Sabtu, 14 Juni 2025

Tahun 1980-an

Seperti biasa, setiap akhir pekan aku membantu orangtua membuku toko yang menjadi sandaran hidup bagi keluargaku. Pekerjaan yang kubenci, karena saat itu teman-teman sekolahku bisa menikmati hari liburnya untuk sekedar bermalas-malasan atau pun sekedar nongkrong bersama teman-temannya.

Tapi untuk meninggalkan begitu saja, pekerjaan membantu membuka toko itu, dan pergi bersama teman-teman, aku pun tak tega. Dengan agak malas, aku pun mengambil kunci toko dan memasukkan dalam saku celana panjang. Kuambil sepeda, dan segera belalu menuju pasar tempat toko itu nangkring.

Proses membuka toko dan menata ulang, serta bersih-bersih, biasanya memakan waktu sekitar satu sampa dua jam. Sambil menanti pembeli biasanya, aku segera menikmati koran pagi. Sebuah kebiasaan yang mungkin tidak dilakukan teman-temanku. Itu sebabnya, mungkin pelajaran ilmu sosial ku jadi jagoan di sekolah. 

Aku melahap semua berita yang disajikan koran. Biasanya, kumulai dengan membaca cerita bersambung yang disajikan setiap hari. Kemudian aku membaca cerpen dan baru setelah itu membaca berita yang disajikan di halaman 1 koran.

Fokusku ke koran saat membaca, memang  terbagi dengan pandangan pada jalan di depan toko dan waspada kalau ada pelanggan yang datang, agar bisa segera menyambut mereka. Tapi biasanya, baru sekitar menjelang siang, pelanggan banyak yang datang. Kalau masih pagi, hanya pedagang pelanggan yang mengambil barang pesanan mereka untuk dijual. Biasanya, barang-barang itu sudah di masukkan dalam kotak besar sehari sebelumnya.

Pada malam sebelum toko tutup, semua sudah dipersiapkan dengan cermat semua pesanan mereka. Jadi, saat pagi ini mereka langsung mengambilnya sendiri, setelah sekedar basa-basi padaku yang tetap duduk di kursi sambil tangan memegang koran. Di sampingku, biasanya sudah kuseduh kopi panas dan membuka bekal yang sudah disiapkan iku sebelum berangkat tadi pagi.

Sambil membaca, terkadang pikiranku melayang dan melintas pada pesan atau apa yang dibicarakan bapakku sambil lalu, saat sedang bersamad di toko.

Manusia itu harus punya akar. Kita jangan sampai kehilangan akar budaya. Sebagai orang Jawa di perantauan Sumatra ini, jangan sampai kehilangan Jawane. Meski kamu nggak bisa fasih berbahasa Jawa, tetapi minimal mengerti bahasa Jawa.

Jika tidak punya akar, maka kita bisa diterbangkan ke mana-mana seperti debu yang berhamburan di jalanan. Kita terbawa ke segala arah, bertumbukan dengan angin melayang, kemudian jatuh terguling-guling.

Apalagi, sesungguhnya hidup kita pendek. Kamu harus bisa mandiri, kalau ada apa-apa dengan bapak atau ibu, kamu sudah siap. Apalagi sebagai anak tertua, kamu harus menjaga adik-adikmu. Memang hidup kita ini sangatlah pendek. 

Piye-piye, adik-adikmu itu tunggal darah. Jangan sampai terpisah, saling jagalah.

Jika mengingat ini, maka kekesalanku karena diminta membuka toko ini akan hilang. Semangat muncul, dan semangat untuk bisa menguasai dan mengendalikan sebuah toko kelontong seperti bapak ini, segera terpatri dalam kepala.

Pesan itu mengingatkan pada sebuah sajak T’ao Ch’ien, yang selalu diingat oleh Putri Cina dalam novel karangan Romo Sindhunata.

Kisah ini pun ingin menukilkan apa  yang ditulis Sindhunata dalam bukunya yang berjudul Putri Cina.

Berikut nukilan dari tulisan Sindhunata. Kata leluhur Putri Cini, sajak itu ditulis pada abad ke-empat Masehi. Sebuah sajak yang sangat tua. Ia tahu, sajak itu pasti tidak dibuat untuk dia. Namun ternyata, sajak itu menjadi ramalan yang membentangkan nasibnya.

Tidakkah hidupnya memang tidak punya akar, yang mengikat dia pada suatu tanah, tempat ia bisa berpijak? Katanya, ia berasal dari Cina. Tapi ia tak tahu sama sekali, apakah dan bagaimanakah keadaan di tanah leluhurnya itu. Dan ke sana, sekali pun ia tak pernah.

Dan tidakkah ia dan kaumnya terbang seperti debu, yang berhamburan ke mana-mana? Kaumnya tak bisa bicara satu sama lain. Bahasa mereka berupa-rupa, tergantung di mana mereka tinggal. Sementara ia dan kebanyakan kaumnya pun tak bisa sama sekali bicara dalam bahasa leluhur.

Apa artinya merasa menjadi saudara serumpun dan seleluhur, jika mereka tidak mempunyai bahasa yang bisa menjalin mereka untuk saling berbicara? Ia berpikir, andaikan ia dan kaumnya tidak diikat dengan daging dan darah, takkan pernah mereka merasa saling bersaudara. Betapa daging dan darah sama sekali tak cukup untuk menjadikan dirinya sebagai manusia sepenuh-penuhnya. Malahan daging dan darah itu membatasi dia untuk menjadi manusia yang diterima di tempat ia berada. Ya, setiap kali ia mengeluh tentang dirinya, ia pun bertanya:

Kita datang ke dunia ini sebagai saudara. Tapi mengapa kita mesti diikat pada daging dan darah? Malam sedang terang benderang, ketika ia menanyakan perihal hidupnya itu. Bulan seperti keluar dari sarangnya, lalu menghampiri biliknya. Cahayanya demikian dekat padanya, sampai bulan itu terasa menari-nari di hadapannya. Disapanya bulan dengan mesra, seolah kekasihnya, ”Sejak kita berpisah, betapa aku ingin kau datang kembali padaku. Ternyata kau hanya datang dalam mimpiku. Sungguhkah kau datang, dan mau bersama dengan aku di dalam bilikku? Aku khawatir, kau hanyalah nyala yang keluar dari lilin di hadapanku. Dan begitu lilin ini habis mencair, kau pun hilang bersama nyalanya yang padam. Apakah kau hanya boleh kunikmati dalam mimpi?”

Tentu tiada jawaban baginya. Bulan pun segera pergi meninggalkannya. Ia merasa, bukan kekasih yang ia cari, tapi dirinya sendiri. Dan dirinya itu tak pernah ia temukan sampai kini.

Ia meraba wajahnya. Wajahnya ternyata tiada. Anehnya, orang-orang mengatakan, ia cantik jelita. Matanya nyaris sipit, tapi menambah wajahnya jadi lebih manis. Hidungnya tak terlalu mancung, tapi ia tampak sebagai gadis opera Peking yang amat anggun. Kulit wajahnya langsat kuning. Indah, meski tak seasli gadis-gadis asli Cina di tanah leluhurnya. 

Orang-orang bilang, ia cantik. Tapi ia sendiri tak pernah melihat kecantikannya. Tiap kali ia berkaca, dalam cermin ia hanya melihat mawar yang gosong kehitam-hitaman. Kelihatan amat menyedihkan. Kendati ia sudah berdandan layaknya gadis Cina, dengan gaun sutra merah berceplok-ceplok bunga, wajahnya tetap tak muncul-muncul juga. Malahan, pakaian yang dikenakannya makin membuat ia kelihatan sedih. Sebab, justru karena pakaiannya yang mewah, mawar hitam yang menjadi kepalanya makin membuat ia layu, seperti bunga yang sebentar lagi akan mati.

Semua jalan untuk menemukan kembali wajahnya seakan sudah tertutup. Dulu ia menaburkan keharuman di mana-mana. Tiap orang mencium, betapa harum aroma yang dibawanya. Sekarang keharuman itu pergi, hilang diterbangkan angin, bercampur dengan debu-debu jalanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar