Malam itu, ia kembali merenung di ruang tamu yang megah, dikelilingi oleh perabotan mahal yang berkilauan di bawah cahaya lampu gantung kristal. Namun, bagi dirinya, semua itu kini seperti ilusi belaka—kekosongan yang menyamar sebagai kemewahan. Kata-kata dari syair Han San yang pernah ia dengar bertahun-tahun lalu muncul kembali dalam pikirannya, seolah menjadi cermin yang memperlihatkan betapa jauhnya ia tersesat.
"Ketika aku masih tinggal di desa
orang-orang menyanjungku tiada taranya.
Tapi ketika esok hari aku pergi ke ibu kota
anjing pun melihatku dengan memicingkan mata.
Seorang bergumam celanaku terlalu sempit."
Syair itu seperti lukisan getir tentang kehidupannya. Dulu, di desanya, ia adalah seseorang yang dipuja, dicintai karena kehangatannya yang tulus. Tapi di ibu kota, tempat segala sesuatu diukur dengan kekayaan dan status, ia menemukan dirinya hanya sebuah objek. Bahkan sekarang, di puncak kekayaan dan kehormatannya, ia merasa tidak lebih dari seseorang yang celananya terlalu sempit untuk mendapatkan penghormatan sejati.
Ia bangkit dari kursinya, melangkah ke jendela besar yang menghadap ke kota yang gemerlap di bawah sana. Gedung-gedung pencakar langit memancarkan cahaya yang menyaingi bintang-bintang, tetapi ia tahu, di balik kaca jendela itu ada dunia yang tidak peduli padanya—yang hanya melihatnya sebagai angka di rekening bank atau koleksi barang mewah.
Ia teringat hari-hari di desa, saat setiap orang mengenalnya bukan karena apa yang ia miliki, tetapi karena siapa dirinya. Orang-orang mendekat bukan untuk memanfaatkan, melainkan untuk berbagi tawa, cerita, dan kesederhanaan yang menghangatkan hati. Di sana, ia merasa hidup. Kini, meski memiliki segalanya, ia merasa seperti bayang-bayang yang memudar.
Pagi harinya, ia memutuskan untuk berjalan-jalan ke pasar tradisional di pinggiran kota. Tanpa membawa apa pun yang menunjukkan statusnya, ia mengenakan pakaian sederhana, mengikat rambutnya, dan menyembunyikan wajahnya di balik syal tipis. Di pasar itu, ia menyaksikan kehidupan yang begitu berbeda dari dunia yang biasa ia kenal. Pedagang menawar, pembeli tertawa, anak-anak bermain di sekitar keranjang sayur.
Ia berhenti di sebuah lapak kecil, tempat seorang lelaki tua menjual lukisan-lukisan sederhana di atas kertas cokelat yang mulai usang. Salah satu lukisan itu menarik perhatiannya: gambar seorang pengembara yang berdiri di tengah persimpangan jalan, dengan satu wajah terukir di langit dan tubuhnya kosong.
“Apa maksud lukisan ini?” ia bertanya, suaranya lembut.
Lelaki tua itu tersenyum, matanya tajam namun ramah. “Itu adalah gambaran jiwa yang tersesat. Wajah di langit itu adalah dirinya yang sejati, tapi tubuhnya telah kehilangan arah. Ia harus mencari wajahnya kembali, atau ia akan selamanya menjadi bayang-bayang tanpa makna.”
Kata-kata itu mengguncangnya. Ia membeli lukisan itu dan membawanya pulang. Di rumah, ia menggantungnya di dinding kamar tidurnya. Setiap kali menatapnya, ia merasa diingatkan akan perjalanan yang masih harus ia tempuh.
Hari demi hari berlalu. Ia mulai membuka hatinya untuk dunia yang pernah ia lupakan. Ia kembali membaca buku-buku lama, menggali pelajaran dari syair-syair seperti milik Han San yang dulu hanya ia baca sepintas lalu. Ia mengunjungi desa-desa, membantu mereka yang membutuhkan, bukan karena ia ingin dipuja, tetapi karena ia ingin merasa berarti.
Dan perlahan, wajah yang dulu hilang itu mulai kembali. Bukan wajah yang penuh polesan atau berkilau oleh harta, tetapi wajah yang dipenuhi makna dan kehangatan. Wajah seorang manusia yang telah menemukan dirinya kembali.
Suatu malam, ia kembali menatap cermin di kamarnya. Kali ini, ia melihat sesuatu yang berbeda. Ada senyum kecil yang terlukis di wajah itu, bukan karena kepuasan materi, tetapi karena ia tahu, ia telah kembali menjadi dirinya sendiri.
Ia membisikkan satu kalimat, seperti mantra yang ia temukan dalam perjalanannya: “Aku adalah aku, bukan karena apa yang aku miliki, tetapi karena apa yang aku bagikan.”
Ketika aku mencari wajahku
Di balik bayang-bayang kota yang gemerlap,
Aku hanya menemukan kosong,
Cahaya palsu yang memudar dalam sekejap.
Ketika aku menengadah ke langit malam,
Bulan berkata padaku tanpa suara,
“Wajahmu tidak hilang,
Hanya tersembunyi di tempat yang terlupa.”
Lalu aku kembali ke akar tanahku,
Mencari jejakku di antara embun pagi,
Menemukan kehangatan yang sederhana,
Dalam tawa riang dan peluh di dahi.
Dan kini aku tahu jawabannya:
Wajahku bukanlah kilau permata,
Bukan harta yang ditumpuk setinggi angkasa,
Melainkan cermin jiwaku, yang hidup dari makna.
Untukmu, wahai syair Han San,
Yang melihat dunia dengan mata tajam,
Aku telah kembali dari kota penuh ilusi,
Menemukan diriku di jalan yang sunyi.
Maka biarlah ini menjadi pesanku:
Bagi siapa saja yang tersesat di persimpangan,
Carilah wajahmu di dalam hati,
Di sanalah arti sejati ditemukan.