Tampilkan postingan dengan label buku. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label buku. Tampilkan semua postingan

Selasa, 01 Juli 2025

Tiga Puluh Tiga


Usia 33 kerap disebut sebagai salah satu tonggak istimewa dalam perjalanan hidup manusia. Bukan sekadar angka, 33 memuat lapisan simbolisme spiritual, sejarah, dan energi transformatif yang melampaui hitungan waktu biasa. 

Dalam tradisi numerologi modern, 33 dikenal sebagai Master Number , yang kerap dijuluki sebagai Master Teacher.

Angka ini beresonansi dengan energi kasih sayang, keberkahan, inspirasi, kejujuran, keberanian, dan disiplin diri. Lebih dari itu, 33 diyakini sebagai angka yang mengingatkan manusia bahwa "semua hal adalah mungkin" ( all things are possible ) serta melambangkan bimbingan dalam perjalanan hidup

Mirip dengan cerita-cerita para pesohor di industri teknologi informasi, lembaga pendidikan LSPR dimulai dari sebuah ruangan kecil. Ketekunan, kegigihan, kesabaran, dan karakter humanis Prita Kemal Gani membuat LSPR makin kokoh dan terkenal.

Tiga puluh tiga tahun lalu, dimulai dari sepetak ruangan berukuran 12 m2 di Gedung WTC Jl. Sudirman, Jakarta, Prita membuat training school di bidang public relations (PR). Ruang seukuran itu hanya cukup untuk menempatkan meja pegawai penerima murid. Berada di antara ruang lainnya di gedung (saat itu) yang berkelas internasional, ruangan tersebut tidak menonjol.

Mirip dengan cerita-cerita para pesohor di industri teknologi informasi, lembaga pendidikan LSPR tidak langsung besar. Kiprahnya dalam pengembangan ilmu dan pofesi PR dimulai dari kecil, bahkan sangat kecil. Untuk ruang kelasnya, karena sebenarnya saat itu belum memiliki ruang kelas, Prita menyewa ruangan kelas di WTC secara jam-jaman.

Keterbatasan itu membutuhkan kreativitas, terutama dalam pengaturan kelas jam belajar. Tim Prita yang saat itu tidak sampai lima orang harus memutar otak mengatur ruangan. Tidak mudah, apalagi saat itu hampir semua pesertanya adalah pekerja. 

Jadinya, kelas dan jam pembelajarannya diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu pekerjaan peserta. Untuk kelas awal kursus, misalnya, ditetapkan selama tiga bulan dengan jadwal belajar dua kali seminggu, misalnya Senin dan Kamis, sehabis jam kantor pukul 18.30-21.00.

Langkah kecil ini ternyata membuka peluang. Peserta dimulai dari 30 orang dan terus bertambah hingga peserta yang ingin mendaftar harus masuk daftar tunggu.

Saat itu, seperti dituturkan Prita dalam buku ini, PR terbilang ilmu baru. Kebanyakan peserta adalah pekerja yang ingin memperluas wawasan tentang PR. Training memberikan ilmu yang fokus di bidang PR, mulai dari basic PR, pembuatan program dan perencanaan PR, media relations, PR strategy dan tactic, serta penulisan PR.

Kini lembaga kursus itu berkembang menjadi Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR, dan telah meluluskan hampir seratus ribu sarjana S-1 dan S-2. Di antara mereka terdapat pesohor seperti Prilly Latuconsina; Angkie Yudistia, Staf Khusus Presiden Republik Indonesia; dan Audrey P Puetriny, Deputy Chief of Corporate Affairs Gojek. Ada juga pesohor lain, termasuk Duta Besar Indonesia untuk Beijing Djauhari Oratmangun.

Kampus LSPR berada di Sudirman Park, Jakarta; Transpark Bekasi, dan Bali. Mahasiswanya berasal dari berbagai wilayah di Indonesia dan luar negeri.

Perjalanan menuju sukses sangat panjang dan penuh liku. Untuk mendapatkan nama LSPR, misalnya, prosesnya tidak semudah yang diduga orang. Sebelum mendapatkan nama LSPR (The London School of Public Relations), Prita pernah mempunyai rencana ―dan itu sudah hampir setengah jalan― bekerjasama dengan seorang warga negara asing. Maksud Prita adalah menjalin kemitraan guna membesarkan lembaga pendidikan yang mempunyai kekhususan di bidang PR ini.

Namun, setelah melewati berbagai diskusi, kemitraan itu tidak terwujud. Prita dan calon mitranya tidak sepakat. Meski demikian, Prita tak patah semangat. Penerima gelar doktor kehormatan di bidang PR dari Coventry University, Inggris, ini kukuh mewujudkan mimpinya mempunyai lembaga pendidikan PR. Kegagalan itu membuatnya makin bersemangat dan rajin berdiskusi dengan sang suami, Kemal Effendi Gani, sehingga membuahkan hasil dengan pemilihan nama LSPR Jakarta.

Setelah LSPR berdiri pada 1992, Prita terus berusaha keras memajukannya. Salah satu pencapaiannya adalah mendapatkan izin pemerintah untuk menaikkan status LSPR dari lembaga kursus ke tingkat yang lebih tinggi.

Namun, tantangan tetap muncul. Tahun 1998, Indonesa mengalami krisis ekonomi, bahkan multidimensi karena terjadi juga krisis politik. Nilai dolar yang semula hanya Rp 2.500 melejit menjadi Rp 16.900. Harga-harga barang dan inflasi membubung tinggi.

Salah satu dampaknya adalah banyak pelajar Indonesia yang sekolah di luar negeri pulang ke Tanah Air, dan mahasiswa Indonesia yang berencana kuliah di luar negeri batal. Situasi ini ternyata berdampak positif bagi perkembangan LSPR. Banyak calon mahasiswa yang mendaftarkan diri ke LSPR. Ini juga membangkitkan semangat Prita untuk terus meningkatkan dan mengembangkan LSPR.

Pada tahun 1999, secara resmi LSPR berubah status dari lembaga kursus menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi The London School of Public Relations (STIKOM LSPR). Nama itu dipilih karena Prita sempat menuntut ilmu PR di London. Itu sebabnya, banyak kurikulum yang diberlakukan di LSPR merupakan adaptasi dari pendidikan PR dari London.

Pada 1999 itulah mahasiswa LSPR datang bagaikan air mengalir dari keran yang terbuka ke sebuah kolam besar atau telaga, yakni LSPR. Setelah beberapa lama menempati kampus di Intiland Tower (Wisma Dharmala Sakti), Jalan Sudirman, gedung yang banyak mendapat pujian karena desainnya itu tidak bisa lagi menampung mahasiswa yang semakin banyak.

Akhirnya, sebagian pindah ke Gedung Dewan Pers di Jl. Kebon Sirih. Masih belum menampung jumlah mahasiswa yang semakin banyak ―sering membuat kemacetan― akhirnya sebagian lagi berkuliah di kampus di Gedung Bimantara selama beberapa tahun.

Kepindahan sebagian itu selain karena terbatasnya daya tampung di Kampus Dewan Pers, ada cerita lain di baliknya. Suatu malam, plafon salah satu ruangan kampus di Dewan Pers ambruk dan jatuh di tengah kelas. Untunglah, tidak menimbulkan korban. Saat itulah, tekad Prita makin bulat untuk mencari tempat baru yang lebih layak.

Suatu hari, Prita bersama sang suami melewati Sudirman Park di Jl. K.H. Mas Mansyur, Jakarta. Mereka melihat di situ ada pembangunan apartemen dan ruko. Di depannya terpampang promo penjualan ruko dengan harga perdana. Mereka pun mampir. Ternyata, mereka tergerak membeli ruko yang kemudian didesain kembali menjadi bangunan kampus yang cantik untuk menampung mahasiswa yang semakin banyak.

Mereka membeli dua ruko yang uang mukanya dibayar dengan dua kartu kredit. Namun, itu tak berlangsung lama karena beberapa waktu kemudian ―sebelum proyek itu rampung― mereka melengkapi dua ruko tadi menjadi 18 unit. Inilah yang menjadi kampus LSPR pertama.

Lembaga pendidikan dan jumlah mahasiswa LSPR terus berkembang. Tahun 2019, LSPR membangun kampus baru ―sebuah gedung yang tinggi dan nyaman untuk mahasiswa belajar dan beraktivitas― di Transpark Bekasi. Ini merupakan berkat uluran tangan pengusaha Chairul Tanjung yang memberi kemudahan dalam kepemilikannya.

Tiga puluh tahun sejak berdiri, nama LSPR disempurnakan. Saat ini LSPR terdaftar di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi sebagai Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR. Rebranding pun dilakukan dengan nama LSPR Institute of Communication & Business.

Kesuksesan LSPR mencerminkan gaya kepemimpinan Prita yang selalu mengedepankan sisi kemanusiaan, antara lain penghargaan dan hormat kepada kedua orang tua.

“Sejak kecil saya mengagumi sosok seorang guru. Kehadirannya ditunggu, suaranya didengarkan, dan sosoknya dimuliakan. Seorang guru tampil hebat, karena memiliki jawaban dari semua pertanyaan murid-murid di hadapannya,” kata Prita. Maka, ketika sudah bekerja sebagai seorang profesional, di dalam dirinya tetap ingin mewujudkan keinginan menjadi seorang pendidik.

Namun, yang tak kalah menarik adalah episode-episode kehidupan Prita sebagai seorang pemimpin. Ia menganggap pegawai serta pendidik di LSPR adalah keluarga. Ia mengibaratkan mendirikan LSPR seperti membangun sebuah rumah tangga. “Sejak awal saya selalu yang terdepan memperjuangkan pegawai. Tak jarang saya menjual perhiasan untuk membayar gaji dosen. Semua kami lakukan bersama-sama, hasilnya kami nikmati bersama,” katanya.

“Mungkin bekerja sebagai pendidik jumlah penghasilannya tidak berlebihan, namun kami memiliki kebahagiaan yang tak bisa dibeli dengan uang,” ungkap Prita. Dalam jajaran tim LSPR saat ini, banyak posisi penting yang dibina dari awal. “Banyak dari mereka yang kini menduduki posisi-posisi penting di LSPR awalnya adalah mahasiswa dan kami sekolahkan hingga meraih gelar Ph.D,” katanya. 

Penulis: Edhy Aruman

Sabtu, 21 Juni 2025

Memo Itu Menyelamatkan Nyawa


Katharine Gun adalah penerjemah bahasa Mandarin di Government Communications Headquarters (GCHQ) Inggris. 

Di balik kesunyiannya itu, dia menyaring ribuan koridor elektronik.

Dia menerjemahkan, menyusun, dan memahami rahasia negara.

Tapi pada 31 Januari 2003, hidupnya berubah selamanya ketika memo Top Secret//COMINT//X1 dari National Security Agency (NSA) AS tiba di antarmukanya .

Selama ini, Katharine menjalaninya sebagai rutinitas biasa: bangun pagi, meneguk kopi, lalu menyelami dokumen intelijen. 

Namun, pagi yang dingin itu, sebuah pesan dari Frank Koza, Kepala Staf Pertahanan Regional NSA, terkuak: NSA dan GCHQ diminta melakukan operasi spionase rahasia untuk memanipulasi suara anggota Dewan Keamanan PBB; Angola, Bulgaria, Kamerun, Chili, Guinea, dan Pakistan, agar mendukung resolusi perang Irak. 

“It was quite cold that Friday morning… I felt quite excited—no, more shocked than anything else,” kenang Katharine, saat mengetahui operasi ilegal itu .

Hatinya bergejolak. Ia selalu percaya bahwa intelijen seharusnya hanya mengumpulkan fakta, bukan menghancurkan kedaulatan diplomatik. 

Ia merenung: jika publik tahu bahwa Presiden AS George Bush dan Perdana Menteri Inggris Tony Blair diam-diam menekan suara-suara penentang dengan cara kotor, mungkin invasi itu bisa dicegah. 

“What I hoped,” ujarnya kemudian, “was that people would see what was happening and be so disgusted that nobody would support the war in Iraq… And I even hoped that the US general public would somehow realize that they were being dragged hook, line, and sinker into the war”.

Keputusan moral itu tiba-tiba—segera setelah membaca memo, Katharine menyelinapkan selembar salinan ke dalam tas tangan. 

Dia mencari satu orang yang bisa dia percaya untuk meneruskan pesan itu: teman karibnya—sebut saja “Jane” — yang diketahui memiliki koneksi ke jurnalis investigasi. 

Tanpa ragu, Katharine mengirim memo itu melalui email, berharap anonimitasnya terjaga .

Memo itu berpindah tangan dengan cepat. Jane menyerahkan naskahnya kepada wartawati Yvonne Ridley, yang menandainya sebagai dokumen otentik dan menghubungi Martin Bright, editor The Observer. 

Setelah tiga minggu verifikasi yang penuh gentar, termasuk usaha membuktikan keaslian serta mempertimbangkan potensi risiko hukum, The Observer mempublikasikan seluruh memo Koza pada 2 Maret 2003 itu. 

Editor Bright kemudian mengakui, “More of a concern to us was that we would be joined in the prosecution. To publish is an offence under the Official Secrets Act as well … So they preferred to take on the little guy—in this case, little woman—rather than us big guys” .

Keesokan harinya, panggilan dari GCHQ datang. Katharine ditanyai di departemen keamanan, lalu diserahkan ke polisi Metropolitan. 

Di ruang tahanan Cheltenham, ia digelandang tanpa gelang dan diborgol, merasakan dinginnya sel beton. 

Ia pun memutuskan untuk jujur: _“I have only ever followed my conscience,” tegasnya. 

Dia mengaku pembocoran memo demi menghentikan perang ilegal yang akan merenggut ribuan nyawa sipil dan tentara Inggris .

Proses peradilan berlangsung dramatis. Tim pembela dari organisasi hak asasi Liberty mengajukan “Advance Notice of Defence Statement” yang menuntut pengungkapan dokumen pendukung pandangan bahwa perang Irak tanpa resolusi baru PBB melanggar hukum internasional . 

Saat itulah pemerintah terjepit, membuka kemungkinan terbongkarnya nasihat hukum Lord Goldsmith tentang legalitas invasi. 

Enam hari sebelum persidangan di Old Bailey, jaksa memutuskan menghentikan kasus tanpa penjelasan resmi. 

Ruang sidang sunyi sesaat, lalu bergemuruh sorak sorai ketika Katharine keluar .

Keputusan itu menghindarkan pemerintah dari aib besar. Seandainya sidang berlanjut, legalitas perang dan kebebasan pers akan diuji tuntas dengan risiko bocornya dokumen rahasia tertinggi, termasuk surat menyurat Blair–Bush. 

Sir Menzies Campbell menyatakan, “Dropping the charges will avoid severe government embarrassment … It is even possible that the full text of the attorney general’s advice to the cabinet might have been published at last.”

Dampaknya meluas ke ranah politik Inggris dan AS. 

Di Inggris, kepercayaan publik terhadap Tony Blair merosot tajam. Momentum ini memberikan kontribusi pada kejatuhan pemerintahnya. 

Di AS, media mulai mempertanyakan narasi WMD dan melahirkan gerakan pemeriksaan ulang keputusan invasi. 

Laporan Chilcot 2016 akhirnya menyimpulkan bahwa invasi itu “tidak sah” dan “berdasarkan intelijen yang dipertanyakan” . 

Dalam debat panjang tentang legalitas perang, kasus Katharine Gun menjadi simbol penting konflik antara keamanan nasional dan hak publik untuk mengetahui kebenaran.

Katharine Teresa Harwood tumbuh sebagai “third-culture kid.”.

Masa kecilnya dihabiskan di Taiwan. Dia menguasai Bahasa Mandarin tanpa aksen asing sebelum melanjutkan pendidikan di Morrison Academy, AS. Kemudian dia mengajar selama dua tahun di pedesaan Jepang, memperkaya wawasan lintas budaya dan mematangkan etos kerjanya. 

Keahliannya dalam bahasa Mandarin dan pengetahuan lintas budaya mempersiapkannya menjadi salah satu penerjemah paling handal di Government Communications Headquarters (GCHQ), di mana ia menangani komunikasi intelijen tingkat tinggi antara NSA dan pemerintah Inggris . 

Pada 4 Januari 2001, Katharine menandatangani dokumen Official Secrets Act sebagai syarat bergabung dan melewati serangkaian tes keamanan serta kemahiran bahasa yang ketat sebelum resmi menjadi penerjemah di Cheltenham pada usia 26 tahun . 

Selama proses rekrutmen, ia juga menjalani pekerjaan sementara guna mendukung hidupnya di Inggris barat daya, termasuk mengajar bahasa dan pekerjaan serabutan lainnya . Di Cheltenham, Katharine menetap bersama suaminya, Yasar, imigran Turki yang menjalankan sebuah kafe di dekat markas GCHQ, saling mendukung dalam kehidupan yang tenang namun penuh tantangan

Kisah Katharine menegaskan peran pers sebagai penegak akuntabilitas. Tanpa Observer, operasi NSA itu mungkin tetap tersembunyi. Kebebasan pers menguat, whistleblower lain terinspirasi oleh keberaniannya. 

Julukan “moral compass” pun melekat padanya.  Katharine rela mengorbankan karier, kebebasan, dan rasa aman keluarga demi menyalakan lentera kebenaran di lorong kelam kekuasaan.

Setelah semua gegap gempita politik mereda, Katharine memilih hidup sederhana bersama suaminya, Yasar, di pedesaan Turki, mengajar bahasa Mandarin, dan menuntut ilmu etika global . Namun, suaranya tidak pernah padam: “I would do it again,” katanya, menegaskan komitmen bahwa pada momen kritis, hanya suara nurani yang dapat diandalkan .

Kisah Katharine Gun adalah pengingat abadi bahwa kebenaran, sekecil apa pun, memiliki kekuatan untuk mengguncang monolit kekuasaan. Dalam dilema antara ketaatan dan keadilan, ia memilih keberanian—dan mengubah jalannya sejarah.

Penulis: Edhy Aruman


RUJUKAN

Mitchell, M., & Mitchell, T. (2019). The spy who tried to stop a war: Katharine Gun and the secret plot to sanction the Iraq invasion. HarperCollins Publishers.

Sabtu, 14 Juni 2025

Tahun 1980-an

Seperti biasa, setiap akhir pekan aku membantu orangtua membuku toko yang menjadi sandaran hidup bagi keluargaku. Pekerjaan yang kubenci, karena saat itu teman-teman sekolahku bisa menikmati hari liburnya untuk sekedar bermalas-malasan atau pun sekedar nongkrong bersama teman-temannya.

Tapi untuk meninggalkan begitu saja, pekerjaan membantu membuka toko itu, dan pergi bersama teman-teman, aku pun tak tega. Dengan agak malas, aku pun mengambil kunci toko dan memasukkan dalam saku celana panjang. Kuambil sepeda, dan segera belalu menuju pasar tempat toko itu nangkring.

Proses membuka toko dan menata ulang, serta bersih-bersih, biasanya memakan waktu sekitar satu sampa dua jam. Sambil menanti pembeli biasanya, aku segera menikmati koran pagi. Sebuah kebiasaan yang mungkin tidak dilakukan teman-temanku. Itu sebabnya, mungkin pelajaran ilmu sosial ku jadi jagoan di sekolah. 

Aku melahap semua berita yang disajikan koran. Biasanya, kumulai dengan membaca cerita bersambung yang disajikan setiap hari. Kemudian aku membaca cerpen dan baru setelah itu membaca berita yang disajikan di halaman 1 koran.

Fokusku ke koran saat membaca, memang  terbagi dengan pandangan pada jalan di depan toko dan waspada kalau ada pelanggan yang datang, agar bisa segera menyambut mereka. Tapi biasanya, baru sekitar menjelang siang, pelanggan banyak yang datang. Kalau masih pagi, hanya pedagang pelanggan yang mengambil barang pesanan mereka untuk dijual. Biasanya, barang-barang itu sudah di masukkan dalam kotak besar sehari sebelumnya.

Pada malam sebelum toko tutup, semua sudah dipersiapkan dengan cermat semua pesanan mereka. Jadi, saat pagi ini mereka langsung mengambilnya sendiri, setelah sekedar basa-basi padaku yang tetap duduk di kursi sambil tangan memegang koran. Di sampingku, biasanya sudah kuseduh kopi panas dan membuka bekal yang sudah disiapkan iku sebelum berangkat tadi pagi.

Sambil membaca, terkadang pikiranku melayang dan melintas pada pesan atau apa yang dibicarakan bapakku sambil lalu, saat sedang bersamad di toko.

Manusia itu harus punya akar. Kita jangan sampai kehilangan akar budaya. Sebagai orang Jawa di perantauan Sumatra ini, jangan sampai kehilangan Jawane. Meski kamu nggak bisa fasih berbahasa Jawa, tetapi minimal mengerti bahasa Jawa.

Jika tidak punya akar, maka kita bisa diterbangkan ke mana-mana seperti debu yang berhamburan di jalanan. Kita terbawa ke segala arah, bertumbukan dengan angin melayang, kemudian jatuh terguling-guling.

Apalagi, sesungguhnya hidup kita pendek. Kamu harus bisa mandiri, kalau ada apa-apa dengan bapak atau ibu, kamu sudah siap. Apalagi sebagai anak tertua, kamu harus menjaga adik-adikmu. Memang hidup kita ini sangatlah pendek. 

Piye-piye, adik-adikmu itu tunggal darah. Jangan sampai terpisah, saling jagalah.

Jika mengingat ini, maka kekesalanku karena diminta membuka toko ini akan hilang. Semangat muncul, dan semangat untuk bisa menguasai dan mengendalikan sebuah toko kelontong seperti bapak ini, segera terpatri dalam kepala.

Pesan itu mengingatkan pada sebuah sajak T’ao Ch’ien, yang selalu diingat oleh Putri Cina dalam novel karangan Romo Sindhunata.

Kisah ini pun ingin menukilkan apa  yang ditulis Sindhunata dalam bukunya yang berjudul Putri Cina.

Berikut nukilan dari tulisan Sindhunata. Kata leluhur Putri Cini, sajak itu ditulis pada abad ke-empat Masehi. Sebuah sajak yang sangat tua. Ia tahu, sajak itu pasti tidak dibuat untuk dia. Namun ternyata, sajak itu menjadi ramalan yang membentangkan nasibnya.

Tidakkah hidupnya memang tidak punya akar, yang mengikat dia pada suatu tanah, tempat ia bisa berpijak? Katanya, ia berasal dari Cina. Tapi ia tak tahu sama sekali, apakah dan bagaimanakah keadaan di tanah leluhurnya itu. Dan ke sana, sekali pun ia tak pernah.

Dan tidakkah ia dan kaumnya terbang seperti debu, yang berhamburan ke mana-mana? Kaumnya tak bisa bicara satu sama lain. Bahasa mereka berupa-rupa, tergantung di mana mereka tinggal. Sementara ia dan kebanyakan kaumnya pun tak bisa sama sekali bicara dalam bahasa leluhur.

Apa artinya merasa menjadi saudara serumpun dan seleluhur, jika mereka tidak mempunyai bahasa yang bisa menjalin mereka untuk saling berbicara? Ia berpikir, andaikan ia dan kaumnya tidak diikat dengan daging dan darah, takkan pernah mereka merasa saling bersaudara. Betapa daging dan darah sama sekali tak cukup untuk menjadikan dirinya sebagai manusia sepenuh-penuhnya. Malahan daging dan darah itu membatasi dia untuk menjadi manusia yang diterima di tempat ia berada. Ya, setiap kali ia mengeluh tentang dirinya, ia pun bertanya:

Kita datang ke dunia ini sebagai saudara. Tapi mengapa kita mesti diikat pada daging dan darah? Malam sedang terang benderang, ketika ia menanyakan perihal hidupnya itu. Bulan seperti keluar dari sarangnya, lalu menghampiri biliknya. Cahayanya demikian dekat padanya, sampai bulan itu terasa menari-nari di hadapannya. Disapanya bulan dengan mesra, seolah kekasihnya, ”Sejak kita berpisah, betapa aku ingin kau datang kembali padaku. Ternyata kau hanya datang dalam mimpiku. Sungguhkah kau datang, dan mau bersama dengan aku di dalam bilikku? Aku khawatir, kau hanyalah nyala yang keluar dari lilin di hadapanku. Dan begitu lilin ini habis mencair, kau pun hilang bersama nyalanya yang padam. Apakah kau hanya boleh kunikmati dalam mimpi?”

Tentu tiada jawaban baginya. Bulan pun segera pergi meninggalkannya. Ia merasa, bukan kekasih yang ia cari, tapi dirinya sendiri. Dan dirinya itu tak pernah ia temukan sampai kini.

Ia meraba wajahnya. Wajahnya ternyata tiada. Anehnya, orang-orang mengatakan, ia cantik jelita. Matanya nyaris sipit, tapi menambah wajahnya jadi lebih manis. Hidungnya tak terlalu mancung, tapi ia tampak sebagai gadis opera Peking yang amat anggun. Kulit wajahnya langsat kuning. Indah, meski tak seasli gadis-gadis asli Cina di tanah leluhurnya. 

Orang-orang bilang, ia cantik. Tapi ia sendiri tak pernah melihat kecantikannya. Tiap kali ia berkaca, dalam cermin ia hanya melihat mawar yang gosong kehitam-hitaman. Kelihatan amat menyedihkan. Kendati ia sudah berdandan layaknya gadis Cina, dengan gaun sutra merah berceplok-ceplok bunga, wajahnya tetap tak muncul-muncul juga. Malahan, pakaian yang dikenakannya makin membuat ia kelihatan sedih. Sebab, justru karena pakaiannya yang mewah, mawar hitam yang menjadi kepalanya makin membuat ia layu, seperti bunga yang sebentar lagi akan mati.

Semua jalan untuk menemukan kembali wajahnya seakan sudah tertutup. Dulu ia menaburkan keharuman di mana-mana. Tiap orang mencium, betapa harum aroma yang dibawanya. Sekarang keharuman itu pergi, hilang diterbangkan angin, bercampur dengan debu-debu jalanan.

Jumat, 13 Juni 2025

Transisi

 


Oktober 2019, SAP – perusahaan perangkat lunak asal Jerman yang fokus pada solusi bisnis dan enterprise – mengumumkan keputusan yang mengejutkan banyak orang. 

Pemegang saham mengangkat Jennifer Morgan – bersama Christian Klein -- sebagai co-CEO SAP menggantikan CEO legendaris Bill McDermott.

Penunjukan ini mencetak sejarah. Morgan menjadi perempuan Amerika pertama di dewan eksekutif SAP. Dia juga co-CEO wanita pertama di antara perusahaan-perusahaan besar Jerman. Sebelumnya, itu tidak pernah terjadi.

Pemegang saham berharap penuh keduanya menjaga kontinuitas kepemimpinan setelah Bill McDermott mundur. Keduanya dianggap mampu menggabungkan keahlian teknologi dan bisnis, serta mempercepat transformasi digital SAP melalui struktur kepemimpinan kolaboratif dan berbagi tanggung jawab strategis.

Christian Klein berlatar belakang keuangan dan operasional. Ia pernah menjabat sebagai Chief Operating Officer (COO) dan Chief Financial Officer (CFO) di SAP. Dia ahli dalam efisiensi proses internal, transformasi organisasi, dan stabilitas operasional.

Jennifer Morgan, di sisi lain, berasal dari sisi komersial dan transformasi digital. Sebagai Presiden SAP’s Cloud Business Group, ia memimpin pertumbuhan layanan cloud SAP secara global. Ia jago dalam membangun hubungan pelanggan, ekspansi pasar, dan kepemimpinan strategis dalam inovasi.

Namun, apa yang terjadi? Ibarat kata, orang boleh berencana, Tuhan menentukan. 

Enam bulan setelah pengangkatan, Morgan mengundurkan diri. 

April 2020, SAP mengumumkan bahwa mereka kembali ke model CEO tunggal, dan menunjuk Klein sebagai satu-satunya pemimpin.

Alasannya? Krisis global akibat pandemi COVID-19. SAP menyatakan bahwa “dalam krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya ini, kami memerlukan satu suara kepemimpinan yang kuat dan jelas,” kata Klein.

“Awalnya (degan dua CEO), kami memulai dengan agenda bersama. Namun dalam situasi penuh gejolak ini, kami merasa sekarang adalah waktu yang tepat untuk kembali ke model CEO tunggal.” 

Sang pendiri SAP, Hasso Plattner, mendukung keputusan ini. Dia mengakui bahwa meskipun model co-CEO memiliki tempat dan waktu tersendiri, “Sekarang bukan waktu tang tepat.” 

Analis Commerzbank menyatakan bahwa pasar tidak pernah sepenuhnya menyukai struktur kepemimpinan ganda, meskipun kepergian Morgan berarti hilangnya juru bicara cloud yang berpengaruh (Business Insider, 2020).

Cerita Morgan hanyalah satu dari sekian banyak transisi eksekutif yang berakhir prematur, meski sebelumnya para ekskutif itu memiliki kinerja yang cemerlang. 

Di Hewlett-Packard, Léo Apotheker hanya bertahan sebelas bulan. Ia membuat keputusan strategis kontroversial. Dia mengumumkan rencana untuk menjual divisi PC dan mengakuisisi perusahaan Inggris, Autonomy, senilai $10,6 miliar. 

Reaksi pasar begitu negatif, dan nilai pasar HP anjlok lebih dari $30 miliar. Apotheker pun dipecat, membawa serta pesangon sebesar $25 juta (Bloomberg, 2011; CNN, 2011).

Di Boeing, Harry Stonecipher diminta kembali dari pensiunnya untuk memimpin pemulihan perusahaan. Namun hanya bertahan 15 bulan. Ia dipecat karena hubungan pribadi dengan seorang eksekutif wanita, hubungan yang dinilai melanggar etika perusahaan meski tidak berdampak langsung pada operasional (Deseret News, 2005).

Jeff Jones di Uber membawa gaya kepemimpinan berbasis nilai dari Target. Namun, ia memilih mengundurkan diri enam bulan setelah bergabung. Alasannya, dia merasa nilai-nilai kepemimpinannya tidak cocok dengan budaya Uber, yang saat itu sedang bergulat dengan krisis internal. Ia tidak ingin mengkompromikan prinsipnya demi jabatan (Vox, 2017).

Dalam banyak hal, keputusan Jones adalah refleksi dari seorang pemimpin yang sadar bahwa perubahan sejati tidak bisa dipaksakan jika sistem belum siap.

Apa benang merah dari kisah-kisah ini?

Menurut Navid Nazemian (2021), transisi eksekutif adalah masa paling rentan dalam siklus hidup organisasi. Transisi eksekutif bukan soal kemampuan individu semata, tetapi tentang bagaimana pemimpin baru menghadapi dan menavigasi ruang transisi yang kompleks.

Ironisnya, perusahaan seringkali lebih fokus pada proses perekrutan daripada penyusunan strategi yang kuat. Padahal, jika dijalankan dengan baik, transisi yang terstruktur bisa memangkas risiko kegagalan hingga 50 persen.

Transisi CEO bukan sekadar hari pertama atau 90 hari pertama. Ia adalah proses adaptasi dan integrasi mendalam, yang menuntut keseimbangan antara ekspektasi pasar, budaya organisasi, dan integritas pribadi. Tanpa fondasi ini, bahkan pemimpin paling cemerlang pun bisa tersandung.

Jennifer Morgan, Leo Apotheker, Harry Stonecipher, dan Jeff Jones semuanya memiliki rekam jejak luar biasa, menduduki posisi senior di perusahaan besar, dan diakui sebagai pemimpin visioner di bidang masing-masing. 

Namun justru di sinilah letak pelajaran pentingnya: kompetensi saja tidak cukup dalam transisi kepemimpinan.

Kegagalan mereka bukan karena kekurangan kapasitas intelektual atau pengalaman, tetapi karena ketidaksesuaian antara gaya kepemimpinan, nilai pribadi, ekspektasi organisasi, dan kondisi lingkungan saat itu. Transisi memerlukan kemampuan untuk memahami konteks baru secara mendalam—budaya perusahaan, dinamika kekuasaan internal, tekanan eksternal, serta sensitivitas terhadap momen historis seperti krisis pandemi atau perubahan strategi besar.

Kepemimpinan yang efektif bukan hanya soal siapa Anda, tetapi bagaimana Anda masuk ke dalam sistem yang sudah berjalan. 

Apakah sistem itu siap menerima perubahan yang Anda bawa. Kompeten? Ya. Tapi dalam ruang transisi, kompetensi perlu disertai kejelian, kerendahan hati, dan dukungan organisasi yang tepat. Tanpa itu, bahkan bintang pun bisa jatuh. 

Penulis: Edhy Aruman