Herman Melville membuka Moby-Dick dengan kata-kata sederhana namun penuh makna: "Call me Ishmael." Sebuah undangan bagi pembaca untuk menyelami cerita epik yang penuh obsesi, dendam, dan kehancuran. Di tengah samudra yang luas, kita bertemu Kapten Ahab, seorang pria tua yang karisma dan kebenciannya menyatu menjadi nyala api. Dengan kapal Pequod, ia memimpin awaknya untuk memburu seekor paus putih raksasa bernama Moby Dick — makhluk yang baginya lebih dari sekadar binatang. Moby Dick adalah lambang kekuatan tak terlihat yang, dalam pandangan Ahab, mempermainkan penderitaan manusia.
Narasi ini dibawakan oleh Ishmael, seorang pelaut muda yang gelisah, mencari pelipur di lautan. Ia bergabung dengan awak Pequod bersama Queequeg, seorang harpuner eksotis dengan tato yang melingkupi tubuhnya. Hubungan mereka menjadi simbol persatuan manusia yang melampaui ras, agama, dan budaya. Ketika mereka berlayar, barulah sosok Ahab muncul, seorang kapten pincang dengan pandangan gelap dan suara yang mampu menundukkan hati setiap orang di sekitarnya.
Misi Ahab bukanlah perburuan paus biasa. Ia ingin mengalahkan Moby Dick untuk membuktikan bahwa manusia tidak sepenuhnya tunduk pada nasib. Tetapi obsesi itu perlahan menggerogoti dirinya, menjadikannya seorang tiran yang buta akan realitas. Beberapa, seperti Starbuck, perwira pertama yang religius dan rasional, berusaha mengingatkan Ahab bahwa kebencian terhadap sesuatu yang tidak dapat dimengerti adalah bahaya terbesar. Namun suara logika tenggelam di bawah badai dendam Ahab.
Moby Dick jarang muncul, tetapi kehadirannya merasuki setiap sudut cerita. Ia adalah dewa yang tenang dan tak terjangkau, simbol misteri alam semesta yang menolak untuk dijelaskan. Ahab membencinya karena paus itu adalah cerminan ketidakpastian, sesuatu yang tak bisa dikontrol atau dipahami. Dan kebencian itu membawa Pequod pada kehancuran. Setelah berbulan-bulan melaut, mereka akhirnya bertemu Moby Dick. Dalam tiga hari perburuan, paus itu menghancurkan kapal, membunuh awaknya, dan menyeret Ahab ke kedalaman laut. Hanya Ishmael yang selamat — terapung di atas peti mati Queequeg — untuk menjadi saksi dan penutur tragedi ini.
Kisah Ahab bukan sekadar cerita fiksi. Sosoknya kini menjelma dalam rupa perdana menteri Israel, Benjamin Netanyahu. Sejak awal kariernya, Netanyahu menjadikan Iran sebagai "paus putih" geopolitik yang harus dikalahkan. Baginya, Iran adalah ancaman eksistensial: pengembang senjata nuklir, pendukung terorisme, penyebar kebencian. Di panggung dunia, ia berdiri seperti Ahab, memegang harpun diplomatik dan militer, menatap horison, siap menyerang.
Namun seperti Ahab, obsesi Netanyahu juga memiliki harga. Ketika Hamas menyerang Israel pada 7 Oktober 2023, Netanyahu melihat kesempatan untuk memukul poros Iran: Gaza, Beirut, Damaskus. Tetapi respons Iran datang langsung — rudal dan drone menghujani Israel. Kota-kota seperti Tel Aviv dan Haifa kini menghadapi kekacauan yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Sirene berbunyi tanpa henti, ledakan menggetarkan tanah, rasa aman menghilang.
Netanyahu, seperti Ahab, melihat musuhnya sebagai entitas metafisik, bukan aktor rasional. Dalam kebenciannya, ia kehilangan kemampuan untuk membaca perubahan zaman, menyeret rakyatnya ke dalam konflik yang tidak lagi bisa dikendalikan. Sementara itu, dunia mulai mempertanyakan legitimasi Israel. Demonstrasi bermunculan di Barat, Mahkamah Pidana Internasional membuka penyelidikan, dan kepercayaan publik runtuh. Namun Netanyahu tetap teguh, percaya bahwa satu-satunya jalan keluar adalah dengan menusukkan harpun terakhir ke "paus putih" itu — Iran.
Dalam Moby-Dick, hanya Ishmael yang selamat. Ia adalah saksi yang selamat untuk menceritakan kisah kehancuran itu. Mungkin Ishmael di dunia nyata adalah rakyat Israel yang mulai bertanya: apakah semua ini sepadan? Atau mungkin Ishmael adalah dunia luar, yang mengamati tragedi ini dari kejauhan, mencatat, dan memperingatkan: hati-hati, jangan menjadi Ahab.
Melville memulai novelnya dengan kutipan dari Ayub: “Cuma aku yang bisa lolos agar aku bisa bercerita.” Tragedi besar meninggalkan satu saksi, bukan untuk menang, tetapi untuk menjadi penutur. Jika Netanyahu terus melangkah tanpa mendengar suara waras di sekitarnya, takdirnya bisa jadi tak berbeda dari Ahab: tenggelam bersama dendam yang tidak pernah bisa ditebus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar