Malam itu, ia duduk di tepi sungai desa, memandangi bayangan rembulan yang memantul di permukaan air. Angin malam berembus lembut, menyisir rambutnya yang kusut. Ia menarik napas panjang, membiarkan udara dingin meresap ke dalam tubuhnya yang selama ini dipeluk oleh kemewahan tanpa rasa.
“Hai angin,” bisiknya pelan, hampir seperti doa, “wajahku kauterbangkan ke mana? Apakah kau menyimpannya di suatu tempat yang jauh, di mana aku tak bisa mencapainya lagi?”
Angin menjawab dengan desiran yang menyentuh kulitnya, tetapi tidak memberikan jawaban pasti. Ia menghela napas, matanya menatap langit. Awan yang bergerak perlahan di atas sana seolah menari tanpa peduli pada beban hatinya.
“Hai awan,” pintanya, suaranya bergetar, “runtuhkanlah hujanmu menjadi wajahku. Biarkan aku menemukannya lagi di setiap tetes yang jatuh ke bumi. Aku ingin merasakan diriku kembali, meski hanya untuk sesaat.”
Namun, awan hanya bergerak tanpa henti, membawa dirinya menjauh dari pandangan. Ia menunduk, tangannya menggenggam erat segenggam tanah di tepi sungai. Ia merasa begitu kecil, begitu tak berarti.
Kemudian, ia menatap bulan yang menggantung di langit, cahayanya redup tetapi penuh kelembutan. Seolah-olah bulan itu mengerti kesedihannya. Dengan lirih, ia berbisik, “Hai bulan, jadilah kau cermin. Biarkan aku melihat wajahku yang hilang dalam sinarmu. Jangan biarkan aku terus menjadi bayang-bayang yang tak dikenal.”
Tetapi bulan hanya diam, memantulkan kehangatan yang menenangkan tetapi tanpa jawaban.
Dan di malam yang sunyi itu, untuk pertama kalinya, ia benar-benar memahami. Apa arti seorang manusia tanpa wajahnya? Bukan wajah yang dilihat orang lain, tetapi wajah yang ia lihat dalam dirinya sendiri, wajah yang menjadi cermin jiwanya. Apakah gunanya tumpukan emas, istana megah, dan kekayaan yang tak terhitung, jika di balik semua itu ia hanyalah sosok yang kehilangan makna?
Ia mengingat semua yang telah ia miliki. Kekayaannya yang dulu begitu ia banggakan kini terasa seperti beban. Bukannya menolongnya menemukan wajahnya, harta itu justru menenggelamkannya lebih dalam ke dalam jurang kehampaan. Ia sadar, di atas segala tumpukan kemewahan itu hanya ada satu hal: mawar hitam.
Wajahnya kini bagai mawar hitam. Tidak harum, tidak bercahaya. Kelopak-kelopaknya kering, melayu, kehilangan segala keindahan.
“Wajahku,” katanya pelan, dengan suara yang nyaris hilang, “adalah wajah dari mawar. Hitam, melayu, tanpa sinar.”
Ia melihat dirinya sebagai Putri Cina mawar hitam, telanjang, tersesat dalam malam. Tidak ada gemerlap, tidak ada sorak sorai. Hanya kegelapan yang menelannya, perlahan tapi pasti. Dan dalam keheningan itu, ia sadar bahwa ia harus menemukan kembali dirinya, bukan melalui kekayaan, tetapi melalui sesuatu yang jauh lebih abadi—makna.
Pagi menjelang, dengan mata yang bengkak karena tangis, ia berdiri di bawah pohon tua dekat sungai. Embun pagi membasahi rerumputan di sekelilingnya, seolah menyentuh kakinya dengan kelembutan yang menghibur. Matahari mulai merangkak naik di ufuk timur, memancarkan cahaya keemasan yang mengintip di antara daun-daun.
“Hari baru,” bisiknya, mencoba memberi dirinya kekuatan. “Mungkin ini adalah awal untuk menemukanku kembali.”
Ia kembali ke desa, berjalan menyusuri jalanan berbatu yang sederhana, menghirup udara segar pagi yang penuh dengan aroma tanah dan dedaunan basah. Di setiap langkah, ia melihat orang-orang menjalani hidup mereka—bukan dalam kemewahan, tetapi dalam kedamaian. Para petani sibuk di ladang, anak-anak bermain dengan tawa riang, dan para ibu bercakap-cakap sambil menjemur pakaian. Tidak ada emas, tidak ada perhiasan, tetapi ada sesuatu yang jauh lebih berharga—kebahagiaan yang sederhana dan nyata.
Di sebuah gubuk kecil, ia berhenti dan memperhatikan seorang gadis muda yang sedang menggambar di atas tanah dengan ranting kecil. Gambar itu sederhana: sebuah bunga matahari yang besar dengan kelopak lebar. Gadis itu mendongak, menyadari kehadirannya.
“Cantik sekali gambarmu,” katanya lembut. Gadis itu tersenyum malu-malu, tetapi matanya bersinar dengan antusiasme.
“Terima kasih, Kakak. Ini bunga matahari. Mereka selalu menghadap ke matahari, mencari cahayanya. Kalau bunga itu menghadap ke tanah, dia akan layu,” jawab gadis itu polos.
Kata-kata itu menghentak seperti petir dalam benaknya. Bunga matahari, pikirnya. Ia merasa dirinya seperti bunga yang selama ini menunduk, tidak lagi mencari cahaya sejatinya. Ia telah membiarkan dirinya terjerat dalam bayangan harta dan kemewahan, lupa untuk mencari sesuatu yang lebih penting: cahaya yang membawa kehidupan dan makna.
Tanpa sadar, ia meraih tangan gadis kecil itu. “Terima kasih,” katanya, suaranya sedikit bergetar. Gadis itu hanya mengangguk, lalu kembali menggambar, tidak menyadari betapa dalam kata-katanya telah menyentuh hati seorang yang tengah tersesat.
Hari-hari berikutnya, ia menghabiskan waktu di desa. Ia belajar mengolah tanah, menanam padi, dan merasakan hangatnya tawa yang tulus dari para petani yang bekerja bersamanya. Ia merasakan bagaimana peluh di dahi terasa jauh lebih memuaskan dibandingkan perhiasan yang pernah ia kenakan. Ia mulai menemukan bagian kecil dari wajahnya yang hilang, terkubur di bawah semua lapisan kepalsuan yang selama ini ia banggakan.
Bulan berganti. Ia kembali ke kota megahnya, tetapi kali ini ia tidak lagi sama. Gaun-gaun mewahnya ia tinggalkan. Perhiasan berkilauan itu ia simpan di kotak kayu tua. Ia mulai membangun kembali dirinya, bukan dengan kemewahan, tetapi dengan memberikan sesuatu yang berarti. Ia mendirikan sekolah kecil di desanya, tempat anak-anak bisa belajar menggambar, membaca, dan bermimpi. Ia menyumbangkan hartanya untuk mereka yang membutuhkan, bukan untuk mendapatkan pujian, tetapi untuk merasakan kehangatan yang ia temukan kembali.
Dan malam itu, di balkon rumahnya, ia kembali menatap bulan. Kali ini, ia tidak meminta bulan menjadi cermin. Ia tersenyum lembut. Di cermin kecil yang ia bawa dari desa, ia melihat wajahnya—bukan wajah yang sempurna seperti dulu, tetapi wajah yang hidup, penuh dengan cerita dan makna.
“Wajahku telah kembali,” bisiknya pelan. “Bukan karena kekayaan, tetapi karena aku kembali mencari cahaya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar