Tampilkan postingan dengan label berlatih menulis menulis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label berlatih menulis menulis. Tampilkan semua postingan

Senin, 16 Juni 2025

Desiran Angin Menyentuh Kulit

Malam itu, ia duduk di tepi sungai desa, memandangi bayangan rembulan yang memantul di permukaan air. Angin malam berembus lembut, menyisir rambutnya yang kusut. Ia menarik napas panjang, membiarkan udara dingin meresap ke dalam tubuhnya yang selama ini dipeluk oleh kemewahan tanpa rasa.

“Hai angin,” bisiknya pelan, hampir seperti doa, “wajahku kauterbangkan ke mana? Apakah kau menyimpannya di suatu tempat yang jauh, di mana aku tak bisa mencapainya lagi?”

Angin menjawab dengan desiran yang menyentuh kulitnya, tetapi tidak memberikan jawaban pasti. Ia menghela napas, matanya menatap langit. Awan yang bergerak perlahan di atas sana seolah menari tanpa peduli pada beban hatinya.

“Hai awan,” pintanya, suaranya bergetar, “runtuhkanlah hujanmu menjadi wajahku. Biarkan aku menemukannya lagi di setiap tetes yang jatuh ke bumi. Aku ingin merasakan diriku kembali, meski hanya untuk sesaat.”

Namun, awan hanya bergerak tanpa henti, membawa dirinya menjauh dari pandangan. Ia menunduk, tangannya menggenggam erat segenggam tanah di tepi sungai. Ia merasa begitu kecil, begitu tak berarti.

Kemudian, ia menatap bulan yang menggantung di langit, cahayanya redup tetapi penuh kelembutan. Seolah-olah bulan itu mengerti kesedihannya. Dengan lirih, ia berbisik, “Hai bulan, jadilah kau cermin. Biarkan aku melihat wajahku yang hilang dalam sinarmu. Jangan biarkan aku terus menjadi bayang-bayang yang tak dikenal.”

Tetapi bulan hanya diam, memantulkan kehangatan yang menenangkan tetapi tanpa jawaban.

Dan di malam yang sunyi itu, untuk pertama kalinya, ia benar-benar memahami. Apa arti seorang manusia tanpa wajahnya? Bukan wajah yang dilihat orang lain, tetapi wajah yang ia lihat dalam dirinya sendiri, wajah yang menjadi cermin jiwanya. Apakah gunanya tumpukan emas, istana megah, dan kekayaan yang tak terhitung, jika di balik semua itu ia hanyalah sosok yang kehilangan makna?

Ia mengingat semua yang telah ia miliki. Kekayaannya yang dulu begitu ia banggakan kini terasa seperti beban. Bukannya menolongnya menemukan wajahnya, harta itu justru menenggelamkannya lebih dalam ke dalam jurang kehampaan. Ia sadar, di atas segala tumpukan kemewahan itu hanya ada satu hal: mawar hitam.

Wajahnya kini bagai mawar hitam. Tidak harum, tidak bercahaya. Kelopak-kelopaknya kering, melayu, kehilangan segala keindahan.

“Wajahku,” katanya pelan, dengan suara yang nyaris hilang, “adalah wajah dari mawar. Hitam, melayu, tanpa sinar.”

Ia melihat dirinya sebagai Putri Cina mawar hitam, telanjang, tersesat dalam malam. Tidak ada gemerlap, tidak ada sorak sorai. Hanya kegelapan yang menelannya, perlahan tapi pasti. Dan dalam keheningan itu, ia sadar bahwa ia harus menemukan kembali dirinya, bukan melalui kekayaan, tetapi melalui sesuatu yang jauh lebih abadi—makna.

Pagi menjelang, dengan mata yang bengkak karena tangis, ia berdiri di bawah pohon tua dekat sungai. Embun pagi membasahi rerumputan di sekelilingnya, seolah menyentuh kakinya dengan kelembutan yang menghibur. Matahari mulai merangkak naik di ufuk timur, memancarkan cahaya keemasan yang mengintip di antara daun-daun.

“Hari baru,” bisiknya, mencoba memberi dirinya kekuatan. “Mungkin ini adalah awal untuk menemukanku kembali.”

Ia kembali ke desa, berjalan menyusuri jalanan berbatu yang sederhana, menghirup udara segar pagi yang penuh dengan aroma tanah dan dedaunan basah. Di setiap langkah, ia melihat orang-orang menjalani hidup mereka—bukan dalam kemewahan, tetapi dalam kedamaian. Para petani sibuk di ladang, anak-anak bermain dengan tawa riang, dan para ibu bercakap-cakap sambil menjemur pakaian. Tidak ada emas, tidak ada perhiasan, tetapi ada sesuatu yang jauh lebih berharga—kebahagiaan yang sederhana dan nyata.

Di sebuah gubuk kecil, ia berhenti dan memperhatikan seorang gadis muda yang sedang menggambar di atas tanah dengan ranting kecil. Gambar itu sederhana: sebuah bunga matahari yang besar dengan kelopak lebar. Gadis itu mendongak, menyadari kehadirannya.

“Cantik sekali gambarmu,” katanya lembut. Gadis itu tersenyum malu-malu, tetapi matanya bersinar dengan antusiasme.

“Terima kasih, Kakak. Ini bunga matahari. Mereka selalu menghadap ke matahari, mencari cahayanya. Kalau bunga itu menghadap ke tanah, dia akan layu,” jawab gadis itu polos.

Kata-kata itu menghentak seperti petir dalam benaknya. Bunga matahari, pikirnya. Ia merasa dirinya seperti bunga yang selama ini menunduk, tidak lagi mencari cahaya sejatinya. Ia telah membiarkan dirinya terjerat dalam bayangan harta dan kemewahan, lupa untuk mencari sesuatu yang lebih penting: cahaya yang membawa kehidupan dan makna.

Tanpa sadar, ia meraih tangan gadis kecil itu. “Terima kasih,” katanya, suaranya sedikit bergetar. Gadis itu hanya mengangguk, lalu kembali menggambar, tidak menyadari betapa dalam kata-katanya telah menyentuh hati seorang yang tengah tersesat.

Hari-hari berikutnya, ia menghabiskan waktu di desa. Ia belajar mengolah tanah, menanam padi, dan merasakan hangatnya tawa yang tulus dari para petani yang bekerja bersamanya. Ia merasakan bagaimana peluh di dahi terasa jauh lebih memuaskan dibandingkan perhiasan yang pernah ia kenakan. Ia mulai menemukan bagian kecil dari wajahnya yang hilang, terkubur di bawah semua lapisan kepalsuan yang selama ini ia banggakan.

Bulan berganti. Ia kembali ke kota megahnya, tetapi kali ini ia tidak lagi sama. Gaun-gaun mewahnya ia tinggalkan. Perhiasan berkilauan itu ia simpan di kotak kayu tua. Ia mulai membangun kembali dirinya, bukan dengan kemewahan, tetapi dengan memberikan sesuatu yang berarti. Ia mendirikan sekolah kecil di desanya, tempat anak-anak bisa belajar menggambar, membaca, dan bermimpi. Ia menyumbangkan hartanya untuk mereka yang membutuhkan, bukan untuk mendapatkan pujian, tetapi untuk merasakan kehangatan yang ia temukan kembali.

Dan malam itu, di balkon rumahnya, ia kembali menatap bulan. Kali ini, ia tidak meminta bulan menjadi cermin. Ia tersenyum lembut. Di cermin kecil yang ia bawa dari desa, ia melihat wajahnya—bukan wajah yang sempurna seperti dulu, tetapi wajah yang hidup, penuh dengan cerita dan makna.

“Wajahku telah kembali,” bisiknya pelan. “Bukan karena kekayaan, tetapi karena aku kembali mencari cahaya.”

Minggu, 15 Juni 2025

Kehilangan Wajah

Dulu, ia adalah surga yang menelurkan kehangatan bagi siapa saja yang menjamahnya. Setiap orang yang beruntung bersentuhan dengannya akan merasakan kenikmatan yang seolah-olah tak berujung. Ia adalah sosok yang sempurna dalam pandangan dunia—kaya, cantik, dan selalu memikat. Keindahannya bukan hanya pada wajah, tetapi pada caranya mengalirkan pesona dari kekayaan yang ia punya.

Ketika ia melangkah, mata-mata terpaku. Gaun-gaunnya, gemerlap perhiasannya, bahkan aroma tubuhnya berbicara tentang kesempurnaan yang hampir mustahil ditandingi. Ia tahu itu. Setiap gerakannya seolah dirancang untuk memamerkan segala yang dimilikinya. Ia mencintai kekayaannya, dan kekayaannya mencintainya kembali, memperindah segala yang melekat padanya.

Namun, waktu bergerak dengan cara yang tak selalu memihak.

Kini, ia masih memeluk kekayaan yang jauh melampaui apa yang pernah ia bayangkan. Hartanya bagaikan lautan tanpa batas. Segala yang ia inginkan—apa pun itu—hanya sejauh satu bisikan. Tapi anehnya, semua kemudahan itu menjadi seperti hantu yang menggigit perlahan. Ia merasa tak lagi hidup dalam kebahagiaan yang dulu begitu nyata.

Orang-orang yang dulu menatapnya dengan kagum kini hanya memandangnya sebentar, lalu pergi tanpa berkata apa-apa. Cermin di kamarnya yang megah memantulkan bayangan tubuhnya, tetapi wajahnya tampak samar. Seperti lukisan yang warnanya memudar, ia kehilangan dirinya sedikit demi sedikit.

“Mengapa ini terjadi?” ia bertanya dalam hati, sambil menyentuh permukaan wajahnya. Tapi ia tahu, tak ada jawaban yang bisa memuaskan. Kekayaan yang dulu menjadi pijakan untuk berdiri kini seperti ilusi yang melemahkan.

Hari itu, ia keluar dengan gaun terindahnya. Mencoba sekali lagi menunjukkan bahwa ia masih ada, masih berharga. Tapi langkah-langkahnya terasa berat. Orang-orang yang dulu tersenyum kini hanya mengangguk datar. Ia seperti bayang-bayang yang tak dikenali.

Wajahnya, pikirnya. Di mana wajahku? Apakah semua ini karena aku terlalu bergantung pada kemilaunya harta, sampai lupa memberi jiwa pada diri sendiri?

Malam itu, ia duduk sendiri di balkon besar rumahnya, menatap bintang yang berkerlap-kerlip di kejauhan. Tidak ada yang menemaninya kecuali kesunyian. Ia sadar, kehilangan wajah bukan sekadar kehilangan bentuk. Ia kehilangan arti. Keindahan tanpa makna hanyalah ketelanjangan tanpa daya.

Dan untuk pertama kalinya, ia menangis. Bukan tangisan kehilangan harta atau kekayaan, tetapi tangisan rindu pada dirinya sendiri—yang telah hilang entah ke mana.

Tangisannya malam itu bukan sekadar derai air mata, tetapi juga sebuah pengakuan. Ia mengakui sesuatu yang selama ini selalu ia hindari: kekayaannya tidak mampu membeli dirinya kembali.

Di balkon itu, dengan cahaya bulan yang samar menerangi, ia mengingat masa lalu. Betapa dulu ia hidup dengan gairah yang menyala-nyala. Orang-orang mendekatinya bukan hanya karena kekayaannya, tetapi karena kehangatan yang ia pancarkan. Ia menyadari bahwa ia dulu bukan hanya indah, tetapi juga hidup—benar-benar hidup. Namun, seiring bertambahnya harta, ia membangun tembok-tembok tinggi, bukan hanya di sekeliling rumahnya tetapi juga di dalam hatinya.

Kini, tembok-tembok itu menjadi penjara. Di dalamnya, ia kaya, tetapi sunyi.

“Bagaimana aku bisa kembali ke diriku yang dulu?” gumamnya pada malam yang bisu. Tidak ada jawaban, hanya gemerisik angin yang menggoyangkan dedaunan di taman luas miliknya. Kekayaan itu seperti bisu, mengelilinginya dengan kesunyian tanpa makna.

Keesokan paginya, ia memutuskan untuk berjalan keluar tanpa perhiasan, tanpa gaun mewah, tanpa pengawal. Hanya ia sendiri, dalam balutan busana sederhana, mencoba menemukan sesuatu yang hilang.

Langkah-langkahnya membawanya ke tempat yang telah lama ia tinggalkan: sebuah desa kecil di tepi hutan, tempat ia dilahirkan. Rumah-rumah di sana masih sama seperti dulu, sederhana, dengan aroma tanah basah dan suara anak-anak yang bermain riang. Warga desa menatapnya dengan bingung, beberapa mengenalinya meskipun ia tampak sangat berbeda tanpa segala atribut kekayaannya.

Di sana, ia bertemu seorang perempuan tua yang dulu menjadi seperti ibu kedua baginya. Perempuan itu duduk di teras rumah yang reot, mengupas singkong dengan tangan yang keriput. Ia menatap perempuan tua itu dan seketika tangisnya pecah lagi.

“Ibu... aku kehilangan wajahku,” katanya, suaranya bergetar.

Perempuan tua itu menatapnya dengan mata yang lembut. “Nak, wajahmu tidak pernah hilang. Wajahmu ada di sini,” ia menunjuk hati. “Tapi kau terlalu lama mencarinya di tempat yang salah. Kekayaan bisa membeli apa saja, tapi tidak bisa membeli jiwa.”

Kata-kata itu seperti petir di siang bolong. Ia terdiam lama, memandangi perempuan tua itu. Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, ia merasakan sesuatu yang berbeda—bukan kesunyian, tetapi kehangatan. Kehangatan yang pernah ia berikan dulu, kehangatan yang selama ini ia rindukan.

Hari itu, ia tinggal di desa lebih lama dari yang ia rencanakan. Ia membantu perempuan tua itu memasak, berbincang dengan warga, dan tertawa dengan anak-anak kecil. Ia merasa kembali menjadi manusia, bukan sekadar sosok yang dipuja karena kekayaan.

Malamnya, saat ia menatap dirinya di cermin kecil yang dibawanya, ia melihat sesuatu yang berbeda. Wajahnya yang dulu ia kira hilang, kini perlahan kembali. Tidak lagi semegah dulu, tetapi ada sesuatu yang lebih berharga—kehidupan. Ia tersenyum kecil. Ia tahu, perjalanan untuk menemukan dirinya kembali masih panjang, tetapi untuk pertama kalinya, ia merasa punya alasan untuk melangkah.

Dan di dalam hatinya, ia berjanji: kali ini, ia tidak akan kehilangan wajahnya lagi.

Sabtu, 14 Juni 2025

Tahun 1980-an

Seperti biasa, setiap akhir pekan aku membantu orangtua membuku toko yang menjadi sandaran hidup bagi keluargaku. Pekerjaan yang kubenci, karena saat itu teman-teman sekolahku bisa menikmati hari liburnya untuk sekedar bermalas-malasan atau pun sekedar nongkrong bersama teman-temannya.

Tapi untuk meninggalkan begitu saja, pekerjaan membantu membuka toko itu, dan pergi bersama teman-teman, aku pun tak tega. Dengan agak malas, aku pun mengambil kunci toko dan memasukkan dalam saku celana panjang. Kuambil sepeda, dan segera belalu menuju pasar tempat toko itu nangkring.

Proses membuka toko dan menata ulang, serta bersih-bersih, biasanya memakan waktu sekitar satu sampa dua jam. Sambil menanti pembeli biasanya, aku segera menikmati koran pagi. Sebuah kebiasaan yang mungkin tidak dilakukan teman-temanku. Itu sebabnya, mungkin pelajaran ilmu sosial ku jadi jagoan di sekolah. 

Aku melahap semua berita yang disajikan koran. Biasanya, kumulai dengan membaca cerita bersambung yang disajikan setiap hari. Kemudian aku membaca cerpen dan baru setelah itu membaca berita yang disajikan di halaman 1 koran.

Fokusku ke koran saat membaca, memang  terbagi dengan pandangan pada jalan di depan toko dan waspada kalau ada pelanggan yang datang, agar bisa segera menyambut mereka. Tapi biasanya, baru sekitar menjelang siang, pelanggan banyak yang datang. Kalau masih pagi, hanya pedagang pelanggan yang mengambil barang pesanan mereka untuk dijual. Biasanya, barang-barang itu sudah di masukkan dalam kotak besar sehari sebelumnya.

Pada malam sebelum toko tutup, semua sudah dipersiapkan dengan cermat semua pesanan mereka. Jadi, saat pagi ini mereka langsung mengambilnya sendiri, setelah sekedar basa-basi padaku yang tetap duduk di kursi sambil tangan memegang koran. Di sampingku, biasanya sudah kuseduh kopi panas dan membuka bekal yang sudah disiapkan iku sebelum berangkat tadi pagi.

Sambil membaca, terkadang pikiranku melayang dan melintas pada pesan atau apa yang dibicarakan bapakku sambil lalu, saat sedang bersamad di toko.

Manusia itu harus punya akar. Kita jangan sampai kehilangan akar budaya. Sebagai orang Jawa di perantauan Sumatra ini, jangan sampai kehilangan Jawane. Meski kamu nggak bisa fasih berbahasa Jawa, tetapi minimal mengerti bahasa Jawa.

Jika tidak punya akar, maka kita bisa diterbangkan ke mana-mana seperti debu yang berhamburan di jalanan. Kita terbawa ke segala arah, bertumbukan dengan angin melayang, kemudian jatuh terguling-guling.

Apalagi, sesungguhnya hidup kita pendek. Kamu harus bisa mandiri, kalau ada apa-apa dengan bapak atau ibu, kamu sudah siap. Apalagi sebagai anak tertua, kamu harus menjaga adik-adikmu. Memang hidup kita ini sangatlah pendek. 

Piye-piye, adik-adikmu itu tunggal darah. Jangan sampai terpisah, saling jagalah.

Jika mengingat ini, maka kekesalanku karena diminta membuka toko ini akan hilang. Semangat muncul, dan semangat untuk bisa menguasai dan mengendalikan sebuah toko kelontong seperti bapak ini, segera terpatri dalam kepala.

Pesan itu mengingatkan pada sebuah sajak T’ao Ch’ien, yang selalu diingat oleh Putri Cina dalam novel karangan Romo Sindhunata.

Kisah ini pun ingin menukilkan apa  yang ditulis Sindhunata dalam bukunya yang berjudul Putri Cina.

Berikut nukilan dari tulisan Sindhunata. Kata leluhur Putri Cini, sajak itu ditulis pada abad ke-empat Masehi. Sebuah sajak yang sangat tua. Ia tahu, sajak itu pasti tidak dibuat untuk dia. Namun ternyata, sajak itu menjadi ramalan yang membentangkan nasibnya.

Tidakkah hidupnya memang tidak punya akar, yang mengikat dia pada suatu tanah, tempat ia bisa berpijak? Katanya, ia berasal dari Cina. Tapi ia tak tahu sama sekali, apakah dan bagaimanakah keadaan di tanah leluhurnya itu. Dan ke sana, sekali pun ia tak pernah.

Dan tidakkah ia dan kaumnya terbang seperti debu, yang berhamburan ke mana-mana? Kaumnya tak bisa bicara satu sama lain. Bahasa mereka berupa-rupa, tergantung di mana mereka tinggal. Sementara ia dan kebanyakan kaumnya pun tak bisa sama sekali bicara dalam bahasa leluhur.

Apa artinya merasa menjadi saudara serumpun dan seleluhur, jika mereka tidak mempunyai bahasa yang bisa menjalin mereka untuk saling berbicara? Ia berpikir, andaikan ia dan kaumnya tidak diikat dengan daging dan darah, takkan pernah mereka merasa saling bersaudara. Betapa daging dan darah sama sekali tak cukup untuk menjadikan dirinya sebagai manusia sepenuh-penuhnya. Malahan daging dan darah itu membatasi dia untuk menjadi manusia yang diterima di tempat ia berada. Ya, setiap kali ia mengeluh tentang dirinya, ia pun bertanya:

Kita datang ke dunia ini sebagai saudara. Tapi mengapa kita mesti diikat pada daging dan darah? Malam sedang terang benderang, ketika ia menanyakan perihal hidupnya itu. Bulan seperti keluar dari sarangnya, lalu menghampiri biliknya. Cahayanya demikian dekat padanya, sampai bulan itu terasa menari-nari di hadapannya. Disapanya bulan dengan mesra, seolah kekasihnya, ”Sejak kita berpisah, betapa aku ingin kau datang kembali padaku. Ternyata kau hanya datang dalam mimpiku. Sungguhkah kau datang, dan mau bersama dengan aku di dalam bilikku? Aku khawatir, kau hanyalah nyala yang keluar dari lilin di hadapanku. Dan begitu lilin ini habis mencair, kau pun hilang bersama nyalanya yang padam. Apakah kau hanya boleh kunikmati dalam mimpi?”

Tentu tiada jawaban baginya. Bulan pun segera pergi meninggalkannya. Ia merasa, bukan kekasih yang ia cari, tapi dirinya sendiri. Dan dirinya itu tak pernah ia temukan sampai kini.

Ia meraba wajahnya. Wajahnya ternyata tiada. Anehnya, orang-orang mengatakan, ia cantik jelita. Matanya nyaris sipit, tapi menambah wajahnya jadi lebih manis. Hidungnya tak terlalu mancung, tapi ia tampak sebagai gadis opera Peking yang amat anggun. Kulit wajahnya langsat kuning. Indah, meski tak seasli gadis-gadis asli Cina di tanah leluhurnya. 

Orang-orang bilang, ia cantik. Tapi ia sendiri tak pernah melihat kecantikannya. Tiap kali ia berkaca, dalam cermin ia hanya melihat mawar yang gosong kehitam-hitaman. Kelihatan amat menyedihkan. Kendati ia sudah berdandan layaknya gadis Cina, dengan gaun sutra merah berceplok-ceplok bunga, wajahnya tetap tak muncul-muncul juga. Malahan, pakaian yang dikenakannya makin membuat ia kelihatan sedih. Sebab, justru karena pakaiannya yang mewah, mawar hitam yang menjadi kepalanya makin membuat ia layu, seperti bunga yang sebentar lagi akan mati.

Semua jalan untuk menemukan kembali wajahnya seakan sudah tertutup. Dulu ia menaburkan keharuman di mana-mana. Tiap orang mencium, betapa harum aroma yang dibawanya. Sekarang keharuman itu pergi, hilang diterbangkan angin, bercampur dengan debu-debu jalanan.

Selasa, 29 April 2025

Menulis Fiksi vs Nonfiksi: Dua Dunia, Dua Cara Bercerita

Mau menulis fiksi apa non fiksni nih.

Dalam dunia menulis, ada dua jalur utama yang sering jadi pilihan: fiksi dan nonfiksi. Sama-sama butuh ide dan kata-kata, tapi cara menyampaikannya beda jauh. Nah, kalau kamu baru mulai menulis, penting banget kenal dua jenis ini biar tahu kamu lebih cocok yang mana — atau mungkin keduanya?

Jadi menulis fiksi, bisa saja sekedar cerita hayalan dan penuh rekaan. Namun, ceritanya tetap punya kaitan dengan kisah yang ada dalam kehidupan keseharian. 

1. Fiksi: Dunia Bebas Tak Terbatas

Fiksi itu cerita karangan. Bisa tentang cinta, misteri, petualangan, fantasi, kehidupan sehari-hari — apapun! Kamu bebas menciptakan tokoh, tempat, bahkan dunia baru sekalipun.

Ciri-ciri menulis fiksi:

  • Ada tokoh, konflik, dan alur cerita.

  • Butuh imajinasi kuat.

  • Nggak harus terjadi di dunia nyata.

  • Emosi pembaca jadi fokus utama.

Contoh tulisan fiksi:

  • Cerpen, novel, puisi naratif, cerita fantasi, fanfiction.

Tips menulis fiksi:

  • Mulai dari "apa yang terjadi jika…?"

  • Buat karakter yang punya tujuan dan rintangan.

  • Tunjukkan perasaan lewat tindakan, bukan cuma narasi.

  • Jangan takut aneh — justru itu yang bikin menarik.


2. Nonfiksi: Cerita dari Fakta dan Realita

Nonfiksi adalah tulisan berdasarkan kenyataan. Kamu menulis berdasarkan data, pengalaman nyata, atau opini yang bisa dipertanggungjawabkan.

Ciri-ciri menulis nonfiksi:

  • Fakta jadi pondasi utama.

  • Bisa personal (seperti esai) atau informatif (seperti artikel).

  • Lebih banyak menjelaskan, bukan bercerita.

  • Gaya bahasa bisa serius, bisa santai tergantung audiens.

Contoh tulisan nonfiksi:

  • Artikel, blog, biografi, catatan perjalanan, opini, esai.

Tips menulis nonfiksi:

  • Tentukan topik yang kamu kuasai atau alami sendiri.

  • Riset kalau perlu, terutama untuk tulisan informatif.

  • Jaga kejelasan dan struktur tulisan.

  • Tambahkan sentuhan pribadi biar nggak kaku.

Fiksi atau Nonfiksi, Mana yang Lebih Bagus?

Jawabannya: Tergantung kamu. Ini bukan soal mana yang lebih bagus, tetapi mana yang lebih pas buatmu.

  • Kalau kamu suka mengarang dan bermain imajinasi, fiksi bisa jadi tempat bermainmu.

  • Kalau kamu lebih suka berbagi pengalaman nyata atau menjelaskan sesuatu, nonfiksi bisa jadi ladang idemu.

Tapi yang paling seru? Gabungkan dua-duanya. Misalnya:

  • Nulis esai nonfiksi yang gayanya seperti bercerita.

  • Bikin fiksi yang terinspirasi dari pengalaman pribadi.

Tapi sebenarnya nih, mau tulisan fiksi atau nonfiksi, intinya sama: menyampaikan sesuatu yang bermakna. Cerita itu yang satu lewat imajinasi, yang satu lewat kenyataan. Jadi nggak juga harus buru-buru milih mana yang pas. Cobain dan berlatih aja dulu dua-duanya. Tulis dengan jujur dan nikmati prosesnya. Sampai suatu saat akan kaget sendiri dengan hasilnya.

Selamat menulis!