Berikut tulisan seorang sahabat teman sejawat ketika masih bekerja sebagai jurnalis tentang sejumlah fenomena sosial politik yang terjadi akhir-akhir ini.
Fenomena politik yang kita saksikan di sekitar kita, entah itu soal menyangkut Ijazah palsu, atau kasus izin tambang nikel di Raja Ampat akhir-akhir ini, sangat pekat dengan politisasi. Bukan menyangkut soal data atau perizinan semata. Tapi juga menjadi bagian dari lanskap komunikasi publik yang sarat dengan fenomena post-truth — di mana emosi dan identitas politik lebih menentukan sikap seseorang daripada fakta-fakta objektif.
Ketika seseorang dengan mudah menuduh pihak lain sebagai “penjilat” atau “tak tahu malu” tanpa membuka ruang untuk klarifikasi atau dialog berbasis data, itu menunjukkan bahwa opini telah dibentuk dan dikunci bukan oleh bukti, tapi oleh afiliasi politik dan narasi emosional. Inilah karakter khas era post-truth.
Lebih lanjut, situasi ini juga mencerminkan strategi komunikasi yang disebut sebagai ‘firehose of falsehood’ — dalam bentuk penyebaran masif informasi palsu atau menyesatkan dari banyak sumber sekaligus, bahkan juga “sumber intelektual” dengan volume tinggi dan pengulangan terus-menerus, sehingga membingungkan publik dan merusak persepsi tentang mana yang benar dan mana yang salah.
Dalam konteks ini, ketika fakta dikaburkan dengan narasi yang terus-menerus diulang, publik akan kesulitan membedakan mana informasi sahih dan mana yang manipulatif. Mana yang pener, mana yang keblinger.
Pantesan saja, Dahlan Iskan, mantan jurnalis dan mantan menteri ketika ia menerima gelar doktor kehormatan, memunculkan orasi tentang “kebenaran baru”. Ia mengatakan bahwa kebenaran hari ini tidak lagi ditentukan oleh siapa yang paling benar secara substansi, tetapi siapa yang paling banyak didengar dan paling dipercaya. Apalagi itu dari kalangan intelektual datangnya. Di tengah banjir informasi dan opini, kebenaran bisa dibentuk, dikonstruksi, bahkan dibeli, asalkan memiliki panggung dan pengikut.
Karena itu, yang dibutuhkan saat ini bukan hanya klarifikasi fakta atau pembuktian data, tapi juga ketahanan berpikir kritis dan keberanian untuk tetap waras di tengah “semburan kebohongan” yang membentuk opini publik. Kita harus kembali menempatkan kebenaran sebagai fondasi, bukan sekadar narasi yang menang dan lantang di ruang echo chamber politik. Harus berani berbeda pendapat. Perlu disensus, ketimbang konsensus dalam ‘amok kebohongan’ yang jelas bertendensi tujuan politik.
Yang dibutuhkan saat ini bukan hanya klarifikasi fakta atau pembuktian data, tapi juga ketahanan berpikir kritis dan keberanian untuk tetap waras di tengah “semburan kebohongan” yang membentuk opini publik. Kebenaran itu bukan sekadar narasi yang menang di ruang echo chamber politik… (sha)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar