Tampilkan postingan dengan label affiliate. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label affiliate. Tampilkan semua postingan

Rabu, 14 Mei 2025

Takdir!

Frederic Henry hanyalah seorang perwira muda Amerika. Dia bertugas sebagai sopir ambulans bagi tentara Italia saat Perang Dunia I. Ia bukan pahlawan besar yang ingin mengubah dunia atau tampil di barisan depan sejarah. 

Ia seseorang yang sedang mencari tempatnya di tengah kekacauan, mencoba bertahan hidup dengan cara yang paling manusiawi—dengan cinta, kejujuran, dan keberanian dalam diam.
Justru karena itu, ia begitu dekat dengan kita. Ia adalah cermin dari jiwa yang rapuh namun tetap memilih bertahan—di tengah kehancuran, kehilangan, dan cinta yang akhirnya tak mampu diselamatkan.

Dalam novel perang romantik,_A Farewell to Arms,_ Ernest Hemingway menciptakan tokoh Frederic sebagai cerminan manusia biasa yang dilempar ke tengah badai perang. Frederic tidak banyak bicara soal moral atau patriotisme. Ia skeptis terhadap slogan dan pidato. 

Hemingway sendiri pernah menjadi sopir ambulans Palang Merah di Italia selama perang, dan pengalamannya itu sangat memengaruhi karakter dan jalan cerita dalam novel. Jadi, meskipun Frederic Henry adalah tokoh fiksi, ia banyak mencerminkan pengalaman pribadi Hemingway sendiri.

Di dalam diri Frederic, ada kepekaan yang sunyi dan dalam. Ia jatuh cinta pada Catherine Barkley, seorang perawat Inggris. Dan lewat hubungan mereka, Frederic mengenal makna kebersamaan, kasih sayang, dan harapan yang bersinar samar di tengah gelapnya dunia.

Cinta mereka tidak megah, tapi intim dan nyata. Frederic, yang telah menyaksikan terlalu banyak kematian, menemukan kembali rasa hidup lewat sentuhan Catherine. Mereka membangun dunia kecil yang penuh kehangatan di tengah reruntuhan. 

Namun Hemingway tidak menawarkan pelipur lara. Dalam salah satu adegan paling menyayat di A Farewell to Arms, kita mendapati Catherine Barkley terbaring lemah di rumah sakit. Ia baru saja melahirkan, namun bayinya meninggal. Tubuhnya yang lelah tak sanggup lagi melawan komplikasi yang datang satu per satu. 

Frederic Henry, kekasihnya, duduk di samping ranjang, menggenggam tangan yang dulu menuntunnya menuju harapan. Kini, harapan itu perlahan memudar.

Catherine menatapnya dengan tenang. _“I’m not afraid. I just hate it,”_ katanya lirih. 
Bukan ketakutan yang menyelimuti dirinya, tapi penyesalan yang sunyi—karena hidup yang dibayangkan bersama Frederic, rumah kecil mereka, masa depan yang mereka impikan, semua harus pupus begitu cepat.

Frederic tidak bisa menerima kenyataan itu. Ia membalas dengan suara bergetar, seolah berusaha meyakinkan dunia, bukan hanya Catherine. “You’re not going to die. You’re not. You can’t.”

Tapi kata-kata itu jatuh hampa di ruang yang makin senyap. Frederic tahu, jauh di dalam hatinya, bahwa ia tidak sedang melawan penyakit—ia sedang melawan kepergian yang tak bisa ditawar.

Tak lama setelah itu, Catherine pergi. Tanpa drama, tanpa akhir bahagia. Ia pergi meninggalkan Frederic sendirian, dengan bayi yang tak sempat hidup dan hati yang kini kosong. 

Dan dalam kesunyian itu, Hemingway tidak menulis pernyataan heroik. Ia hanya menuliskan seorang pria yang berjalan keluar dari rumah sakit, melangkah ke tengah hujan. Dunia tidak runtuh bersamanya, tapi dalam dirinya, sesuatu telah hancur.

Inilah momen ketika perang dalam novel Hemingway berubah wujud. Bukan lagi soal peluru atau medan tempur, tapi tentang ketidakberdayaan manusia di hadapan takdir. Kekuatan tak terhindarkan yang merenggut cinta dan harapan mereka, meskipun telah berjuang bersama di tengah perang dan penderitaan.

Tentang cinta yang sekuat apa pun tetap bisa kandas, dan tentang seorang pria yang mesti terus hidup, meski semua yang ia cintai telah hilang.

Disini, takdir bukan sesuatu yang megah atau dramatis, melainkan kekuatan diam yang merampas segalanya—dengan tenang, tanpa memberi alasan. Ia bukan vonis dari langit, melainkan kenyataan sunyi bahwa bahkan cinta yang paling tulus pun bisa kandas.

Namun dari kehancuran itu, muncul bentuk keberanian baru: untuk terus hidup, bukan karena hidup menjanjikan sesuatu, tetapi karena itu satu-satunya jalan yang tersisa.
Inilah realisme Hemingway yang menyayat, namun jujur dan mengena: “The world breaks everyone, and afterward, many are strong at the broken places” (Hemingway, 1929/1995, hlm. 249)

Dari retakan itulah, Frederic perlahan menjadi sosok yang lebih utuh. Bukan karena ia menemukan jawabannya, tapi karena ia belajar menerima bahwa kehidupan tidak selalu memberi alasan.

Dalam kehilangan, ia belajar tentang cinta yang sejati, tentang keberanian untuk terus berjalan, meski jalan itu tak lagi bercahaya. 

Penulis: Edhy Aruman

Senin, 30 Oktober 2023

Mendapat Uang dari menulis

Salah satu kecanggihan hari ini, menulis pun bisa dijadikan modal untuk mendapatkan uang. Tidak percaya, buktikan sendiri salah satu caranya dengan mengikuti proram affiliate ini, yang dikaitkan dengan kemampuan menulis. Selain itu, penghasilan dari menulis yang klasik tentu saja bisa digunakan untuk menulis buku, lalu menerbitkannya. Sekarang, buku pun bentuknya tidak hanya di cetak, yang fisiknya bisa di pegang, tetapi berbentuk digital. Buku digital ini semakin populer hari ini, meskipun peminat printing book tetap masih ada. Buku digital ini, secara produksi tentu saja lebih murah. Semakin kemari, semakin banyak yang menyukai buku digital ini. Apalagi, kalau dari segi harga, tentu lebih murah. Buku digital ini, bisa dijual sendiri secara langsung, ataupun bisa juga dititipkan di google. Satu hal yang jelas, kemampuan menulis, merupakan sebuah keahlian yang tidak akan hilang, sekalipun teknologi AI dan penulisan bermunculan. Kreativitas, tidak akan pernah mati. Sekali lagi, pilihan yang mudah adalah bergabung dalam affiliate ini. Selamat mencoba!