Tampilkan postingan dengan label buku digital. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label buku digital. Tampilkan semua postingan

Selasa, 01 Juli 2025

Tiga Puluh Tiga


Usia 33 kerap disebut sebagai salah satu tonggak istimewa dalam perjalanan hidup manusia. Bukan sekadar angka, 33 memuat lapisan simbolisme spiritual, sejarah, dan energi transformatif yang melampaui hitungan waktu biasa. 

Dalam tradisi numerologi modern, 33 dikenal sebagai Master Number , yang kerap dijuluki sebagai Master Teacher.

Angka ini beresonansi dengan energi kasih sayang, keberkahan, inspirasi, kejujuran, keberanian, dan disiplin diri. Lebih dari itu, 33 diyakini sebagai angka yang mengingatkan manusia bahwa "semua hal adalah mungkin" ( all things are possible ) serta melambangkan bimbingan dalam perjalanan hidup

Mirip dengan cerita-cerita para pesohor di industri teknologi informasi, lembaga pendidikan LSPR dimulai dari sebuah ruangan kecil. Ketekunan, kegigihan, kesabaran, dan karakter humanis Prita Kemal Gani membuat LSPR makin kokoh dan terkenal.

Tiga puluh tiga tahun lalu, dimulai dari sepetak ruangan berukuran 12 m2 di Gedung WTC Jl. Sudirman, Jakarta, Prita membuat training school di bidang public relations (PR). Ruang seukuran itu hanya cukup untuk menempatkan meja pegawai penerima murid. Berada di antara ruang lainnya di gedung (saat itu) yang berkelas internasional, ruangan tersebut tidak menonjol.

Mirip dengan cerita-cerita para pesohor di industri teknologi informasi, lembaga pendidikan LSPR tidak langsung besar. Kiprahnya dalam pengembangan ilmu dan pofesi PR dimulai dari kecil, bahkan sangat kecil. Untuk ruang kelasnya, karena sebenarnya saat itu belum memiliki ruang kelas, Prita menyewa ruangan kelas di WTC secara jam-jaman.

Keterbatasan itu membutuhkan kreativitas, terutama dalam pengaturan kelas jam belajar. Tim Prita yang saat itu tidak sampai lima orang harus memutar otak mengatur ruangan. Tidak mudah, apalagi saat itu hampir semua pesertanya adalah pekerja. 

Jadinya, kelas dan jam pembelajarannya diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu pekerjaan peserta. Untuk kelas awal kursus, misalnya, ditetapkan selama tiga bulan dengan jadwal belajar dua kali seminggu, misalnya Senin dan Kamis, sehabis jam kantor pukul 18.30-21.00.

Langkah kecil ini ternyata membuka peluang. Peserta dimulai dari 30 orang dan terus bertambah hingga peserta yang ingin mendaftar harus masuk daftar tunggu.

Saat itu, seperti dituturkan Prita dalam buku ini, PR terbilang ilmu baru. Kebanyakan peserta adalah pekerja yang ingin memperluas wawasan tentang PR. Training memberikan ilmu yang fokus di bidang PR, mulai dari basic PR, pembuatan program dan perencanaan PR, media relations, PR strategy dan tactic, serta penulisan PR.

Kini lembaga kursus itu berkembang menjadi Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR, dan telah meluluskan hampir seratus ribu sarjana S-1 dan S-2. Di antara mereka terdapat pesohor seperti Prilly Latuconsina; Angkie Yudistia, Staf Khusus Presiden Republik Indonesia; dan Audrey P Puetriny, Deputy Chief of Corporate Affairs Gojek. Ada juga pesohor lain, termasuk Duta Besar Indonesia untuk Beijing Djauhari Oratmangun.

Kampus LSPR berada di Sudirman Park, Jakarta; Transpark Bekasi, dan Bali. Mahasiswanya berasal dari berbagai wilayah di Indonesia dan luar negeri.

Perjalanan menuju sukses sangat panjang dan penuh liku. Untuk mendapatkan nama LSPR, misalnya, prosesnya tidak semudah yang diduga orang. Sebelum mendapatkan nama LSPR (The London School of Public Relations), Prita pernah mempunyai rencana ―dan itu sudah hampir setengah jalan― bekerjasama dengan seorang warga negara asing. Maksud Prita adalah menjalin kemitraan guna membesarkan lembaga pendidikan yang mempunyai kekhususan di bidang PR ini.

Namun, setelah melewati berbagai diskusi, kemitraan itu tidak terwujud. Prita dan calon mitranya tidak sepakat. Meski demikian, Prita tak patah semangat. Penerima gelar doktor kehormatan di bidang PR dari Coventry University, Inggris, ini kukuh mewujudkan mimpinya mempunyai lembaga pendidikan PR. Kegagalan itu membuatnya makin bersemangat dan rajin berdiskusi dengan sang suami, Kemal Effendi Gani, sehingga membuahkan hasil dengan pemilihan nama LSPR Jakarta.

Setelah LSPR berdiri pada 1992, Prita terus berusaha keras memajukannya. Salah satu pencapaiannya adalah mendapatkan izin pemerintah untuk menaikkan status LSPR dari lembaga kursus ke tingkat yang lebih tinggi.

Namun, tantangan tetap muncul. Tahun 1998, Indonesa mengalami krisis ekonomi, bahkan multidimensi karena terjadi juga krisis politik. Nilai dolar yang semula hanya Rp 2.500 melejit menjadi Rp 16.900. Harga-harga barang dan inflasi membubung tinggi.

Salah satu dampaknya adalah banyak pelajar Indonesia yang sekolah di luar negeri pulang ke Tanah Air, dan mahasiswa Indonesia yang berencana kuliah di luar negeri batal. Situasi ini ternyata berdampak positif bagi perkembangan LSPR. Banyak calon mahasiswa yang mendaftarkan diri ke LSPR. Ini juga membangkitkan semangat Prita untuk terus meningkatkan dan mengembangkan LSPR.

Pada tahun 1999, secara resmi LSPR berubah status dari lembaga kursus menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi The London School of Public Relations (STIKOM LSPR). Nama itu dipilih karena Prita sempat menuntut ilmu PR di London. Itu sebabnya, banyak kurikulum yang diberlakukan di LSPR merupakan adaptasi dari pendidikan PR dari London.

Pada 1999 itulah mahasiswa LSPR datang bagaikan air mengalir dari keran yang terbuka ke sebuah kolam besar atau telaga, yakni LSPR. Setelah beberapa lama menempati kampus di Intiland Tower (Wisma Dharmala Sakti), Jalan Sudirman, gedung yang banyak mendapat pujian karena desainnya itu tidak bisa lagi menampung mahasiswa yang semakin banyak.

Akhirnya, sebagian pindah ke Gedung Dewan Pers di Jl. Kebon Sirih. Masih belum menampung jumlah mahasiswa yang semakin banyak ―sering membuat kemacetan― akhirnya sebagian lagi berkuliah di kampus di Gedung Bimantara selama beberapa tahun.

Kepindahan sebagian itu selain karena terbatasnya daya tampung di Kampus Dewan Pers, ada cerita lain di baliknya. Suatu malam, plafon salah satu ruangan kampus di Dewan Pers ambruk dan jatuh di tengah kelas. Untunglah, tidak menimbulkan korban. Saat itulah, tekad Prita makin bulat untuk mencari tempat baru yang lebih layak.

Suatu hari, Prita bersama sang suami melewati Sudirman Park di Jl. K.H. Mas Mansyur, Jakarta. Mereka melihat di situ ada pembangunan apartemen dan ruko. Di depannya terpampang promo penjualan ruko dengan harga perdana. Mereka pun mampir. Ternyata, mereka tergerak membeli ruko yang kemudian didesain kembali menjadi bangunan kampus yang cantik untuk menampung mahasiswa yang semakin banyak.

Mereka membeli dua ruko yang uang mukanya dibayar dengan dua kartu kredit. Namun, itu tak berlangsung lama karena beberapa waktu kemudian ―sebelum proyek itu rampung― mereka melengkapi dua ruko tadi menjadi 18 unit. Inilah yang menjadi kampus LSPR pertama.

Lembaga pendidikan dan jumlah mahasiswa LSPR terus berkembang. Tahun 2019, LSPR membangun kampus baru ―sebuah gedung yang tinggi dan nyaman untuk mahasiswa belajar dan beraktivitas― di Transpark Bekasi. Ini merupakan berkat uluran tangan pengusaha Chairul Tanjung yang memberi kemudahan dalam kepemilikannya.

Tiga puluh tahun sejak berdiri, nama LSPR disempurnakan. Saat ini LSPR terdaftar di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi sebagai Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR. Rebranding pun dilakukan dengan nama LSPR Institute of Communication & Business.

Kesuksesan LSPR mencerminkan gaya kepemimpinan Prita yang selalu mengedepankan sisi kemanusiaan, antara lain penghargaan dan hormat kepada kedua orang tua.

“Sejak kecil saya mengagumi sosok seorang guru. Kehadirannya ditunggu, suaranya didengarkan, dan sosoknya dimuliakan. Seorang guru tampil hebat, karena memiliki jawaban dari semua pertanyaan murid-murid di hadapannya,” kata Prita. Maka, ketika sudah bekerja sebagai seorang profesional, di dalam dirinya tetap ingin mewujudkan keinginan menjadi seorang pendidik.

Namun, yang tak kalah menarik adalah episode-episode kehidupan Prita sebagai seorang pemimpin. Ia menganggap pegawai serta pendidik di LSPR adalah keluarga. Ia mengibaratkan mendirikan LSPR seperti membangun sebuah rumah tangga. “Sejak awal saya selalu yang terdepan memperjuangkan pegawai. Tak jarang saya menjual perhiasan untuk membayar gaji dosen. Semua kami lakukan bersama-sama, hasilnya kami nikmati bersama,” katanya.

“Mungkin bekerja sebagai pendidik jumlah penghasilannya tidak berlebihan, namun kami memiliki kebahagiaan yang tak bisa dibeli dengan uang,” ungkap Prita. Dalam jajaran tim LSPR saat ini, banyak posisi penting yang dibina dari awal. “Banyak dari mereka yang kini menduduki posisi-posisi penting di LSPR awalnya adalah mahasiswa dan kami sekolahkan hingga meraih gelar Ph.D,” katanya. 

Penulis: Edhy Aruman

Sabtu, 21 Juni 2025

Memo Itu Menyelamatkan Nyawa


Katharine Gun adalah penerjemah bahasa Mandarin di Government Communications Headquarters (GCHQ) Inggris. 

Di balik kesunyiannya itu, dia menyaring ribuan koridor elektronik.

Dia menerjemahkan, menyusun, dan memahami rahasia negara.

Tapi pada 31 Januari 2003, hidupnya berubah selamanya ketika memo Top Secret//COMINT//X1 dari National Security Agency (NSA) AS tiba di antarmukanya .

Selama ini, Katharine menjalaninya sebagai rutinitas biasa: bangun pagi, meneguk kopi, lalu menyelami dokumen intelijen. 

Namun, pagi yang dingin itu, sebuah pesan dari Frank Koza, Kepala Staf Pertahanan Regional NSA, terkuak: NSA dan GCHQ diminta melakukan operasi spionase rahasia untuk memanipulasi suara anggota Dewan Keamanan PBB; Angola, Bulgaria, Kamerun, Chili, Guinea, dan Pakistan, agar mendukung resolusi perang Irak. 

“It was quite cold that Friday morning… I felt quite excited—no, more shocked than anything else,” kenang Katharine, saat mengetahui operasi ilegal itu .

Hatinya bergejolak. Ia selalu percaya bahwa intelijen seharusnya hanya mengumpulkan fakta, bukan menghancurkan kedaulatan diplomatik. 

Ia merenung: jika publik tahu bahwa Presiden AS George Bush dan Perdana Menteri Inggris Tony Blair diam-diam menekan suara-suara penentang dengan cara kotor, mungkin invasi itu bisa dicegah. 

“What I hoped,” ujarnya kemudian, “was that people would see what was happening and be so disgusted that nobody would support the war in Iraq… And I even hoped that the US general public would somehow realize that they were being dragged hook, line, and sinker into the war”.

Keputusan moral itu tiba-tiba—segera setelah membaca memo, Katharine menyelinapkan selembar salinan ke dalam tas tangan. 

Dia mencari satu orang yang bisa dia percaya untuk meneruskan pesan itu: teman karibnya—sebut saja “Jane” — yang diketahui memiliki koneksi ke jurnalis investigasi. 

Tanpa ragu, Katharine mengirim memo itu melalui email, berharap anonimitasnya terjaga .

Memo itu berpindah tangan dengan cepat. Jane menyerahkan naskahnya kepada wartawati Yvonne Ridley, yang menandainya sebagai dokumen otentik dan menghubungi Martin Bright, editor The Observer. 

Setelah tiga minggu verifikasi yang penuh gentar, termasuk usaha membuktikan keaslian serta mempertimbangkan potensi risiko hukum, The Observer mempublikasikan seluruh memo Koza pada 2 Maret 2003 itu. 

Editor Bright kemudian mengakui, “More of a concern to us was that we would be joined in the prosecution. To publish is an offence under the Official Secrets Act as well … So they preferred to take on the little guy—in this case, little woman—rather than us big guys” .

Keesokan harinya, panggilan dari GCHQ datang. Katharine ditanyai di departemen keamanan, lalu diserahkan ke polisi Metropolitan. 

Di ruang tahanan Cheltenham, ia digelandang tanpa gelang dan diborgol, merasakan dinginnya sel beton. 

Ia pun memutuskan untuk jujur: _“I have only ever followed my conscience,” tegasnya. 

Dia mengaku pembocoran memo demi menghentikan perang ilegal yang akan merenggut ribuan nyawa sipil dan tentara Inggris .

Proses peradilan berlangsung dramatis. Tim pembela dari organisasi hak asasi Liberty mengajukan “Advance Notice of Defence Statement” yang menuntut pengungkapan dokumen pendukung pandangan bahwa perang Irak tanpa resolusi baru PBB melanggar hukum internasional . 

Saat itulah pemerintah terjepit, membuka kemungkinan terbongkarnya nasihat hukum Lord Goldsmith tentang legalitas invasi. 

Enam hari sebelum persidangan di Old Bailey, jaksa memutuskan menghentikan kasus tanpa penjelasan resmi. 

Ruang sidang sunyi sesaat, lalu bergemuruh sorak sorai ketika Katharine keluar .

Keputusan itu menghindarkan pemerintah dari aib besar. Seandainya sidang berlanjut, legalitas perang dan kebebasan pers akan diuji tuntas dengan risiko bocornya dokumen rahasia tertinggi, termasuk surat menyurat Blair–Bush. 

Sir Menzies Campbell menyatakan, “Dropping the charges will avoid severe government embarrassment … It is even possible that the full text of the attorney general’s advice to the cabinet might have been published at last.”

Dampaknya meluas ke ranah politik Inggris dan AS. 

Di Inggris, kepercayaan publik terhadap Tony Blair merosot tajam. Momentum ini memberikan kontribusi pada kejatuhan pemerintahnya. 

Di AS, media mulai mempertanyakan narasi WMD dan melahirkan gerakan pemeriksaan ulang keputusan invasi. 

Laporan Chilcot 2016 akhirnya menyimpulkan bahwa invasi itu “tidak sah” dan “berdasarkan intelijen yang dipertanyakan” . 

Dalam debat panjang tentang legalitas perang, kasus Katharine Gun menjadi simbol penting konflik antara keamanan nasional dan hak publik untuk mengetahui kebenaran.

Katharine Teresa Harwood tumbuh sebagai “third-culture kid.”.

Masa kecilnya dihabiskan di Taiwan. Dia menguasai Bahasa Mandarin tanpa aksen asing sebelum melanjutkan pendidikan di Morrison Academy, AS. Kemudian dia mengajar selama dua tahun di pedesaan Jepang, memperkaya wawasan lintas budaya dan mematangkan etos kerjanya. 

Keahliannya dalam bahasa Mandarin dan pengetahuan lintas budaya mempersiapkannya menjadi salah satu penerjemah paling handal di Government Communications Headquarters (GCHQ), di mana ia menangani komunikasi intelijen tingkat tinggi antara NSA dan pemerintah Inggris . 

Pada 4 Januari 2001, Katharine menandatangani dokumen Official Secrets Act sebagai syarat bergabung dan melewati serangkaian tes keamanan serta kemahiran bahasa yang ketat sebelum resmi menjadi penerjemah di Cheltenham pada usia 26 tahun . 

Selama proses rekrutmen, ia juga menjalani pekerjaan sementara guna mendukung hidupnya di Inggris barat daya, termasuk mengajar bahasa dan pekerjaan serabutan lainnya . Di Cheltenham, Katharine menetap bersama suaminya, Yasar, imigran Turki yang menjalankan sebuah kafe di dekat markas GCHQ, saling mendukung dalam kehidupan yang tenang namun penuh tantangan

Kisah Katharine menegaskan peran pers sebagai penegak akuntabilitas. Tanpa Observer, operasi NSA itu mungkin tetap tersembunyi. Kebebasan pers menguat, whistleblower lain terinspirasi oleh keberaniannya. 

Julukan “moral compass” pun melekat padanya.  Katharine rela mengorbankan karier, kebebasan, dan rasa aman keluarga demi menyalakan lentera kebenaran di lorong kelam kekuasaan.

Setelah semua gegap gempita politik mereda, Katharine memilih hidup sederhana bersama suaminya, Yasar, di pedesaan Turki, mengajar bahasa Mandarin, dan menuntut ilmu etika global . Namun, suaranya tidak pernah padam: “I would do it again,” katanya, menegaskan komitmen bahwa pada momen kritis, hanya suara nurani yang dapat diandalkan .

Kisah Katharine Gun adalah pengingat abadi bahwa kebenaran, sekecil apa pun, memiliki kekuatan untuk mengguncang monolit kekuasaan. Dalam dilema antara ketaatan dan keadilan, ia memilih keberanian—dan mengubah jalannya sejarah.

Penulis: Edhy Aruman


RUJUKAN

Mitchell, M., & Mitchell, T. (2019). The spy who tried to stop a war: Katharine Gun and the secret plot to sanction the Iraq invasion. HarperCollins Publishers.

Senin, 16 Juni 2025

Desiran Angin Menyentuh Kulit

Malam itu, ia duduk di tepi sungai desa, memandangi bayangan rembulan yang memantul di permukaan air. Angin malam berembus lembut, menyisir rambutnya yang kusut. Ia menarik napas panjang, membiarkan udara dingin meresap ke dalam tubuhnya yang selama ini dipeluk oleh kemewahan tanpa rasa.

“Hai angin,” bisiknya pelan, hampir seperti doa, “wajahku kauterbangkan ke mana? Apakah kau menyimpannya di suatu tempat yang jauh, di mana aku tak bisa mencapainya lagi?”

Angin menjawab dengan desiran yang menyentuh kulitnya, tetapi tidak memberikan jawaban pasti. Ia menghela napas, matanya menatap langit. Awan yang bergerak perlahan di atas sana seolah menari tanpa peduli pada beban hatinya.

“Hai awan,” pintanya, suaranya bergetar, “runtuhkanlah hujanmu menjadi wajahku. Biarkan aku menemukannya lagi di setiap tetes yang jatuh ke bumi. Aku ingin merasakan diriku kembali, meski hanya untuk sesaat.”

Namun, awan hanya bergerak tanpa henti, membawa dirinya menjauh dari pandangan. Ia menunduk, tangannya menggenggam erat segenggam tanah di tepi sungai. Ia merasa begitu kecil, begitu tak berarti.

Kemudian, ia menatap bulan yang menggantung di langit, cahayanya redup tetapi penuh kelembutan. Seolah-olah bulan itu mengerti kesedihannya. Dengan lirih, ia berbisik, “Hai bulan, jadilah kau cermin. Biarkan aku melihat wajahku yang hilang dalam sinarmu. Jangan biarkan aku terus menjadi bayang-bayang yang tak dikenal.”

Tetapi bulan hanya diam, memantulkan kehangatan yang menenangkan tetapi tanpa jawaban.

Dan di malam yang sunyi itu, untuk pertama kalinya, ia benar-benar memahami. Apa arti seorang manusia tanpa wajahnya? Bukan wajah yang dilihat orang lain, tetapi wajah yang ia lihat dalam dirinya sendiri, wajah yang menjadi cermin jiwanya. Apakah gunanya tumpukan emas, istana megah, dan kekayaan yang tak terhitung, jika di balik semua itu ia hanyalah sosok yang kehilangan makna?

Ia mengingat semua yang telah ia miliki. Kekayaannya yang dulu begitu ia banggakan kini terasa seperti beban. Bukannya menolongnya menemukan wajahnya, harta itu justru menenggelamkannya lebih dalam ke dalam jurang kehampaan. Ia sadar, di atas segala tumpukan kemewahan itu hanya ada satu hal: mawar hitam.

Wajahnya kini bagai mawar hitam. Tidak harum, tidak bercahaya. Kelopak-kelopaknya kering, melayu, kehilangan segala keindahan.

“Wajahku,” katanya pelan, dengan suara yang nyaris hilang, “adalah wajah dari mawar. Hitam, melayu, tanpa sinar.”

Ia melihat dirinya sebagai Putri Cina mawar hitam, telanjang, tersesat dalam malam. Tidak ada gemerlap, tidak ada sorak sorai. Hanya kegelapan yang menelannya, perlahan tapi pasti. Dan dalam keheningan itu, ia sadar bahwa ia harus menemukan kembali dirinya, bukan melalui kekayaan, tetapi melalui sesuatu yang jauh lebih abadi—makna.

Pagi menjelang, dengan mata yang bengkak karena tangis, ia berdiri di bawah pohon tua dekat sungai. Embun pagi membasahi rerumputan di sekelilingnya, seolah menyentuh kakinya dengan kelembutan yang menghibur. Matahari mulai merangkak naik di ufuk timur, memancarkan cahaya keemasan yang mengintip di antara daun-daun.

“Hari baru,” bisiknya, mencoba memberi dirinya kekuatan. “Mungkin ini adalah awal untuk menemukanku kembali.”

Ia kembali ke desa, berjalan menyusuri jalanan berbatu yang sederhana, menghirup udara segar pagi yang penuh dengan aroma tanah dan dedaunan basah. Di setiap langkah, ia melihat orang-orang menjalani hidup mereka—bukan dalam kemewahan, tetapi dalam kedamaian. Para petani sibuk di ladang, anak-anak bermain dengan tawa riang, dan para ibu bercakap-cakap sambil menjemur pakaian. Tidak ada emas, tidak ada perhiasan, tetapi ada sesuatu yang jauh lebih berharga—kebahagiaan yang sederhana dan nyata.

Di sebuah gubuk kecil, ia berhenti dan memperhatikan seorang gadis muda yang sedang menggambar di atas tanah dengan ranting kecil. Gambar itu sederhana: sebuah bunga matahari yang besar dengan kelopak lebar. Gadis itu mendongak, menyadari kehadirannya.

“Cantik sekali gambarmu,” katanya lembut. Gadis itu tersenyum malu-malu, tetapi matanya bersinar dengan antusiasme.

“Terima kasih, Kakak. Ini bunga matahari. Mereka selalu menghadap ke matahari, mencari cahayanya. Kalau bunga itu menghadap ke tanah, dia akan layu,” jawab gadis itu polos.

Kata-kata itu menghentak seperti petir dalam benaknya. Bunga matahari, pikirnya. Ia merasa dirinya seperti bunga yang selama ini menunduk, tidak lagi mencari cahaya sejatinya. Ia telah membiarkan dirinya terjerat dalam bayangan harta dan kemewahan, lupa untuk mencari sesuatu yang lebih penting: cahaya yang membawa kehidupan dan makna.

Tanpa sadar, ia meraih tangan gadis kecil itu. “Terima kasih,” katanya, suaranya sedikit bergetar. Gadis itu hanya mengangguk, lalu kembali menggambar, tidak menyadari betapa dalam kata-katanya telah menyentuh hati seorang yang tengah tersesat.

Hari-hari berikutnya, ia menghabiskan waktu di desa. Ia belajar mengolah tanah, menanam padi, dan merasakan hangatnya tawa yang tulus dari para petani yang bekerja bersamanya. Ia merasakan bagaimana peluh di dahi terasa jauh lebih memuaskan dibandingkan perhiasan yang pernah ia kenakan. Ia mulai menemukan bagian kecil dari wajahnya yang hilang, terkubur di bawah semua lapisan kepalsuan yang selama ini ia banggakan.

Bulan berganti. Ia kembali ke kota megahnya, tetapi kali ini ia tidak lagi sama. Gaun-gaun mewahnya ia tinggalkan. Perhiasan berkilauan itu ia simpan di kotak kayu tua. Ia mulai membangun kembali dirinya, bukan dengan kemewahan, tetapi dengan memberikan sesuatu yang berarti. Ia mendirikan sekolah kecil di desanya, tempat anak-anak bisa belajar menggambar, membaca, dan bermimpi. Ia menyumbangkan hartanya untuk mereka yang membutuhkan, bukan untuk mendapatkan pujian, tetapi untuk merasakan kehangatan yang ia temukan kembali.

Dan malam itu, di balkon rumahnya, ia kembali menatap bulan. Kali ini, ia tidak meminta bulan menjadi cermin. Ia tersenyum lembut. Di cermin kecil yang ia bawa dari desa, ia melihat wajahnya—bukan wajah yang sempurna seperti dulu, tetapi wajah yang hidup, penuh dengan cerita dan makna.

“Wajahku telah kembali,” bisiknya pelan. “Bukan karena kekayaan, tetapi karena aku kembali mencari cahaya.”

Jumat, 03 November 2023

Bagaimana Memulai Sebuah Tulisan

Untuk memulai sebuah tulisan, kita harus tahu dulu, siapa yang akan menjadi pembaca tulisan itu. Ini untuk menyesuaikan dengan gaya bahasa diksi pembaca. Hal ini akan memudahkan pembaca memahami apa yang akan kita sampaikan melalui tulisan.

Secara umum, memulai menulis tentulah bisa dimulai dari mana saja. Apa saja bisa kita tuliskan sesuai dengan keinginan. Namun, meskipun kita bisa menuliskan apa saja, tetap saja harus memperhatikan kaidah umum yang berlaku di masyarakat. Kalau tulisan itu akan di sebar melalui media sosial ataupun situs, maka tentu saja kita harus memperhatikan sejumlah aturan yang boleh dan tidak boleh dilanggar.

Namun, sebelum itu semua, bagi pemula untuk memulai menulis itu memang sering kali mengalami kesulitan di saat awal. 

Tips kecil untuk memulai menulis, mulai saja dengan hal yang paling kita ketahui dan kuasai. Mulai saja dengan kata pertama yang terlintas di kepala kemudian tuangkan dalam tulisan. Mulai tuliskan dan tuangkan semua kalimat, dan rangkaian kalimat yang terlintas, tanpa memikirkan tanda baca, dan arti tambahan yang bisa dilengkapi dalam kalimat yang kita buat. Tuliskan terus, sampai habis semua ide tulisan yang ingin kita tuangkan. Tuliskan terus sampai kita berhenti, dan tidak bisa lagi menuliskan apapun. 

Setelah itu berhentikan sebentar, bisa sampai 15 menit. Minum beberapa teguk air atau kopi yang sudah disiapkan. Makanlah camilan kecil yang ada. Setelah itu, baru mulai lagi dengan membaca apa yang sudah kita tuliskan, kemudian mencoba mengedit kesalahan ejaan, tanda baca, dan melengkapi tambahan yang bisa dibuat. Ulangi terus tahap sebelumnya, hingga tulisan selesai.

Selamat mencoba

Selasa, 31 Oktober 2023

Buku

Ditengah gempuran dunia digital, buku ternyata masih tegar. Salah satunya, buku yang dijual di toko buku seperti Gramedia. Toko buku ini, telah memberikan tempat khusus bagi penulis kreatif dalam negeri. Di sini, dapat dijumpai banyak sekali novel-novel dari penulis muda maupun senior Indonesia. Karya mereka telah "nongkrong" dengan manis di rak-rak toko buku Gramedia. So bagi yang masih belum bisa move on dari dunia cetak ke dunia digital untuk baca buku, maka salah satu pilihan terbaik adalah membeli buku di toko buku besar. Meski tetap menginginkan buku yang dicetak, namun pembeliannya bisa melalui dunia digital. Seperti yang dilakukan oleh Gremedia, mereka sudah menyediakan toko digitalnya, tempat penikmat buku dapat melihat seluruh rak buku, tanpa bergerak dari kursi dan komputer yang ada dihadapannya. Dapat juga diakses melalui ponsel, yang hari ini sudah demikan canggihnya. Silahkan klik toko Gramedia disini. Bagi yang tertarik untuk dapat cuan dari dunia digital, dapat coba program affiliate ini.