Tampilkan postingan dengan label berlatih menulis menulis cepat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label berlatih menulis menulis cepat. Tampilkan semua postingan

Rabu, 02 Juli 2025

Sejarah Itu


Sejarah kadang berlaku tidak adil. Beberapa nama ditulis besar, dielu-elukan sepanjang masa. Sementara yang lain, meski keringatnya mengalir di panggung yang sama, peluhnya ikut membangun kejayaan yang sama, perlahan menghilang dari ingatan.

Ini seolah membenarkan adagium, bahwa sejarah ditulis oleh para pemenang.

Tan King Gwan adalah salah satunya.

Indonesia mengenal Ferry Sonneville. Mengenal Tan Joe Hok. Mengenang Rudy Hartono, Liem Swie King, dan generasi emas lainnya. Tapi siapa yang masih menyebut nama Tan King Gwan, lelaki sederhana dari Salatiga, yang pernah menjadi bagian penting dari kejayaan Indonesia di lapangan bulu tangkis dunia?

Malam itu, 15 Juni 1958, saat waktu menunjukkan pukul 22.00, sejarah olahraga Indonesia berubah. Singapore Badminton Stadium menjadi saksi, Indonesia untuk pertama kalinya merebut Piala Thomas, lambang supremasi bulu tangkis beregu putra dunia. 

Ferry Sonneville memang menjadi penentu kemenangan di partai keenam, tapi kemenangan Indonesia adalah buah dari perjuangan kolektif. Dan jauh sebelum itu, Tan King Gwan dan pasangannya, Nyoo Kiem Bie, sudah mengukir lima angka kemenangan untuk Merah Putih.

Yang mungkin tak banyak tahu, Tan King Gwan memulai kariernya bukan sebagai pemain ganda, melainkan tunggal. 

Di usia 12 tahun, ia sudah jatuh cinta pada bulu tangkis. Di usia 21, ia mengukir prestasi besar di PON 1953 Medan dan Kejurnas 1954 Surabaya, bahkan pernah mengalahkan Ferry Sonneville, sang bintang utama Indonesia kala itu. 

Tapi di sektor tunggal, persaingan begitu ketat. Tan King Gwan harus mengakui keunggulan nama-nama besar seperti Eddy Jusuf dan Tan Joe Hok.

Takdir membawanya ke jalur lain. Tahun 1955, sebuah pertandingan ekshibisi diadakan untuk mengumpulkan dana keberangkatan atlet. Tan King Gwan dipasangkan dengan Nyoo Kiem Bie. 

Tanpa ekspektasi besar, mereka menantang pasangan kuat Eddy Jusuf dan Ferry Sonneville. 

Siapa sangka, mereka menang telak 15-0, 15-1. Kemenangan itu jadi awal perjalanan duet legendaris yang dikenal dunia sebagai “Ghost Double” — pasangan hantu yang sering membuat lawan tak berkutik.

Bukan hanya soal teknik. Tan King Gwan dikenal karena ketenangan, kerja keras, dan dedikasi tanpa henti. Dia bukan tipe pemain flamboyan yang mencuri sorotan. Dia adalah sosok yang mengerjakan tugasnya, diam-diam, tapi pasti. Setiap pukulan, setiap poin, adalah hasil latihan panjang, bukan keajaiban sesaat.

Fisiknya kecil, tapi semangatnya besar. Smes tajam dari Nyoo Kiem Bie dan pertahanan kokoh dari Tan King Gwan menjadi kombinasi mematikan yang membawa Indonesia berjaya di Singapura 1958. Mereka bahkan mengalahkan ganda Denmark terbaik, Hammergaard Hansen dan Henning Borch, sesuatu yang saat itu dianggap nyaris mustahil.

Di balik semua itu, ada sisi manusiawi yang menggetarkan hati. Bung Karno sendiri memberi nama Indonesia untuknya: Darmawan Saputra. Sebuah simbol bahwa Tan King Gwan adalah bagian dari harapan besar bangsa.

Sayangnya, ketenaran bukan hal yang dikejarnya. Setelah masa emasnya, Tan King Gwan sempat melatih di Pelatnas PBSI, khusus menangani sektor ganda putri. Tapi dunia glamor olahraga tak lama memikatnya. Ia memilih bekerja di perusahaan otomotif, hidup sederhana, jauh dari sorotan publik.

Tan King Gwan wafat pada 9 Februari 2001. Dia meninggalkan warisan sebagai salah satu pahlawan besar bulu tangkis Indonesia yang nyaris terlupakan.

Sahabatnya, Tan Joe Hok, pernah berkata, "Dia ini pemain yang rajin. Permainannya tidak istimewa, tapi juga tidak biasa-biasa saja." Kalimat sederhana itu merangkum esensi sosok Tan King Gwan — bukan superstar di mata publik, tapi pahlawan di hati timnya.

Tan King Gwan mengajarkan, kejayaan tak selalu datang dari sorotan kamera. Ada nama-nama yang memilih berjuang dalam senyap, tanpa haus pujian, tapi memberi dampak besar. Ada legenda yang tak sibuk mengejar popularitas, tapi fokus memberi kontribusi nyata.

Kini, saat Indonesia dikenal sebagai raksasa bulu tangkis dunia, mari sejenak menundukkan kepala, mengenang mereka yang pondasinya kita pijak. Tan King Gwan, legenda yang tak boleh dilupakan. Karena tanpa mereka yang diam-diam berjuang, kemenangan tak pernah jadi kenyataan. 

Penulis: Edhy Aruman


Sumber:

Jahja, H. J. (2001). Peranakan Idealis: Dari Lie Eng Hok sampai Teguh Karya. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Selasa, 01 Juli 2025

Tiga Puluh Tiga


Usia 33 kerap disebut sebagai salah satu tonggak istimewa dalam perjalanan hidup manusia. Bukan sekadar angka, 33 memuat lapisan simbolisme spiritual, sejarah, dan energi transformatif yang melampaui hitungan waktu biasa. 

Dalam tradisi numerologi modern, 33 dikenal sebagai Master Number , yang kerap dijuluki sebagai Master Teacher.

Angka ini beresonansi dengan energi kasih sayang, keberkahan, inspirasi, kejujuran, keberanian, dan disiplin diri. Lebih dari itu, 33 diyakini sebagai angka yang mengingatkan manusia bahwa "semua hal adalah mungkin" ( all things are possible ) serta melambangkan bimbingan dalam perjalanan hidup

Mirip dengan cerita-cerita para pesohor di industri teknologi informasi, lembaga pendidikan LSPR dimulai dari sebuah ruangan kecil. Ketekunan, kegigihan, kesabaran, dan karakter humanis Prita Kemal Gani membuat LSPR makin kokoh dan terkenal.

Tiga puluh tiga tahun lalu, dimulai dari sepetak ruangan berukuran 12 m2 di Gedung WTC Jl. Sudirman, Jakarta, Prita membuat training school di bidang public relations (PR). Ruang seukuran itu hanya cukup untuk menempatkan meja pegawai penerima murid. Berada di antara ruang lainnya di gedung (saat itu) yang berkelas internasional, ruangan tersebut tidak menonjol.

Mirip dengan cerita-cerita para pesohor di industri teknologi informasi, lembaga pendidikan LSPR tidak langsung besar. Kiprahnya dalam pengembangan ilmu dan pofesi PR dimulai dari kecil, bahkan sangat kecil. Untuk ruang kelasnya, karena sebenarnya saat itu belum memiliki ruang kelas, Prita menyewa ruangan kelas di WTC secara jam-jaman.

Keterbatasan itu membutuhkan kreativitas, terutama dalam pengaturan kelas jam belajar. Tim Prita yang saat itu tidak sampai lima orang harus memutar otak mengatur ruangan. Tidak mudah, apalagi saat itu hampir semua pesertanya adalah pekerja. 

Jadinya, kelas dan jam pembelajarannya diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu pekerjaan peserta. Untuk kelas awal kursus, misalnya, ditetapkan selama tiga bulan dengan jadwal belajar dua kali seminggu, misalnya Senin dan Kamis, sehabis jam kantor pukul 18.30-21.00.

Langkah kecil ini ternyata membuka peluang. Peserta dimulai dari 30 orang dan terus bertambah hingga peserta yang ingin mendaftar harus masuk daftar tunggu.

Saat itu, seperti dituturkan Prita dalam buku ini, PR terbilang ilmu baru. Kebanyakan peserta adalah pekerja yang ingin memperluas wawasan tentang PR. Training memberikan ilmu yang fokus di bidang PR, mulai dari basic PR, pembuatan program dan perencanaan PR, media relations, PR strategy dan tactic, serta penulisan PR.

Kini lembaga kursus itu berkembang menjadi Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR, dan telah meluluskan hampir seratus ribu sarjana S-1 dan S-2. Di antara mereka terdapat pesohor seperti Prilly Latuconsina; Angkie Yudistia, Staf Khusus Presiden Republik Indonesia; dan Audrey P Puetriny, Deputy Chief of Corporate Affairs Gojek. Ada juga pesohor lain, termasuk Duta Besar Indonesia untuk Beijing Djauhari Oratmangun.

Kampus LSPR berada di Sudirman Park, Jakarta; Transpark Bekasi, dan Bali. Mahasiswanya berasal dari berbagai wilayah di Indonesia dan luar negeri.

Perjalanan menuju sukses sangat panjang dan penuh liku. Untuk mendapatkan nama LSPR, misalnya, prosesnya tidak semudah yang diduga orang. Sebelum mendapatkan nama LSPR (The London School of Public Relations), Prita pernah mempunyai rencana ―dan itu sudah hampir setengah jalan― bekerjasama dengan seorang warga negara asing. Maksud Prita adalah menjalin kemitraan guna membesarkan lembaga pendidikan yang mempunyai kekhususan di bidang PR ini.

Namun, setelah melewati berbagai diskusi, kemitraan itu tidak terwujud. Prita dan calon mitranya tidak sepakat. Meski demikian, Prita tak patah semangat. Penerima gelar doktor kehormatan di bidang PR dari Coventry University, Inggris, ini kukuh mewujudkan mimpinya mempunyai lembaga pendidikan PR. Kegagalan itu membuatnya makin bersemangat dan rajin berdiskusi dengan sang suami, Kemal Effendi Gani, sehingga membuahkan hasil dengan pemilihan nama LSPR Jakarta.

Setelah LSPR berdiri pada 1992, Prita terus berusaha keras memajukannya. Salah satu pencapaiannya adalah mendapatkan izin pemerintah untuk menaikkan status LSPR dari lembaga kursus ke tingkat yang lebih tinggi.

Namun, tantangan tetap muncul. Tahun 1998, Indonesa mengalami krisis ekonomi, bahkan multidimensi karena terjadi juga krisis politik. Nilai dolar yang semula hanya Rp 2.500 melejit menjadi Rp 16.900. Harga-harga barang dan inflasi membubung tinggi.

Salah satu dampaknya adalah banyak pelajar Indonesia yang sekolah di luar negeri pulang ke Tanah Air, dan mahasiswa Indonesia yang berencana kuliah di luar negeri batal. Situasi ini ternyata berdampak positif bagi perkembangan LSPR. Banyak calon mahasiswa yang mendaftarkan diri ke LSPR. Ini juga membangkitkan semangat Prita untuk terus meningkatkan dan mengembangkan LSPR.

Pada tahun 1999, secara resmi LSPR berubah status dari lembaga kursus menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi The London School of Public Relations (STIKOM LSPR). Nama itu dipilih karena Prita sempat menuntut ilmu PR di London. Itu sebabnya, banyak kurikulum yang diberlakukan di LSPR merupakan adaptasi dari pendidikan PR dari London.

Pada 1999 itulah mahasiswa LSPR datang bagaikan air mengalir dari keran yang terbuka ke sebuah kolam besar atau telaga, yakni LSPR. Setelah beberapa lama menempati kampus di Intiland Tower (Wisma Dharmala Sakti), Jalan Sudirman, gedung yang banyak mendapat pujian karena desainnya itu tidak bisa lagi menampung mahasiswa yang semakin banyak.

Akhirnya, sebagian pindah ke Gedung Dewan Pers di Jl. Kebon Sirih. Masih belum menampung jumlah mahasiswa yang semakin banyak ―sering membuat kemacetan― akhirnya sebagian lagi berkuliah di kampus di Gedung Bimantara selama beberapa tahun.

Kepindahan sebagian itu selain karena terbatasnya daya tampung di Kampus Dewan Pers, ada cerita lain di baliknya. Suatu malam, plafon salah satu ruangan kampus di Dewan Pers ambruk dan jatuh di tengah kelas. Untunglah, tidak menimbulkan korban. Saat itulah, tekad Prita makin bulat untuk mencari tempat baru yang lebih layak.

Suatu hari, Prita bersama sang suami melewati Sudirman Park di Jl. K.H. Mas Mansyur, Jakarta. Mereka melihat di situ ada pembangunan apartemen dan ruko. Di depannya terpampang promo penjualan ruko dengan harga perdana. Mereka pun mampir. Ternyata, mereka tergerak membeli ruko yang kemudian didesain kembali menjadi bangunan kampus yang cantik untuk menampung mahasiswa yang semakin banyak.

Mereka membeli dua ruko yang uang mukanya dibayar dengan dua kartu kredit. Namun, itu tak berlangsung lama karena beberapa waktu kemudian ―sebelum proyek itu rampung― mereka melengkapi dua ruko tadi menjadi 18 unit. Inilah yang menjadi kampus LSPR pertama.

Lembaga pendidikan dan jumlah mahasiswa LSPR terus berkembang. Tahun 2019, LSPR membangun kampus baru ―sebuah gedung yang tinggi dan nyaman untuk mahasiswa belajar dan beraktivitas― di Transpark Bekasi. Ini merupakan berkat uluran tangan pengusaha Chairul Tanjung yang memberi kemudahan dalam kepemilikannya.

Tiga puluh tahun sejak berdiri, nama LSPR disempurnakan. Saat ini LSPR terdaftar di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi sebagai Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR. Rebranding pun dilakukan dengan nama LSPR Institute of Communication & Business.

Kesuksesan LSPR mencerminkan gaya kepemimpinan Prita yang selalu mengedepankan sisi kemanusiaan, antara lain penghargaan dan hormat kepada kedua orang tua.

“Sejak kecil saya mengagumi sosok seorang guru. Kehadirannya ditunggu, suaranya didengarkan, dan sosoknya dimuliakan. Seorang guru tampil hebat, karena memiliki jawaban dari semua pertanyaan murid-murid di hadapannya,” kata Prita. Maka, ketika sudah bekerja sebagai seorang profesional, di dalam dirinya tetap ingin mewujudkan keinginan menjadi seorang pendidik.

Namun, yang tak kalah menarik adalah episode-episode kehidupan Prita sebagai seorang pemimpin. Ia menganggap pegawai serta pendidik di LSPR adalah keluarga. Ia mengibaratkan mendirikan LSPR seperti membangun sebuah rumah tangga. “Sejak awal saya selalu yang terdepan memperjuangkan pegawai. Tak jarang saya menjual perhiasan untuk membayar gaji dosen. Semua kami lakukan bersama-sama, hasilnya kami nikmati bersama,” katanya.

“Mungkin bekerja sebagai pendidik jumlah penghasilannya tidak berlebihan, namun kami memiliki kebahagiaan yang tak bisa dibeli dengan uang,” ungkap Prita. Dalam jajaran tim LSPR saat ini, banyak posisi penting yang dibina dari awal. “Banyak dari mereka yang kini menduduki posisi-posisi penting di LSPR awalnya adalah mahasiswa dan kami sekolahkan hingga meraih gelar Ph.D,” katanya. 

Penulis: Edhy Aruman

Minggu, 22 Juni 2025

Tuntaskanlah!



Musim panas, Peter Hollins, penulis buku Finish What You Start: The Art of Following Through, Taking Action, Executing, & Self-Discipline, dia membuat ukiran berupa sebuah kano kayu kecil sepanjang 30 senti. 

Minggu pertama berjalan mulus, minggu kedua terasa berat akibat otot tangan yang pegal, dan pada minggu ketiga godaan menonton film baru membuatnya berhenti. Kano itu menjadi saksi bisu kemalasan dan penundaan yang terus membayangi. 

Namun, ketika ia mengenal konsep temptation bundling — menggabungkan tugas yang harus diselesaikan dengan imbalan instan yang kita nikmati — semua berubah. Sambil mendengarkan album favoritnya, Hollins berhasil menuntaskan kano itu hingga selesai.

Cerita Hollins mengajari kita bahwa memulai sesuatu jauh lebih mudah daripada menuntaskannya. 

Banyak dari kita yang pernah menjadi seperti Esther yang bertekad membuka usaha kue rumahan setelah bertahun-tahun terkekang rutinitas kantor dan rindukan kebahagiaan dari hobinya. 

Saat cuti dua minggu tiba, ia membayangkan riset resep, survei pasar, dan perencanaan matang. Namun hari-harinya terbuang untuk tidur siang, urusan rumah, dan nongkrong bersama teman tanpa sekalipun menanyakan dukungan atau masukan. 

Impiannya tetap teronggok di kepala, tanpa jejak tindakan nyata.

Begitu pula Sally, idealis yang mendirikan yayasan untuk membantu kaum miskin. Semangatnya berkobar saat mendirikan badan amal, hingga ia dihadapkan pada realita pahit: menggalang dana, bersaing mendapatkan donasi, dan merancang kampanye pemasaran. 

Beban itu membuatnya tercekam frustrasi, hingga dalam hitungan bulan ia memutuskan berhenti, tanpa pernah merencanakan cara agar sisi positif yayasan bisa menutupi tantangan bisnis di baliknya.

Di sisi lain, ada John, penulis novel yang berjuang membagi energi antara pekerjaan kantor dan menulis. Tanpa aturan tegas, tekadnya menulis dua bab per malam luntur saat lelah—hingga novel itu terus tertunda. 

Namun ketika ia menetapkan satu-satunya aturan: setiap malam wajib menyelesaikan dua bab tanpa kompromi, ia mendapati dirinya menuntaskan naskah dengan bangga, meski tubuhnya kelelahan.

Rasa takut juga menghantui Lara, sukarelawan yang merencanakan kampanye galang dana. Idenya brilian, tetapi bayangan penolakan dan penilaian membuatnya membatalkan segala sesuatunya sebelum langkah pertama. Alih-alih kehilangan peluang, ia malah menolak dirinya sendiri, membiarkan kegemarannya padam dalam ketakutan.

Perfectionism pun tak kalah merusak. Paul, sudah bertahun-tahun menambah sertifikasi dan gelar pascasarjana demi persiapan promosi, tetapi tak kunjung melamar. Itu karena dia merasa “resume” belum sempurna. 

Jadinya, kesempurnaan yang dikejar menutup pintu kesempatan lebih awal, membuatnya terjebak stagnasi.

Gerald punya cita-cita besar sebagai pengusaha, namun investasi modal dan pemangkasan gaya hidupnya terlalu menakutkan—hingga ia memilih kembali ke pekerjaan nyaman, meninggalkan mimpinya. Ketakutan akan ketidaknyamanan mengalahkan keberanian berkorban untuk masa depan.

Michael, konsultan lepas, salah satu korban false hope syndrome, kondisi menanam harapan berlebihan untuk perubahan cepat, kecewa dan kehilangan motivasi.  

Ia membayangkan pendapatan besar dengan usaha minimal, namun kenyataan menuntut jam kerja pagi yang tak sesuai ritme tubuhnya. 

Setelah kecewa berulang, ia menyesuaikan jadwal dengan kebiasaan terbaiknya—bangun saat tubuhnya fit dan menunda tugas yang menguras tenaga, sehingga ia dapat menindaklanjuti langkah-langkah kecil secara konsisten.

Sepanjang kisah ini, satu pelajaran jelas: menyelesaikan apa yang dimulai adalah seni mengatur fokus, disiplin, dan momentum. 

Dengan strategi seperti temptation bundling, pembagian tugas kecil harian, aturan tak tergoyahkan, dan kesadaran akan biaya peluang setiap pilihan, kita dapat menyeimbangkan antara kenyamanan masa kini dan hasil masa depan. 

Menindaklanjut berarti mengambil langkah—sekecil apa pun—setiap hari, hingga puncak tujuan akhirnya pun tercapai.

Penulis: Edhy Aruman

Selasa, 17 Juni 2025

Wajah di Balik Bayang-Bayang

Malam itu, ia kembali merenung di ruang tamu yang megah, dikelilingi oleh perabotan mahal yang berkilauan di bawah cahaya lampu gantung kristal. Namun, bagi dirinya, semua itu kini seperti ilusi belaka—kekosongan yang menyamar sebagai kemewahan. Kata-kata dari syair Han San yang pernah ia dengar bertahun-tahun lalu muncul kembali dalam pikirannya, seolah menjadi cermin yang memperlihatkan betapa jauhnya ia tersesat.

"Ketika aku masih tinggal di desa
orang-orang menyanjungku tiada taranya.
Tapi ketika esok hari aku pergi ke ibu kota
anjing pun melihatku dengan memicingkan mata.
Seorang bergumam celanaku terlalu sempit."

Syair itu seperti lukisan getir tentang kehidupannya. Dulu, di desanya, ia adalah seseorang yang dipuja, dicintai karena kehangatannya yang tulus. Tapi di ibu kota, tempat segala sesuatu diukur dengan kekayaan dan status, ia menemukan dirinya hanya sebuah objek. Bahkan sekarang, di puncak kekayaan dan kehormatannya, ia merasa tidak lebih dari seseorang yang celananya terlalu sempit untuk mendapatkan penghormatan sejati.

Ia bangkit dari kursinya, melangkah ke jendela besar yang menghadap ke kota yang gemerlap di bawah sana. Gedung-gedung pencakar langit memancarkan cahaya yang menyaingi bintang-bintang, tetapi ia tahu, di balik kaca jendela itu ada dunia yang tidak peduli padanya—yang hanya melihatnya sebagai angka di rekening bank atau koleksi barang mewah.

Ia teringat hari-hari di desa, saat setiap orang mengenalnya bukan karena apa yang ia miliki, tetapi karena siapa dirinya. Orang-orang mendekat bukan untuk memanfaatkan, melainkan untuk berbagi tawa, cerita, dan kesederhanaan yang menghangatkan hati. Di sana, ia merasa hidup. Kini, meski memiliki segalanya, ia merasa seperti bayang-bayang yang memudar.

Pagi harinya, ia memutuskan untuk berjalan-jalan ke pasar tradisional di pinggiran kota. Tanpa membawa apa pun yang menunjukkan statusnya, ia mengenakan pakaian sederhana, mengikat rambutnya, dan menyembunyikan wajahnya di balik syal tipis. Di pasar itu, ia menyaksikan kehidupan yang begitu berbeda dari dunia yang biasa ia kenal. Pedagang menawar, pembeli tertawa, anak-anak bermain di sekitar keranjang sayur.

Ia berhenti di sebuah lapak kecil, tempat seorang lelaki tua menjual lukisan-lukisan sederhana di atas kertas cokelat yang mulai usang. Salah satu lukisan itu menarik perhatiannya: gambar seorang pengembara yang berdiri di tengah persimpangan jalan, dengan satu wajah terukir di langit dan tubuhnya kosong.

“Apa maksud lukisan ini?” ia bertanya, suaranya lembut.

Lelaki tua itu tersenyum, matanya tajam namun ramah. “Itu adalah gambaran jiwa yang tersesat. Wajah di langit itu adalah dirinya yang sejati, tapi tubuhnya telah kehilangan arah. Ia harus mencari wajahnya kembali, atau ia akan selamanya menjadi bayang-bayang tanpa makna.”

Kata-kata itu mengguncangnya. Ia membeli lukisan itu dan membawanya pulang. Di rumah, ia menggantungnya di dinding kamar tidurnya. Setiap kali menatapnya, ia merasa diingatkan akan perjalanan yang masih harus ia tempuh.

Hari demi hari berlalu. Ia mulai membuka hatinya untuk dunia yang pernah ia lupakan. Ia kembali membaca buku-buku lama, menggali pelajaran dari syair-syair seperti milik Han San yang dulu hanya ia baca sepintas lalu. Ia mengunjungi desa-desa, membantu mereka yang membutuhkan, bukan karena ia ingin dipuja, tetapi karena ia ingin merasa berarti.

Dan perlahan, wajah yang dulu hilang itu mulai kembali. Bukan wajah yang penuh polesan atau berkilau oleh harta, tetapi wajah yang dipenuhi makna dan kehangatan. Wajah seorang manusia yang telah menemukan dirinya kembali.

Suatu malam, ia kembali menatap cermin di kamarnya. Kali ini, ia melihat sesuatu yang berbeda. Ada senyum kecil yang terlukis di wajah itu, bukan karena kepuasan materi, tetapi karena ia tahu, ia telah kembali menjadi dirinya sendiri.

Ia membisikkan satu kalimat, seperti mantra yang ia temukan dalam perjalanannya: “Aku adalah aku, bukan karena apa yang aku miliki, tetapi karena apa yang aku bagikan.”

Ketika aku mencari wajahku
Di balik bayang-bayang kota yang gemerlap,
Aku hanya menemukan kosong,
Cahaya palsu yang memudar dalam sekejap.

Ketika aku menengadah ke langit malam,
Bulan berkata padaku tanpa suara,
“Wajahmu tidak hilang,
Hanya tersembunyi di tempat yang terlupa.”

Lalu aku kembali ke akar tanahku,
Mencari jejakku di antara embun pagi,
Menemukan kehangatan yang sederhana,
Dalam tawa riang dan peluh di dahi.

Dan kini aku tahu jawabannya:
Wajahku bukanlah kilau permata,
Bukan harta yang ditumpuk setinggi angkasa,
Melainkan cermin jiwaku, yang hidup dari makna.

Untukmu, wahai syair Han San,
Yang melihat dunia dengan mata tajam,
Aku telah kembali dari kota penuh ilusi,
Menemukan diriku di jalan yang sunyi.

Maka biarlah ini menjadi pesanku:
Bagi siapa saja yang tersesat di persimpangan,
Carilah wajahmu di dalam hati,
Di sanalah arti sejati ditemukan.

Sabtu, 14 Juni 2025

Tahun 1980-an

Seperti biasa, setiap akhir pekan aku membantu orangtua membuku toko yang menjadi sandaran hidup bagi keluargaku. Pekerjaan yang kubenci, karena saat itu teman-teman sekolahku bisa menikmati hari liburnya untuk sekedar bermalas-malasan atau pun sekedar nongkrong bersama teman-temannya.

Tapi untuk meninggalkan begitu saja, pekerjaan membantu membuka toko itu, dan pergi bersama teman-teman, aku pun tak tega. Dengan agak malas, aku pun mengambil kunci toko dan memasukkan dalam saku celana panjang. Kuambil sepeda, dan segera belalu menuju pasar tempat toko itu nangkring.

Proses membuka toko dan menata ulang, serta bersih-bersih, biasanya memakan waktu sekitar satu sampa dua jam. Sambil menanti pembeli biasanya, aku segera menikmati koran pagi. Sebuah kebiasaan yang mungkin tidak dilakukan teman-temanku. Itu sebabnya, mungkin pelajaran ilmu sosial ku jadi jagoan di sekolah. 

Aku melahap semua berita yang disajikan koran. Biasanya, kumulai dengan membaca cerita bersambung yang disajikan setiap hari. Kemudian aku membaca cerpen dan baru setelah itu membaca berita yang disajikan di halaman 1 koran.

Fokusku ke koran saat membaca, memang  terbagi dengan pandangan pada jalan di depan toko dan waspada kalau ada pelanggan yang datang, agar bisa segera menyambut mereka. Tapi biasanya, baru sekitar menjelang siang, pelanggan banyak yang datang. Kalau masih pagi, hanya pedagang pelanggan yang mengambil barang pesanan mereka untuk dijual. Biasanya, barang-barang itu sudah di masukkan dalam kotak besar sehari sebelumnya.

Pada malam sebelum toko tutup, semua sudah dipersiapkan dengan cermat semua pesanan mereka. Jadi, saat pagi ini mereka langsung mengambilnya sendiri, setelah sekedar basa-basi padaku yang tetap duduk di kursi sambil tangan memegang koran. Di sampingku, biasanya sudah kuseduh kopi panas dan membuka bekal yang sudah disiapkan iku sebelum berangkat tadi pagi.

Sambil membaca, terkadang pikiranku melayang dan melintas pada pesan atau apa yang dibicarakan bapakku sambil lalu, saat sedang bersamad di toko.

Manusia itu harus punya akar. Kita jangan sampai kehilangan akar budaya. Sebagai orang Jawa di perantauan Sumatra ini, jangan sampai kehilangan Jawane. Meski kamu nggak bisa fasih berbahasa Jawa, tetapi minimal mengerti bahasa Jawa.

Jika tidak punya akar, maka kita bisa diterbangkan ke mana-mana seperti debu yang berhamburan di jalanan. Kita terbawa ke segala arah, bertumbukan dengan angin melayang, kemudian jatuh terguling-guling.

Apalagi, sesungguhnya hidup kita pendek. Kamu harus bisa mandiri, kalau ada apa-apa dengan bapak atau ibu, kamu sudah siap. Apalagi sebagai anak tertua, kamu harus menjaga adik-adikmu. Memang hidup kita ini sangatlah pendek. 

Piye-piye, adik-adikmu itu tunggal darah. Jangan sampai terpisah, saling jagalah.

Jika mengingat ini, maka kekesalanku karena diminta membuka toko ini akan hilang. Semangat muncul, dan semangat untuk bisa menguasai dan mengendalikan sebuah toko kelontong seperti bapak ini, segera terpatri dalam kepala.

Pesan itu mengingatkan pada sebuah sajak T’ao Ch’ien, yang selalu diingat oleh Putri Cina dalam novel karangan Romo Sindhunata.

Kisah ini pun ingin menukilkan apa  yang ditulis Sindhunata dalam bukunya yang berjudul Putri Cina.

Berikut nukilan dari tulisan Sindhunata. Kata leluhur Putri Cini, sajak itu ditulis pada abad ke-empat Masehi. Sebuah sajak yang sangat tua. Ia tahu, sajak itu pasti tidak dibuat untuk dia. Namun ternyata, sajak itu menjadi ramalan yang membentangkan nasibnya.

Tidakkah hidupnya memang tidak punya akar, yang mengikat dia pada suatu tanah, tempat ia bisa berpijak? Katanya, ia berasal dari Cina. Tapi ia tak tahu sama sekali, apakah dan bagaimanakah keadaan di tanah leluhurnya itu. Dan ke sana, sekali pun ia tak pernah.

Dan tidakkah ia dan kaumnya terbang seperti debu, yang berhamburan ke mana-mana? Kaumnya tak bisa bicara satu sama lain. Bahasa mereka berupa-rupa, tergantung di mana mereka tinggal. Sementara ia dan kebanyakan kaumnya pun tak bisa sama sekali bicara dalam bahasa leluhur.

Apa artinya merasa menjadi saudara serumpun dan seleluhur, jika mereka tidak mempunyai bahasa yang bisa menjalin mereka untuk saling berbicara? Ia berpikir, andaikan ia dan kaumnya tidak diikat dengan daging dan darah, takkan pernah mereka merasa saling bersaudara. Betapa daging dan darah sama sekali tak cukup untuk menjadikan dirinya sebagai manusia sepenuh-penuhnya. Malahan daging dan darah itu membatasi dia untuk menjadi manusia yang diterima di tempat ia berada. Ya, setiap kali ia mengeluh tentang dirinya, ia pun bertanya:

Kita datang ke dunia ini sebagai saudara. Tapi mengapa kita mesti diikat pada daging dan darah? Malam sedang terang benderang, ketika ia menanyakan perihal hidupnya itu. Bulan seperti keluar dari sarangnya, lalu menghampiri biliknya. Cahayanya demikian dekat padanya, sampai bulan itu terasa menari-nari di hadapannya. Disapanya bulan dengan mesra, seolah kekasihnya, ”Sejak kita berpisah, betapa aku ingin kau datang kembali padaku. Ternyata kau hanya datang dalam mimpiku. Sungguhkah kau datang, dan mau bersama dengan aku di dalam bilikku? Aku khawatir, kau hanyalah nyala yang keluar dari lilin di hadapanku. Dan begitu lilin ini habis mencair, kau pun hilang bersama nyalanya yang padam. Apakah kau hanya boleh kunikmati dalam mimpi?”

Tentu tiada jawaban baginya. Bulan pun segera pergi meninggalkannya. Ia merasa, bukan kekasih yang ia cari, tapi dirinya sendiri. Dan dirinya itu tak pernah ia temukan sampai kini.

Ia meraba wajahnya. Wajahnya ternyata tiada. Anehnya, orang-orang mengatakan, ia cantik jelita. Matanya nyaris sipit, tapi menambah wajahnya jadi lebih manis. Hidungnya tak terlalu mancung, tapi ia tampak sebagai gadis opera Peking yang amat anggun. Kulit wajahnya langsat kuning. Indah, meski tak seasli gadis-gadis asli Cina di tanah leluhurnya. 

Orang-orang bilang, ia cantik. Tapi ia sendiri tak pernah melihat kecantikannya. Tiap kali ia berkaca, dalam cermin ia hanya melihat mawar yang gosong kehitam-hitaman. Kelihatan amat menyedihkan. Kendati ia sudah berdandan layaknya gadis Cina, dengan gaun sutra merah berceplok-ceplok bunga, wajahnya tetap tak muncul-muncul juga. Malahan, pakaian yang dikenakannya makin membuat ia kelihatan sedih. Sebab, justru karena pakaiannya yang mewah, mawar hitam yang menjadi kepalanya makin membuat ia layu, seperti bunga yang sebentar lagi akan mati.

Semua jalan untuk menemukan kembali wajahnya seakan sudah tertutup. Dulu ia menaburkan keharuman di mana-mana. Tiap orang mencium, betapa harum aroma yang dibawanya. Sekarang keharuman itu pergi, hilang diterbangkan angin, bercampur dengan debu-debu jalanan.

Kamis, 01 Mei 2025

Belajar Menulis dari Membaca: Meniru Dulu, Biar Bisa Menemukan Gaya Sendiri.

ATM, amati tiru dan modifikasi. Ini juga bisa diterapkan dalam berlatih menulis. Jadi jangan takut dan malu dikatakan sebagai peniru, asal bukan seorang plagiator yang mengakui tulisan orang lain sebagai tulisan sendiri. Kita meniru gaya penulisannya, gaya bercerita, dan gaya diksi yang dipergunakan para penulis hebat. Gunakan beragam gaya itu, berlatihlah dan jadikan bekal untuk membangun gaya penulisan sendiri. 

Meniru Dulu, Biar Bisa Menulis dengan Gaya Sendiri

Pernah nggak ngerasa bingung pas nulis, kayak… “Ini kenapa tulisan gue datar banget ya?” atau “Gaya nulis orang lain kok enak dibaca sih?” Nah, tenang. Semua penulis, bahkan yang udah terkenal, biasanya juga mulai dari niru.

Serius. Niru itu bukan dosa — asal kamu tahu batasnya.

Rumusnya sebetulnya tidak susah-susah amat. Ketika membaca, bukan cuma untuk menikmati cerita yang disajikan dalam sebuah novel misalnya, tetapi juga pelajari gaya penulisannya.

Kalau kamu suka baca, coba sesekali jangan cuma nikmatin ceritanya, tapi juga perhatiin gimana penulisnya nyusun kata. Gaya kalimatnya gimana? Dialognya hidup atau nggak? Transisinya halus atau tiba-tiba? Itu semua bisa kamu pelajari. Dan buat catatan-catatan sendiri untuk mendapatkan apa yang menarik buatmu.

Coba aja:

  • Baca cerpen atau novel yang kamu suka.

  • Pilih satu paragraf yang menurutmu keren.

  • Tulis ulang dengan gaya kamu sendiri. Bisa kamu ubah sudut pandangnya, bahasanya, atau suasananya.

Meniru Itu Bagian dari Proses

Nggak semua penulis langsung punya gaya khas dari awal. Justru dengan meniru beberapa gaya penulisan, lama-lama kamu bakal tahu mana yang paling cocok buat kamu. Kayak nyobain beberapa sepatu dulu sebelum nemu yang paling nyaman.

Misalnya:

  • Baca novel Pramodya Anantatoer, nikmati alur cerita yang mengalir sampai tak sadar ratusan halaman sudah dilewati.

  • Nikmati petualangan yang ditulis oleh Karl May tentang suku Apache.

  • Kamu tiru gaya penulisan Raditya Dika yang santai dan lucu.

  • Besok coba gaya Tere Liye yang puitis dan dalam.

  • Lusa, gaya tulisan berita atau feature dari media online.

Dari situ, kamu bisa ambil elemen yang cocok dan gabungkan jadi gaya kamu sendiri.

Tapi Jangan Cuma Niru Terus…

Setelah kamu terbiasa, mulai tulis sesuatu yang lebih personal. Campur pengalaman sendiri, opini sendiri, dan kata-kata yang biasanya kamu pakai sehari-hari. Karena, gaya nulis yang kuat itu muncul kalau kamu udah berani jujur dalam tulisan.

Meniru gaya penulis lain itu bukan berarti kamu nggak kreatif. Justru itu jalan buat belajar dan bereksperimen. Kayak musisi yang belajar dari lagu orang lain sebelum bikin lagu sendiri. Nggak ada yang instan. Tapi kalau kamu rajin baca dan coba-coba nulis, lama-lama gaya tulisanmu bakal terbentuk sendiri.

Rabu, 30 April 2025

Dari Imajinasi Jadi Cerita

Cobalah sekarang kita gali lebih dalam tentang berlatih menulis fiksi, dari nol sampai jadi cerita yang hidup dan berkesan bagi pembacanya.

Satu hal yang jelas, buat gue nih, menulis fiksi itu seperti jadi “Tuhan kecil” — kamu bisa menciptakan dunia, karakter, dan peristiwa sesuka hati. Tapi biar cerita nggak cuma jadi angan-angan kosong, kamu butuh struktur, rasa, dan teknik. 

Berikut panduan lengkap yang dibuat dari pengalaman menulis selama ini.

1. Mulailah dari Ide Sederhana

Kamu nggak butuh ide yang luar biasa megah. Cukup satu pertanyaan pemicu:

  • “Apa jadinya kalau seorang anak bisa dengar pikiran orang lain?”

  • “Gimana kalau cinta pertamamu muncul lagi pas kamu hampir nikah?”

Bikin premis. Ini semacam pondasi cerita. Contoh:

Seorang satpam mal yang biasa-biasa saja tiba-tiba jadi viral setelah menyelamatkan anak kecil, tapi ternyata anak itu menyimpan rahasia besar.

2. Buat Karakter yang "Hidup"

Karakter adalah jantung cerita fiksi. Tanpa tokoh yang kuat, cerita akan hambar.

  • Beri mereka tujuan. Tokoh yang cuma “ikut arus” bakal cepat dilupakan.

  • Berikan kelebihan dan kelemahan. Tokoh sempurna itu membosankan.

  • Bikin latar belakang. Masa lalu, hobi, ketakutan, sampai hal kecil kayak makanan favorit — semua bisa memperkaya karakter.

Contoh tokoh menarik:

Lila, 29 tahun, penjual kue keliling yang diam-diam menulis puisi galau di balik struk belanja pelanggannya. Ia menuliskan apa saja yang dilihatnya ketika berkeliling, terutama siapa saja yang menjadi pembeli kuenya. Ia membuat profil pembeli pada awalnya untuk sekedar mengingat siapa saja yang menjadi pembeli, dan jenis kue apa yang disukai atau sering dibelinya. Jadi ketika berhadapan dengan pembeli, ia bisa langsung menawarkan kue kesukaannya sambil menawarkan varian kue lainnya.

3. Bangun Konflik dan Alur Cerita

Konflik = masalah. Cerita tanpa konflik kayak makanan tanpa rasa.

Struktur sederhana:

  • Awal (orientasi): Perkenalkan tokoh dan situasi awal.

  • Tengah (konflik): Masukkan masalah utama yang membuat tokoh harus bertindak.

  • Akhir (resolusi): Bagaimana tokoh menyelesaikan masalah (atau tidak).

Contoh alur mini:

Lila ketahuan mencuri bunga di taman kota — bukan untuk dijual, tapi untuk ditaruh diam-diam di makam ibunya. Masalah muncul saat penjaga taman mulai mencurigainya.

4. Tunjukkan, Jangan Cuma Ceritakan (Show, Don't Tell)

Alih-alih bilang “dia sedih”, tunjukkan lewat tindakan:

  • Rina sedih ditinggal pacarnya.

  • Rina duduk diam di halte, meremas kertas tisu yang tadi dipakai buat nulis nama mantannya. Setelah itu, tisu dipilin jadi kecil, kemudian dilemparkannya ke tong sampai sambil berbisik good bye.

Emosi akan terasa lebih nyata kalau pembaca bisa “merasakan” lewat adegan.

5. Buat Dialog yang Mengalir

Dialog harus terdengar alami dan mencerminkan kepribadian tokohnya.

Tips:

  • Jangan terlalu panjang.

  • Hindari dialog yang terlalu formal (kecuali karakternya memang begitu).

  • Sisipkan gestur atau ekspresi untuk memperkaya percakapan.

Contoh:

“Kamu belum tidur juga?” tanya Damar.
“Lagi mikir,” jawab Tara sambil memeluk lututnya. “Tentang kamu.”

6. Bangun Latar yang Kuat

Latar tempat dan waktu penting buat bikin cerita terasa nyata. Bahkan latar bisa jadi ‘tokoh’ tersendiri.

Coba tambahkan detail kecil:

“Warungnya sempit, dindingnya kuning kusam, dan aroma kopi tubruk bercampur gorengan menyambut siapa pun yang masuk.”

bagian-bagian detail ini, akan sangat bermanfaat bagi kita saat menulis, dan akan membuat pembaca semakin tertarik. 

7. Beri Sentuhan Akhir yang Berkesan

Akhir cerita bisa:

  • Membahagiakan (happy ending)

  • Menyedihkan (tragis)

  • Mengejutkan (twist)

  • Menggantung (open ending)

Pilih sesuai rasa dan pesan yang mau kamu sampaikan.

✍️ BONUS: Latihan Nulis Fiksi Buat Pemula

Coba tantangan ini:

Tulislah cerita pendek (maks 300 kata) tentang: “Seseorang menemukan benda lama yang membuatnya mengingat sesuatu penting dari masa kecil.”

Menulis fiksi itu latihan empati. Kamu belajar melihat dunia dari sudut pandang tokoh-tokoh ciptaanmu. Yang penting bukan seberapa rumit idemu, tapi seberapa jujur dan menyentuh caramu menyampaikan cerita. 

Tulis aja dulu. Nggak harus sempurna, yang penting kamu mulai. 

Selamat menulis!