Tulisan ini dibuat dalam konteks situasi dunia sedang terjadi perang Israel yang menyerang Iran, kemudian dibalas dengan rudal hipersonik yang mengagetkan dunia. Pertahanan Israel yang digembar-gemborkan itu, ternyata koyak oleh serangan balasan Iran yang selama ini dipikir lemah.
Melihat kekuatan ini, membangkitkan banyak pihak kelompok Islam. Mereka menyaksikan, Iran dapat mengambil tongkat estafet keberanian menyerang Israel secara langsung. Negara yang selama ini seolah-olah bisa leluasa bertindak dengan menyerang seenaknya. Terutama terhadap Palestina, yang sudah "tidak berdaya"...
Kondisinya, mirip meski dalam konteks yang berbeda ketika Jepang memegang panji kebangkitan Asia, yang memberikan semangat negara-negara Asia bangkit melawan negara penjajah. Ketika itu, tahun 1940-an, Asia sedang menggeliat. Satu demi satu, bangsa-bangsa yang terbelenggu di Timur mulai menggugat kebebasan. Namun, tak seorang pun dapat memastikan kapan dan di mana bendera kemerdekaan akan pertama kali berkibar. Bagi mereka yang menelisik dalam-dalam persoalan ekonomi, politik, dan sosiologi Timur, jelaslah bahwa Indonesia adalah mata rantai terlemah dalam belenggu panjang imperialisme. Di sinilah, benteng penjajahan Barat pertama-tama bisa dijebol.
Imperialisme Belanda, yang sudah tua dan usang, berdiri di atas pondasi yang rapuh dibandingkan dengan Inggris atau Amerika. Jarak yang membentang luas antara negeri Belanda dan tanah jajahannya di Indonesia mempertegas jurang ini. Negeri Belanda, tanpa sumber daya alam yang cukup untuk industrinya sendiri, mengandalkan hasil bumi Indonesia sejak dahulu kala. Ironisnya, pusat ekonomi yang menopang kehidupan Belanda sebenarnya berada di Indonesia, sementara para bankir, pengusaha, dan pedagang besar tinggal di tanah Eropa.
Di sinilah paradoks muncul. Antara penjajah dan yang terjajah terbentang perbedaan besar—bangsa, agama, bahasa, hingga adat istiadat. Di dalam struktur imperialisme yang mencengkeram dunia kala itu, hubungan antara Indonesia dan Belanda adalah sesuatu yang luar biasa. Kaum pribumi di Indonesia hampir sepenuhnya terpinggirkan dari dunia modal. Tidak ada lapisan pengusaha bumiputra yang kuat untuk menjadi perantara, apalagi sekutu, bagi imperialisme Belanda dalam mempertahankan kekuasaan ekonominya.
Berbeda dengan negara-negara lain seperti Mesir, India, atau Filipina, Indonesia tidak memiliki tuan tanah lokal yang signifikan. Mereka yang pernah ada kini hanyalah bayang-bayang—menjadi buruh, kuli, atau bahkan sekadar pekerja tinta di balik meja. Kaum pedagang besar, menengah, hingga kecil dikuasai oleh bangsa-bangsa lain seperti Eropa, Tionghoa, dan Arab. Sementara itu, lapisan menengah pribumi nyaris lenyap, terkikis oleh masuknya barang-barang pabrik dari Eropa.
Kunci
Pendidikan, salah satu jalur penting menuju kemajuan, sengaja diabaikan oleh penguasa Belanda. Dengan intelektual yang terbatas, upaya membangun kekuatan ekonomi pribumi hampir mustahil. Tidak ada kaum saudagar atau pemodal lokal yang bisa menopang pembangunan industri pribumi, meskipun mereka ada sekalipun. Akibatnya, jalan parlementer yang diimpikan oleh berbagai partai nasional menjadi sia-sia belaka.
Bagaimana mungkin “bapak gula” dan “nenek minyak” di Belanda menyerahkan hak pilih kepada rakyat Indonesia yang mayoritas petani dan buruh miskin? Sistem pemerintahan yang tunduk pada modal asing takkan pernah diakui sebagai pemerintahan dari rakyat dan oleh rakyat.
Realitas ini menunjukkan bahwa Indonesia pada saat itu tidak memiliki faktor ekonomi, sosial, atau intelektual yang cukup kuat untuk melepaskan diri dari imperialisme Belanda. Impian akan kebebasan melalui jalur parlementer hanyalah ilusi, lamunan yang sia-sia.
Namun, bukan berarti harapan itu hilang selamanya. Justru dari kesadaran akan ketimpangan dan ketidakadilan inilah api perjuangan menyala. Bangsa Indonesia mulai menyadari bahwa hanya dengan melawan—menantang kekuatan imperialisme di medan juang—kemerdekaan yang hakiki dapat diraih.
Asia sedang bangkit, dan Indonesia adalah ujung tombak perjuangan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar