Zaman yang serba cepat dan penuh tuntutan membuat waktu terasa selalu kurang. Tugas datang bertubi-tubi, kalender nyaris tanpa jeda, dan deadline terasa terus memburu.
Orang sibuk setiap hari, tapi sering tak tahu apakah kesibukan itu benar-benar perlu, atau hanya karena memberi ruang terlalu besar untuk pekerjaan yang terus membesar.
Tak bisa dipungkiri, kita terus bergerak. Tapi kita sering lupa bertanya: apakah kita benar-benar sibuk, atau sekadar membiarkan pekerjaan melebar melebihi yang seharusnya? Pernahkah kita merenung: apakah benar pekerjaan kita sebanyak itu, ataukah sebenarnya kita membiarkannya mengembang mengikuti waktu yang tersedia?
Pertanyaan ini bukan sekadar renungan pribadi, tapi merupakan inti dari apa yang dikenal sebagai Parkinson’s Law, sebuah prinsip legendaris dari sejarawan dan birokrat Inggris, C. Northcote Parkinson.
Dalam bukunya Parkinson’s Law, and Other Studies in Administration (1957), ia menyampaikan satu kalimat sederhana yang sangat mengena: “Work expands so as to fill the time available for its completion.” Atau dalam bahasa kita, pekerjaan akan membengkak untuk mengisi waktu yang tersedia untuk menyelesaikannya.
Parkinson menemukan bahwa dalam organisasi, terutama birokrasi pemerintahan, semakin banyak waktu dan sumber daya yang tersedia, maka semakin kompleks dan besar pula tugas yang diciptakan. Bahkan ketika kebutuhan nyatanya tidak meningkat.
Dalam sebuah studi satir tetapi didukung data nyata, ia menunjukkan bahwa jumlah pegawai administratif di Kementerian Angkatan Laut Inggris meningkat drastis antara tahun 1914 dan 1928, meskipun jumlah kapal dan personel militer justru menurun.
Fenomena ini menunjukkan bahwa pertumbuhan organisasi seringkali bukan karena beban kerja, tetapi karena dorongan internal untuk terlihat sibuk dan penting.
Namun, Parkinson’s Law bukan hanya tentang birokrasi.
Ia juga berlaku dalam hidup kita sehari-hari. Saat diberi waktu dua jam untuk menyelesaikan laporan yang sebenarnya bisa selesai dalam 30 menit, kita cenderung menunda-nunda, mempercantik hal-hal yang tidak perlu, atau tenggelam dalam rincian yang tidak penting.
Kita tidak sadar bahwa kita membiarkan pekerjaan tumbuh mengikuti wadah waktunya. Bukan karena kita membutuhkan waktu lebih, tetapi karena kita tidak membatasi diri.
Parkinson menulis dengan ironi yang halus tapi tajam. Salah satu bab yang paling terkenal dalam bukunya berjudul “Injelititis, or Palsied Paralysis” , istilah yang terdengar seperti penyakit medis.
Tapi ini bukan tentang kesehatan fisik, melainkan penyakit organisasi.
Dalam metafora brilian ini, Parkinson menggambarkan kondisi di mana pejabat senior dalam organisasi menjadi tumpul dan tidak produktif, pejabat menengah saling menjegal demi posisi, dan orang-orang muda yang kompeten tertekan dan akhirnya memilih mundur atau diam.
Organisasi yang terkena “injelititis” akan terlihat sibuk di permukaan, tapi sejatinya berada dalam kondisi koma. Ia tidak bergerak maju, tidak mengambil keputusan bermakna.
Parkinson menyusun gejala-gejala injelititis layaknya dokter menulis diagnosis: mulai dari kemunculan pemimpin yang iri dan tidak kompeten, menyebarnya budaya aman dan tidak berani bersuara, hingga fase akhir di mana kantor penuh perabot mewah, tapi tidak ada hasil nyata.
Meskipun mengutip istilah-istilah medis seperti “penyakit” dan “penyembuhan,” penting diingat bahwa ini hanyalah metafora.
Parkinson adalah seorang sejarawan, bukan dokter. Fokusnya adalah administrasi publik dan organisasi bisnis, bukan kesehatan tubuh manusia.
Hal ini penting untuk ditegaskan karena banyak orang mengira Parkinson’s Law berkaitan dengan Penyakit Parkinson , sebuah kondisi neurologis serius yang memengaruhi pergerakan tubuh manusia.
Padahal keduanya tidak memiliki hubungan sama sekali, meskipun namanya sama.
Penyakit Parkinson dinamai dari James Parkinson, seorang dokter Inggris yang pada tahun 1817 menulis esai medis pertama yang mendeskripsikan kondisi ini secara klinis. Penyakit ini berkaitan dengan kerusakan saraf dan penurunan produksi dopamin di otak, menyebabkan gejala seperti tremor, kekakuan otot, dan lambatnya gerak.
Sedangkan Parkinson’s Law adalah hasil pengamatan dan sindiran C. Northcote Parkinson terhadap dunia birokrasi dan organisasi.
Ia bukan berbicara tentang tubuh manusia, melainkan tentang “tubuh” organisasi . tentang bagaimana ia tumbuh, melebar, dan kadang mati karena terlalu banyak kompleksitas yang diciptakan dari dalam.
Dengan memahami perbedaan ini, kita bisa lebih menghargai kejeniusan C. Northcote Parkinson.
Ia tidak hanya menunjukkan masalah, tetapi juga menyodorkan cermin kepada kita semua — bahwa sering kali, keterlambatan, inefisiensi, dan stagnasi bukan datang dari luar, melainkan dari sistem yang kita pelihara sendiri.
Sistem yang membenarkan rapat tanpa akhir, organisasi yang mengukur keberhasilan dari jumlah staf bukan dari hasil, dan pribadi-pribadi yang merasa sibuk padahal sebenarnya hanya sedang terjebak dalam ilusi kesibukan.
Parkinson’s Law memberi kita satu pelajaran penting: bahwa efisiensi bukan soal kerja keras tanpa henti, melainkan tentang keberanian menyederhanakan.
Tentang kemampuan menetapkan batas waktu yang masuk akal, dan disiplin untuk tidak membiarkan pekerjaan meluas tanpa kendali. Bahwa terkadang, membatasi diri adalah bentuk tertinggi dari kebebasan.
Di era yang terobsesi dengan produktivitas, mungkin justru prinsip Parkinson-lah yang perlu diingat ulang: jangan izinkan pekerjaan tumbuh tanpa batas.
Bentuklah waktu, jangan dibentuk olehnya. Maka kita akan kembali pada esensi: bekerja bukan untuk terlihat sibuk, melainkan untuk menyelesaikan yang penting.
Penulis: Edhy Aruman
DAFTAR PUSTAKA
Parkinson, C. N. (1957). Parkinson’s law, and other studies in administration. Houghton Mifflin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar