Tampilkan postingan dengan label inspirasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label inspirasi. Tampilkan semua postingan

Rabu, 06 Agustus 2025

Rumus Bahagia

Neil Pasricha pernah jadi Direktur Pengembangan Kepemimpinan di Walmart, perusahaan ritel terbesar di dunia. Dia juga penulis buku motivasi. Ia juga seorang pengamat kehidupan yang tajam, dan pembicara publik yang memikat.

Dari ruang-ruang rapat para eksekutif hingga panggung konferensi internasional, Pasricha telah berjumpa dengan para pemimpin bisnis, miliarder, dan tokoh berpengaruh. 

Namun di balik kemilau kesuksesan mereka, ia menemukan kenyataan yang menggelitik pikirannya: begitu banyak orang hebat itu ternyata tidak benar-benar bahagia.

Di sela-sela makan siang konferensi atau percakapan santai di lorong kantor, topik yang muncul bukanlah tentang impian atau pencapaian, melainkan keluhan tentang stres, kelelahan, dan tekanan hidup yang tak kunjung reda.

Ironisnya, hal ini tidak hanya terjadi pada orang biasa, tetapi juga pada para tokoh yang dianggap berada di puncak pencapaian hidup. 

Pengalaman ini menanamkan sebuah pertanyaan besar dalam benak Pasricha.  

Jika mereka yang “memiliki segalanya” tidak merasa bahagia, lalu apa sebenarnya kunci kebahagiaan itu?

Dari perenungan panjang dan pengalaman pribadinya, Pasricha merumuskan sebuah persamaan sederhana yang menjadi inti bukunya The Happiness Equation:

Want Nothing + Do Anything = Have Everything

(Ingin Tidak Menginginkan Apa Pun + Melakukan Apa Pun = Memiliki Segalanya)

Bagi Pasricha, kebahagiaan bukanlah hadiah yang datang setelah kita mencapai tujuan tertentu. Sebaliknya, kebahagiaan adalah titik awal. Ia membalik logika umum yang kita dengar sejak kecil—bekerja keras, meraih sukses, lalu bahagia—menjadi sebaliknya: bahagialah dulu, maka Anda akan bekerja lebih baik, dan kesuksesan akan datang sebagai akibat alami.

Pendekatan ini bukan sekadar slogan manis. Penelitian mendukungnya. 

Harvard Business Review menunjukkan bahwa orang yang bahagia 31 persen lebih produktif, 37 persen lebih tinggi penjualannya, dan tiga kali lebih kreatif. 

Secara biologis, otak manusia memang terbiasa fokus pada hal negatif karena ribuan tahun hidup dalam kondisi singkat, keras, dan penuh persaingan. 

Namun kini, di dunia modern, kita tidak lagi terancam predator setiap saat. Meski begitu, otak kita masih memindai masalah, membuat kita sulit merasa cukup. Pasricha menunjukkan bahwa 90 persen kebahagiaan kita sebenarnya berasal dari cara kita memandang dunia dan aktivitas yang kita pilih, bukan dari keadaan hidup itu sendiri.

Itulah mengapa ia menekankan pentingnya melatih diri untuk “bahagia sekarang”. 

Kebahagiaan bukan sesuatu yang menunggu di ujung perjalanan; ia dibangun dari kebiasaan sehari-hari—langkah-langkah kecil yang mengubah cara kita merasakan hidup. 

Mulai dari berjalan kaki di pagi hari, menulis pengalaman positif, melakukan kebaikan acak, meluangkan waktu untuk diam, hingga melatih rasa syukur, semua itu adalah pintu masuk menuju keadaan batin yang lebih damai.

Pasricha juga menyoroti betapa rapuhnya kebahagiaan jika kita hanya mengandalkan validasi eksternal. 

Ia menceritakan pengalamannya sendiri ketika terjebak dalam lingkaran mengejar angka kunjungan blog, daftar bestseller, dan penghargaan. Setiap pencapaian hanya memuaskan sebentar, sebelum ia menetapkan target baru. 

Lama-kelamaan, ia menyadari bahwa motivasi eksternal membuat kita meng-outsource rasa percaya diri. Jika pujian membuat kita melayang, kritik bisa dengan mudah menjatuhkan kita.

Di sinilah empat kata sederhana menjadi pelindung: Do it for you. Lakukan untuk dirimu sendiri. Pasricha juga mengingatkan bahwa kita harus memahami jenis kesuksesan yang kita cari, apakah itu kesuksesan komersial, pengakuan sosial, atau kepuasan pribadi. 

Tidak semua bisa dimiliki sekaligus, dan sering kali dua di antaranya justru menghalangi yang ketiga.

Lebih jauh lagi, ia mengajak kita keluar dari “Budaya Lebih”, obsesi tak berujung untuk memiliki lebih banyak. 

Dengan kisah sederhana seperti nelayan Meksiko yang menolak tawaran membangun usaha besar karena ia sudah puas dengan hidupnya, Pasricha menunjukkan bahwa kekayaan sejati datang ketika kita merasa cukup. 

Ia menyebut fakta bahwa hanya dengan menjadi hidup saat ini—di antara miliaran manusia yang pernah ada—kita sudah memenangkan “loteri kehidupan”.

Salah satu gagasan paling menantang dari Pasricha adalah anjurannya untuk “tidak pernah pensiun”. Bukan berarti bekerja tanpa henti, tetapi menemukan makna melalui aktivitas yang memberi tujuan, struktur, stimulasi, dan hubungan sosial. 

Ia mencontohkan masyarakat Okinawa di Jepang yang memiliki ikigai, alasan untuk bangun setiap pagi, dan tetap aktif hingga usia lanjut.

Waktu, menurut Pasricha, adalah aset paling berharga yang sering kita remehkan. Ia mendorong pembaca untuk menghitung “gaji nyata” per jam, menyadari bahwa pendapatan besar bisa kehilangan maknanya jika dibayar dengan waktu hidup yang habis untuk hal yang tidak kita cintai. 

Karena itu, ia mengajak kita menciptakan ruang—menghapus pilihan yang tidak perlu, membatasi waktu yang dihabiskan untuk tugas tertentu, dan memutuskan akses terhadap gangguan.

Yang tak kalah penting, Pasricha membalik urutan motivasi: jangan menunggu ingin, baru melakukan. Mulailah bertindak, dan rasa mampu serta keinginan akan mengikuti. 

Seperti hukum fisika pertama Newton, gerak akan terus berlanjut kecuali dihentikan oleh gaya yang lebih besar. Begitu kita memulai, momentum akan membawa kita maju.

Pada akhirnya, inti dari semua ini adalah keaslian. Menjadi diri sendiri sepenuhnya adalah satu-satunya cara untuk menghindari penyesalan terbesar di akhir hidup. 

Pasricha mengingatkan bahwa semua nasihat pada dasarnya subjektif. Jawaban terbaik ada di dalam diri kita, menunggu untuk ditemukan.

The Happiness Equation bukan hanya buku, tetapi undangan untuk mengubah cara kita menjalani hari-hari. Dengan ingin tidak menginginkan apa pun, kita membebaskan diri dari jeratan “kurang”. 

Dengan berani melakukan apa pun, kita membuka pintu bagi kemungkinan yang tak terbatas. 

Dan ketika dua hal ini bersatu, kita akan merasa telah memiliki segalanya, bahkan sebelum dunia mengatakan demikian.

Penulis: Aruman

SUMBER:

Pasricha, N. (2016). The happiness equation: Want nothing + do anything = have everything. G. P. Putnam’s Sons.

Selasa, 15 Juli 2025

Dibalik Angka, Janji, dan Luka Lama yang Bernama Kesenjangan

Indonesia bukan negara yang kekurangan pertumbuhan. Ia tumbuh, seperti pohon tua yang menjulang di tengah ladang gersang. Tapi dari akar hingga dahan, tak semua mendapat cahaya dan air yang sama.

Di balik pidato tentang stabilitas dan data yang dirapikan, tersembunyi kenyataan yang terus berulang: segelintir tumbuh terlalu tinggi, sementara mayoritas dipaksa puas menjadi akar yang tak pernah menyentuh langit. Mereka yang tumbuh terlalu tinggi itu bukan semata pekerja keras biasa mereka adalah bagian dari struktur kekuasaan ekonomi-politik yang makin mengeras yaitu oligarki.

Satu Persen Menggenggam, Sembilan Puluh Sembilan Persen Bertahan. Laporan dari Credit Suisse dan Oxfam menyebutkan bahwa lebih dari 45% kekayaan nasional dikuasai oleh hanya 1% populasi Indonesia. Bahkan dalam daftar orang terkaya Indonesia, kekayaan satu konglomerat bisa setara dengan gabungan pengeluaran berjuta-juta warga kelas pekerja. Ini bukan sekadar ketimpangan ekonomi, ini adalah distribusi kuasa.

Di negeri ini, konglomerasi bukan sekadar bisnis, melainkan jaring laba-laba yang membungkus politik, media, hingga regulasi. Mereka mendanai pemilu, menyusun narasi publik, bahkan menekan arah kebijakan agar berpihak pada kelangsungan bisnis mereka, bukan kelangsungan hidup rakyat.

Hukum yang bisa dibeli, dan keadilan yang bisa diatur. Dalam struktur negara yang sehat, hukum adalah penyeimbang kekuasaan. Tapi dalam sistem yang dikuasai oligarki, hukum adalah alat. Ia tajam ke bawah, tegas pada pencuri ayam, keras kepada pedagang kecil. Tapi tumpul ke atas, lembek kepada pelanggar HAM, koruptor, dan penyeleweng pajak.

Kita menyaksikan korupsi triliunan yang berakhir dengan hukuman ringan atau bahkan bebas bersyarat. Kita melihat kasus-kasus hukum besar menguap di udara, atau berakhir dengan "restorative justice" yang tak pernah tersedia untuk rakyat miskin. Sementara itu, petani yang mempertahankan tanahnya, buruh yang menuntut upah, atau aktivis yang bersuara kritis diintimidasi, dikriminalisasi, bahkan dipenjara.

Di sini kita paham: hukum bukan lagi alat keadilan, tapi kadang justru alat bagi kekuasaan.

Pertumbuhan yang disandera Elit dapat dilihat dari Gini Ratio Indonesia yang naik ke 0,381 pada September 2024, di tengah klaim pertumbuhan ekonomi, menunjukkan bahwa pertumbuhan itu semakin eksklusif. Kelas menengah yang dulu digadang-gadang sebagai penyangga demokrasi, kini justru menyusut. Dari 60 juta menjadi hanya 47 juta dalam enam tahun terakhir. Mereka tersingkir pelan-pelan, tergantikan oleh struktur ekonomi yang dikendalikan oleh segelintir grup besar. Ketika lapangan kerja didominasi kongsi-kongsi elite, dan UMKM hanya dijadikan alat pencitraan politik, maka keseimbangan struktural mustahil tercipta.

Filosofi Keadilan yang Hilang

Pertanyaan filosofis pun muncul:

Apakah arti demokrasi, jika suara hanya bisa dibeli?

Apakah arti keadilan, jika hanya untuk yang berpunya?

Dan apa arti kemajuan, jika hanya memanjakan mereka yang sudah di atas?

Indonesia hari ini seperti rumah mewah dengan atap bocor. Dari luar tampak gagah, dari dalam tak nyaman dihuni dan ironisnya, yang membangun rumah itu justru tak diizinkan tinggal di dalamnya.

Bangsa Ini Perlu Ditegakkan, Bukan Sekadar Dikelola. Kita tak butuh lebih banyak janji. Kita butuh nyali untuk memutus lingkaran setan oligarki, untuk membalik sistem ekonomi-politik yang selama ini bekerja bukan untuk rakyat, tapi untuk para pemilik modal.

Kita perlu:

Reformasi hukum yang benar-benar independen dari kuasa ekonomi-politik.

Pemisahan nyata antara konglomerasi dan negara.

Distribusi kekayaan yang adil, dengan pajak progresif dan perlindungan sektor riil.

Pekerjaan bermartabat dan jaminan sosial universal untuk memperkuat kelas menengah sebagai penyangga demokrasi.

Media dan pendidikan yang tidak tunduk pada sponsor dan kekuasaan, tapi berpihak pada kebenaran dan rakyat.

Menuju Negara yang Adil, Bukan Sekadar Aman

Kita telah terlalu lama terjebak dalam ilusi bahwa pertumbuhan adalah solusi segala masalah. Tapi kenyataannya, tanpa keadilan dan pemerataan, pertumbuhan hanya melanggengkan dominasi segelintir orang atas yang lain.

Negara ini tidak boleh diwariskan pada segelintir elite yang bisa membeli hukum dan menggenggam kebijakan.

Negara ini harus dibangun kembali: dari suara rakyat, untuk kepentingan rakyat, demi masa depan rakyat.

Karena kemerdekaan sejati bukanlah berdiri di bawah bendera,

tetapi berdiri dengan kepala tegak di hadapan hukum yang adil, ekonomi yang manusiawi, dan negara yang tak bisa dibeli.


Bandung, 12 Juli 2025

Tulisan diambil dari grup WA NPA yang ditulis oleh Dwi Guna Mandhasiya

Rabu, 02 Juli 2025

Sejarah Itu


Sejarah kadang berlaku tidak adil. Beberapa nama ditulis besar, dielu-elukan sepanjang masa. Sementara yang lain, meski keringatnya mengalir di panggung yang sama, peluhnya ikut membangun kejayaan yang sama, perlahan menghilang dari ingatan.

Ini seolah membenarkan adagium, bahwa sejarah ditulis oleh para pemenang.

Tan King Gwan adalah salah satunya.

Indonesia mengenal Ferry Sonneville. Mengenal Tan Joe Hok. Mengenang Rudy Hartono, Liem Swie King, dan generasi emas lainnya. Tapi siapa yang masih menyebut nama Tan King Gwan, lelaki sederhana dari Salatiga, yang pernah menjadi bagian penting dari kejayaan Indonesia di lapangan bulu tangkis dunia?

Malam itu, 15 Juni 1958, saat waktu menunjukkan pukul 22.00, sejarah olahraga Indonesia berubah. Singapore Badminton Stadium menjadi saksi, Indonesia untuk pertama kalinya merebut Piala Thomas, lambang supremasi bulu tangkis beregu putra dunia. 

Ferry Sonneville memang menjadi penentu kemenangan di partai keenam, tapi kemenangan Indonesia adalah buah dari perjuangan kolektif. Dan jauh sebelum itu, Tan King Gwan dan pasangannya, Nyoo Kiem Bie, sudah mengukir lima angka kemenangan untuk Merah Putih.

Yang mungkin tak banyak tahu, Tan King Gwan memulai kariernya bukan sebagai pemain ganda, melainkan tunggal. 

Di usia 12 tahun, ia sudah jatuh cinta pada bulu tangkis. Di usia 21, ia mengukir prestasi besar di PON 1953 Medan dan Kejurnas 1954 Surabaya, bahkan pernah mengalahkan Ferry Sonneville, sang bintang utama Indonesia kala itu. 

Tapi di sektor tunggal, persaingan begitu ketat. Tan King Gwan harus mengakui keunggulan nama-nama besar seperti Eddy Jusuf dan Tan Joe Hok.

Takdir membawanya ke jalur lain. Tahun 1955, sebuah pertandingan ekshibisi diadakan untuk mengumpulkan dana keberangkatan atlet. Tan King Gwan dipasangkan dengan Nyoo Kiem Bie. 

Tanpa ekspektasi besar, mereka menantang pasangan kuat Eddy Jusuf dan Ferry Sonneville. 

Siapa sangka, mereka menang telak 15-0, 15-1. Kemenangan itu jadi awal perjalanan duet legendaris yang dikenal dunia sebagai “Ghost Double” — pasangan hantu yang sering membuat lawan tak berkutik.

Bukan hanya soal teknik. Tan King Gwan dikenal karena ketenangan, kerja keras, dan dedikasi tanpa henti. Dia bukan tipe pemain flamboyan yang mencuri sorotan. Dia adalah sosok yang mengerjakan tugasnya, diam-diam, tapi pasti. Setiap pukulan, setiap poin, adalah hasil latihan panjang, bukan keajaiban sesaat.

Fisiknya kecil, tapi semangatnya besar. Smes tajam dari Nyoo Kiem Bie dan pertahanan kokoh dari Tan King Gwan menjadi kombinasi mematikan yang membawa Indonesia berjaya di Singapura 1958. Mereka bahkan mengalahkan ganda Denmark terbaik, Hammergaard Hansen dan Henning Borch, sesuatu yang saat itu dianggap nyaris mustahil.

Di balik semua itu, ada sisi manusiawi yang menggetarkan hati. Bung Karno sendiri memberi nama Indonesia untuknya: Darmawan Saputra. Sebuah simbol bahwa Tan King Gwan adalah bagian dari harapan besar bangsa.

Sayangnya, ketenaran bukan hal yang dikejarnya. Setelah masa emasnya, Tan King Gwan sempat melatih di Pelatnas PBSI, khusus menangani sektor ganda putri. Tapi dunia glamor olahraga tak lama memikatnya. Ia memilih bekerja di perusahaan otomotif, hidup sederhana, jauh dari sorotan publik.

Tan King Gwan wafat pada 9 Februari 2001. Dia meninggalkan warisan sebagai salah satu pahlawan besar bulu tangkis Indonesia yang nyaris terlupakan.

Sahabatnya, Tan Joe Hok, pernah berkata, "Dia ini pemain yang rajin. Permainannya tidak istimewa, tapi juga tidak biasa-biasa saja." Kalimat sederhana itu merangkum esensi sosok Tan King Gwan — bukan superstar di mata publik, tapi pahlawan di hati timnya.

Tan King Gwan mengajarkan, kejayaan tak selalu datang dari sorotan kamera. Ada nama-nama yang memilih berjuang dalam senyap, tanpa haus pujian, tapi memberi dampak besar. Ada legenda yang tak sibuk mengejar popularitas, tapi fokus memberi kontribusi nyata.

Kini, saat Indonesia dikenal sebagai raksasa bulu tangkis dunia, mari sejenak menundukkan kepala, mengenang mereka yang pondasinya kita pijak. Tan King Gwan, legenda yang tak boleh dilupakan. Karena tanpa mereka yang diam-diam berjuang, kemenangan tak pernah jadi kenyataan. 

Penulis: Edhy Aruman


Sumber:

Jahja, H. J. (2001). Peranakan Idealis: Dari Lie Eng Hok sampai Teguh Karya. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Selasa, 01 Juli 2025

Tiga Puluh Tiga


Usia 33 kerap disebut sebagai salah satu tonggak istimewa dalam perjalanan hidup manusia. Bukan sekadar angka, 33 memuat lapisan simbolisme spiritual, sejarah, dan energi transformatif yang melampaui hitungan waktu biasa. 

Dalam tradisi numerologi modern, 33 dikenal sebagai Master Number , yang kerap dijuluki sebagai Master Teacher.

Angka ini beresonansi dengan energi kasih sayang, keberkahan, inspirasi, kejujuran, keberanian, dan disiplin diri. Lebih dari itu, 33 diyakini sebagai angka yang mengingatkan manusia bahwa "semua hal adalah mungkin" ( all things are possible ) serta melambangkan bimbingan dalam perjalanan hidup

Mirip dengan cerita-cerita para pesohor di industri teknologi informasi, lembaga pendidikan LSPR dimulai dari sebuah ruangan kecil. Ketekunan, kegigihan, kesabaran, dan karakter humanis Prita Kemal Gani membuat LSPR makin kokoh dan terkenal.

Tiga puluh tiga tahun lalu, dimulai dari sepetak ruangan berukuran 12 m2 di Gedung WTC Jl. Sudirman, Jakarta, Prita membuat training school di bidang public relations (PR). Ruang seukuran itu hanya cukup untuk menempatkan meja pegawai penerima murid. Berada di antara ruang lainnya di gedung (saat itu) yang berkelas internasional, ruangan tersebut tidak menonjol.

Mirip dengan cerita-cerita para pesohor di industri teknologi informasi, lembaga pendidikan LSPR tidak langsung besar. Kiprahnya dalam pengembangan ilmu dan pofesi PR dimulai dari kecil, bahkan sangat kecil. Untuk ruang kelasnya, karena sebenarnya saat itu belum memiliki ruang kelas, Prita menyewa ruangan kelas di WTC secara jam-jaman.

Keterbatasan itu membutuhkan kreativitas, terutama dalam pengaturan kelas jam belajar. Tim Prita yang saat itu tidak sampai lima orang harus memutar otak mengatur ruangan. Tidak mudah, apalagi saat itu hampir semua pesertanya adalah pekerja. 

Jadinya, kelas dan jam pembelajarannya diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu pekerjaan peserta. Untuk kelas awal kursus, misalnya, ditetapkan selama tiga bulan dengan jadwal belajar dua kali seminggu, misalnya Senin dan Kamis, sehabis jam kantor pukul 18.30-21.00.

Langkah kecil ini ternyata membuka peluang. Peserta dimulai dari 30 orang dan terus bertambah hingga peserta yang ingin mendaftar harus masuk daftar tunggu.

Saat itu, seperti dituturkan Prita dalam buku ini, PR terbilang ilmu baru. Kebanyakan peserta adalah pekerja yang ingin memperluas wawasan tentang PR. Training memberikan ilmu yang fokus di bidang PR, mulai dari basic PR, pembuatan program dan perencanaan PR, media relations, PR strategy dan tactic, serta penulisan PR.

Kini lembaga kursus itu berkembang menjadi Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR, dan telah meluluskan hampir seratus ribu sarjana S-1 dan S-2. Di antara mereka terdapat pesohor seperti Prilly Latuconsina; Angkie Yudistia, Staf Khusus Presiden Republik Indonesia; dan Audrey P Puetriny, Deputy Chief of Corporate Affairs Gojek. Ada juga pesohor lain, termasuk Duta Besar Indonesia untuk Beijing Djauhari Oratmangun.

Kampus LSPR berada di Sudirman Park, Jakarta; Transpark Bekasi, dan Bali. Mahasiswanya berasal dari berbagai wilayah di Indonesia dan luar negeri.

Perjalanan menuju sukses sangat panjang dan penuh liku. Untuk mendapatkan nama LSPR, misalnya, prosesnya tidak semudah yang diduga orang. Sebelum mendapatkan nama LSPR (The London School of Public Relations), Prita pernah mempunyai rencana ―dan itu sudah hampir setengah jalan― bekerjasama dengan seorang warga negara asing. Maksud Prita adalah menjalin kemitraan guna membesarkan lembaga pendidikan yang mempunyai kekhususan di bidang PR ini.

Namun, setelah melewati berbagai diskusi, kemitraan itu tidak terwujud. Prita dan calon mitranya tidak sepakat. Meski demikian, Prita tak patah semangat. Penerima gelar doktor kehormatan di bidang PR dari Coventry University, Inggris, ini kukuh mewujudkan mimpinya mempunyai lembaga pendidikan PR. Kegagalan itu membuatnya makin bersemangat dan rajin berdiskusi dengan sang suami, Kemal Effendi Gani, sehingga membuahkan hasil dengan pemilihan nama LSPR Jakarta.

Setelah LSPR berdiri pada 1992, Prita terus berusaha keras memajukannya. Salah satu pencapaiannya adalah mendapatkan izin pemerintah untuk menaikkan status LSPR dari lembaga kursus ke tingkat yang lebih tinggi.

Namun, tantangan tetap muncul. Tahun 1998, Indonesa mengalami krisis ekonomi, bahkan multidimensi karena terjadi juga krisis politik. Nilai dolar yang semula hanya Rp 2.500 melejit menjadi Rp 16.900. Harga-harga barang dan inflasi membubung tinggi.

Salah satu dampaknya adalah banyak pelajar Indonesia yang sekolah di luar negeri pulang ke Tanah Air, dan mahasiswa Indonesia yang berencana kuliah di luar negeri batal. Situasi ini ternyata berdampak positif bagi perkembangan LSPR. Banyak calon mahasiswa yang mendaftarkan diri ke LSPR. Ini juga membangkitkan semangat Prita untuk terus meningkatkan dan mengembangkan LSPR.

Pada tahun 1999, secara resmi LSPR berubah status dari lembaga kursus menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi The London School of Public Relations (STIKOM LSPR). Nama itu dipilih karena Prita sempat menuntut ilmu PR di London. Itu sebabnya, banyak kurikulum yang diberlakukan di LSPR merupakan adaptasi dari pendidikan PR dari London.

Pada 1999 itulah mahasiswa LSPR datang bagaikan air mengalir dari keran yang terbuka ke sebuah kolam besar atau telaga, yakni LSPR. Setelah beberapa lama menempati kampus di Intiland Tower (Wisma Dharmala Sakti), Jalan Sudirman, gedung yang banyak mendapat pujian karena desainnya itu tidak bisa lagi menampung mahasiswa yang semakin banyak.

Akhirnya, sebagian pindah ke Gedung Dewan Pers di Jl. Kebon Sirih. Masih belum menampung jumlah mahasiswa yang semakin banyak ―sering membuat kemacetan― akhirnya sebagian lagi berkuliah di kampus di Gedung Bimantara selama beberapa tahun.

Kepindahan sebagian itu selain karena terbatasnya daya tampung di Kampus Dewan Pers, ada cerita lain di baliknya. Suatu malam, plafon salah satu ruangan kampus di Dewan Pers ambruk dan jatuh di tengah kelas. Untunglah, tidak menimbulkan korban. Saat itulah, tekad Prita makin bulat untuk mencari tempat baru yang lebih layak.

Suatu hari, Prita bersama sang suami melewati Sudirman Park di Jl. K.H. Mas Mansyur, Jakarta. Mereka melihat di situ ada pembangunan apartemen dan ruko. Di depannya terpampang promo penjualan ruko dengan harga perdana. Mereka pun mampir. Ternyata, mereka tergerak membeli ruko yang kemudian didesain kembali menjadi bangunan kampus yang cantik untuk menampung mahasiswa yang semakin banyak.

Mereka membeli dua ruko yang uang mukanya dibayar dengan dua kartu kredit. Namun, itu tak berlangsung lama karena beberapa waktu kemudian ―sebelum proyek itu rampung― mereka melengkapi dua ruko tadi menjadi 18 unit. Inilah yang menjadi kampus LSPR pertama.

Lembaga pendidikan dan jumlah mahasiswa LSPR terus berkembang. Tahun 2019, LSPR membangun kampus baru ―sebuah gedung yang tinggi dan nyaman untuk mahasiswa belajar dan beraktivitas― di Transpark Bekasi. Ini merupakan berkat uluran tangan pengusaha Chairul Tanjung yang memberi kemudahan dalam kepemilikannya.

Tiga puluh tahun sejak berdiri, nama LSPR disempurnakan. Saat ini LSPR terdaftar di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi sebagai Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR. Rebranding pun dilakukan dengan nama LSPR Institute of Communication & Business.

Kesuksesan LSPR mencerminkan gaya kepemimpinan Prita yang selalu mengedepankan sisi kemanusiaan, antara lain penghargaan dan hormat kepada kedua orang tua.

“Sejak kecil saya mengagumi sosok seorang guru. Kehadirannya ditunggu, suaranya didengarkan, dan sosoknya dimuliakan. Seorang guru tampil hebat, karena memiliki jawaban dari semua pertanyaan murid-murid di hadapannya,” kata Prita. Maka, ketika sudah bekerja sebagai seorang profesional, di dalam dirinya tetap ingin mewujudkan keinginan menjadi seorang pendidik.

Namun, yang tak kalah menarik adalah episode-episode kehidupan Prita sebagai seorang pemimpin. Ia menganggap pegawai serta pendidik di LSPR adalah keluarga. Ia mengibaratkan mendirikan LSPR seperti membangun sebuah rumah tangga. “Sejak awal saya selalu yang terdepan memperjuangkan pegawai. Tak jarang saya menjual perhiasan untuk membayar gaji dosen. Semua kami lakukan bersama-sama, hasilnya kami nikmati bersama,” katanya.

“Mungkin bekerja sebagai pendidik jumlah penghasilannya tidak berlebihan, namun kami memiliki kebahagiaan yang tak bisa dibeli dengan uang,” ungkap Prita. Dalam jajaran tim LSPR saat ini, banyak posisi penting yang dibina dari awal. “Banyak dari mereka yang kini menduduki posisi-posisi penting di LSPR awalnya adalah mahasiswa dan kami sekolahkan hingga meraih gelar Ph.D,” katanya. 

Penulis: Edhy Aruman

Selasa, 24 Juni 2025

Indonesia: Mata Rantai Utuh

Indonesia, dengan segala tantangannya, berdiri di ambang perubahan besar. Kesadaran kolektif bangsa ini adalah awal dari sebuah kebangkitan yang tak bisa lagi dibendung. Di tengah keterpurukan ekonomi dan penindasan sosial, muncul bibit-bibit perlawanan yang tak hanya berakar pada rasa sakit, tetapi juga pada harapan yang mengakar kuat.

Keunikan perjuangan Indonesia terletak pada keberanian untuk melawan tanpa dukungan modal besar, tanpa perlindungan tuan tanah lokal, dan tanpa sistem pendidikan yang memadai. Tetapi, justru inilah yang menjadi kekuatannya. Keberanian itu lahir dari kesadaran bahwa bangsa yang tertindas harus menggantungkan masa depannya pada tekad dan kebersamaan.

Di balik semua tantangan itu, sejarah mencatat bahwa tanah ini telah melahirkan pemikir-pemikir besar, tokoh-tokoh intelektual yang menjadi obor di tengah gelapnya penjajahan. Mereka mengingatkan bangsa ini akan satu hal: kemerdekaan bukanlah hadiah dari penjajah, tetapi sesuatu yang harus direbut dengan perjuangan.

Sebuah perlawanan yang dimulai dari kebangkitan rakyat kecil—petani yang dirampas tanahnya, buruh yang diperas tenaganya, dan pedagang kecil yang tergusur dari pasar—mulai menjelma menjadi sebuah gelombang besar. Gelombang yang menyatukan lintas golongan, lintas suku, dan lintas agama.

Indonesia yang dulu dianggap mata rantai terlemah, kini berubah menjadi bara perjuangan yang menyala. Setiap langkah maju bangsa ini menjadi ancaman bagi imperialisme, dan setiap kesadaran baru yang tumbuh di hati rakyatnya adalah tamparan bagi sistem penjajahan yang sudah rapuh.

Kebangkitan Asia adalah kisah yang baru dimulai, dan Indonesia akan menuliskan bab-bab terpentingnya. Bangsa ini akan menunjukkan kepada dunia bahwa kemerdekaan bukan sekadar impian, tetapi sebuah hak yang diperjuangkan dengan darah, air mata, dan pengorbanan.

Di ujung jalan ini, kemerdekaan bukan hanya untuk Indonesia. Gelora perjuangan ini akan menginspirasi bangsa-bangsa Asia lainnya untuk bangkit dari belenggu yang sama. Dan ketika saat itu tiba, sejarah akan mengingat Indonesia bukan hanya sebagai sebuah bangsa yang merdeka, tetapi juga sebagai pemantik kebangkitan dunia Timur.

Indonesia tidak lagi menjadi mata rantai terlemah. Indonesia telah menjadi mata rantai yang memutus belenggu penjajahan!

Senin, 23 Juni 2025

Indonesia: Ayo Bangkit dari Rantai Keterpurukan

Tulisan ini dibuat dalam konteks situasi dunia sedang terjadi perang Israel yang menyerang Iran, kemudian dibalas dengan rudal hipersonik yang mengagetkan dunia. Pertahanan Israel yang digembar-gemborkan itu, ternyata koyak oleh serangan balasan Iran yang selama ini dipikir lemah.

Melihat kekuatan ini, membangkitkan banyak pihak kelompok Islam. Mereka menyaksikan, Iran dapat mengambil tongkat estafet keberanian menyerang Israel secara langsung. Negara yang selama ini seolah-olah bisa leluasa bertindak dengan menyerang seenaknya. Terutama terhadap Palestina, yang sudah "tidak berdaya"...

Kondisinya, mirip meski dalam konteks yang berbeda ketika Jepang memegang panji kebangkitan Asia, yang memberikan semangat negara-negara Asia bangkit melawan negara penjajah. Ketika itu, tahun 1940-an, Asia sedang menggeliat. Satu demi satu, bangsa-bangsa yang terbelenggu di Timur mulai menggugat kebebasan. Namun, tak seorang pun dapat memastikan kapan dan di mana bendera kemerdekaan akan pertama kali berkibar. Bagi mereka yang menelisik dalam-dalam persoalan ekonomi, politik, dan sosiologi Timur, jelaslah bahwa Indonesia adalah mata rantai terlemah dalam belenggu panjang imperialisme. Di sinilah, benteng penjajahan Barat pertama-tama bisa dijebol.

Imperialisme Belanda, yang sudah tua dan usang, berdiri di atas pondasi yang rapuh dibandingkan dengan Inggris atau Amerika. Jarak yang membentang luas antara negeri Belanda dan tanah jajahannya di Indonesia mempertegas jurang ini. Negeri Belanda, tanpa sumber daya alam yang cukup untuk industrinya sendiri, mengandalkan hasil bumi Indonesia sejak dahulu kala. Ironisnya, pusat ekonomi yang menopang kehidupan Belanda sebenarnya berada di Indonesia, sementara para bankir, pengusaha, dan pedagang besar tinggal di tanah Eropa.

Di sinilah paradoks muncul. Antara penjajah dan yang terjajah terbentang perbedaan besar—bangsa, agama, bahasa, hingga adat istiadat. Di dalam struktur imperialisme yang mencengkeram dunia kala itu, hubungan antara Indonesia dan Belanda adalah sesuatu yang luar biasa. Kaum pribumi di Indonesia hampir sepenuhnya terpinggirkan dari dunia modal. Tidak ada lapisan pengusaha bumiputra yang kuat untuk menjadi perantara, apalagi sekutu, bagi imperialisme Belanda dalam mempertahankan kekuasaan ekonominya.

Berbeda dengan negara-negara lain seperti Mesir, India, atau Filipina, Indonesia tidak memiliki tuan tanah lokal yang signifikan. Mereka yang pernah ada kini hanyalah bayang-bayang—menjadi buruh, kuli, atau bahkan sekadar pekerja tinta di balik meja. Kaum pedagang besar, menengah, hingga kecil dikuasai oleh bangsa-bangsa lain seperti Eropa, Tionghoa, dan Arab. Sementara itu, lapisan menengah pribumi nyaris lenyap, terkikis oleh masuknya barang-barang pabrik dari Eropa.

Kunci

Pendidikan, salah satu jalur penting menuju kemajuan, sengaja diabaikan oleh penguasa Belanda. Dengan intelektual yang terbatas, upaya membangun kekuatan ekonomi pribumi hampir mustahil. Tidak ada kaum saudagar atau pemodal lokal yang bisa menopang pembangunan industri pribumi, meskipun mereka ada sekalipun. Akibatnya, jalan parlementer yang diimpikan oleh berbagai partai nasional menjadi sia-sia belaka.

Bagaimana mungkin “bapak gula” dan “nenek minyak” di Belanda menyerahkan hak pilih kepada rakyat Indonesia yang mayoritas petani dan buruh miskin? Sistem pemerintahan yang tunduk pada modal asing takkan pernah diakui sebagai pemerintahan dari rakyat dan oleh rakyat.

Realitas ini menunjukkan bahwa Indonesia pada saat itu tidak memiliki faktor ekonomi, sosial, atau intelektual yang cukup kuat untuk melepaskan diri dari imperialisme Belanda. Impian akan kebebasan melalui jalur parlementer hanyalah ilusi, lamunan yang sia-sia.

Namun, bukan berarti harapan itu hilang selamanya. Justru dari kesadaran akan ketimpangan dan ketidakadilan inilah api perjuangan menyala. Bangsa Indonesia mulai menyadari bahwa hanya dengan melawan—menantang kekuatan imperialisme di medan juang—kemerdekaan yang hakiki dapat diraih.

Asia sedang bangkit, dan Indonesia adalah ujung tombak perjuangan itu.

Minggu, 22 Juni 2025

Tuntaskanlah!



Musim panas, Peter Hollins, penulis buku Finish What You Start: The Art of Following Through, Taking Action, Executing, & Self-Discipline, dia membuat ukiran berupa sebuah kano kayu kecil sepanjang 30 senti. 

Minggu pertama berjalan mulus, minggu kedua terasa berat akibat otot tangan yang pegal, dan pada minggu ketiga godaan menonton film baru membuatnya berhenti. Kano itu menjadi saksi bisu kemalasan dan penundaan yang terus membayangi. 

Namun, ketika ia mengenal konsep temptation bundling — menggabungkan tugas yang harus diselesaikan dengan imbalan instan yang kita nikmati — semua berubah. Sambil mendengarkan album favoritnya, Hollins berhasil menuntaskan kano itu hingga selesai.

Cerita Hollins mengajari kita bahwa memulai sesuatu jauh lebih mudah daripada menuntaskannya. 

Banyak dari kita yang pernah menjadi seperti Esther yang bertekad membuka usaha kue rumahan setelah bertahun-tahun terkekang rutinitas kantor dan rindukan kebahagiaan dari hobinya. 

Saat cuti dua minggu tiba, ia membayangkan riset resep, survei pasar, dan perencanaan matang. Namun hari-harinya terbuang untuk tidur siang, urusan rumah, dan nongkrong bersama teman tanpa sekalipun menanyakan dukungan atau masukan. 

Impiannya tetap teronggok di kepala, tanpa jejak tindakan nyata.

Begitu pula Sally, idealis yang mendirikan yayasan untuk membantu kaum miskin. Semangatnya berkobar saat mendirikan badan amal, hingga ia dihadapkan pada realita pahit: menggalang dana, bersaing mendapatkan donasi, dan merancang kampanye pemasaran. 

Beban itu membuatnya tercekam frustrasi, hingga dalam hitungan bulan ia memutuskan berhenti, tanpa pernah merencanakan cara agar sisi positif yayasan bisa menutupi tantangan bisnis di baliknya.

Di sisi lain, ada John, penulis novel yang berjuang membagi energi antara pekerjaan kantor dan menulis. Tanpa aturan tegas, tekadnya menulis dua bab per malam luntur saat lelah—hingga novel itu terus tertunda. 

Namun ketika ia menetapkan satu-satunya aturan: setiap malam wajib menyelesaikan dua bab tanpa kompromi, ia mendapati dirinya menuntaskan naskah dengan bangga, meski tubuhnya kelelahan.

Rasa takut juga menghantui Lara, sukarelawan yang merencanakan kampanye galang dana. Idenya brilian, tetapi bayangan penolakan dan penilaian membuatnya membatalkan segala sesuatunya sebelum langkah pertama. Alih-alih kehilangan peluang, ia malah menolak dirinya sendiri, membiarkan kegemarannya padam dalam ketakutan.

Perfectionism pun tak kalah merusak. Paul, sudah bertahun-tahun menambah sertifikasi dan gelar pascasarjana demi persiapan promosi, tetapi tak kunjung melamar. Itu karena dia merasa “resume” belum sempurna. 

Jadinya, kesempurnaan yang dikejar menutup pintu kesempatan lebih awal, membuatnya terjebak stagnasi.

Gerald punya cita-cita besar sebagai pengusaha, namun investasi modal dan pemangkasan gaya hidupnya terlalu menakutkan—hingga ia memilih kembali ke pekerjaan nyaman, meninggalkan mimpinya. Ketakutan akan ketidaknyamanan mengalahkan keberanian berkorban untuk masa depan.

Michael, konsultan lepas, salah satu korban false hope syndrome, kondisi menanam harapan berlebihan untuk perubahan cepat, kecewa dan kehilangan motivasi.  

Ia membayangkan pendapatan besar dengan usaha minimal, namun kenyataan menuntut jam kerja pagi yang tak sesuai ritme tubuhnya. 

Setelah kecewa berulang, ia menyesuaikan jadwal dengan kebiasaan terbaiknya—bangun saat tubuhnya fit dan menunda tugas yang menguras tenaga, sehingga ia dapat menindaklanjuti langkah-langkah kecil secara konsisten.

Sepanjang kisah ini, satu pelajaran jelas: menyelesaikan apa yang dimulai adalah seni mengatur fokus, disiplin, dan momentum. 

Dengan strategi seperti temptation bundling, pembagian tugas kecil harian, aturan tak tergoyahkan, dan kesadaran akan biaya peluang setiap pilihan, kita dapat menyeimbangkan antara kenyamanan masa kini dan hasil masa depan. 

Menindaklanjut berarti mengambil langkah—sekecil apa pun—setiap hari, hingga puncak tujuan akhirnya pun tercapai.

Penulis: Edhy Aruman

Sabtu, 21 Juni 2025

Memo Itu Menyelamatkan Nyawa


Katharine Gun adalah penerjemah bahasa Mandarin di Government Communications Headquarters (GCHQ) Inggris. 

Di balik kesunyiannya itu, dia menyaring ribuan koridor elektronik.

Dia menerjemahkan, menyusun, dan memahami rahasia negara.

Tapi pada 31 Januari 2003, hidupnya berubah selamanya ketika memo Top Secret//COMINT//X1 dari National Security Agency (NSA) AS tiba di antarmukanya .

Selama ini, Katharine menjalaninya sebagai rutinitas biasa: bangun pagi, meneguk kopi, lalu menyelami dokumen intelijen. 

Namun, pagi yang dingin itu, sebuah pesan dari Frank Koza, Kepala Staf Pertahanan Regional NSA, terkuak: NSA dan GCHQ diminta melakukan operasi spionase rahasia untuk memanipulasi suara anggota Dewan Keamanan PBB; Angola, Bulgaria, Kamerun, Chili, Guinea, dan Pakistan, agar mendukung resolusi perang Irak. 

“It was quite cold that Friday morning… I felt quite excited—no, more shocked than anything else,” kenang Katharine, saat mengetahui operasi ilegal itu .

Hatinya bergejolak. Ia selalu percaya bahwa intelijen seharusnya hanya mengumpulkan fakta, bukan menghancurkan kedaulatan diplomatik. 

Ia merenung: jika publik tahu bahwa Presiden AS George Bush dan Perdana Menteri Inggris Tony Blair diam-diam menekan suara-suara penentang dengan cara kotor, mungkin invasi itu bisa dicegah. 

“What I hoped,” ujarnya kemudian, “was that people would see what was happening and be so disgusted that nobody would support the war in Iraq… And I even hoped that the US general public would somehow realize that they were being dragged hook, line, and sinker into the war”.

Keputusan moral itu tiba-tiba—segera setelah membaca memo, Katharine menyelinapkan selembar salinan ke dalam tas tangan. 

Dia mencari satu orang yang bisa dia percaya untuk meneruskan pesan itu: teman karibnya—sebut saja “Jane” — yang diketahui memiliki koneksi ke jurnalis investigasi. 

Tanpa ragu, Katharine mengirim memo itu melalui email, berharap anonimitasnya terjaga .

Memo itu berpindah tangan dengan cepat. Jane menyerahkan naskahnya kepada wartawati Yvonne Ridley, yang menandainya sebagai dokumen otentik dan menghubungi Martin Bright, editor The Observer. 

Setelah tiga minggu verifikasi yang penuh gentar, termasuk usaha membuktikan keaslian serta mempertimbangkan potensi risiko hukum, The Observer mempublikasikan seluruh memo Koza pada 2 Maret 2003 itu. 

Editor Bright kemudian mengakui, “More of a concern to us was that we would be joined in the prosecution. To publish is an offence under the Official Secrets Act as well … So they preferred to take on the little guy—in this case, little woman—rather than us big guys” .

Keesokan harinya, panggilan dari GCHQ datang. Katharine ditanyai di departemen keamanan, lalu diserahkan ke polisi Metropolitan. 

Di ruang tahanan Cheltenham, ia digelandang tanpa gelang dan diborgol, merasakan dinginnya sel beton. 

Ia pun memutuskan untuk jujur: _“I have only ever followed my conscience,” tegasnya. 

Dia mengaku pembocoran memo demi menghentikan perang ilegal yang akan merenggut ribuan nyawa sipil dan tentara Inggris .

Proses peradilan berlangsung dramatis. Tim pembela dari organisasi hak asasi Liberty mengajukan “Advance Notice of Defence Statement” yang menuntut pengungkapan dokumen pendukung pandangan bahwa perang Irak tanpa resolusi baru PBB melanggar hukum internasional . 

Saat itulah pemerintah terjepit, membuka kemungkinan terbongkarnya nasihat hukum Lord Goldsmith tentang legalitas invasi. 

Enam hari sebelum persidangan di Old Bailey, jaksa memutuskan menghentikan kasus tanpa penjelasan resmi. 

Ruang sidang sunyi sesaat, lalu bergemuruh sorak sorai ketika Katharine keluar .

Keputusan itu menghindarkan pemerintah dari aib besar. Seandainya sidang berlanjut, legalitas perang dan kebebasan pers akan diuji tuntas dengan risiko bocornya dokumen rahasia tertinggi, termasuk surat menyurat Blair–Bush. 

Sir Menzies Campbell menyatakan, “Dropping the charges will avoid severe government embarrassment … It is even possible that the full text of the attorney general’s advice to the cabinet might have been published at last.”

Dampaknya meluas ke ranah politik Inggris dan AS. 

Di Inggris, kepercayaan publik terhadap Tony Blair merosot tajam. Momentum ini memberikan kontribusi pada kejatuhan pemerintahnya. 

Di AS, media mulai mempertanyakan narasi WMD dan melahirkan gerakan pemeriksaan ulang keputusan invasi. 

Laporan Chilcot 2016 akhirnya menyimpulkan bahwa invasi itu “tidak sah” dan “berdasarkan intelijen yang dipertanyakan” . 

Dalam debat panjang tentang legalitas perang, kasus Katharine Gun menjadi simbol penting konflik antara keamanan nasional dan hak publik untuk mengetahui kebenaran.

Katharine Teresa Harwood tumbuh sebagai “third-culture kid.”.

Masa kecilnya dihabiskan di Taiwan. Dia menguasai Bahasa Mandarin tanpa aksen asing sebelum melanjutkan pendidikan di Morrison Academy, AS. Kemudian dia mengajar selama dua tahun di pedesaan Jepang, memperkaya wawasan lintas budaya dan mematangkan etos kerjanya. 

Keahliannya dalam bahasa Mandarin dan pengetahuan lintas budaya mempersiapkannya menjadi salah satu penerjemah paling handal di Government Communications Headquarters (GCHQ), di mana ia menangani komunikasi intelijen tingkat tinggi antara NSA dan pemerintah Inggris . 

Pada 4 Januari 2001, Katharine menandatangani dokumen Official Secrets Act sebagai syarat bergabung dan melewati serangkaian tes keamanan serta kemahiran bahasa yang ketat sebelum resmi menjadi penerjemah di Cheltenham pada usia 26 tahun . 

Selama proses rekrutmen, ia juga menjalani pekerjaan sementara guna mendukung hidupnya di Inggris barat daya, termasuk mengajar bahasa dan pekerjaan serabutan lainnya . Di Cheltenham, Katharine menetap bersama suaminya, Yasar, imigran Turki yang menjalankan sebuah kafe di dekat markas GCHQ, saling mendukung dalam kehidupan yang tenang namun penuh tantangan

Kisah Katharine menegaskan peran pers sebagai penegak akuntabilitas. Tanpa Observer, operasi NSA itu mungkin tetap tersembunyi. Kebebasan pers menguat, whistleblower lain terinspirasi oleh keberaniannya. 

Julukan “moral compass” pun melekat padanya.  Katharine rela mengorbankan karier, kebebasan, dan rasa aman keluarga demi menyalakan lentera kebenaran di lorong kelam kekuasaan.

Setelah semua gegap gempita politik mereda, Katharine memilih hidup sederhana bersama suaminya, Yasar, di pedesaan Turki, mengajar bahasa Mandarin, dan menuntut ilmu etika global . Namun, suaranya tidak pernah padam: “I would do it again,” katanya, menegaskan komitmen bahwa pada momen kritis, hanya suara nurani yang dapat diandalkan .

Kisah Katharine Gun adalah pengingat abadi bahwa kebenaran, sekecil apa pun, memiliki kekuatan untuk mengguncang monolit kekuasaan. Dalam dilema antara ketaatan dan keadilan, ia memilih keberanian—dan mengubah jalannya sejarah.

Penulis: Edhy Aruman


RUJUKAN

Mitchell, M., & Mitchell, T. (2019). The spy who tried to stop a war: Katharine Gun and the secret plot to sanction the Iraq invasion. HarperCollins Publishers.

Jumat, 20 Juni 2025

Ahab di Tengah Samudra Konflik: Netanyahu, Iran, dan Obsesi yang Menenggelamkan


Herman Melville membuka Moby-Dick dengan kata-kata sederhana namun penuh makna: "Call me Ishmael." Sebuah undangan bagi pembaca untuk menyelami cerita epik yang penuh obsesi, dendam, dan kehancuran. Di tengah samudra yang luas, kita bertemu Kapten Ahab, seorang pria tua yang karisma dan kebenciannya menyatu menjadi nyala api. Dengan kapal Pequod, ia memimpin awaknya untuk memburu seekor paus putih raksasa bernama Moby Dick — makhluk yang baginya lebih dari sekadar binatang. Moby Dick adalah lambang kekuatan tak terlihat yang, dalam pandangan Ahab, mempermainkan penderitaan manusia.

Narasi ini dibawakan oleh Ishmael, seorang pelaut muda yang gelisah, mencari pelipur di lautan. Ia bergabung dengan awak Pequod bersama Queequeg, seorang harpuner eksotis dengan tato yang melingkupi tubuhnya. Hubungan mereka menjadi simbol persatuan manusia yang melampaui ras, agama, dan budaya. Ketika mereka berlayar, barulah sosok Ahab muncul, seorang kapten pincang dengan pandangan gelap dan suara yang mampu menundukkan hati setiap orang di sekitarnya.

Misi Ahab bukanlah perburuan paus biasa. Ia ingin mengalahkan Moby Dick untuk membuktikan bahwa manusia tidak sepenuhnya tunduk pada nasib. Tetapi obsesi itu perlahan menggerogoti dirinya, menjadikannya seorang tiran yang buta akan realitas. Beberapa, seperti Starbuck, perwira pertama yang religius dan rasional, berusaha mengingatkan Ahab bahwa kebencian terhadap sesuatu yang tidak dapat dimengerti adalah bahaya terbesar. Namun suara logika tenggelam di bawah badai dendam Ahab.

Moby Dick jarang muncul, tetapi kehadirannya merasuki setiap sudut cerita. Ia adalah dewa yang tenang dan tak terjangkau, simbol misteri alam semesta yang menolak untuk dijelaskan. Ahab membencinya karena paus itu adalah cerminan ketidakpastian, sesuatu yang tak bisa dikontrol atau dipahami. Dan kebencian itu membawa Pequod pada kehancuran. Setelah berbulan-bulan melaut, mereka akhirnya bertemu Moby Dick. Dalam tiga hari perburuan, paus itu menghancurkan kapal, membunuh awaknya, dan menyeret Ahab ke kedalaman laut. Hanya Ishmael yang selamat — terapung di atas peti mati Queequeg — untuk menjadi saksi dan penutur tragedi ini.

Kisah Ahab bukan sekadar cerita fiksi. Sosoknya kini menjelma dalam rupa perdana menteri Israel, Benjamin Netanyahu. Sejak awal kariernya, Netanyahu menjadikan Iran sebagai "paus putih" geopolitik yang harus dikalahkan. Baginya, Iran adalah ancaman eksistensial: pengembang senjata nuklir, pendukung terorisme, penyebar kebencian. Di panggung dunia, ia berdiri seperti Ahab, memegang harpun diplomatik dan militer, menatap horison, siap menyerang.

Namun seperti Ahab, obsesi Netanyahu juga memiliki harga. Ketika Hamas menyerang Israel pada 7 Oktober 2023, Netanyahu melihat kesempatan untuk memukul poros Iran: Gaza, Beirut, Damaskus. Tetapi respons Iran datang langsung — rudal dan drone menghujani Israel. Kota-kota seperti Tel Aviv dan Haifa kini menghadapi kekacauan yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Sirene berbunyi tanpa henti, ledakan menggetarkan tanah, rasa aman menghilang.

Netanyahu, seperti Ahab, melihat musuhnya sebagai entitas metafisik, bukan aktor rasional. Dalam kebenciannya, ia kehilangan kemampuan untuk membaca perubahan zaman, menyeret rakyatnya ke dalam konflik yang tidak lagi bisa dikendalikan. Sementara itu, dunia mulai mempertanyakan legitimasi Israel. Demonstrasi bermunculan di Barat, Mahkamah Pidana Internasional membuka penyelidikan, dan kepercayaan publik runtuh. Namun Netanyahu tetap teguh, percaya bahwa satu-satunya jalan keluar adalah dengan menusukkan harpun terakhir ke "paus putih" itu — Iran.

Dalam Moby-Dick, hanya Ishmael yang selamat. Ia adalah saksi yang selamat untuk menceritakan kisah kehancuran itu. Mungkin Ishmael di dunia nyata adalah rakyat Israel yang mulai bertanya: apakah semua ini sepadan? Atau mungkin Ishmael adalah dunia luar, yang mengamati tragedi ini dari kejauhan, mencatat, dan memperingatkan: hati-hati, jangan menjadi Ahab.

Melville memulai novelnya dengan kutipan dari Ayub: “Cuma aku yang bisa lolos agar aku bisa bercerita.” Tragedi besar meninggalkan satu saksi, bukan untuk menang, tetapi untuk menjadi penutur. Jika Netanyahu terus melangkah tanpa mendengar suara waras di sekitarnya, takdirnya bisa jadi tak berbeda dari Ahab: tenggelam bersama dendam yang tidak pernah bisa ditebus.

Selasa, 17 Juni 2025

Wajah di Balik Bayang-Bayang

Malam itu, ia kembali merenung di ruang tamu yang megah, dikelilingi oleh perabotan mahal yang berkilauan di bawah cahaya lampu gantung kristal. Namun, bagi dirinya, semua itu kini seperti ilusi belaka—kekosongan yang menyamar sebagai kemewahan. Kata-kata dari syair Han San yang pernah ia dengar bertahun-tahun lalu muncul kembali dalam pikirannya, seolah menjadi cermin yang memperlihatkan betapa jauhnya ia tersesat.

"Ketika aku masih tinggal di desa
orang-orang menyanjungku tiada taranya.
Tapi ketika esok hari aku pergi ke ibu kota
anjing pun melihatku dengan memicingkan mata.
Seorang bergumam celanaku terlalu sempit."

Syair itu seperti lukisan getir tentang kehidupannya. Dulu, di desanya, ia adalah seseorang yang dipuja, dicintai karena kehangatannya yang tulus. Tapi di ibu kota, tempat segala sesuatu diukur dengan kekayaan dan status, ia menemukan dirinya hanya sebuah objek. Bahkan sekarang, di puncak kekayaan dan kehormatannya, ia merasa tidak lebih dari seseorang yang celananya terlalu sempit untuk mendapatkan penghormatan sejati.

Ia bangkit dari kursinya, melangkah ke jendela besar yang menghadap ke kota yang gemerlap di bawah sana. Gedung-gedung pencakar langit memancarkan cahaya yang menyaingi bintang-bintang, tetapi ia tahu, di balik kaca jendela itu ada dunia yang tidak peduli padanya—yang hanya melihatnya sebagai angka di rekening bank atau koleksi barang mewah.

Ia teringat hari-hari di desa, saat setiap orang mengenalnya bukan karena apa yang ia miliki, tetapi karena siapa dirinya. Orang-orang mendekat bukan untuk memanfaatkan, melainkan untuk berbagi tawa, cerita, dan kesederhanaan yang menghangatkan hati. Di sana, ia merasa hidup. Kini, meski memiliki segalanya, ia merasa seperti bayang-bayang yang memudar.

Pagi harinya, ia memutuskan untuk berjalan-jalan ke pasar tradisional di pinggiran kota. Tanpa membawa apa pun yang menunjukkan statusnya, ia mengenakan pakaian sederhana, mengikat rambutnya, dan menyembunyikan wajahnya di balik syal tipis. Di pasar itu, ia menyaksikan kehidupan yang begitu berbeda dari dunia yang biasa ia kenal. Pedagang menawar, pembeli tertawa, anak-anak bermain di sekitar keranjang sayur.

Ia berhenti di sebuah lapak kecil, tempat seorang lelaki tua menjual lukisan-lukisan sederhana di atas kertas cokelat yang mulai usang. Salah satu lukisan itu menarik perhatiannya: gambar seorang pengembara yang berdiri di tengah persimpangan jalan, dengan satu wajah terukir di langit dan tubuhnya kosong.

“Apa maksud lukisan ini?” ia bertanya, suaranya lembut.

Lelaki tua itu tersenyum, matanya tajam namun ramah. “Itu adalah gambaran jiwa yang tersesat. Wajah di langit itu adalah dirinya yang sejati, tapi tubuhnya telah kehilangan arah. Ia harus mencari wajahnya kembali, atau ia akan selamanya menjadi bayang-bayang tanpa makna.”

Kata-kata itu mengguncangnya. Ia membeli lukisan itu dan membawanya pulang. Di rumah, ia menggantungnya di dinding kamar tidurnya. Setiap kali menatapnya, ia merasa diingatkan akan perjalanan yang masih harus ia tempuh.

Hari demi hari berlalu. Ia mulai membuka hatinya untuk dunia yang pernah ia lupakan. Ia kembali membaca buku-buku lama, menggali pelajaran dari syair-syair seperti milik Han San yang dulu hanya ia baca sepintas lalu. Ia mengunjungi desa-desa, membantu mereka yang membutuhkan, bukan karena ia ingin dipuja, tetapi karena ia ingin merasa berarti.

Dan perlahan, wajah yang dulu hilang itu mulai kembali. Bukan wajah yang penuh polesan atau berkilau oleh harta, tetapi wajah yang dipenuhi makna dan kehangatan. Wajah seorang manusia yang telah menemukan dirinya kembali.

Suatu malam, ia kembali menatap cermin di kamarnya. Kali ini, ia melihat sesuatu yang berbeda. Ada senyum kecil yang terlukis di wajah itu, bukan karena kepuasan materi, tetapi karena ia tahu, ia telah kembali menjadi dirinya sendiri.

Ia membisikkan satu kalimat, seperti mantra yang ia temukan dalam perjalanannya: “Aku adalah aku, bukan karena apa yang aku miliki, tetapi karena apa yang aku bagikan.”

Ketika aku mencari wajahku
Di balik bayang-bayang kota yang gemerlap,
Aku hanya menemukan kosong,
Cahaya palsu yang memudar dalam sekejap.

Ketika aku menengadah ke langit malam,
Bulan berkata padaku tanpa suara,
“Wajahmu tidak hilang,
Hanya tersembunyi di tempat yang terlupa.”

Lalu aku kembali ke akar tanahku,
Mencari jejakku di antara embun pagi,
Menemukan kehangatan yang sederhana,
Dalam tawa riang dan peluh di dahi.

Dan kini aku tahu jawabannya:
Wajahku bukanlah kilau permata,
Bukan harta yang ditumpuk setinggi angkasa,
Melainkan cermin jiwaku, yang hidup dari makna.

Untukmu, wahai syair Han San,
Yang melihat dunia dengan mata tajam,
Aku telah kembali dari kota penuh ilusi,
Menemukan diriku di jalan yang sunyi.

Maka biarlah ini menjadi pesanku:
Bagi siapa saja yang tersesat di persimpangan,
Carilah wajahmu di dalam hati,
Di sanalah arti sejati ditemukan.

Rabu, 11 Juni 2025

Muhammad dari Najd: Suara dari Padang Pasir

Ini bukan kisah sesungguhnya manusia alim ini. Tulisan ini dibuat juga bukan untuk mengecilkan nama, yang kebetulan sama. 

Matahari menyentuh ufuk di atas tanah Najd, memantulkan cahaya keemasan di atas bukit-bukit pasir yang seolah diam tapi menyimpan kisah besar. Di tengah padang pasir itulah, seorang anak laki-laki kecil berjalan kaki pulang dari masjid dengan secarik kertas di tangannya. Namanya Muhammad bin Abdil Wahhab — dan tanpa ia sadari, langkah-langkah kecilnya akan menoreh sejarah besar yang masih terasa sampai hari ini.

Muhammad tumbuh di kota kecil bernama ‘Uyaynah, sebuah wilayah tenang di jazirah Arab. Ayahnya adalah seorang ulama. Sejak kecil, Muhammad terbiasa mendengar diskusi agama, membaca kitab-kitab klasik, dan mendalami tafsir serta fiqih. Tapi ada satu hal yang selalu membuat hatinya bertanya-tanya: Mengapa banyak orang yang menyembelih hewan di kuburan keramat? Mengapa mereka menggantung jimat dan minta perlindungan kepada benda-benda selain Allah?

“Apakah ini benar ajaran Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ï·º?” tanyanya suatu malam kepada ayahnya.
Sang ayah terdiam sejenak, lalu berkata pelan, “Itulah tugas generasi kalian. Membersihkan agama ini dari segala kotoran yang telah lama menempel.”

Perkataan itu tertanam kuat di hati Muhammad. Ia pun semakin giat belajar. Setelah menguasai banyak ilmu di kampung halaman, ia memutuskan pergi merantau: ke Makkah, Madinah, hingga ke Basrah. Di setiap kota, ia menimba ilmu dari para ulama besar. Tapi yang paling ia cari bukan hanya ilmu, melainkan kebenaran yang murni. Tauhid yang asli. Islam yang seperti zaman Rasulullah ï·º dan para sahabat.

Di Basrah, ia menyaksikan masyarakat yang memuja wali-wali, menggantungkan hidup pada kuburan, dan menganggap hal-hal mistis sebagai bagian dari ibadah. Muhammad tertegun.

“Ini bukan Islam. Ini bukan ajaran Rasulullah,” bisiknya dalam hati.

Ia pulang ke kampung dengan semangat yang membara. Ia ingin mengubah umat.

Tapi perubahan bukan sesuatu yang disukai semua orang. Ketika ia mulai berdakwah, mengajak masyarakat untuk meninggalkan syirik, membakar jimat, dan berhenti meminta kepada kuburan, banyak orang marah. Para tokoh adat dan orang-orang yang diuntungkan oleh praktik syirik itu merasa terancam. Muhammad diusir, difitnah, bahkan nyawanya beberapa kali terancam.

Namun Muhammad tidak menyerah. Ia tahu jalan ini berat. Tapi jika bukan dia, lalu siapa lagi?

Di tengah masa-masa sulit itu, Allah mempertemukannya dengan seorang pemimpin daerah bernama Muhammad bin Su’ud, penguasa Dir’iyyah. Keduanya bersepakat: sang pemimpin akan mendukung dakwah Muhammad, dan Muhammad akan membimbing dengan ilmu. Dari sinilah gerakan dakwah yang kuat dan terorganisir lahir. Mereka menyebarkan ajakan tauhid ke seluruh wilayah Arabia.

Gerakan ini kelak dikenal sebagai Gerakan Dakwah Salafiyah. Tapi sayangnya, banyak orang salah paham. Ada yang menuduh ajarannya keras, terlalu kaku, bahkan menganggapnya membuat agama baru. Tapi jika kita mau membaca sendiri kitab-kitabnya, seperti Kitabut Tauhid, kita akan tahu: yang ia ajarkan hanyalah ajakan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah, sebagaimana pemahaman para sahabat.

Bayangkan, betapa beratnya hidup menjadi orang yang ingin mengubah dunia. Tapi itulah keberanian. Itulah makna dakwah.

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab wafat di usia tua, setelah menyaksikan dakwahnya tersebar, meski belum seluruhnya diterima. Tapi hari ini, jutaan orang di seluruh dunia membaca karya-karyanya, mendengar namanya, dan mengamalkan ilmunya.

Dan kamu, anak muda yang sedang membaca ini…
Tahukah kamu bahwa perubahan besar seringkali dimulai dari seseorang yang berani berbeda?

Asy-Syaikh Muhammad tak hanya menyampaikan dakwah, tapi menunjukkan bahwa kita semua bisa memilih jalan yang benar — meski sulit, meski sunyi, meski penuh tantangan.

Jadi, pertanyaannya sederhana:

Apakah kamu akan menjadi bagian dari orang-orang yang berani menjaga kemurnian agama ini… atau hanya diam dan mengikuti arus yang menyesatkan?

pertanyaan ini pun perlahan lewat dan diam-diam menghilang ditelan suara keheningan malam 

Selasa, 10 Juni 2025

Tiga Bulan Saja


Tepuk tangan bergemuruh di Forum Romanum saat Senat dengan suara bulat memilih seorang lelaki tua, jujur, dan berwibawa untuk menjadi Kaisar. 

Ia bukan bangsawan besar, bukan anak kaisar sebelumnya, melainkan anak dari seorang mantan budak yang meniti hidupnya melalui kerja keras dan kehormatan. 

Nama lelaki itu: Publius Helvius Pertinax.

Kita tahu – lewat gambar-gambar sejarah Romawi -- forum Romanum itu sejenis plaza persegi yang dikelilingi oleh sejumlah bangunan pemerintahan kuno di pusat kota Roma. 

Selama berabad-abad, tempat ini menjadi pusat kehidupan masyarakat Romawi: tempat prosesi kemenangan dan pemilihan umum; tempat pidato umum, pengadilan kriminal, dan pertandingan gladiator; dan inti dari segala aktivitas perdagangan.

Dotilah Pertinax dipilih dan diumumkan menggantikan Kaisar Commodus yang kejam dan banyak sensasi. Kaisar itu banyak bohongnya daripada kerja nyata.

Saat menerima tongkat kekaisaran, Pertinax berdiri sejenak di depan para senator, lalu menatap langit seolah mencari restu dari para dewa—atau mungkin dari suara hati nuraninya sendiri.

“Aku tidak mencari kekuasaan,” katanya pelan, nyaris berbisik, “tapi jika tak ada yang tersisa untuk menyelamatkan negeri ini kecuali seorang tua yang sudah lelah namun masih jujur, maka biarlah aku berdiri di sini.”

Pertinax mengutuk warisan Commodus. Bukan dengan kata-kata hinaan, tapi dengan menampilkan kontras. Keadilan menggantikan ketakutan, kesederhanaan melawan kemewahan, kebajikan menyaingi kebusukan.

Hari-hari awal pemerintahannya bagai embun pagi setelah malam panjang yang penuh badai. Rakyat Roma, terbiasa dengan kekacauan dan kekejaman Kaisar Commodus, nyaris tak percaya ketika mendengar kabar-kabar ini: pajak dikurangi, budak-budak dibebaskan, para tahanan politik dipulihkan kehormatannya. 

Pertinax mengembalikan seluruh kekayaan pribadinya kepada istri dan putranya. Katanya, dengan kekayaan itu, istri dan anak-anaknya tidak boleh memiliki alasan untuk menggantungkan keuntungan pada negara. 

Ia menolak gelar Augusta bagi istrinya dan Caesar bagi putranya, serta mendidik anaknya dalam kesederhanaan yang keras—bukan sebagai pewaris tahta, tapi sebagai murid kehidupan.

Ketika seorang penasihat memprotes, Pertinax menjawab dengan lirih:

“Jika aku ajarkan anakku kekuasaan sebelum ia tahu kesederhanaan, maka aku sedang menciptakan Commodus kedua.”

Wajahnya mungkin tampak keras di hadapan publik, tapi suaranya lembut dan penuh perhatian. Ia bersahabat dengan para senator berbudi luhur. Bukan karena mereka kuat, tapi karena mereka bermoral. 

Ia membuka kembali pintu pengampunan bagi mereka yang pernah dipenjara atau diasingkan secara tidak adil, dan dengan tangan yang sama ia menghukum para delator, para penuduh palsu yang selama ini menjadi alat kekuasaan tirani. 

Dalam sidang pertama sebagai kaisar, ia berujar:

“Tak ada kedamaian tanpa keadilan, dan tak ada keadilan tanpa keberanian.”

Pada suatu pagi, ia berjalan tanpa pengawal menuju sebuah rumah kecil di pinggiran Roma. Itu adalah rumah seorang pria tua yang pernah diasingkan karena difitnah oleh penguasa lama. 

Pertinax mengetuk pintu sendiri. Si pria tua membuka pintu dengan gemetar, tak percaya melihat Kaisar berdiri di hadapannya.

“Kau bukan budakku,” ujar Pertinax, “tapi aku berutang padamu karena negara ini telah mempermalukanmu. Pulanglah ke dewan, dan bawa kembali kehormatanmu.”

Air mata mengalir di wajah lelaki tua itu.

Namun tak semua menyukai perubahan. Para prajurit elit, Praetorian Guard, murka karena Pertinax tak mau “membeli” kesetiaan mereka dengan emas dan pesta. Mereka memandang disiplin sebagai ancaman, bukan perbaikan.

Maka pada hari ke-86 dari pemerintahannya, mereka datang. 

Di istana, beberapa pengawal pribadi lari ketakutan. Hanya seorang pelayan yang tertinggal, menggenggam tangan sang Kaisar dengan gemetar.

“Pergilah, selamatkan diri Anda,” bisik pelayan itu.

Pertinax menatapnya dengan damai.

“Aku tidak lari dari keadilan, mengapa aku harus lari dari ketidakadilan?”

Saat para pembunuh masuk, Pertinax berdiri tegak, mengenakan toga putih bersih. Ia tidak melawan, tidak memohon.

“Jika darahku bisa menyelamatkan Roma dari ketamakan kalian, maka biarlah ia mengalir.”

Ia gugur dalam keheningan. Tidak dengan pekikan, tidak dengan kepanikan, tapi dengan martabat yang membuat sejarah menundukkan kepala.

Sejarawan Simon Elliott menyebut Kaisar Pertinax sebagai "JFK-nya Roma" karena kemiripan mereka dalam hal asal-usul sederhana, komitmen terhadap reformasi, dan akhir tragis yang mengguncang bangsa.

Pertinax hanya berkuasa kurang dari tiga bulan. Namun lebih dari itu, ia menunjukkan bahwa kejujuran bukan kelemahan, kesederhanaan bukan kemiskinan, dan integritas tidak memerlukan waktu lama untuk bersinar.

Seorang filsuf pernah berkata, “Kehidupan yang dijalani dengan benar tidak perlu panjang, cukup dalam saja.” Pertinax tidak hanya menjalani itu. Ia menjadi itu.

Dan dalam gema sejarah, namanya tidak berbisik—ia menggema: sebagai Kaisar yang tak lama berkuasa, tetapi selamanya menginspirasi. 


Penulis: Edhy Aruman

Minggu, 25 Mei 2025

RASPUTIN


Semalam, iseng-iseng buka Spotify. Lama nggak membuka aplikasi itu. Browsing lagu-lagu dan akhirnya mata tertuju pada Rasputin yang dibawakan grup disko legendaris Boney M. 

Lagu yang dirilis akhir dekade 1970an itu mengabadikan kisah hidup Rasputin dalam dentuman beat yang tak lekang oleh waktu. Penasaran, saya googling dan Amazon mencari buku-buku tentang Rasputin. Ada lebih dari 50an judul. 

Pilihan saya, karya Joseph T. Fuhrmann, Rasputin: The Untold Story. (Wiley, 2012); dan Massie berjudul Nicholas and Alexandra: The Fall of the Romanov Dynasty. (Random House Publishing Group, 1967).

Grigori Yefimovich Rasputin lahir pada 1872 di Pokrovskoe, sebuah desa terpencil di Siberia, dalam keluarga petani yang hidup di bawah tekanan iklim ekstrem. 

Sejak kecil, ia sudah terkenal karena kemampuannya meramalkan kejadian. Misalnya, pada usia dua belas tahun ia mampu menyebut siapa pencuri kudanya di tengah kerumunan tetangga. Itu adalah sebuah kemampuan yang memicu kekaguman sekaligus keraguan.

Pengalaman spiritual awal inilah yang kemudian mendorong Rasputin meninggalkan kehidupan kampung halamannya. Dia melakukan ziarah panjang, termasuk kunjungan ke biara-biara di Gunung Athos, Yunani. Disitu ia membenamkan diri dalam praktik asketik dan doa panjang (Fuhrmann, 2012).

Pulang ke Rusia, dia membangun reputasi sebagai starets , orang suci yang mampu menyembuhkan dan ‘melihat’ penderitaan jiwa manusia. 

Ketika berita tentang kemampuannya sampai ke St. Petersburg, kalangan aristokrat dan bahkan anggota Gereja Ortodoks mulai mengundangnya untuk menenangkan kegundahan batin mereka. 

November 1905, Rasputin diperkenalkan kepada Tsarina Alexandra Feodorovna. Kepercayaan Alexandra tumbuh ketika sang starets berhasil meredakan episode pendarahan putra mahkota, Alexis, yang menderita hemofilia. 

Malam itu, doa dan tatapan penuh keyakinan Rasputin di samping ranjang Alexis menghasilkan perbaikan kondisi kesehatan sang pangeran keesokan harinya. Alexandra pun  menulis bahwa ia ingin “terlelap di pundak… Sahabat Kami” .

Keberhasilan ini mengangkat pengaruh Rasputin jauh di luar pengobatan. Ia menjadi penasihat tak resmi bagi keluarga kekaisaran, memberi bimbingan rohani sekaligus mendukung keputusan politik yang dianggap selaras dengan kehendak ilahi. 

Pertama kali bertemu Rasputin, Perdana Menteri Peter Stolypin merasa “terhipnotis, sekaligus jijik.” Aura mistis Rasputin membuat Stolypin terhanyut dalam kekuatan batinnya. Namun, dia juga jengah melihat penampilan Rasputin yang jauh dari bersih: rambut panjang berminyak, janggut kusut penuh kotoran, baju lusuh yang tak pernah diganti, dan bau lembu atau keringat yang menyengat.

Gairah spiritual yang memikatnya beradu dengan naluri fisik untuk menjauh itu oleh istana ditafsirkan sebagai tanda kurangnya “kesetiaan pada kehendak Tuhan.” Kepercayaan para bangsawan terhadap Stolypin pun memudar. 

Iklim istana yang sangat mengedepankan legitimasi agama, membuat kecurigaan seperti itu cukup untuk melemahkan posisi seorang Perdana Menteri. Stolypin kehilangan dukungan utama di istana, rencana-rencana reformasinya diperlambat, dan akhirnya ia dipinggirkan dari pengambilan keputusan paling kritis di masa itu 

Menariknya, meskipun dikenal berperan dalam lingkaran kekaisaran, kehidupan pribadi Rasputin sarat dengan kontradiksi. 

Arsip kepolisian St. Petersburg tahun 1912–1913 mencatat rutinitas Rasputin di malam hari. Kesukaannya mengunjungi penyedia layanan intim dan perempuan bangsawan, menampakkan sisi duniawi yang jauh dari citra suci yang ia rawat di siang hari . 

Beberapa pejabat istana maupun pengikut setianya, seperti Anna Vyrubova, menyaksikan dualitas Rasputin. Ini menimbulkan mitos sekaligus kecaman: penyembuh rohani dan pemuja kesenangan dalam satu tubuh.

Masa hidup Rasputin berakhir tragis pada Desember 1916, ketika sebuah konspirasi yang dipimpin oleh Pangeran Felix Yusupov dan Vladimir Purishkevich menewaskannya. Racun sianida yang gagal, tembakan berulang kali, dan penenggelaman jasadnya di Sungai Neva menjadi puncak cerita yang menegaskan konflik antara kepercayaan rakyat dan intrik politik istana . 

Penelitian selanjutnya mengungkap dugaan peran agen Intelijen Inggris dalam “Operasi Dark Forces” , termasuk kemungkinan peluru 455 Webley milik agen tersebut menembus kening Rasputin. Ini bukti bahwa ia telah menjadi pion dalam permainan kekuatan global yang lebih luas.

Kehidupan Grigori Rasputin mengingatkan kita bahwa karisma dan bakat penyembuhan, bila tak diimbangi dengan integritas, justru dapat menjerumuskan diri dan orang lain. 

Dari seorang petani desa yang bertransformasi menjadi penasihat istana, menunjukkan kemampuan kekuatan pribadi membius hati banyak orang. Namun, Rasputin juga menunjukkan betapa cepatnya kepercayaan itu bisa berubah menjadi senjata politik yang mematikan. 

Ia menunjukkan bahwa perubahan batin dapat membawa seseorang menembus batas sosial, tetapi juga bahwa karisma yang luar biasa sering kali menimbulkan ketegangan antara iman, politik, dan moralitas.

Kisahnya mengajarkan pentingnya keseimbangan antara iman dan akal sehat, kerendahan hati, serta tanggung jawab moral: tanpa itu, bahkan niat baik seberat bumi akan mudah rusak oleh nafsu dan ambisi. 

Penulis: Edhy Aruman

Senin, 19 Mei 2025

Parfum


Jean-Baptiste Grenouille lahir di antara tumpukan sampah dan bau busuk pasar ikan Paris abad ke-18—sebuah zaman ketika setiap sudut kota dipenuhi oleh bau kematian, penyakit, dan pengabaian.

Ibunya seorang penjual ikan yang melahirkan dia secara spontan di tengah tumpukan jeroan dan sampah ikan, lalu langsung meninggalkannya begitu saja untuk mati.

Dalam dunia yang dipenuhi aroma itu, Grenouille hadir tanpa bau, tanpa jejak keberadaan. Tidak ada satu pun yang bisa mencium kehadirannya. 

Namun, ironisnya, ia sendiri dikaruniai indra penciuman yang luar biasa: ia bisa membedakan ratusan ribu aroma. Memori olfaktorinya tak tertandingi, dan obsesi keharuman murninya tak terbendung.

Olfaktori adalah segala hal yang berkaitan dengan indera penciuman. Sistem olfaktori memungkinkan manusia dan hewan mendeteksi, mengenali, dan mengingat berbagai aroma atau bau di lingkungan sekitar.

Dan di balik ketidakberbauannya, Grenouille tumbuh menjadi sosok yang dingin, terisolasi, dan haus akan identitas. Ia tidak memahami cinta, tidak mengenal rasa bersalah, dan hanya mengerti satu hal: kekuatan aroma. 

Dunia telah menolaknya, dan ia pun membalas dunia dengan cara yang hanya ia pahami—melalui wewangian. 

Ketika suatu hari ia mencium aroma seorang gadis muda yang begitu murni dan menggoda, ia menemukan tujuan hidupnya. Ia ingin mengabadikan keharuman itu. Bukan untuk dipuja, bukan untuk dijual, tetapi untuk memilikinya, menjadikannya bagian dari dirinya, agar ia bisa menjadi "seseorang."

Perjalanannya membawanya dari gang-gang kumuh Paris ke pusat-pusat pembuatan parfum seperti Grasse, kota di Prancis selatan yang dikenal sebagai ibu kota parfum dunia, pusat produksi minyak esensial dan wewangian sejak abad ke-18

Di kota itu, dia belajar semua teknik ekstraksi aroma, dari distilasi hingga enfleurage -  teknik tradisional ekstraksi aroma bunga dengan menggunakan lemak untuk menyerap minyak esensial secara perlahan dan alami. Dia jadi piawai dalam membuat wewangian.

Namun, tak satu pun dari keahlian itu digunakan untuk tujuan mulia. Ia mulai membunuh gadis-gadis demi mencuri keharuman mereka, mengumpulkan esensi tubuh mereka satu per satu. 

Ia percaya bahwa dengan menggabungkan aroma dari dua puluh empat gadis muda yang tak berdosa, ia bisa menciptakan parfum yang akan membuat manusia tunduk dan cinta kepadanya.

Dan benar, ia berhasil. Parfum ciptaannya membuat orang-orang percaya bahwa ia adalah malaikat, bahkan dewa. 

Namun, di puncak kekuasaannya, Grenouille menyadari kenyataan yang paling tragis: sekalipun dunia memujanya karena aroma yang ia kenakan, ia sendiri tetap tidak bisa mencium dirinya. Ia tetap kosong. Ia tetap bukan siapa-siapa.

Dalam keputusasaan yang paling dalam, Grenouille memutuskan untuk menghancurkan dirinya. Ia kembali ke Paris, ke tempat ia dilahirkan, dan membiarkan dirinya dilalap oleh orang-orang jalanan yang terpikat oleh aroma parfumnya. Mereka tidak tahu siapa dia. Mereka hanya mencium aroma surgawi. Dan dalam sekejap, Jean-Baptiste Grenouille yang tidak pernah benar-benar hidup, menghilang tanpa bekas.

Film

Cerita ini diambil dari novel luar biasa karya Patrick S"uskind, "Perfume: The Story of a Murderer" (Penguin Books, 2006). Novel ini diangkat ke layar lebar yang disutradarai oleh Tom Tykwer, dan dibintangi oleh Ben Whishaw sebagai Jean-Baptiste Grenouille. 

Film ini adalah adaptasi langsung dari novel dan sangat setia pada narasi gelap dan atmosferik karya aslinya.

Kemudian,  diadaptasi menjadi serial televisi berjudul Perfume (judul aslinya Parfum). Serial ini merupakan produksi Jerman. Pertama kali ditayangkan di ZDFneo pada 14 November 2018, dan kemudian dirilis secara internasional di Netflix pada 21 Desember 2018. 

Meskipun bukan adaptasi langsung dari novel atau film tahun 2006, serial ini terinspirasi oleh tema dan elemen cerita dari keduanya. Serial di Netfliz bercerita tentang seorang penyanyi yang ditemukan tewas dengan kelenjar aromanya diambil, memicu penyelidikan yang mengungkap rahasia kelam dari masa lalu sekelompok teman yang terobsesi dengan penciptaan aroma manusia.

Pesannya sama. Di balik kisah kelam dan menakutkan itu tersembunyi refleksi tajam tentang pencarian identitas, kehausan akan pengakuan, dan kegilaan manusia terhadap ilusi keindahan. 

Grenouille adalah cermin ekstrem dari manusia yang tersingkir, yang menolak ditelan ketiadaan, dan yang akhirnya memilih akhir dengan cara yang hanya bisa didefinisikan oleh dirinya sendiri.

Ia mengajarkan kita bahwa bahkan kejeniusan pun bisa menjadi kutukan jika tidak disertai dengan rasa kemanusiaan. Dan bahwa keharuman paling kuat di dunia ini pun tak akan pernah mampu menutupi kekosongan hati yang tak pernah mengenal cinta. 

PenulisL Edhy Aruman

Sabtu, 17 Mei 2025

Berhenti

Dalam sejarah olahraga, ada momen-momen yang tak hanya mencetak kemenangan, tapi menggambarkan esensi terdalam dari keberanian manusia. Muhammad Ali dan Lindsey Vonn adalah dua nama besar yang menandai dua kutub berbeda dari keberanian itu.

Ali adalah legenda tinju dunia, Linda legenda ski dunia. Ali mewakili grit. Linda dengan caranya sendiri yang jujur dan penuh pengakuan, mewakili quit.

Muhammad Ali berdiri sebagai simbol ketangguhan tak tergoyahkan. Tahun 1974, ketika dunia sudah mulai meragukannya, ia naik ke ring dan menjatuhkan George Foreman dalam “Rumble in the Jungle.” Pertarungan tinju legendaris.

Bukan hanya Foreman yang ia kalahkan. Ali mengalahkan usia, prediksi, dan keraguan. Ia adalah wujud dari tekad yang tak mau tunduk, dari hasrat yang terus membara walau tubuh mulai lelah. Ia tidak sekadar bertarung; ia melawan kenyataan dan menang. 

Ali menghidupkan grit (keberanian) sebagai semangat untuk terus berdiri meski jatuh, untuk tetap maju meski luka.

Budaya mengagungkan ketekunan. Grit dianggap kebajikan, sedangkan menyerah—quit—adalah aib. Kutipan dari para legenda: Thomas Edison, Babe Ruth, Vince Lombardi sering terdengar. Mereka semua menyampaikan satu pesan: teruslah berjuang, dan kamu akan berhasil. 

Annie Duke menuliskan dalam bukunya Quit: The Power of Knowing When to Walk Away (Portfolio, 2022).

Tapi grit juga punya sisi gelap. Ali terus bertarung jauh melewati batas aman tubuhnya. Ia mengabaikan sinyal-sinyal bahaya yang datang dari dokter, dari ring, dari rasa sakit itu sendiri. Dan akhirnya, ia membayar mahal—dengan kerusakan permanen pada tubuh dan sistem sarafnya.

Namuni ia tetap dikenang sebagai sang petarung sejati. Ali adalah legenda karena ia tidak tahu kata menyerah. 

Dan justru karena itu, kisahnya menjadi pelajaran: grit perlu disandingkan dengan kebijaksanaan.

Kenapa? Ada sisi lain dari kenyataan. Tidak semua yang bertahan akan menang. Bertahan dalam sesuatu yang salah bisa jadi membawa kehancuran. Seperti seseorang yang terus mengejar mimpi menjadi penyanyi meski tak punya nada dasar, atau yang mengorbankan segalanya untuk ambisi yang tidak realistis. 

Di saat-saat seperti itu, quit bukan kelemahan, tapi kebijaksanaan.

Lindsey Vonn beberapa kali jatuh. Namun, dia justru terkenal karena bangkit dari luka yang paling mengerikan. Diseret turun dari gunung bersalju, menjalani operasi demi operasi, absen dari Olimpiade, dan tetap kembali untuk menang. Tapi ketika tubuhnya berkata cukup, ia mendengarkan.

Dengan nada getir namun penuh kejujuran, Lindsey menulis: “Tubuhku rusak... … dan sekarang aku harus mendengarnya.” Ia berhenti. Ia mengakui bahwa babak itu telah usai. 

Tapi seperti banyak dari kita, ia masih merasa perlu menyamarkannya: “Aku tidak menyerah… aku memulai babak baru.”

Jika seseorang sekelas Lindsey Vonn saja masih merasa perlu menyamarkan kata "berhenti", bayangkan betapa beratnya bagi kita, manusia biasa, untuk mengucapkannya. Kita tidak hanya takut akan kegagalan. Kita takut akan stigma. Takut akan label. Takut disebut pecundang.

Lalu terciptalah bahasa-bahasa halus untuk menutupinya: pivot, move on, start fresh, chapter baru, rebranding, bahkan redeployment strategis. Bila jujur: semua itu hanyalah kata lain dari “berhenti.”

Bahasa telah memihak. Kita menciptakan ribuan istilah untuk menggambarkan ketekunan: gigih, tangguh, ulet, berani, pantang menyerah. Tapi untuk “menyerah,” tidak ada padanan yang terdengar indah. Ia seperti kata terlarang. Voldemort atau tabu dalam dunia motivasi. Maka dibungkuslah semua itu dalam eufemisme, agar tidak menyakitkan saat ditelan.

Mungkin itu bukan sekadar upaya menjaga citra. Mungkin itu cara kita semua merangkul konsep quit tanpa merasa kalah. Karena berhenti pun perlu keberanian. Kadang lebih berat dari bertahan. 

Butuh kedewasaan untuk berkata, “Ini sudah cukup.” Butuh ketenangan batin untuk melepaskan gelar, lampu sorot, dan semua pengakuan yang pernah membuat kita merasa hidup.

Ali dan Vonn mengajarkan kita bahwa keberanian tak punya satu wajah.

Kadang keberanian adalah tetap bertarung saat semua orang bilang berhenti.

Kadang keberanian adalah berhenti saat semua orang ingin kau terus bertarung.

Ali mewakili grit, Vonn mewakili quit. Tapi keduanya mewakili hal yang sama:

keberanian untuk memilih dengan hati, bukan dengan tekanan.

Dan pada akhirnya, keberanian sejati bukan soal berapa lama kamu bertahan. Tapi soal bagaimana kamu tahu kapan waktunya berjuang, dan kapan waktunya pulang.

Menyerah bukan dosa. Itu hanya cara lain untuk berkata: “Aku telah cukup berjuang, dan kini aku memilih untuk pulang.”

Kadang, keberanian bukan tentang tetap berdiri di medan perang. Tapi tentang tahu kapan saatnya turun dari panggung, dan berjalan tenang menuju panggilan hidup yang baru. Karena,  kejujuran paling dalam datang dari keberanian untuk berhenti. 

Grit memang mengubah dunia. Tapi kadang, quit menyelamatkan hidupmu.

Penulis: Edhy Aruman

Kamis, 15 Mei 2025

Merancang Nyali


Nyali bukan hanya soal keberanian besar, tapi tentang langkah kecil yang berani diambil meski takut. Merancang nyali artinya membangun kepercayaan diri dari kegagalan—dan belajar bahwa keberanian bisa dilatih.

Setiap orang punya ide. Tapi tidak semua orang punya keberanian untuk mewujudkannya. Ketakutan akan kegagalan—ditolak, salah, atau terlihat bodoh—seringkali lebih besar daripada ide itu sendiri. 

Kita mundur bahkan sebelum mulai. Bukan kita tidak mampu, tapi karena kita tidak cukup punya nyali.

Walt Disney pernah dianggap “kurang imajinatif” dan mengalami kebangkrutan sebelum akhirnya membangun kerajaan mimpi bernama Disneyland. J.K. Rowling menulis Harry Potter dalam keterpurukan sebagai ibu tunggal yang hidup dari tunjangan. Naskahnya ditolak 12 kali sebelum akhirnya menjadi fenomena global. 

Howard Schultz, sebelum menjadikan Starbucks merek kopi dunia, ditolak oleh lebih dari 200 investor karena idenya dianggap tidak masuk akal.

Mereka semua memiliki satu hal yang sama: nyali.

Bukan nyali untuk bertarung di medan perang, tapi nyali untuk terlihat bodoh, nyali untuk ditertawakan, ditolak, dijatuhkan—dan tetap melangkah maju. Nyali seperti ini yang sering tak terlihat. Tapi menentukan segalanya. Inilah nyali yang ingin dibangun Tom Kelley dan David Kelley dalam buku mereka Creative Confidence.

Menurut mereka, keberanian tidak muncul begitu saja. Ia bukan sesuatu yang magis yang datang di saat genting. Sebaliknya, keberanian bisa dirancang. Mereka menyebutnya designing for courage —sebuah pendekatan bertahap, terstruktur, dan penuh empati untuk menumbuhkan rasa percaya diri melalui keberhasilan-keberhasilan kecil (Kelley & Kelley, 2013).

Konsep ini terinspirasi dari psikolog Albert Bandura yang menciptakan metode guided mastery, di mana seseorang dilatih untuk mengatasi ketakutan besar melalui langkah kecil dan aman. Rasa percaya diri tumbuh bukan dari teori, tapi dari pengalaman nyata: berhasil sedikit demi sedikit.

Dalam guided mastery, seseorang dilatih untuk mengatasi ketakutan besar melalui langkah kecil dan aman. Misalnya, dalam salah satu eksperimennya, Bandura membantu orang yang memiliki fobia terhadap ular. Mereka tidak langsung diminta menyentuh atau memegang ular. 

Langkah pertama hanya melihat ular dari balik kaca. Setelah itu, peserta didorong untuk mendekat beberapa langkah. Lalu duduk di ruangan yang sama. Hingga akhirnya, setelah serangkaian keberhasilan kecil yang terkumpul, mereka bisa menyentuh ular dengan tenang. 

Bukan karena rasa takut itu hilang begitu saja, tapi karena mereka secara bertahap belajar bahwa mereka bisa dan biasa menghadapinya.

Di Stanford d.school, para murid tidak langsung mengerjakan proyek besar. Mereka diberi tantangan-tantangan kecil. Misalnya, mendesain ulang pengalaman memberi hadiah atau menyusun ulang rutinitas perjalanan ke tempat kerja. Mereka tidak hanya dilatih untuk memecahkan masalah, tapi juga untuk menghadapi kegagalan dengan kepala tegak.

Inilah nyali sejati: nyali untuk rapuh di ruang terbuka, untuk berkata, "Saya belum bisa," tapi tetap mencoba. Nyali bukan berarti tak takut, tapi berani walau takut.

Dalam proses itu, Kelley bersaudara menciptakan lingkungan yang disebut zona aman untuk gagal. Mereka tidak memulai kelas dengan kuliah panjang, tapi dengan tantangan nyata. 

Mereka percaya bahwa semakin cepat seseorang gagal, semakin cepat pula ia belajar. Itulah sebabnya mereka lebih suka murid menyelesaikan banyak proyek kecil daripada satu proyek besar—karena setiap kegagalan kecil memberi ruang untuk tumbuh.

Cerita paling sederhana tapi menyentuh dalam buku mereka berasal dari John “Cass” Cassidy. Dalam Juggling for the Complete Klutz,  Cass mengajarkan juggling bukan dengan melempar tiga bola sekaligus, tapi dengan satu langkah awal: “The Drop.” 

Ia meminta kita melempar semua bola dan membiarkannya jatuh. Lagi dan lagi. Tujuannya? Membuat kegagalan jadi sesuatu yang biasa, bukan menakutkan.

Karena ketika kita tidak lagi takut menjatuhkan bola, kita lebih berani mencoba lagi. Dan ketika kita lebih berani mencoba, kita mulai belajar. Dan dari situlah kepercayaan diri tumbuh—bukan dari keberhasilan pertama, tapi dari kegagalan ke-20 yang akhirnya bisa dilewati.

Inilah makna terdalam dari merancang keberanian. Keberanian adalah keterampilan yang bisa dipelajari. Dan seperti Walt Disney, Rowling, dan Schultz, kita semua bisa menumbuhkannya—dengan satu syarat: kita punya nyali untuk memulai, bahkan jika itu berarti menjatuhkan bola untuk yang kesekian kalinya.

Penulis: Edhy Aruman

Rabu, 14 Mei 2025

Takdir!

Frederic Henry hanyalah seorang perwira muda Amerika. Dia bertugas sebagai sopir ambulans bagi tentara Italia saat Perang Dunia I. Ia bukan pahlawan besar yang ingin mengubah dunia atau tampil di barisan depan sejarah. 

Ia seseorang yang sedang mencari tempatnya di tengah kekacauan, mencoba bertahan hidup dengan cara yang paling manusiawi—dengan cinta, kejujuran, dan keberanian dalam diam.
Justru karena itu, ia begitu dekat dengan kita. Ia adalah cermin dari jiwa yang rapuh namun tetap memilih bertahan—di tengah kehancuran, kehilangan, dan cinta yang akhirnya tak mampu diselamatkan.

Dalam novel perang romantik,_A Farewell to Arms,_ Ernest Hemingway menciptakan tokoh Frederic sebagai cerminan manusia biasa yang dilempar ke tengah badai perang. Frederic tidak banyak bicara soal moral atau patriotisme. Ia skeptis terhadap slogan dan pidato. 

Hemingway sendiri pernah menjadi sopir ambulans Palang Merah di Italia selama perang, dan pengalamannya itu sangat memengaruhi karakter dan jalan cerita dalam novel. Jadi, meskipun Frederic Henry adalah tokoh fiksi, ia banyak mencerminkan pengalaman pribadi Hemingway sendiri.

Di dalam diri Frederic, ada kepekaan yang sunyi dan dalam. Ia jatuh cinta pada Catherine Barkley, seorang perawat Inggris. Dan lewat hubungan mereka, Frederic mengenal makna kebersamaan, kasih sayang, dan harapan yang bersinar samar di tengah gelapnya dunia.

Cinta mereka tidak megah, tapi intim dan nyata. Frederic, yang telah menyaksikan terlalu banyak kematian, menemukan kembali rasa hidup lewat sentuhan Catherine. Mereka membangun dunia kecil yang penuh kehangatan di tengah reruntuhan. 

Namun Hemingway tidak menawarkan pelipur lara. Dalam salah satu adegan paling menyayat di A Farewell to Arms, kita mendapati Catherine Barkley terbaring lemah di rumah sakit. Ia baru saja melahirkan, namun bayinya meninggal. Tubuhnya yang lelah tak sanggup lagi melawan komplikasi yang datang satu per satu. 

Frederic Henry, kekasihnya, duduk di samping ranjang, menggenggam tangan yang dulu menuntunnya menuju harapan. Kini, harapan itu perlahan memudar.

Catherine menatapnya dengan tenang. _“I’m not afraid. I just hate it,”_ katanya lirih. 
Bukan ketakutan yang menyelimuti dirinya, tapi penyesalan yang sunyi—karena hidup yang dibayangkan bersama Frederic, rumah kecil mereka, masa depan yang mereka impikan, semua harus pupus begitu cepat.

Frederic tidak bisa menerima kenyataan itu. Ia membalas dengan suara bergetar, seolah berusaha meyakinkan dunia, bukan hanya Catherine. “You’re not going to die. You’re not. You can’t.”

Tapi kata-kata itu jatuh hampa di ruang yang makin senyap. Frederic tahu, jauh di dalam hatinya, bahwa ia tidak sedang melawan penyakit—ia sedang melawan kepergian yang tak bisa ditawar.

Tak lama setelah itu, Catherine pergi. Tanpa drama, tanpa akhir bahagia. Ia pergi meninggalkan Frederic sendirian, dengan bayi yang tak sempat hidup dan hati yang kini kosong. 

Dan dalam kesunyian itu, Hemingway tidak menulis pernyataan heroik. Ia hanya menuliskan seorang pria yang berjalan keluar dari rumah sakit, melangkah ke tengah hujan. Dunia tidak runtuh bersamanya, tapi dalam dirinya, sesuatu telah hancur.

Inilah momen ketika perang dalam novel Hemingway berubah wujud. Bukan lagi soal peluru atau medan tempur, tapi tentang ketidakberdayaan manusia di hadapan takdir. Kekuatan tak terhindarkan yang merenggut cinta dan harapan mereka, meskipun telah berjuang bersama di tengah perang dan penderitaan.

Tentang cinta yang sekuat apa pun tetap bisa kandas, dan tentang seorang pria yang mesti terus hidup, meski semua yang ia cintai telah hilang.

Disini, takdir bukan sesuatu yang megah atau dramatis, melainkan kekuatan diam yang merampas segalanya—dengan tenang, tanpa memberi alasan. Ia bukan vonis dari langit, melainkan kenyataan sunyi bahwa bahkan cinta yang paling tulus pun bisa kandas.

Namun dari kehancuran itu, muncul bentuk keberanian baru: untuk terus hidup, bukan karena hidup menjanjikan sesuatu, tetapi karena itu satu-satunya jalan yang tersisa.
Inilah realisme Hemingway yang menyayat, namun jujur dan mengena: “The world breaks everyone, and afterward, many are strong at the broken places” (Hemingway, 1929/1995, hlm. 249)

Dari retakan itulah, Frederic perlahan menjadi sosok yang lebih utuh. Bukan karena ia menemukan jawabannya, tapi karena ia belajar menerima bahwa kehidupan tidak selalu memberi alasan.

Dalam kehilangan, ia belajar tentang cinta yang sejati, tentang keberanian untuk terus berjalan, meski jalan itu tak lagi bercahaya. 

Penulis: Edhy Aruman

Selasa, 13 Mei 2025

CHANEL NO. 5


Setiap tiga puluh detik, di suatu sudut dunia, ada seseorang yang membeli sebotol Chanel No. 5. Klaim ini diumumkan pemerintah Prancis pada tahun 2006, dan meski angka pastinya kini menjadi rahasia dagang yang sulit diungkapkan, namun satu hal tetap tak terbantahkan: sejak 1921, Chanel No. 5 telah menjadi legenda hidup. 

Ia tak pernah menjadi tren sesaat. Mungkin bukan hanya karena skalanya yang luar biasa, tetapi karena setiap tetes Chanel No. 5 mengandung sesuatu yang lebih dari sekadar aroma. Ia merupakan kenangan, kekuatan, dan ilusi akan keabadian. 

Institusi rasa, memori, dan misteri yang melintasi generasi, tulis Tilar J. Mazzeo di bukunya, The Secret of Chanel No. 5: The Intimate History of the World's Most Famous Perfume.  (Harper Collins, 2010).

Aroma ini tidak lahir dari laboratorium pencari laba. Ia lahir dari seorang perempuan yang memahami luka, kehilangan, dan cita-cita tentang masa depan. Gabrielle “Coco” Chanel, perempuan yang dibesarkan di panti asuhan, melawan kemiskinan dan stigma untuk membangun kerajaannya sendiri. 

Coco lahir di sebuah rumah miskin—tempat penampungan bagi tunawisma—di kota Saumur, Prancis, pada 19 Agustus 1883. Ayahnya, seorang pedagang keliling, sedang berada di jalan ketika ia lahir, sehingga dua petugas dari rumah sakit amal pergi ke balai kota untuk mencatat kelahirannya. 

Ibunya saat itu terlalu lemah untuk hadir. Ketika walikota menanyakan nama keluarga sang bayi, tidak ada yang tahu bagaimana cara mengejanya dengan benar, sehingga ia menuliskannya secara keliru sebagai “Chasnel.”

Setelah Perang Dunia I, saat dunia mencari kembali bentuk dan harapan, Chanel hadir dengan gaun hitam sederhana dan ide radikal: bahwa keindahan tidak memerlukan ornamen, dan kemewahan sejati adalah kebebasan.

Namun bagi Chanel, membebaskan perempuan tidak cukup melalui busana. Ia ingin menciptakan sesuatu yang bisa menyentuh indera paling pribadi: penciuman. 

Dalam sebuah pernyataan yang menggambarkan visinya secara gamblang, Coco Chanel menyebut bahwa pada tahun 1920, ia ingin menciptakan parfum yang membuat pemakainya “smell like a woman, not a flower.”

Kalimat ini menjadi deklarasi revolusioner: parfum bukan sekadar aksesori, tetapi identitas. 

Chanel ingin wewangian yang tidak mempermanis atau menyamarkan, tetapi menampilkan kekuatan dan kompleksitas perempuan dalam bentuk paling murni.

Dengan Ernest Beaux, perfumer Rusia yang pernah membuat wewangian untuk keluarga Tsar, ia menciptakan sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya—parfum dengan struktur abstrak, komposisi sintetis, dan aroma yang tidak bisa dikenali sebagai satu jenis bunga atau bahan alam. 

Dari sepuluh sampel, Chanel memilih nomor lima. Maka lahirlah Chanel No. 5 (Allure, n.d.).

Wewangian ini adalah revolusi cair. Tidak feminin dalam cara lama. Tidak mencoba merayu. Ia memancarkan kehadiran. Ia adalah bentuk aroma dari perempuan yang tidak tunduk, tidak minta disukai, tetapi layak dikenang. Chanel No. 5 menjadi simbol sosial yang kuat—perempuan baru yang menghirup kebebasan dan menebarkan wibawa.

Dari sisi sosiologis, Chanel No. 5 adalah artefak dari perubahan zaman. Ia mencerminkan momen ketika perempuan merebut kembali tubuh dan narasinya. Parfum ini bukan ornamen, tapi pernyataan. 

Di era 1920-an, ketika perempuan mulai menulis sejarah mereka sendiri, Chanel No. 5 menjadi penanda tak kasat mata dari kehadiran yang ingin dikenang bukan karena fisik semata, tetapi karena identitas yang sadar dan utuh.

Ketika Marilyn Monroe berkata dalam wawancara tahun 1952 bahwa yang ia kenakan saat tidur hanyalah "beberapa tetes Chanel No. 5," itu bukan hanya sensualitas, itu adalah kontrol. Itu adalah cara perempuan bicara tentang tubuhnya, pilihannya, tanpa malu, tanpa minta izin (Monroe, 1952). 

Chanel No. 5 bukan sekadar aroma, tapi manifestasi dari keberanian itu.

Namun, kekuatan Chanel No. 5 yang paling luar biasa mungkin justru terlihat dalam dunia sekarang. 

Di tengah dunia yang kini bergerak cepat, di mana “buzzer” mengisi linimasa dengan suara-suara bising dan tren datang dan pergi seperti musim tanpa jeda, Chanel No. 5 berdiri diam—tak bergeming. 

Ia tak pernah menjadi bagian dari hiruk-pikuk influencer sesaat, atau tren viral yang meledak lalu menguap dalam 24 jam. Chanel No. 5 tidak dibangun di atas klik, likes, atau algoritma.

Parfum ini tidak pernah membutuhkan buzzer untuk menjadi legenda, karena ia adalah bukti bahwa yang abadi tidak perlu berteriak untuk didengar. Ia tidak menjual sensasi. Ia menawarkan pengalaman—halus, lambat, dan dalam. 

Ketika banyak brand bersaing menyusun strategi pemasaran real-time, Chanel tetap menjadi lambang slow luxury.  Ia tidak mengikuti keramaian, ia menciptakan ruang tenang untuk dihayati.

Era buzzer melahirkan ikon yang cepat naik dan cepat hilang. Chanel No. 5 sebaliknya, adalah sebuah kehadiran—yang tetap bertahan saat dunia berubah. Ia adalah perlawanan halus terhadap kultur instan, pernyataan bahwa sesuatu yang indah, bermakna, dan otentik butuh waktu, visi, dan sejarah. 

Dalam linimasa yang penuh suara, Chanel No. 5 adalah keheningan yang elegan—dan justru karena itu, ia lebih terasa, lebih diingat.

Maka ketika parfum ini disemprotkan hari ini, ia bukan sekadar aroma. Ia adalah jejak perlawanan terhadap dunia yang terlalu cepat lupa. Ia adalah napas lambat di tengah tarikan terburu-buru. 

Dan dari botol kaca persegi yang sederhana itu, Chanel No. 5 terus membisikkan sesuatu yang sangat manusiawi: bahwa yang tulus, yang otentik, dan yang dirawat dengan waktu—akan selalu bertahan. 

Penulis: Edhy Aruman