Jumat, 13 Juni 2025

Transisi

 


Oktober 2019, SAP – perusahaan perangkat lunak asal Jerman yang fokus pada solusi bisnis dan enterprise – mengumumkan keputusan yang mengejutkan banyak orang. 

Pemegang saham mengangkat Jennifer Morgan – bersama Christian Klein -- sebagai co-CEO SAP menggantikan CEO legendaris Bill McDermott.

Penunjukan ini mencetak sejarah. Morgan menjadi perempuan Amerika pertama di dewan eksekutif SAP. Dia juga co-CEO wanita pertama di antara perusahaan-perusahaan besar Jerman. Sebelumnya, itu tidak pernah terjadi.

Pemegang saham berharap penuh keduanya menjaga kontinuitas kepemimpinan setelah Bill McDermott mundur. Keduanya dianggap mampu menggabungkan keahlian teknologi dan bisnis, serta mempercepat transformasi digital SAP melalui struktur kepemimpinan kolaboratif dan berbagi tanggung jawab strategis.

Christian Klein berlatar belakang keuangan dan operasional. Ia pernah menjabat sebagai Chief Operating Officer (COO) dan Chief Financial Officer (CFO) di SAP. Dia ahli dalam efisiensi proses internal, transformasi organisasi, dan stabilitas operasional.

Jennifer Morgan, di sisi lain, berasal dari sisi komersial dan transformasi digital. Sebagai Presiden SAP’s Cloud Business Group, ia memimpin pertumbuhan layanan cloud SAP secara global. Ia jago dalam membangun hubungan pelanggan, ekspansi pasar, dan kepemimpinan strategis dalam inovasi.

Namun, apa yang terjadi? Ibarat kata, orang boleh berencana, Tuhan menentukan. 

Enam bulan setelah pengangkatan, Morgan mengundurkan diri. 

April 2020, SAP mengumumkan bahwa mereka kembali ke model CEO tunggal, dan menunjuk Klein sebagai satu-satunya pemimpin.

Alasannya? Krisis global akibat pandemi COVID-19. SAP menyatakan bahwa “dalam krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya ini, kami memerlukan satu suara kepemimpinan yang kuat dan jelas,” kata Klein.

“Awalnya (degan dua CEO), kami memulai dengan agenda bersama. Namun dalam situasi penuh gejolak ini, kami merasa sekarang adalah waktu yang tepat untuk kembali ke model CEO tunggal.” 

Sang pendiri SAP, Hasso Plattner, mendukung keputusan ini. Dia mengakui bahwa meskipun model co-CEO memiliki tempat dan waktu tersendiri, “Sekarang bukan waktu tang tepat.” 

Analis Commerzbank menyatakan bahwa pasar tidak pernah sepenuhnya menyukai struktur kepemimpinan ganda, meskipun kepergian Morgan berarti hilangnya juru bicara cloud yang berpengaruh (Business Insider, 2020).

Cerita Morgan hanyalah satu dari sekian banyak transisi eksekutif yang berakhir prematur, meski sebelumnya para ekskutif itu memiliki kinerja yang cemerlang. 

Di Hewlett-Packard, Léo Apotheker hanya bertahan sebelas bulan. Ia membuat keputusan strategis kontroversial. Dia mengumumkan rencana untuk menjual divisi PC dan mengakuisisi perusahaan Inggris, Autonomy, senilai $10,6 miliar. 

Reaksi pasar begitu negatif, dan nilai pasar HP anjlok lebih dari $30 miliar. Apotheker pun dipecat, membawa serta pesangon sebesar $25 juta (Bloomberg, 2011; CNN, 2011).

Di Boeing, Harry Stonecipher diminta kembali dari pensiunnya untuk memimpin pemulihan perusahaan. Namun hanya bertahan 15 bulan. Ia dipecat karena hubungan pribadi dengan seorang eksekutif wanita, hubungan yang dinilai melanggar etika perusahaan meski tidak berdampak langsung pada operasional (Deseret News, 2005).

Jeff Jones di Uber membawa gaya kepemimpinan berbasis nilai dari Target. Namun, ia memilih mengundurkan diri enam bulan setelah bergabung. Alasannya, dia merasa nilai-nilai kepemimpinannya tidak cocok dengan budaya Uber, yang saat itu sedang bergulat dengan krisis internal. Ia tidak ingin mengkompromikan prinsipnya demi jabatan (Vox, 2017).

Dalam banyak hal, keputusan Jones adalah refleksi dari seorang pemimpin yang sadar bahwa perubahan sejati tidak bisa dipaksakan jika sistem belum siap.

Apa benang merah dari kisah-kisah ini?

Menurut Navid Nazemian (2021), transisi eksekutif adalah masa paling rentan dalam siklus hidup organisasi. Transisi eksekutif bukan soal kemampuan individu semata, tetapi tentang bagaimana pemimpin baru menghadapi dan menavigasi ruang transisi yang kompleks.

Ironisnya, perusahaan seringkali lebih fokus pada proses perekrutan daripada penyusunan strategi yang kuat. Padahal, jika dijalankan dengan baik, transisi yang terstruktur bisa memangkas risiko kegagalan hingga 50 persen.

Transisi CEO bukan sekadar hari pertama atau 90 hari pertama. Ia adalah proses adaptasi dan integrasi mendalam, yang menuntut keseimbangan antara ekspektasi pasar, budaya organisasi, dan integritas pribadi. Tanpa fondasi ini, bahkan pemimpin paling cemerlang pun bisa tersandung.

Jennifer Morgan, Leo Apotheker, Harry Stonecipher, dan Jeff Jones semuanya memiliki rekam jejak luar biasa, menduduki posisi senior di perusahaan besar, dan diakui sebagai pemimpin visioner di bidang masing-masing. 

Namun justru di sinilah letak pelajaran pentingnya: kompetensi saja tidak cukup dalam transisi kepemimpinan.

Kegagalan mereka bukan karena kekurangan kapasitas intelektual atau pengalaman, tetapi karena ketidaksesuaian antara gaya kepemimpinan, nilai pribadi, ekspektasi organisasi, dan kondisi lingkungan saat itu. Transisi memerlukan kemampuan untuk memahami konteks baru secara mendalam—budaya perusahaan, dinamika kekuasaan internal, tekanan eksternal, serta sensitivitas terhadap momen historis seperti krisis pandemi atau perubahan strategi besar.

Kepemimpinan yang efektif bukan hanya soal siapa Anda, tetapi bagaimana Anda masuk ke dalam sistem yang sudah berjalan. 

Apakah sistem itu siap menerima perubahan yang Anda bawa. Kompeten? Ya. Tapi dalam ruang transisi, kompetensi perlu disertai kejelian, kerendahan hati, dan dukungan organisasi yang tepat. Tanpa itu, bahkan bintang pun bisa jatuh. 

Penulis: Edhy Aruman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar