Pasar mulai padat ketika matahari baru naik sejengkal. Di antara deretan penjual ikan, sayur, dan kain batik, seorang perempuan muda berjalan anggun.
Baki bambu di tangannya berisi rokok lintingan. Rambutnya disanggul rapi, kainnya bersih, matanya jernih meski menyimpan lautan yang tak bisa dibaca.
"Rokok, Gusti?" suaranya lembut, nyaris seperti tembang.
Seorang bangsawan muda menoleh. "Ah, Roro Mendut," sapa lelaki itu sambil tersenyum. "Hari ini aku datang bukan karena rokokmu. Tapi karena kau."
Roro Mendut tersenyum tenang. "Kalau begitu, Gusti tidak perlu membeli. Karena yang hamba jual hanya rokok."
"Tapi tak ada lintingan yang selembut ini. Apa rahasianya?"
Ia menatap lelaki itu sejenak. "Doa, dan ketabahan."
Roro Mendut menjual rokok bukan semata demi kebutuhan, tapi demi pilihan. Setelah menolak dijadikan selir oleh Ki Tumenggung Wiroguno, ia keluar dari keraton dan kehilangan seluruh kenyamanan yang dulu ia miliki.
Dalam karya sastra Ajip Rosidi, Wiroguno digambarkan sebagsai sesorang yang memiliki keberanian, kebijaksanaan, dan kesetiaannya yang tak tergoyahkan. Dia bukan hanya dihormati oleh para bangsawan dan rakyat jelata, tetapi juga dicintai oleh Sang Sultan dari Mataram.
Wiroguno mengawali pengabdiannya dari posisi rendah, namun perlahan menapaki tangga kepercayaan dengan kerja keras dan dedikasi luar biasa. Ia dikenal sebagai prajurit tangguh yang tak segan berada di barisan terdepan, bahkan rela menjadi tameng hidup bagi Sultan.
Kesetiaannya tak sekadar ucapan, tetapi terbukti dalam setiap medan tempur yang dilalui, di mana banyak negeri kecil berhasil ia taklukkan dan persembahkan kepada junjungannya.
Atas segala jasanya, Sultan Agung menganugerahkan gelar Tumenggung kepada Wiroguno, sekaligus menjadikannya wedana—pemimpin para bupati seantero Mataram. Sebuah kehormatan yang tak sembarang orang bisa raih.
Wilayah kekuasaannya dikenal dengan nama Wirogunan, sebuah tempat yang kelak menjadi simbol kebesaran dan keteladanannya.
Wiroguno juga mendapat hadiah berupa Roro Mendut dari Sultan. Namun, hubungan mereka menjadi rumit karena Roro Mendut menolak untuk menjadi istri atau selir Ki Tumenggung, meskipun ia telah diberi banyak kemewahan.
Penolakan ini menimbulkan konflik karena Ki Tumenggung merasa dipermalukan dan marah besar atas keberanian Roro Mendut yang dianggap lancang sebagai wanita kelas bawah (anak tukang bakul) yang menolak seorang pejabat tinggi kerajaan.
Konflik ini bukan hanya menggambarkan ketegangan pribadi, tapi juga benturan nilai-nilai—antara kekuasaan yang menganggap semua bisa dimiliki, dan kehendak bebas seorang perempuan yang menuntut hak atas dirinya sendiri.
Keputusan Roro Mendut menolaknya bukan tanpa risiko. Dunia di sekelilingnya tidak memberi banyak pilihan bagi perempuan yang berani berbeda. Namun, dari keterbatasan itulah ia menemukan jalan perlawanan yang sederhana tapi penuh makna.
Ia memilih menjual lintingan, rokok dari daun jagung dan tembakau, karena itu satu-satunya cara ia bisa hidup tanpa menjual dirinya. Ia tidak sekadar mencari nafkah, ia mempertahankan kehormatan.
Namun lebih dari itu, Roro Mendut menjual dengan hati. Ia membangun hubungan dengan pelanggannya, bukan sekadar menjajakan barang, tetapi menyentuh emosi mereka dengan ketulusan.
Inilah kekuatan dari Emotional Selling : memahami emosi, membangun koneksi, dan menawarkan lebih dari sekadar produk—yakni kepercayaan dan kenyamanan (Mayer & Salovey, 1997; Goleman, 1998).
Penelitian membuktikan bahwa kecerdasan emosional (emotional intelligence/EI) bukan hanya meningkatkan adaptasi penjual terhadap situasi pelanggan, tapi juga menciptakan loyalitas yang lebih tinggi melalui pendekatan yang empatik dan personal (Dulewicz et al., 2005; Wisker & Poulis, 2015).
Dalam hal ini, Roro Mendut jauh lebih maju dari zamannya. Dengan intuisinya, ia telah mempraktikkan seni menjual dengan hati.
"Kau tahu risikonya. Dia bisa menghancurkanmu," kata lelaki itu.
"Biarlah," bisiknya. "Lebih baik tubuh ini hancur karena mempertahankan kehormatan, daripada utuh tapi hampa."
Angin pagi menyapu pasar. Sejenak keduanya terdiam.
Lelaki itu mengambil satu lintingan dan menyalakannya. "Rokokmu hari ini terasa lebih dalam."
Roro Mendut menatap jauh ke arah langit. "Karena ini lintingan terakhir. Besok hamba akan pergi dari kota ini. Menuju tempat yang tidak menuntut perempuan untuk menjual diri agar dianggap berarti."
Lintingan terakhir ini bukan hanya penutup dagangan, tapi pernyataan: bahwa hidup bisa dipilih, bahwa kehormatan bukan untuk ditukar, dan bahwa perempuan punya suara, bahkan jika hanya disampaikan lewat sebatang rokok yang perlahan terbakar.
Ia tidak lari—ia pergi dengan kepala tegak. Lintingan itu adalah jejak terakhir di tanah yang coba mengubur dirinya. Sebuah simbol penghabisan, namun juga permulaan. Karena dengan meletakkan lintingan terakhir itu, ia memulai hidup yang baru—dengan kebebasan utuh.
Lelaki itu tak berkata. Ia hanya menatap lintingan yang perlahan habis—seperti pagi yang mengantar seorang perempuan pergi, dengan kepala tegak dan hati yang tak bisa dibeli.
Penulis: Edhy Aruman
RUJUKAN
Rosidi, A. (1985). Roro Mendut. Jakarta: Gunung Agung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar