Selasa, 10 Juni 2025

Tiga Bulan Saja


Tepuk tangan bergemuruh di Forum Romanum saat Senat dengan suara bulat memilih seorang lelaki tua, jujur, dan berwibawa untuk menjadi Kaisar. 

Ia bukan bangsawan besar, bukan anak kaisar sebelumnya, melainkan anak dari seorang mantan budak yang meniti hidupnya melalui kerja keras dan kehormatan. 

Nama lelaki itu: Publius Helvius Pertinax.

Kita tahu – lewat gambar-gambar sejarah Romawi -- forum Romanum itu sejenis plaza persegi yang dikelilingi oleh sejumlah bangunan pemerintahan kuno di pusat kota Roma. 

Selama berabad-abad, tempat ini menjadi pusat kehidupan masyarakat Romawi: tempat prosesi kemenangan dan pemilihan umum; tempat pidato umum, pengadilan kriminal, dan pertandingan gladiator; dan inti dari segala aktivitas perdagangan.

Dotilah Pertinax dipilih dan diumumkan menggantikan Kaisar Commodus yang kejam dan banyak sensasi. Kaisar itu banyak bohongnya daripada kerja nyata.

Saat menerima tongkat kekaisaran, Pertinax berdiri sejenak di depan para senator, lalu menatap langit seolah mencari restu dari para dewa—atau mungkin dari suara hati nuraninya sendiri.

“Aku tidak mencari kekuasaan,” katanya pelan, nyaris berbisik, “tapi jika tak ada yang tersisa untuk menyelamatkan negeri ini kecuali seorang tua yang sudah lelah namun masih jujur, maka biarlah aku berdiri di sini.”

Pertinax mengutuk warisan Commodus. Bukan dengan kata-kata hinaan, tapi dengan menampilkan kontras. Keadilan menggantikan ketakutan, kesederhanaan melawan kemewahan, kebajikan menyaingi kebusukan.

Hari-hari awal pemerintahannya bagai embun pagi setelah malam panjang yang penuh badai. Rakyat Roma, terbiasa dengan kekacauan dan kekejaman Kaisar Commodus, nyaris tak percaya ketika mendengar kabar-kabar ini: pajak dikurangi, budak-budak dibebaskan, para tahanan politik dipulihkan kehormatannya. 

Pertinax mengembalikan seluruh kekayaan pribadinya kepada istri dan putranya. Katanya, dengan kekayaan itu, istri dan anak-anaknya tidak boleh memiliki alasan untuk menggantungkan keuntungan pada negara. 

Ia menolak gelar Augusta bagi istrinya dan Caesar bagi putranya, serta mendidik anaknya dalam kesederhanaan yang keras—bukan sebagai pewaris tahta, tapi sebagai murid kehidupan.

Ketika seorang penasihat memprotes, Pertinax menjawab dengan lirih:

“Jika aku ajarkan anakku kekuasaan sebelum ia tahu kesederhanaan, maka aku sedang menciptakan Commodus kedua.”

Wajahnya mungkin tampak keras di hadapan publik, tapi suaranya lembut dan penuh perhatian. Ia bersahabat dengan para senator berbudi luhur. Bukan karena mereka kuat, tapi karena mereka bermoral. 

Ia membuka kembali pintu pengampunan bagi mereka yang pernah dipenjara atau diasingkan secara tidak adil, dan dengan tangan yang sama ia menghukum para delator, para penuduh palsu yang selama ini menjadi alat kekuasaan tirani. 

Dalam sidang pertama sebagai kaisar, ia berujar:

“Tak ada kedamaian tanpa keadilan, dan tak ada keadilan tanpa keberanian.”

Pada suatu pagi, ia berjalan tanpa pengawal menuju sebuah rumah kecil di pinggiran Roma. Itu adalah rumah seorang pria tua yang pernah diasingkan karena difitnah oleh penguasa lama. 

Pertinax mengetuk pintu sendiri. Si pria tua membuka pintu dengan gemetar, tak percaya melihat Kaisar berdiri di hadapannya.

“Kau bukan budakku,” ujar Pertinax, “tapi aku berutang padamu karena negara ini telah mempermalukanmu. Pulanglah ke dewan, dan bawa kembali kehormatanmu.”

Air mata mengalir di wajah lelaki tua itu.

Namun tak semua menyukai perubahan. Para prajurit elit, Praetorian Guard, murka karena Pertinax tak mau “membeli” kesetiaan mereka dengan emas dan pesta. Mereka memandang disiplin sebagai ancaman, bukan perbaikan.

Maka pada hari ke-86 dari pemerintahannya, mereka datang. 

Di istana, beberapa pengawal pribadi lari ketakutan. Hanya seorang pelayan yang tertinggal, menggenggam tangan sang Kaisar dengan gemetar.

“Pergilah, selamatkan diri Anda,” bisik pelayan itu.

Pertinax menatapnya dengan damai.

“Aku tidak lari dari keadilan, mengapa aku harus lari dari ketidakadilan?”

Saat para pembunuh masuk, Pertinax berdiri tegak, mengenakan toga putih bersih. Ia tidak melawan, tidak memohon.

“Jika darahku bisa menyelamatkan Roma dari ketamakan kalian, maka biarlah ia mengalir.”

Ia gugur dalam keheningan. Tidak dengan pekikan, tidak dengan kepanikan, tapi dengan martabat yang membuat sejarah menundukkan kepala.

Sejarawan Simon Elliott menyebut Kaisar Pertinax sebagai "JFK-nya Roma" karena kemiripan mereka dalam hal asal-usul sederhana, komitmen terhadap reformasi, dan akhir tragis yang mengguncang bangsa.

Pertinax hanya berkuasa kurang dari tiga bulan. Namun lebih dari itu, ia menunjukkan bahwa kejujuran bukan kelemahan, kesederhanaan bukan kemiskinan, dan integritas tidak memerlukan waktu lama untuk bersinar.

Seorang filsuf pernah berkata, “Kehidupan yang dijalani dengan benar tidak perlu panjang, cukup dalam saja.” Pertinax tidak hanya menjalani itu. Ia menjadi itu.

Dan dalam gema sejarah, namanya tidak berbisik—ia menggema: sebagai Kaisar yang tak lama berkuasa, tetapi selamanya menginspirasi. 


Penulis: Edhy Aruman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar