Musim panas, Peter Hollins, penulis buku Finish What You Start: The Art of Following Through, Taking Action, Executing, & Self-Discipline, dia membuat ukiran berupa sebuah kano kayu kecil sepanjang 30 senti.
Minggu pertama berjalan mulus, minggu kedua terasa berat akibat otot tangan yang pegal, dan pada minggu ketiga godaan menonton film baru membuatnya berhenti. Kano itu menjadi saksi bisu kemalasan dan penundaan yang terus membayangi.
Namun, ketika ia mengenal konsep temptation bundling — menggabungkan tugas yang harus diselesaikan dengan imbalan instan yang kita nikmati — semua berubah. Sambil mendengarkan album favoritnya, Hollins berhasil menuntaskan kano itu hingga selesai.
Cerita Hollins mengajari kita bahwa memulai sesuatu jauh lebih mudah daripada menuntaskannya.
Banyak dari kita yang pernah menjadi seperti Esther yang bertekad membuka usaha kue rumahan setelah bertahun-tahun terkekang rutinitas kantor dan rindukan kebahagiaan dari hobinya.
Saat cuti dua minggu tiba, ia membayangkan riset resep, survei pasar, dan perencanaan matang. Namun hari-harinya terbuang untuk tidur siang, urusan rumah, dan nongkrong bersama teman tanpa sekalipun menanyakan dukungan atau masukan.
Impiannya tetap teronggok di kepala, tanpa jejak tindakan nyata.
Begitu pula Sally, idealis yang mendirikan yayasan untuk membantu kaum miskin. Semangatnya berkobar saat mendirikan badan amal, hingga ia dihadapkan pada realita pahit: menggalang dana, bersaing mendapatkan donasi, dan merancang kampanye pemasaran.
Beban itu membuatnya tercekam frustrasi, hingga dalam hitungan bulan ia memutuskan berhenti, tanpa pernah merencanakan cara agar sisi positif yayasan bisa menutupi tantangan bisnis di baliknya.
Di sisi lain, ada John, penulis novel yang berjuang membagi energi antara pekerjaan kantor dan menulis. Tanpa aturan tegas, tekadnya menulis dua bab per malam luntur saat lelah—hingga novel itu terus tertunda.
Namun ketika ia menetapkan satu-satunya aturan: setiap malam wajib menyelesaikan dua bab tanpa kompromi, ia mendapati dirinya menuntaskan naskah dengan bangga, meski tubuhnya kelelahan.
Rasa takut juga menghantui Lara, sukarelawan yang merencanakan kampanye galang dana. Idenya brilian, tetapi bayangan penolakan dan penilaian membuatnya membatalkan segala sesuatunya sebelum langkah pertama. Alih-alih kehilangan peluang, ia malah menolak dirinya sendiri, membiarkan kegemarannya padam dalam ketakutan.
Perfectionism pun tak kalah merusak. Paul, sudah bertahun-tahun menambah sertifikasi dan gelar pascasarjana demi persiapan promosi, tetapi tak kunjung melamar. Itu karena dia merasa “resume” belum sempurna.
Jadinya, kesempurnaan yang dikejar menutup pintu kesempatan lebih awal, membuatnya terjebak stagnasi.
Gerald punya cita-cita besar sebagai pengusaha, namun investasi modal dan pemangkasan gaya hidupnya terlalu menakutkan—hingga ia memilih kembali ke pekerjaan nyaman, meninggalkan mimpinya. Ketakutan akan ketidaknyamanan mengalahkan keberanian berkorban untuk masa depan.
Michael, konsultan lepas, salah satu korban false hope syndrome, kondisi menanam harapan berlebihan untuk perubahan cepat, kecewa dan kehilangan motivasi.
Ia membayangkan pendapatan besar dengan usaha minimal, namun kenyataan menuntut jam kerja pagi yang tak sesuai ritme tubuhnya.
Setelah kecewa berulang, ia menyesuaikan jadwal dengan kebiasaan terbaiknya—bangun saat tubuhnya fit dan menunda tugas yang menguras tenaga, sehingga ia dapat menindaklanjuti langkah-langkah kecil secara konsisten.
Sepanjang kisah ini, satu pelajaran jelas: menyelesaikan apa yang dimulai adalah seni mengatur fokus, disiplin, dan momentum.
Dengan strategi seperti temptation bundling, pembagian tugas kecil harian, aturan tak tergoyahkan, dan kesadaran akan biaya peluang setiap pilihan, kita dapat menyeimbangkan antara kenyamanan masa kini dan hasil masa depan.
Menindaklanjut berarti mengambil langkah—sekecil apa pun—setiap hari, hingga puncak tujuan akhirnya pun tercapai.
Penulis: Edhy Aruman