melalui pengalaman Lynne Twist, kita diajak melihat dimensi yang lebih dalam: kadang, yang tampak seperti ketidakpedulian adalah cara bertahan dari kepekaan yang terlalu tajam. Ramkrishna Bajaj bukanlah orang yang menutup mata karena acuh, tapi karena hatinya telah remuk berkali-kali oleh penderitaan yang tak henti.

Ia mengajarkan bahwa memberi bukan soal reaksi emosional sesaat, tapi soal membangun sistem yang mencegah penderitaan itu tumbuh subur. 

Penulis: Edhy Aruman