Minggu, 15 Juni 2025

Kehilangan Wajah

Dulu, ia adalah surga yang menelurkan kehangatan bagi siapa saja yang menjamahnya. Setiap orang yang beruntung bersentuhan dengannya akan merasakan kenikmatan yang seolah-olah tak berujung. Ia adalah sosok yang sempurna dalam pandangan dunia—kaya, cantik, dan selalu memikat. Keindahannya bukan hanya pada wajah, tetapi pada caranya mengalirkan pesona dari kekayaan yang ia punya.

Ketika ia melangkah, mata-mata terpaku. Gaun-gaunnya, gemerlap perhiasannya, bahkan aroma tubuhnya berbicara tentang kesempurnaan yang hampir mustahil ditandingi. Ia tahu itu. Setiap gerakannya seolah dirancang untuk memamerkan segala yang dimilikinya. Ia mencintai kekayaannya, dan kekayaannya mencintainya kembali, memperindah segala yang melekat padanya.

Namun, waktu bergerak dengan cara yang tak selalu memihak.

Kini, ia masih memeluk kekayaan yang jauh melampaui apa yang pernah ia bayangkan. Hartanya bagaikan lautan tanpa batas. Segala yang ia inginkan—apa pun itu—hanya sejauh satu bisikan. Tapi anehnya, semua kemudahan itu menjadi seperti hantu yang menggigit perlahan. Ia merasa tak lagi hidup dalam kebahagiaan yang dulu begitu nyata.

Orang-orang yang dulu menatapnya dengan kagum kini hanya memandangnya sebentar, lalu pergi tanpa berkata apa-apa. Cermin di kamarnya yang megah memantulkan bayangan tubuhnya, tetapi wajahnya tampak samar. Seperti lukisan yang warnanya memudar, ia kehilangan dirinya sedikit demi sedikit.

“Mengapa ini terjadi?” ia bertanya dalam hati, sambil menyentuh permukaan wajahnya. Tapi ia tahu, tak ada jawaban yang bisa memuaskan. Kekayaan yang dulu menjadi pijakan untuk berdiri kini seperti ilusi yang melemahkan.

Hari itu, ia keluar dengan gaun terindahnya. Mencoba sekali lagi menunjukkan bahwa ia masih ada, masih berharga. Tapi langkah-langkahnya terasa berat. Orang-orang yang dulu tersenyum kini hanya mengangguk datar. Ia seperti bayang-bayang yang tak dikenali.

Wajahnya, pikirnya. Di mana wajahku? Apakah semua ini karena aku terlalu bergantung pada kemilaunya harta, sampai lupa memberi jiwa pada diri sendiri?

Malam itu, ia duduk sendiri di balkon besar rumahnya, menatap bintang yang berkerlap-kerlip di kejauhan. Tidak ada yang menemaninya kecuali kesunyian. Ia sadar, kehilangan wajah bukan sekadar kehilangan bentuk. Ia kehilangan arti. Keindahan tanpa makna hanyalah ketelanjangan tanpa daya.

Dan untuk pertama kalinya, ia menangis. Bukan tangisan kehilangan harta atau kekayaan, tetapi tangisan rindu pada dirinya sendiri—yang telah hilang entah ke mana.

Tangisannya malam itu bukan sekadar derai air mata, tetapi juga sebuah pengakuan. Ia mengakui sesuatu yang selama ini selalu ia hindari: kekayaannya tidak mampu membeli dirinya kembali.

Di balkon itu, dengan cahaya bulan yang samar menerangi, ia mengingat masa lalu. Betapa dulu ia hidup dengan gairah yang menyala-nyala. Orang-orang mendekatinya bukan hanya karena kekayaannya, tetapi karena kehangatan yang ia pancarkan. Ia menyadari bahwa ia dulu bukan hanya indah, tetapi juga hidup—benar-benar hidup. Namun, seiring bertambahnya harta, ia membangun tembok-tembok tinggi, bukan hanya di sekeliling rumahnya tetapi juga di dalam hatinya.

Kini, tembok-tembok itu menjadi penjara. Di dalamnya, ia kaya, tetapi sunyi.

“Bagaimana aku bisa kembali ke diriku yang dulu?” gumamnya pada malam yang bisu. Tidak ada jawaban, hanya gemerisik angin yang menggoyangkan dedaunan di taman luas miliknya. Kekayaan itu seperti bisu, mengelilinginya dengan kesunyian tanpa makna.

Keesokan paginya, ia memutuskan untuk berjalan keluar tanpa perhiasan, tanpa gaun mewah, tanpa pengawal. Hanya ia sendiri, dalam balutan busana sederhana, mencoba menemukan sesuatu yang hilang.

Langkah-langkahnya membawanya ke tempat yang telah lama ia tinggalkan: sebuah desa kecil di tepi hutan, tempat ia dilahirkan. Rumah-rumah di sana masih sama seperti dulu, sederhana, dengan aroma tanah basah dan suara anak-anak yang bermain riang. Warga desa menatapnya dengan bingung, beberapa mengenalinya meskipun ia tampak sangat berbeda tanpa segala atribut kekayaannya.

Di sana, ia bertemu seorang perempuan tua yang dulu menjadi seperti ibu kedua baginya. Perempuan itu duduk di teras rumah yang reot, mengupas singkong dengan tangan yang keriput. Ia menatap perempuan tua itu dan seketika tangisnya pecah lagi.

“Ibu... aku kehilangan wajahku,” katanya, suaranya bergetar.

Perempuan tua itu menatapnya dengan mata yang lembut. “Nak, wajahmu tidak pernah hilang. Wajahmu ada di sini,” ia menunjuk hati. “Tapi kau terlalu lama mencarinya di tempat yang salah. Kekayaan bisa membeli apa saja, tapi tidak bisa membeli jiwa.”

Kata-kata itu seperti petir di siang bolong. Ia terdiam lama, memandangi perempuan tua itu. Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, ia merasakan sesuatu yang berbeda—bukan kesunyian, tetapi kehangatan. Kehangatan yang pernah ia berikan dulu, kehangatan yang selama ini ia rindukan.

Hari itu, ia tinggal di desa lebih lama dari yang ia rencanakan. Ia membantu perempuan tua itu memasak, berbincang dengan warga, dan tertawa dengan anak-anak kecil. Ia merasa kembali menjadi manusia, bukan sekadar sosok yang dipuja karena kekayaan.

Malamnya, saat ia menatap dirinya di cermin kecil yang dibawanya, ia melihat sesuatu yang berbeda. Wajahnya yang dulu ia kira hilang, kini perlahan kembali. Tidak lagi semegah dulu, tetapi ada sesuatu yang lebih berharga—kehidupan. Ia tersenyum kecil. Ia tahu, perjalanan untuk menemukan dirinya kembali masih panjang, tetapi untuk pertama kalinya, ia merasa punya alasan untuk melangkah.

Dan di dalam hatinya, ia berjanji: kali ini, ia tidak akan kehilangan wajahnya lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar