Matahari menyentuh ufuk di atas tanah Najd, memantulkan cahaya keemasan di atas bukit-bukit pasir yang seolah diam tapi menyimpan kisah besar. Di tengah padang pasir itulah, seorang anak laki-laki kecil berjalan kaki pulang dari masjid dengan secarik kertas di tangannya. Namanya Muhammad bin Abdil Wahhab — dan tanpa ia sadari, langkah-langkah kecilnya akan menoreh sejarah besar yang masih terasa sampai hari ini.
Muhammad tumbuh di kota kecil bernama ‘Uyaynah, sebuah wilayah tenang di jazirah Arab. Ayahnya adalah seorang ulama. Sejak kecil, Muhammad terbiasa mendengar diskusi agama, membaca kitab-kitab klasik, dan mendalami tafsir serta fiqih. Tapi ada satu hal yang selalu membuat hatinya bertanya-tanya: Mengapa banyak orang yang menyembelih hewan di kuburan keramat? Mengapa mereka menggantung jimat dan minta perlindungan kepada benda-benda selain Allah?
“Apakah ini benar ajaran Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ?” tanyanya suatu malam kepada ayahnya.
Sang ayah terdiam sejenak, lalu berkata pelan, “Itulah tugas generasi kalian. Membersihkan agama ini dari segala kotoran yang telah lama menempel.”
Perkataan itu tertanam kuat di hati Muhammad. Ia pun semakin giat belajar. Setelah menguasai banyak ilmu di kampung halaman, ia memutuskan pergi merantau: ke Makkah, Madinah, hingga ke Basrah. Di setiap kota, ia menimba ilmu dari para ulama besar. Tapi yang paling ia cari bukan hanya ilmu, melainkan kebenaran yang murni. Tauhid yang asli. Islam yang seperti zaman Rasulullah ﷺ dan para sahabat.
Di Basrah, ia menyaksikan masyarakat yang memuja wali-wali, menggantungkan hidup pada kuburan, dan menganggap hal-hal mistis sebagai bagian dari ibadah. Muhammad tertegun.
“Ini bukan Islam. Ini bukan ajaran Rasulullah,” bisiknya dalam hati.
Ia pulang ke kampung dengan semangat yang membara. Ia ingin mengubah umat.
Tapi perubahan bukan sesuatu yang disukai semua orang. Ketika ia mulai berdakwah, mengajak masyarakat untuk meninggalkan syirik, membakar jimat, dan berhenti meminta kepada kuburan, banyak orang marah. Para tokoh adat dan orang-orang yang diuntungkan oleh praktik syirik itu merasa terancam. Muhammad diusir, difitnah, bahkan nyawanya beberapa kali terancam.
Namun Muhammad tidak menyerah. Ia tahu jalan ini berat. Tapi jika bukan dia, lalu siapa lagi?
Di tengah masa-masa sulit itu, Allah mempertemukannya dengan seorang pemimpin daerah bernama Muhammad bin Su’ud, penguasa Dir’iyyah. Keduanya bersepakat: sang pemimpin akan mendukung dakwah Muhammad, dan Muhammad akan membimbing dengan ilmu. Dari sinilah gerakan dakwah yang kuat dan terorganisir lahir. Mereka menyebarkan ajakan tauhid ke seluruh wilayah Arabia.
Gerakan ini kelak dikenal sebagai Gerakan Dakwah Salafiyah. Tapi sayangnya, banyak orang salah paham. Ada yang menuduh ajarannya keras, terlalu kaku, bahkan menganggapnya membuat agama baru. Tapi jika kita mau membaca sendiri kitab-kitabnya, seperti Kitabut Tauhid, kita akan tahu: yang ia ajarkan hanyalah ajakan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah, sebagaimana pemahaman para sahabat.
Bayangkan, betapa beratnya hidup menjadi orang yang ingin mengubah dunia. Tapi itulah keberanian. Itulah makna dakwah.
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab wafat di usia tua, setelah menyaksikan dakwahnya tersebar, meski belum seluruhnya diterima. Tapi hari ini, jutaan orang di seluruh dunia membaca karya-karyanya, mendengar namanya, dan mengamalkan ilmunya.
Dan kamu, anak muda yang sedang membaca ini…
Tahukah kamu bahwa perubahan besar seringkali dimulai dari seseorang yang berani berbeda?
Asy-Syaikh Muhammad tak hanya menyampaikan dakwah, tapi menunjukkan bahwa kita semua bisa memilih jalan yang benar — meski sulit, meski sunyi, meski penuh tantangan.
Jadi, pertanyaannya sederhana:
Apakah kamu akan menjadi bagian dari orang-orang yang berani menjaga kemurnian agama ini… atau hanya diam dan mengikuti arus yang menyesatkan?
pertanyaan ini pun perlahan lewat dan diam-diam menghilang ditelan suara keheningan malam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar