Indonesia bukan negara yang kekurangan pertumbuhan. Ia tumbuh, seperti pohon tua yang menjulang di tengah ladang gersang. Tapi dari akar hingga dahan, tak semua mendapat cahaya dan air yang sama.
Di balik pidato tentang stabilitas dan data yang dirapikan, tersembunyi kenyataan yang terus berulang: segelintir tumbuh terlalu tinggi, sementara mayoritas dipaksa puas menjadi akar yang tak pernah menyentuh langit. Mereka yang tumbuh terlalu tinggi itu bukan semata pekerja keras biasa mereka adalah bagian dari struktur kekuasaan ekonomi-politik yang makin mengeras yaitu oligarki.
Satu Persen Menggenggam, Sembilan Puluh Sembilan Persen Bertahan. Laporan dari Credit Suisse dan Oxfam menyebutkan bahwa lebih dari 45% kekayaan nasional dikuasai oleh hanya 1% populasi Indonesia. Bahkan dalam daftar orang terkaya Indonesia, kekayaan satu konglomerat bisa setara dengan gabungan pengeluaran berjuta-juta warga kelas pekerja. Ini bukan sekadar ketimpangan ekonomi, ini adalah distribusi kuasa.
Di negeri ini, konglomerasi bukan sekadar bisnis, melainkan jaring laba-laba yang membungkus politik, media, hingga regulasi. Mereka mendanai pemilu, menyusun narasi publik, bahkan menekan arah kebijakan agar berpihak pada kelangsungan bisnis mereka, bukan kelangsungan hidup rakyat.
Hukum yang bisa dibeli, dan keadilan yang bisa diatur. Dalam struktur negara yang sehat, hukum adalah penyeimbang kekuasaan. Tapi dalam sistem yang dikuasai oligarki, hukum adalah alat. Ia tajam ke bawah, tegas pada pencuri ayam, keras kepada pedagang kecil. Tapi tumpul ke atas, lembek kepada pelanggar HAM, koruptor, dan penyeleweng pajak.
Kita menyaksikan korupsi triliunan yang berakhir dengan hukuman ringan atau bahkan bebas bersyarat. Kita melihat kasus-kasus hukum besar menguap di udara, atau berakhir dengan "restorative justice" yang tak pernah tersedia untuk rakyat miskin. Sementara itu, petani yang mempertahankan tanahnya, buruh yang menuntut upah, atau aktivis yang bersuara kritis diintimidasi, dikriminalisasi, bahkan dipenjara.
Di sini kita paham: hukum bukan lagi alat keadilan, tapi kadang justru alat bagi kekuasaan.
Pertumbuhan yang disandera Elit dapat dilihat dari Gini Ratio Indonesia yang naik ke 0,381 pada September 2024, di tengah klaim pertumbuhan ekonomi, menunjukkan bahwa pertumbuhan itu semakin eksklusif. Kelas menengah yang dulu digadang-gadang sebagai penyangga demokrasi, kini justru menyusut. Dari 60 juta menjadi hanya 47 juta dalam enam tahun terakhir. Mereka tersingkir pelan-pelan, tergantikan oleh struktur ekonomi yang dikendalikan oleh segelintir grup besar. Ketika lapangan kerja didominasi kongsi-kongsi elite, dan UMKM hanya dijadikan alat pencitraan politik, maka keseimbangan struktural mustahil tercipta.
Filosofi Keadilan yang Hilang
Pertanyaan filosofis pun muncul:
Apakah arti demokrasi, jika suara hanya bisa dibeli?
Apakah arti keadilan, jika hanya untuk yang berpunya?
Dan apa arti kemajuan, jika hanya memanjakan mereka yang sudah di atas?
Indonesia hari ini seperti rumah mewah dengan atap bocor. Dari luar tampak gagah, dari dalam tak nyaman dihuni dan ironisnya, yang membangun rumah itu justru tak diizinkan tinggal di dalamnya.
Bangsa Ini Perlu Ditegakkan, Bukan Sekadar Dikelola. Kita tak butuh lebih banyak janji. Kita butuh nyali untuk memutus lingkaran setan oligarki, untuk membalik sistem ekonomi-politik yang selama ini bekerja bukan untuk rakyat, tapi untuk para pemilik modal.
Kita perlu:
Reformasi hukum yang benar-benar independen dari kuasa ekonomi-politik.
Pemisahan nyata antara konglomerasi dan negara.
Distribusi kekayaan yang adil, dengan pajak progresif dan perlindungan sektor riil.
Pekerjaan bermartabat dan jaminan sosial universal untuk memperkuat kelas menengah sebagai penyangga demokrasi.
Media dan pendidikan yang tidak tunduk pada sponsor dan kekuasaan, tapi berpihak pada kebenaran dan rakyat.
Menuju Negara yang Adil, Bukan Sekadar Aman
Kita telah terlalu lama terjebak dalam ilusi bahwa pertumbuhan adalah solusi segala masalah. Tapi kenyataannya, tanpa keadilan dan pemerataan, pertumbuhan hanya melanggengkan dominasi segelintir orang atas yang lain.
Negara ini tidak boleh diwariskan pada segelintir elite yang bisa membeli hukum dan menggenggam kebijakan.
Negara ini harus dibangun kembali: dari suara rakyat, untuk kepentingan rakyat, demi masa depan rakyat.
Karena kemerdekaan sejati bukanlah berdiri di bawah bendera,
tetapi berdiri dengan kepala tegak di hadapan hukum yang adil, ekonomi yang manusiawi, dan negara yang tak bisa dibeli.
Bandung, 12 Juli 2025
Tulisan diambil dari grup WA NPA yang ditulis oleh Dwi Guna Mandhasiya