Tampilkan postingan dengan label soul inspirasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label soul inspirasi. Tampilkan semua postingan

Kamis, 12 Juni 2025

Catatan


Hampir setiap malam, setelah dunia politik yang hiruk-pikuk reda dan seluruh urusan negara ditanggalkan untuk sementara, Barack Obama berdiam di ruangan pribadinya di Gedung Putih: Treaty Room.

Itu bukan aula megah, bukan ruang konferensi berlapis emas, melainkan ruang sederhana dengan cahaya kuning lembut, buku-buku bertumpuk, dan meja kayu yang sudah sedikit berumur.

Obama duduk sendirian. 

Di luar, pasukan keamanan masih berjaga. Dunia masih menatapnya sebagai Presiden Amerika Serikat, pemimpin negara paling berpengaruh di bumi. Tapi di dalam ruangan itu, ia bukan lagi presiden. Ia hanya Barack—seorang suami, ayah, dan manusia yang sedang berusaha memahami hari yang telah ia jalani.

Disitu dia menyusun rutinitas kecil. Tujuh butir almond. Tidak delapan, tidak enam. Tujuh. Sambil menonton pertandingan bola di layar televisi kecil, atau membuka iPad untuk bermain Words with Friends, ia melangkah ke dalam refleksi pribadi. 

Ia membaca surat-surat dari rakyat biasa, membuka laporan negara. Dia renungkan, pelajari, mencari yang kurang, dan dia diperbaiki besoknya. Dan dalam diamnya yang sakral, dia mengingat hal-hal kecil yang layak ia syukuri hari itu.

Bermuhasabah, kata teman-teman

Bagi Obama, waktu itu adalah ruang hening untuk kembali menjadi manusia. Ia tidak menyebutnya “praktik bersyukur.” Ia tidak menuliskannya dalam jurnal harian. Tapi dari cara ia hadir dalam ritual itu — disiplin, tenang, dan sadar — ia sedang mempraktikkan salah satu kekuatan spiritual paling kuat dalam hidup: bersyukur.

Lynne Twist, dalam buku The Soul of Money, menyebut bahwa syukur bukanlah sikap pasif. Ia adalah praktik aktif. Seperti yoga yang tak berarti apa pun jika tak pernah dilakukan di atas matras. Syukur pun demikian. Ia tak cukup hanya diimani; ia harus dihidupi. 

Twist menyebut bahwa kita hidup dalam budaya kelangkaan. Kita selalu merasa "tidak cukup" : tidak cukup kaya, tidak cukup sukses, tidak cukup dicintai.

Padahal, katanya, kecukupan bukan soal jumlah. Ia adalah kesadaran. Sebuah deklarasi dalam batin bahwa “apa yang saya miliki sekarang, cukup untuk membuat perbedaan.” Dan ketika kita menghargai apa yang kita miliki—apapun bentuknya—nilai itu akan berkembang, meluas, dan menciptakan kehidupan yang penuh makna.

“.... jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu...”

Bersyukur bukan berarti menyerah. Bukan pula puas dalam stagnasi. Bersyukur adalah kekuatan lembut yang mampu mengalihkan perhatian kita dari keluhan menuju kemungkinan. Ia mengubah rasa takut menjadi pengakuan akan keindahan saat ini. Ia menumbuhkan ketangguhan bukan karena hidup menjadi mudah, tetapi karena kita mampu melihat makna di dalam yang sulit.

Oprah Winfrey, dalam banyak kisahnya, bercerita bahwa ia memulai hari dengan menuliskan lima hal yang ia syukuri. Di masa-masa tergelap sekalipun— saat ia kesepian, dihujat, dan lelah secara emosional — ia tetap menulis. 

Dia menulis bukan hal-hal yang selalu besar. Kadang dia menulis tentang secangkir teh hangat, tawa stafnya, atau sepasang sepatu nyaman. 

Tapi dari situlah kekuatannya tumbuh. Dari pengakuan kecil yang konsisten, ia membangun istana batin yang kokoh.

Keanu Reeves, yang kehilangan adik, pacar, dan anaknya dalam rentang waktu yang singkat, tidak pernah tenggelam dalam amarah. 

Ia hidup sederhana, menyapa orang-orang di jalan, duduk di bangku taman sendirian, menikmati kopi pagi. 

Ketika ditanya apa yang membuatnya tetap berdiri, ia hanya berkata pelan, “Aku bersyukur aku masih hidup.”

Mereka—Obama, Oprah, Keanu—adalah orang-orang yang telah merasakan kepedihan dan tetap memilih untuk tidak menumpulkan rasa. Mereka memilih untuk bersyukur. 

BrenĂ© Brown, dalam bukunya The Gifts of Imperfection, mengatakan bahwa tidak satu pun dari orang-orang yang mengalami kebahagiaan tulus dalam hidupnya luput dari praktik syukur. 

“Kegembiraan adalah hasil samping dari praktik syukur yang konsisten,” katanya. 

Dan dalam dunia yang diliputi kecemasan, kita sering berpikir, “Jangan terlalu bahagia. Nanti kalau hilang, sakitnya akan lebih dalam.” Brown menyebut ini sebagai bagian dari mentalitas kelangkaan, yang menumpulkan rasa.

 “Kita tidak bisa menumpulkan emosi secara selektif. Ketika kita menumpulkan yang menyakitkan, kita juga menumpulkan kegembiraan,” kata Brown,

Praktik syukur bukan sesuatu yang terjadi saat semuanya berjalan baik. Justru di tengah kekacauan, di saat hati ingin menyerah, kita bisa memilih untuk tetap hadir dan berkata: “Saya masih di sini. Saya masih bisa merasakan. Saya bersyukur.”

Mulai dari yang sederhana. Tarik napas dalam. Lihat mata anak Anda saat ia tertidur. Rasakan tanah di bawah kaki saat berjalan. Ucapkan dengan keras, “Saya bersyukur karena saya bisa mencintai, meski hari ini melelahkan.”

Dan dari sana, sebuah ruang baru akan terbuka—ruang di mana kehidupan tidak harus sempurna untuk bisa indah, tidak harus besar untuk bisa berarti. Ruang di mana kita tahu, bahwa dalam segala kekurangan, kita tetap cukup. 

Penulis: Edhy Aruman

Sabtu, 07 Juni 2025

Prasangka


Tahun 1983, Lynne Twist – penulis buku The Soul of Money mengunjungi Mumbai. Di bandara dia disambut langsung oleh pengundangnya, Ramkrishna Bajaj . Dia itu tokoh terhormat, industrialis konglomerat, dan dermawan besar India.

Perjalanan menuju kediaman Ramkrishna Bajaj, Twist melihat hiruk pikuk manusia, mendengar suara klakson, dan menyaksikan gubuk-gubuk yang menempel di setiap sisi jalan. Selama itu,  Twist mengamati kongklomerat Bajaj bijak ini dengan penuh hormat. 

Dia juga sempat berjalan berdampingan dengan seorang pria yang dijuluki “anak kelima Gandhi" di jalanan utama Mumbai. Julukan itu melekat di dia karena kedekatan batin dengan Mahatma Gandhi dan totalitasnya dalam menjalani hidup berdasarkan nilai-nilai Gandhian.

Dia menjalani ahimsa (tanpa kekerasan), satyagraha (perjuangan kebenaran), swadeshi (kemandirian), dan pelayanan sosial.

Namun hari itu, Twist melihat sesuatu yang lain. Bertolak belakang, pikirnya. Yang membuat sebuah kebenaran seakan goyah. 

Ketika melewati jalanan dari bandara ke kediaman Ramkrishna, dia menyaksikan sang konglomerat itu tidak melihat sedikitpun pada para pengemis yang berbaring di trotoar. 

Dia tidak menoleh pada tangan-tangan kecil yang menggapai. Bahkan dia tidak memberi reaksi pada tangisan bayi-bayi yang kelaparan. Ia berjalan melewati mereka seolah mereka tak ada.

Twist, yang selama itu mendedikasikan hidupnya untuk mengakhiri kelaparan dunia, merasa terbelah. Bagaimana bisa seorang yang begitu mulia, kaya dan dermawan itu menutup mata terhadap penderitaan nyata? 

Namun, dengan cepat menemukan kejelasan. Di balik kebutaan itu ada perlindungan. Perlindungan terhadap hati yang terlalu sering patah karena menyaksikan kesengsaraan setiap hari (Twist, 2003).

Ramkrishna Bajaj tampak tidak peduli bukan karena hatinya keras, tetapi karena ia terlalu sering melihat penderitaan, sampai hatinya perlu “melindungi diri.” 

Ramkrishna tak mau membiarkan dirinya merasakan setiap tangisan dan luka yang ia temui, hatinya bisa hancur. Jadi, “kebutaan” itu adalah cara bertahan—bukan karena ia tak peduli, tapi justru karena ia terlalu peduli dan harus tetap kuat untuk bisa terus membantu.

Hari-hari berikutnya di India membuka matanya tentang wajah uang yang belum pernah ia bayangkan. Ia menyaksikan kenyataan pahit bahwa kemiskinan, di beberapa titik, telah menjadi industri. 

Anak-anak dimutilasi agar lebih “efektif” dalam meminta belas kasihan. Keluarga-keluarga, didorong oleh ketidakberdayaan, terkadang dengan sadar mengorbankan tubuh anak-anak mereka demi sesuap nasi. 

Bukan sekadar penderitaan—ini adalah sistem. Sebuah konspirasi sunyi antara belas kasihan, penderitaan, dan kebutaan kolektif. Ia pun tersadar: bukan hanya kekayaan yang bisa merusak jiwa, kemiskinan juga mampu mereduksi cinta menjadi transaksi (Twist, 2003).

Namun, kisah Ramkrishna Bajaj tidak berhenti di sana. Ia bukanlah orang yang mengabaikan penderitaan, melainkan seseorang yang memilih untuk mengelolanya dengan sistem dan nilai. 

Sebagai pejuang kemerdekaan, ia telah mengorbankan masa mudanya, dipenjara selama empat tahun karena keterlibatannya dalam gerakan Quit India (Kamath, 1995). Ia belajar Sansekerta dari Vinoba Bhave di dalam penjara, memperkuat fondasi spiritual yang kemudian membimbing kiprahnya dalam dunia sosial dan industri.

Di tengah dunia yang mudah tergoda oleh laba, Ramkrishna Bajaj justru menekankan integritas dan etika. Ia memimpin Bajaj Group bukan untuk mengejar keuntungan semata, tetapi sebagai wadah pelayanan publik. 

Ia memperjuangkan perdagangan yang adil dengan mendirikan Council for Fair Business Practices dan Advertising Standards Council of India, menolak segala bentuk manipulasi dan eksploitasi dalam bisnis (FICCI, 1994).

Di dunia pendidikan dan filantropi, ia menjadi teladan. Melalui Jamnalal Bajaj Foundation, ia membangun sistem dukungan yang memperkuat masyarakat dari bawah—bukan sekadar menyantuni, tapi memberdayakan. 

Sebagai Ketua Shiksha Mandal di Wardha, ia memperluas akses pendidikan dan mendorong integrasi nilai-nilai Gita dalam pendidikan anak-anak.

Ramkrishna Bajaj wafat pada 1994, tetapi warisannya hidup terus. IMC Ramkrishna Bajaj National Quality Award yang didirikan dua tahun setelah wafatnya, menjadi bukti nyata komitmennya terhadap keunggulan berbasis etika. 

Ia dikenang bukan sebagai pemilik kekayaan besar, melainkan sebagai penjaga nilai yang teguh. Bagi banyak orang, ia bukan hanya industrialis—ia adalah hati nurani yang berjalan di tengah sistem, mencoba tetap jernih di tengah kemelut uang dan ketidakadilan.

Kisah Lynne Twist dan Ramkrishna Bajaj terselip pesan inspiratif yang kuat: jangan mudah berprasangka terhadap sikap yang tampak dingin atau tidak peduli. Kadang, apa yang terlihat seperti ketidakpedulian sebenarnya adalah cara seseorang bertahan agar tetap bisa membantu dalam jangka panjang.

Ramkrishna Bajaj bukan menutup mata karena cuek, tapi karena terlalu banyak melihat penderitaan, dan jika ia menyerap semuanya, ia tak akan mampu berdiri. Ia memilih diam bukan karena tak punya hati, tapi karena ia menjaga agar hatinya tetap utuh untuk bisa terus melayani. 

Inspirasi ini mengingatkan kita untuk menggali lebih dalam sebelum menilai orang lain, karena kebaikan sejati sering bekerja dalam keheningan yang tidak mencolok.

Melalui pengalaman Lynne Twist, kita diajak melihat dimensi yang lebih dalam: kadang, yang tampak seperti ketidakpedulian adalah cara bertahan dari kepekaan yang terlalu tajam. Ramkrishna Bajaj bukanlah orang yang menutup mata karena acuh, tapi karena hatinya telah remuk berkali-kali oleh penderitaan yang tak henti.

Ia mengajarkan bahwa memberi bukan soal reaksi emosional sesaat, tapi soal membangun sistem yang mencegah penderitaan itu tumbuh subur. 

Penulis: Edhy Aruman