Hampir setiap malam, setelah dunia politik yang hiruk-pikuk reda dan seluruh urusan negara ditanggalkan untuk sementara, Barack Obama berdiam di ruangan pribadinya di Gedung Putih: Treaty Room.
Itu bukan aula megah, bukan ruang konferensi berlapis emas, melainkan ruang sederhana dengan cahaya kuning lembut, buku-buku bertumpuk, dan meja kayu yang sudah sedikit berumur.
Obama duduk sendirian.
Di luar, pasukan keamanan masih berjaga. Dunia masih menatapnya sebagai Presiden Amerika Serikat, pemimpin negara paling berpengaruh di bumi. Tapi di dalam ruangan itu, ia bukan lagi presiden. Ia hanya Barack—seorang suami, ayah, dan manusia yang sedang berusaha memahami hari yang telah ia jalani.
Disitu dia menyusun rutinitas kecil. Tujuh butir almond. Tidak delapan, tidak enam. Tujuh. Sambil menonton pertandingan bola di layar televisi kecil, atau membuka iPad untuk bermain Words with Friends, ia melangkah ke dalam refleksi pribadi.
Ia membaca surat-surat dari rakyat biasa, membuka laporan negara. Dia renungkan, pelajari, mencari yang kurang, dan dia diperbaiki besoknya. Dan dalam diamnya yang sakral, dia mengingat hal-hal kecil yang layak ia syukuri hari itu.
Bermuhasabah, kata teman-teman
Bagi Obama, waktu itu adalah ruang hening untuk kembali menjadi manusia. Ia tidak menyebutnya “praktik bersyukur.” Ia tidak menuliskannya dalam jurnal harian. Tapi dari cara ia hadir dalam ritual itu — disiplin, tenang, dan sadar — ia sedang mempraktikkan salah satu kekuatan spiritual paling kuat dalam hidup: bersyukur.
Lynne Twist, dalam buku The Soul of Money, menyebut bahwa syukur bukanlah sikap pasif. Ia adalah praktik aktif. Seperti yoga yang tak berarti apa pun jika tak pernah dilakukan di atas matras. Syukur pun demikian. Ia tak cukup hanya diimani; ia harus dihidupi.
Twist menyebut bahwa kita hidup dalam budaya kelangkaan. Kita selalu merasa "tidak cukup" : tidak cukup kaya, tidak cukup sukses, tidak cukup dicintai.
Padahal, katanya, kecukupan bukan soal jumlah. Ia adalah kesadaran. Sebuah deklarasi dalam batin bahwa “apa yang saya miliki sekarang, cukup untuk membuat perbedaan.” Dan ketika kita menghargai apa yang kita miliki—apapun bentuknya—nilai itu akan berkembang, meluas, dan menciptakan kehidupan yang penuh makna.
“.... jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu...”
Bersyukur bukan berarti menyerah. Bukan pula puas dalam stagnasi. Bersyukur adalah kekuatan lembut yang mampu mengalihkan perhatian kita dari keluhan menuju kemungkinan. Ia mengubah rasa takut menjadi pengakuan akan keindahan saat ini. Ia menumbuhkan ketangguhan bukan karena hidup menjadi mudah, tetapi karena kita mampu melihat makna di dalam yang sulit.
Oprah Winfrey, dalam banyak kisahnya, bercerita bahwa ia memulai hari dengan menuliskan lima hal yang ia syukuri. Di masa-masa tergelap sekalipun— saat ia kesepian, dihujat, dan lelah secara emosional — ia tetap menulis.
Dia menulis bukan hal-hal yang selalu besar. Kadang dia menulis tentang secangkir teh hangat, tawa stafnya, atau sepasang sepatu nyaman.
Tapi dari situlah kekuatannya tumbuh. Dari pengakuan kecil yang konsisten, ia membangun istana batin yang kokoh.
Keanu Reeves, yang kehilangan adik, pacar, dan anaknya dalam rentang waktu yang singkat, tidak pernah tenggelam dalam amarah.
Ia hidup sederhana, menyapa orang-orang di jalan, duduk di bangku taman sendirian, menikmati kopi pagi.
Ketika ditanya apa yang membuatnya tetap berdiri, ia hanya berkata pelan, “Aku bersyukur aku masih hidup.”
Mereka—Obama, Oprah, Keanu—adalah orang-orang yang telah merasakan kepedihan dan tetap memilih untuk tidak menumpulkan rasa. Mereka memilih untuk bersyukur.
Brené Brown, dalam bukunya The Gifts of Imperfection, mengatakan bahwa tidak satu pun dari orang-orang yang mengalami kebahagiaan tulus dalam hidupnya luput dari praktik syukur.
“Kegembiraan adalah hasil samping dari praktik syukur yang konsisten,” katanya.
Dan dalam dunia yang diliputi kecemasan, kita sering berpikir, “Jangan terlalu bahagia. Nanti kalau hilang, sakitnya akan lebih dalam.” Brown menyebut ini sebagai bagian dari mentalitas kelangkaan, yang menumpulkan rasa.
“Kita tidak bisa menumpulkan emosi secara selektif. Ketika kita menumpulkan yang menyakitkan, kita juga menumpulkan kegembiraan,” kata Brown,
Praktik syukur bukan sesuatu yang terjadi saat semuanya berjalan baik. Justru di tengah kekacauan, di saat hati ingin menyerah, kita bisa memilih untuk tetap hadir dan berkata: “Saya masih di sini. Saya masih bisa merasakan. Saya bersyukur.”
Mulai dari yang sederhana. Tarik napas dalam. Lihat mata anak Anda saat ia tertidur. Rasakan tanah di bawah kaki saat berjalan. Ucapkan dengan keras, “Saya bersyukur karena saya bisa mencintai, meski hari ini melelahkan.”
Dan dari sana, sebuah ruang baru akan terbuka—ruang di mana kehidupan tidak harus sempurna untuk bisa indah, tidak harus besar untuk bisa berarti. Ruang di mana kita tahu, bahwa dalam segala kekurangan, kita tetap cukup.
Penulis: Edhy Aruman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar