Rabu, 02 Juli 2025

Sejarah Itu


Sejarah kadang berlaku tidak adil. Beberapa nama ditulis besar, dielu-elukan sepanjang masa. Sementara yang lain, meski keringatnya mengalir di panggung yang sama, peluhnya ikut membangun kejayaan yang sama, perlahan menghilang dari ingatan.

Ini seolah membenarkan adagium, bahwa sejarah ditulis oleh para pemenang.

Tan King Gwan adalah salah satunya.

Indonesia mengenal Ferry Sonneville. Mengenal Tan Joe Hok. Mengenang Rudy Hartono, Liem Swie King, dan generasi emas lainnya. Tapi siapa yang masih menyebut nama Tan King Gwan, lelaki sederhana dari Salatiga, yang pernah menjadi bagian penting dari kejayaan Indonesia di lapangan bulu tangkis dunia?

Malam itu, 15 Juni 1958, saat waktu menunjukkan pukul 22.00, sejarah olahraga Indonesia berubah. Singapore Badminton Stadium menjadi saksi, Indonesia untuk pertama kalinya merebut Piala Thomas, lambang supremasi bulu tangkis beregu putra dunia. 

Ferry Sonneville memang menjadi penentu kemenangan di partai keenam, tapi kemenangan Indonesia adalah buah dari perjuangan kolektif. Dan jauh sebelum itu, Tan King Gwan dan pasangannya, Nyoo Kiem Bie, sudah mengukir lima angka kemenangan untuk Merah Putih.

Yang mungkin tak banyak tahu, Tan King Gwan memulai kariernya bukan sebagai pemain ganda, melainkan tunggal. 

Di usia 12 tahun, ia sudah jatuh cinta pada bulu tangkis. Di usia 21, ia mengukir prestasi besar di PON 1953 Medan dan Kejurnas 1954 Surabaya, bahkan pernah mengalahkan Ferry Sonneville, sang bintang utama Indonesia kala itu. 

Tapi di sektor tunggal, persaingan begitu ketat. Tan King Gwan harus mengakui keunggulan nama-nama besar seperti Eddy Jusuf dan Tan Joe Hok.

Takdir membawanya ke jalur lain. Tahun 1955, sebuah pertandingan ekshibisi diadakan untuk mengumpulkan dana keberangkatan atlet. Tan King Gwan dipasangkan dengan Nyoo Kiem Bie. 

Tanpa ekspektasi besar, mereka menantang pasangan kuat Eddy Jusuf dan Ferry Sonneville. 

Siapa sangka, mereka menang telak 15-0, 15-1. Kemenangan itu jadi awal perjalanan duet legendaris yang dikenal dunia sebagai “Ghost Double” — pasangan hantu yang sering membuat lawan tak berkutik.

Bukan hanya soal teknik. Tan King Gwan dikenal karena ketenangan, kerja keras, dan dedikasi tanpa henti. Dia bukan tipe pemain flamboyan yang mencuri sorotan. Dia adalah sosok yang mengerjakan tugasnya, diam-diam, tapi pasti. Setiap pukulan, setiap poin, adalah hasil latihan panjang, bukan keajaiban sesaat.

Fisiknya kecil, tapi semangatnya besar. Smes tajam dari Nyoo Kiem Bie dan pertahanan kokoh dari Tan King Gwan menjadi kombinasi mematikan yang membawa Indonesia berjaya di Singapura 1958. Mereka bahkan mengalahkan ganda Denmark terbaik, Hammergaard Hansen dan Henning Borch, sesuatu yang saat itu dianggap nyaris mustahil.

Di balik semua itu, ada sisi manusiawi yang menggetarkan hati. Bung Karno sendiri memberi nama Indonesia untuknya: Darmawan Saputra. Sebuah simbol bahwa Tan King Gwan adalah bagian dari harapan besar bangsa.

Sayangnya, ketenaran bukan hal yang dikejarnya. Setelah masa emasnya, Tan King Gwan sempat melatih di Pelatnas PBSI, khusus menangani sektor ganda putri. Tapi dunia glamor olahraga tak lama memikatnya. Ia memilih bekerja di perusahaan otomotif, hidup sederhana, jauh dari sorotan publik.

Tan King Gwan wafat pada 9 Februari 2001. Dia meninggalkan warisan sebagai salah satu pahlawan besar bulu tangkis Indonesia yang nyaris terlupakan.

Sahabatnya, Tan Joe Hok, pernah berkata, "Dia ini pemain yang rajin. Permainannya tidak istimewa, tapi juga tidak biasa-biasa saja." Kalimat sederhana itu merangkum esensi sosok Tan King Gwan — bukan superstar di mata publik, tapi pahlawan di hati timnya.

Tan King Gwan mengajarkan, kejayaan tak selalu datang dari sorotan kamera. Ada nama-nama yang memilih berjuang dalam senyap, tanpa haus pujian, tapi memberi dampak besar. Ada legenda yang tak sibuk mengejar popularitas, tapi fokus memberi kontribusi nyata.

Kini, saat Indonesia dikenal sebagai raksasa bulu tangkis dunia, mari sejenak menundukkan kepala, mengenang mereka yang pondasinya kita pijak. Tan King Gwan, legenda yang tak boleh dilupakan. Karena tanpa mereka yang diam-diam berjuang, kemenangan tak pernah jadi kenyataan. 

Penulis: Edhy Aruman


Sumber:

Jahja, H. J. (2001). Peranakan Idealis: Dari Lie Eng Hok sampai Teguh Karya. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar