Tampilkan postingan dengan label ide menulis menulis cepat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ide menulis menulis cepat. Tampilkan semua postingan

Minggu, 22 Juni 2025

Tuntaskanlah!



Musim panas, Peter Hollins, penulis buku Finish What You Start: The Art of Following Through, Taking Action, Executing, & Self-Discipline, dia membuat ukiran berupa sebuah kano kayu kecil sepanjang 30 senti. 

Minggu pertama berjalan mulus, minggu kedua terasa berat akibat otot tangan yang pegal, dan pada minggu ketiga godaan menonton film baru membuatnya berhenti. Kano itu menjadi saksi bisu kemalasan dan penundaan yang terus membayangi. 

Namun, ketika ia mengenal konsep temptation bundling — menggabungkan tugas yang harus diselesaikan dengan imbalan instan yang kita nikmati — semua berubah. Sambil mendengarkan album favoritnya, Hollins berhasil menuntaskan kano itu hingga selesai.

Cerita Hollins mengajari kita bahwa memulai sesuatu jauh lebih mudah daripada menuntaskannya. 

Banyak dari kita yang pernah menjadi seperti Esther yang bertekad membuka usaha kue rumahan setelah bertahun-tahun terkekang rutinitas kantor dan rindukan kebahagiaan dari hobinya. 

Saat cuti dua minggu tiba, ia membayangkan riset resep, survei pasar, dan perencanaan matang. Namun hari-harinya terbuang untuk tidur siang, urusan rumah, dan nongkrong bersama teman tanpa sekalipun menanyakan dukungan atau masukan. 

Impiannya tetap teronggok di kepala, tanpa jejak tindakan nyata.

Begitu pula Sally, idealis yang mendirikan yayasan untuk membantu kaum miskin. Semangatnya berkobar saat mendirikan badan amal, hingga ia dihadapkan pada realita pahit: menggalang dana, bersaing mendapatkan donasi, dan merancang kampanye pemasaran. 

Beban itu membuatnya tercekam frustrasi, hingga dalam hitungan bulan ia memutuskan berhenti, tanpa pernah merencanakan cara agar sisi positif yayasan bisa menutupi tantangan bisnis di baliknya.

Di sisi lain, ada John, penulis novel yang berjuang membagi energi antara pekerjaan kantor dan menulis. Tanpa aturan tegas, tekadnya menulis dua bab per malam luntur saat lelah—hingga novel itu terus tertunda. 

Namun ketika ia menetapkan satu-satunya aturan: setiap malam wajib menyelesaikan dua bab tanpa kompromi, ia mendapati dirinya menuntaskan naskah dengan bangga, meski tubuhnya kelelahan.

Rasa takut juga menghantui Lara, sukarelawan yang merencanakan kampanye galang dana. Idenya brilian, tetapi bayangan penolakan dan penilaian membuatnya membatalkan segala sesuatunya sebelum langkah pertama. Alih-alih kehilangan peluang, ia malah menolak dirinya sendiri, membiarkan kegemarannya padam dalam ketakutan.

Perfectionism pun tak kalah merusak. Paul, sudah bertahun-tahun menambah sertifikasi dan gelar pascasarjana demi persiapan promosi, tetapi tak kunjung melamar. Itu karena dia merasa “resume” belum sempurna. 

Jadinya, kesempurnaan yang dikejar menutup pintu kesempatan lebih awal, membuatnya terjebak stagnasi.

Gerald punya cita-cita besar sebagai pengusaha, namun investasi modal dan pemangkasan gaya hidupnya terlalu menakutkan—hingga ia memilih kembali ke pekerjaan nyaman, meninggalkan mimpinya. Ketakutan akan ketidaknyamanan mengalahkan keberanian berkorban untuk masa depan.

Michael, konsultan lepas, salah satu korban false hope syndrome, kondisi menanam harapan berlebihan untuk perubahan cepat, kecewa dan kehilangan motivasi.  

Ia membayangkan pendapatan besar dengan usaha minimal, namun kenyataan menuntut jam kerja pagi yang tak sesuai ritme tubuhnya. 

Setelah kecewa berulang, ia menyesuaikan jadwal dengan kebiasaan terbaiknya—bangun saat tubuhnya fit dan menunda tugas yang menguras tenaga, sehingga ia dapat menindaklanjuti langkah-langkah kecil secara konsisten.

Sepanjang kisah ini, satu pelajaran jelas: menyelesaikan apa yang dimulai adalah seni mengatur fokus, disiplin, dan momentum. 

Dengan strategi seperti temptation bundling, pembagian tugas kecil harian, aturan tak tergoyahkan, dan kesadaran akan biaya peluang setiap pilihan, kita dapat menyeimbangkan antara kenyamanan masa kini dan hasil masa depan. 

Menindaklanjut berarti mengambil langkah—sekecil apa pun—setiap hari, hingga puncak tujuan akhirnya pun tercapai.

Penulis: Edhy Aruman

Sabtu, 21 Juni 2025

Memo Itu Menyelamatkan Nyawa


Katharine Gun adalah penerjemah bahasa Mandarin di Government Communications Headquarters (GCHQ) Inggris. 

Di balik kesunyiannya itu, dia menyaring ribuan koridor elektronik.

Dia menerjemahkan, menyusun, dan memahami rahasia negara.

Tapi pada 31 Januari 2003, hidupnya berubah selamanya ketika memo Top Secret//COMINT//X1 dari National Security Agency (NSA) AS tiba di antarmukanya .

Selama ini, Katharine menjalaninya sebagai rutinitas biasa: bangun pagi, meneguk kopi, lalu menyelami dokumen intelijen. 

Namun, pagi yang dingin itu, sebuah pesan dari Frank Koza, Kepala Staf Pertahanan Regional NSA, terkuak: NSA dan GCHQ diminta melakukan operasi spionase rahasia untuk memanipulasi suara anggota Dewan Keamanan PBB; Angola, Bulgaria, Kamerun, Chili, Guinea, dan Pakistan, agar mendukung resolusi perang Irak. 

“It was quite cold that Friday morning… I felt quite excited—no, more shocked than anything else,” kenang Katharine, saat mengetahui operasi ilegal itu .

Hatinya bergejolak. Ia selalu percaya bahwa intelijen seharusnya hanya mengumpulkan fakta, bukan menghancurkan kedaulatan diplomatik. 

Ia merenung: jika publik tahu bahwa Presiden AS George Bush dan Perdana Menteri Inggris Tony Blair diam-diam menekan suara-suara penentang dengan cara kotor, mungkin invasi itu bisa dicegah. 

“What I hoped,” ujarnya kemudian, “was that people would see what was happening and be so disgusted that nobody would support the war in Iraq… And I even hoped that the US general public would somehow realize that they were being dragged hook, line, and sinker into the war”.

Keputusan moral itu tiba-tiba—segera setelah membaca memo, Katharine menyelinapkan selembar salinan ke dalam tas tangan. 

Dia mencari satu orang yang bisa dia percaya untuk meneruskan pesan itu: teman karibnya—sebut saja “Jane” — yang diketahui memiliki koneksi ke jurnalis investigasi. 

Tanpa ragu, Katharine mengirim memo itu melalui email, berharap anonimitasnya terjaga .

Memo itu berpindah tangan dengan cepat. Jane menyerahkan naskahnya kepada wartawati Yvonne Ridley, yang menandainya sebagai dokumen otentik dan menghubungi Martin Bright, editor The Observer. 

Setelah tiga minggu verifikasi yang penuh gentar, termasuk usaha membuktikan keaslian serta mempertimbangkan potensi risiko hukum, The Observer mempublikasikan seluruh memo Koza pada 2 Maret 2003 itu. 

Editor Bright kemudian mengakui, “More of a concern to us was that we would be joined in the prosecution. To publish is an offence under the Official Secrets Act as well … So they preferred to take on the little guy—in this case, little woman—rather than us big guys” .

Keesokan harinya, panggilan dari GCHQ datang. Katharine ditanyai di departemen keamanan, lalu diserahkan ke polisi Metropolitan. 

Di ruang tahanan Cheltenham, ia digelandang tanpa gelang dan diborgol, merasakan dinginnya sel beton. 

Ia pun memutuskan untuk jujur: _“I have only ever followed my conscience,” tegasnya. 

Dia mengaku pembocoran memo demi menghentikan perang ilegal yang akan merenggut ribuan nyawa sipil dan tentara Inggris .

Proses peradilan berlangsung dramatis. Tim pembela dari organisasi hak asasi Liberty mengajukan “Advance Notice of Defence Statement” yang menuntut pengungkapan dokumen pendukung pandangan bahwa perang Irak tanpa resolusi baru PBB melanggar hukum internasional . 

Saat itulah pemerintah terjepit, membuka kemungkinan terbongkarnya nasihat hukum Lord Goldsmith tentang legalitas invasi. 

Enam hari sebelum persidangan di Old Bailey, jaksa memutuskan menghentikan kasus tanpa penjelasan resmi. 

Ruang sidang sunyi sesaat, lalu bergemuruh sorak sorai ketika Katharine keluar .

Keputusan itu menghindarkan pemerintah dari aib besar. Seandainya sidang berlanjut, legalitas perang dan kebebasan pers akan diuji tuntas dengan risiko bocornya dokumen rahasia tertinggi, termasuk surat menyurat Blair–Bush. 

Sir Menzies Campbell menyatakan, “Dropping the charges will avoid severe government embarrassment … It is even possible that the full text of the attorney general’s advice to the cabinet might have been published at last.”

Dampaknya meluas ke ranah politik Inggris dan AS. 

Di Inggris, kepercayaan publik terhadap Tony Blair merosot tajam. Momentum ini memberikan kontribusi pada kejatuhan pemerintahnya. 

Di AS, media mulai mempertanyakan narasi WMD dan melahirkan gerakan pemeriksaan ulang keputusan invasi. 

Laporan Chilcot 2016 akhirnya menyimpulkan bahwa invasi itu “tidak sah” dan “berdasarkan intelijen yang dipertanyakan” . 

Dalam debat panjang tentang legalitas perang, kasus Katharine Gun menjadi simbol penting konflik antara keamanan nasional dan hak publik untuk mengetahui kebenaran.

Katharine Teresa Harwood tumbuh sebagai “third-culture kid.”.

Masa kecilnya dihabiskan di Taiwan. Dia menguasai Bahasa Mandarin tanpa aksen asing sebelum melanjutkan pendidikan di Morrison Academy, AS. Kemudian dia mengajar selama dua tahun di pedesaan Jepang, memperkaya wawasan lintas budaya dan mematangkan etos kerjanya. 

Keahliannya dalam bahasa Mandarin dan pengetahuan lintas budaya mempersiapkannya menjadi salah satu penerjemah paling handal di Government Communications Headquarters (GCHQ), di mana ia menangani komunikasi intelijen tingkat tinggi antara NSA dan pemerintah Inggris . 

Pada 4 Januari 2001, Katharine menandatangani dokumen Official Secrets Act sebagai syarat bergabung dan melewati serangkaian tes keamanan serta kemahiran bahasa yang ketat sebelum resmi menjadi penerjemah di Cheltenham pada usia 26 tahun . 

Selama proses rekrutmen, ia juga menjalani pekerjaan sementara guna mendukung hidupnya di Inggris barat daya, termasuk mengajar bahasa dan pekerjaan serabutan lainnya . Di Cheltenham, Katharine menetap bersama suaminya, Yasar, imigran Turki yang menjalankan sebuah kafe di dekat markas GCHQ, saling mendukung dalam kehidupan yang tenang namun penuh tantangan

Kisah Katharine menegaskan peran pers sebagai penegak akuntabilitas. Tanpa Observer, operasi NSA itu mungkin tetap tersembunyi. Kebebasan pers menguat, whistleblower lain terinspirasi oleh keberaniannya. 

Julukan “moral compass” pun melekat padanya.  Katharine rela mengorbankan karier, kebebasan, dan rasa aman keluarga demi menyalakan lentera kebenaran di lorong kelam kekuasaan.

Setelah semua gegap gempita politik mereda, Katharine memilih hidup sederhana bersama suaminya, Yasar, di pedesaan Turki, mengajar bahasa Mandarin, dan menuntut ilmu etika global . Namun, suaranya tidak pernah padam: “I would do it again,” katanya, menegaskan komitmen bahwa pada momen kritis, hanya suara nurani yang dapat diandalkan .

Kisah Katharine Gun adalah pengingat abadi bahwa kebenaran, sekecil apa pun, memiliki kekuatan untuk mengguncang monolit kekuasaan. Dalam dilema antara ketaatan dan keadilan, ia memilih keberanian—dan mengubah jalannya sejarah.

Penulis: Edhy Aruman


RUJUKAN

Mitchell, M., & Mitchell, T. (2019). The spy who tried to stop a war: Katharine Gun and the secret plot to sanction the Iraq invasion. HarperCollins Publishers.

Selasa, 17 Juni 2025

Wajah di Balik Bayang-Bayang

Malam itu, ia kembali merenung di ruang tamu yang megah, dikelilingi oleh perabotan mahal yang berkilauan di bawah cahaya lampu gantung kristal. Namun, bagi dirinya, semua itu kini seperti ilusi belaka—kekosongan yang menyamar sebagai kemewahan. Kata-kata dari syair Han San yang pernah ia dengar bertahun-tahun lalu muncul kembali dalam pikirannya, seolah menjadi cermin yang memperlihatkan betapa jauhnya ia tersesat.

"Ketika aku masih tinggal di desa
orang-orang menyanjungku tiada taranya.
Tapi ketika esok hari aku pergi ke ibu kota
anjing pun melihatku dengan memicingkan mata.
Seorang bergumam celanaku terlalu sempit."

Syair itu seperti lukisan getir tentang kehidupannya. Dulu, di desanya, ia adalah seseorang yang dipuja, dicintai karena kehangatannya yang tulus. Tapi di ibu kota, tempat segala sesuatu diukur dengan kekayaan dan status, ia menemukan dirinya hanya sebuah objek. Bahkan sekarang, di puncak kekayaan dan kehormatannya, ia merasa tidak lebih dari seseorang yang celananya terlalu sempit untuk mendapatkan penghormatan sejati.

Ia bangkit dari kursinya, melangkah ke jendela besar yang menghadap ke kota yang gemerlap di bawah sana. Gedung-gedung pencakar langit memancarkan cahaya yang menyaingi bintang-bintang, tetapi ia tahu, di balik kaca jendela itu ada dunia yang tidak peduli padanya—yang hanya melihatnya sebagai angka di rekening bank atau koleksi barang mewah.

Ia teringat hari-hari di desa, saat setiap orang mengenalnya bukan karena apa yang ia miliki, tetapi karena siapa dirinya. Orang-orang mendekat bukan untuk memanfaatkan, melainkan untuk berbagi tawa, cerita, dan kesederhanaan yang menghangatkan hati. Di sana, ia merasa hidup. Kini, meski memiliki segalanya, ia merasa seperti bayang-bayang yang memudar.

Pagi harinya, ia memutuskan untuk berjalan-jalan ke pasar tradisional di pinggiran kota. Tanpa membawa apa pun yang menunjukkan statusnya, ia mengenakan pakaian sederhana, mengikat rambutnya, dan menyembunyikan wajahnya di balik syal tipis. Di pasar itu, ia menyaksikan kehidupan yang begitu berbeda dari dunia yang biasa ia kenal. Pedagang menawar, pembeli tertawa, anak-anak bermain di sekitar keranjang sayur.

Ia berhenti di sebuah lapak kecil, tempat seorang lelaki tua menjual lukisan-lukisan sederhana di atas kertas cokelat yang mulai usang. Salah satu lukisan itu menarik perhatiannya: gambar seorang pengembara yang berdiri di tengah persimpangan jalan, dengan satu wajah terukir di langit dan tubuhnya kosong.

“Apa maksud lukisan ini?” ia bertanya, suaranya lembut.

Lelaki tua itu tersenyum, matanya tajam namun ramah. “Itu adalah gambaran jiwa yang tersesat. Wajah di langit itu adalah dirinya yang sejati, tapi tubuhnya telah kehilangan arah. Ia harus mencari wajahnya kembali, atau ia akan selamanya menjadi bayang-bayang tanpa makna.”

Kata-kata itu mengguncangnya. Ia membeli lukisan itu dan membawanya pulang. Di rumah, ia menggantungnya di dinding kamar tidurnya. Setiap kali menatapnya, ia merasa diingatkan akan perjalanan yang masih harus ia tempuh.

Hari demi hari berlalu. Ia mulai membuka hatinya untuk dunia yang pernah ia lupakan. Ia kembali membaca buku-buku lama, menggali pelajaran dari syair-syair seperti milik Han San yang dulu hanya ia baca sepintas lalu. Ia mengunjungi desa-desa, membantu mereka yang membutuhkan, bukan karena ia ingin dipuja, tetapi karena ia ingin merasa berarti.

Dan perlahan, wajah yang dulu hilang itu mulai kembali. Bukan wajah yang penuh polesan atau berkilau oleh harta, tetapi wajah yang dipenuhi makna dan kehangatan. Wajah seorang manusia yang telah menemukan dirinya kembali.

Suatu malam, ia kembali menatap cermin di kamarnya. Kali ini, ia melihat sesuatu yang berbeda. Ada senyum kecil yang terlukis di wajah itu, bukan karena kepuasan materi, tetapi karena ia tahu, ia telah kembali menjadi dirinya sendiri.

Ia membisikkan satu kalimat, seperti mantra yang ia temukan dalam perjalanannya: “Aku adalah aku, bukan karena apa yang aku miliki, tetapi karena apa yang aku bagikan.”

Ketika aku mencari wajahku
Di balik bayang-bayang kota yang gemerlap,
Aku hanya menemukan kosong,
Cahaya palsu yang memudar dalam sekejap.

Ketika aku menengadah ke langit malam,
Bulan berkata padaku tanpa suara,
“Wajahmu tidak hilang,
Hanya tersembunyi di tempat yang terlupa.”

Lalu aku kembali ke akar tanahku,
Mencari jejakku di antara embun pagi,
Menemukan kehangatan yang sederhana,
Dalam tawa riang dan peluh di dahi.

Dan kini aku tahu jawabannya:
Wajahku bukanlah kilau permata,
Bukan harta yang ditumpuk setinggi angkasa,
Melainkan cermin jiwaku, yang hidup dari makna.

Untukmu, wahai syair Han San,
Yang melihat dunia dengan mata tajam,
Aku telah kembali dari kota penuh ilusi,
Menemukan diriku di jalan yang sunyi.

Maka biarlah ini menjadi pesanku:
Bagi siapa saja yang tersesat di persimpangan,
Carilah wajahmu di dalam hati,
Di sanalah arti sejati ditemukan.

Senin, 16 Juni 2025

Desiran Angin Menyentuh Kulit

Malam itu, ia duduk di tepi sungai desa, memandangi bayangan rembulan yang memantul di permukaan air. Angin malam berembus lembut, menyisir rambutnya yang kusut. Ia menarik napas panjang, membiarkan udara dingin meresap ke dalam tubuhnya yang selama ini dipeluk oleh kemewahan tanpa rasa.

“Hai angin,” bisiknya pelan, hampir seperti doa, “wajahku kauterbangkan ke mana? Apakah kau menyimpannya di suatu tempat yang jauh, di mana aku tak bisa mencapainya lagi?”

Angin menjawab dengan desiran yang menyentuh kulitnya, tetapi tidak memberikan jawaban pasti. Ia menghela napas, matanya menatap langit. Awan yang bergerak perlahan di atas sana seolah menari tanpa peduli pada beban hatinya.

“Hai awan,” pintanya, suaranya bergetar, “runtuhkanlah hujanmu menjadi wajahku. Biarkan aku menemukannya lagi di setiap tetes yang jatuh ke bumi. Aku ingin merasakan diriku kembali, meski hanya untuk sesaat.”

Namun, awan hanya bergerak tanpa henti, membawa dirinya menjauh dari pandangan. Ia menunduk, tangannya menggenggam erat segenggam tanah di tepi sungai. Ia merasa begitu kecil, begitu tak berarti.

Kemudian, ia menatap bulan yang menggantung di langit, cahayanya redup tetapi penuh kelembutan. Seolah-olah bulan itu mengerti kesedihannya. Dengan lirih, ia berbisik, “Hai bulan, jadilah kau cermin. Biarkan aku melihat wajahku yang hilang dalam sinarmu. Jangan biarkan aku terus menjadi bayang-bayang yang tak dikenal.”

Tetapi bulan hanya diam, memantulkan kehangatan yang menenangkan tetapi tanpa jawaban.

Dan di malam yang sunyi itu, untuk pertama kalinya, ia benar-benar memahami. Apa arti seorang manusia tanpa wajahnya? Bukan wajah yang dilihat orang lain, tetapi wajah yang ia lihat dalam dirinya sendiri, wajah yang menjadi cermin jiwanya. Apakah gunanya tumpukan emas, istana megah, dan kekayaan yang tak terhitung, jika di balik semua itu ia hanyalah sosok yang kehilangan makna?

Ia mengingat semua yang telah ia miliki. Kekayaannya yang dulu begitu ia banggakan kini terasa seperti beban. Bukannya menolongnya menemukan wajahnya, harta itu justru menenggelamkannya lebih dalam ke dalam jurang kehampaan. Ia sadar, di atas segala tumpukan kemewahan itu hanya ada satu hal: mawar hitam.

Wajahnya kini bagai mawar hitam. Tidak harum, tidak bercahaya. Kelopak-kelopaknya kering, melayu, kehilangan segala keindahan.

“Wajahku,” katanya pelan, dengan suara yang nyaris hilang, “adalah wajah dari mawar. Hitam, melayu, tanpa sinar.”

Ia melihat dirinya sebagai Putri Cina mawar hitam, telanjang, tersesat dalam malam. Tidak ada gemerlap, tidak ada sorak sorai. Hanya kegelapan yang menelannya, perlahan tapi pasti. Dan dalam keheningan itu, ia sadar bahwa ia harus menemukan kembali dirinya, bukan melalui kekayaan, tetapi melalui sesuatu yang jauh lebih abadi—makna.

Pagi menjelang, dengan mata yang bengkak karena tangis, ia berdiri di bawah pohon tua dekat sungai. Embun pagi membasahi rerumputan di sekelilingnya, seolah menyentuh kakinya dengan kelembutan yang menghibur. Matahari mulai merangkak naik di ufuk timur, memancarkan cahaya keemasan yang mengintip di antara daun-daun.

“Hari baru,” bisiknya, mencoba memberi dirinya kekuatan. “Mungkin ini adalah awal untuk menemukanku kembali.”

Ia kembali ke desa, berjalan menyusuri jalanan berbatu yang sederhana, menghirup udara segar pagi yang penuh dengan aroma tanah dan dedaunan basah. Di setiap langkah, ia melihat orang-orang menjalani hidup mereka—bukan dalam kemewahan, tetapi dalam kedamaian. Para petani sibuk di ladang, anak-anak bermain dengan tawa riang, dan para ibu bercakap-cakap sambil menjemur pakaian. Tidak ada emas, tidak ada perhiasan, tetapi ada sesuatu yang jauh lebih berharga—kebahagiaan yang sederhana dan nyata.

Di sebuah gubuk kecil, ia berhenti dan memperhatikan seorang gadis muda yang sedang menggambar di atas tanah dengan ranting kecil. Gambar itu sederhana: sebuah bunga matahari yang besar dengan kelopak lebar. Gadis itu mendongak, menyadari kehadirannya.

“Cantik sekali gambarmu,” katanya lembut. Gadis itu tersenyum malu-malu, tetapi matanya bersinar dengan antusiasme.

“Terima kasih, Kakak. Ini bunga matahari. Mereka selalu menghadap ke matahari, mencari cahayanya. Kalau bunga itu menghadap ke tanah, dia akan layu,” jawab gadis itu polos.

Kata-kata itu menghentak seperti petir dalam benaknya. Bunga matahari, pikirnya. Ia merasa dirinya seperti bunga yang selama ini menunduk, tidak lagi mencari cahaya sejatinya. Ia telah membiarkan dirinya terjerat dalam bayangan harta dan kemewahan, lupa untuk mencari sesuatu yang lebih penting: cahaya yang membawa kehidupan dan makna.

Tanpa sadar, ia meraih tangan gadis kecil itu. “Terima kasih,” katanya, suaranya sedikit bergetar. Gadis itu hanya mengangguk, lalu kembali menggambar, tidak menyadari betapa dalam kata-katanya telah menyentuh hati seorang yang tengah tersesat.

Hari-hari berikutnya, ia menghabiskan waktu di desa. Ia belajar mengolah tanah, menanam padi, dan merasakan hangatnya tawa yang tulus dari para petani yang bekerja bersamanya. Ia merasakan bagaimana peluh di dahi terasa jauh lebih memuaskan dibandingkan perhiasan yang pernah ia kenakan. Ia mulai menemukan bagian kecil dari wajahnya yang hilang, terkubur di bawah semua lapisan kepalsuan yang selama ini ia banggakan.

Bulan berganti. Ia kembali ke kota megahnya, tetapi kali ini ia tidak lagi sama. Gaun-gaun mewahnya ia tinggalkan. Perhiasan berkilauan itu ia simpan di kotak kayu tua. Ia mulai membangun kembali dirinya, bukan dengan kemewahan, tetapi dengan memberikan sesuatu yang berarti. Ia mendirikan sekolah kecil di desanya, tempat anak-anak bisa belajar menggambar, membaca, dan bermimpi. Ia menyumbangkan hartanya untuk mereka yang membutuhkan, bukan untuk mendapatkan pujian, tetapi untuk merasakan kehangatan yang ia temukan kembali.

Dan malam itu, di balkon rumahnya, ia kembali menatap bulan. Kali ini, ia tidak meminta bulan menjadi cermin. Ia tersenyum lembut. Di cermin kecil yang ia bawa dari desa, ia melihat wajahnya—bukan wajah yang sempurna seperti dulu, tetapi wajah yang hidup, penuh dengan cerita dan makna.

“Wajahku telah kembali,” bisiknya pelan. “Bukan karena kekayaan, tetapi karena aku kembali mencari cahaya.”

Sabtu, 03 Mei 2025

Belajar Menulis dari Hal Sehari-hari: Biar Nggak Nunggu Mood Terus

Gue nggak bisa nulis, kalo nggak mood. Wah bahaya juga. Tapi bagi seorang penulis, tentu dia harus berdamai dengan mood nya. Gue punya beberapa tips yang bisa dijadikan pegangan untuk menulis tanpa nunggu mood.

Banyak orang pengin jago nulis, tapi bingung mulai dari mana. Nunggu inspirasi, nunggu mood, nunggu waktu luang — yang seringnya malah nggak datang-datang. Padahal, belajar nulis bisa dimulai dari hal simpel yang kita temui tiap hari.

Nulis Itu Nggak Harus Nunggu “Ide Besar”

Sering kali kita mikir, tulisan itu harus tentang topik yang berat atau luar biasa. Padahal, justru hal-hal kecil yang kita alami setiap hari bisa jadi latihan nulis yang ampuh. Nulis soal macet di jalan, obrolan random di warung, atau hal absurd yang kita lihat di medsos pun bisa jadi bahan.

Contoh:

  • Hari ini ketemu ibu-ibu bawa ayam naik motor. Kocak? Iya. Tapi bisa kamu jadiin tulisan pendek tentang kehidupan di kampung.

  • Semalam, sewaktu pulang ke rumah naik KRL, ada sekeluarga yang kerepotan membawa barang belanjaan banyak, dan menggandeng tiga orang anak. Miris, sedih, pengen ketawa, karena ada kejadian lucu dan serunya.

  • Lupa bawa dompet ke minimarket? Tulis aja cerita malu-malunya, terus bumbui dikit biar lucu.

Bikin Kebiasaan Kecil Tapi Konsisten

  1. Nulis 5-10 menit tiap hari: Nggak usah panjang, yang penting rutin. Bisa di notes HP, buku kecil, atau platform online.

  2. Tulis apa yang dilihat, didengar, dirasa: Lagi nunggu ojek? Lihat sekeliling. Denger anak kecil nyanyi? Catat. Hal remeh itu bisa jadi bahan tulisan yang unik.

  3. Baca ulang dan perbaiki dikit-dikit: Nggak perlu langsung bagus. Yang penting, kamu belajar dari tiap tulisan yang kamu buat.

Jangan Takut Jelek, yang Penting Jalan

Namanya juga belajar. Nggak semua tulisan pertama langsung enak dibaca. Kadang kamu bakal ngerasa aneh, kaku, atau terlalu sederhana. Tapi justru dari situ kamu berkembang. Tulis dulu, edit belakangan. Tulis dulu, malu belakangan (kalau perlu 😄).

Menulis Bukan Cuma Soal Bakat, Tapi Kebiasaan

Penulis yang keliatan hebat sekarang, dulunya juga mulai dari nulis seadanya. Bakat itu bonus, tapi kebiasaan nulis itu modal utama. Semakin sering kamu nulis, semakin peka kamu sama ide-ide di sekitar.

Belajar menulis nggak harus nunggu liburan, inspirasi, atau kopi susu dingin. Cukup mulai dari hal-hal kecil yang kamu temui tiap hari. Lama-lama, kamu bakal terbiasa nulis, dan dari situ, tulisanmu bakal makin kuat.