Selasa, 13 Mei 2025

CHANEL NO. 5


Setiap tiga puluh detik, di suatu sudut dunia, ada seseorang yang membeli sebotol Chanel No. 5. Klaim ini diumumkan pemerintah Prancis pada tahun 2006, dan meski angka pastinya kini menjadi rahasia dagang yang sulit diungkapkan, namun satu hal tetap tak terbantahkan: sejak 1921, Chanel No. 5 telah menjadi legenda hidup. 

Ia tak pernah menjadi tren sesaat. Mungkin bukan hanya karena skalanya yang luar biasa, tetapi karena setiap tetes Chanel No. 5 mengandung sesuatu yang lebih dari sekadar aroma. Ia merupakan kenangan, kekuatan, dan ilusi akan keabadian. 

Institusi rasa, memori, dan misteri yang melintasi generasi, tulis Tilar J. Mazzeo di bukunya, The Secret of Chanel No. 5: The Intimate History of the World's Most Famous Perfume.  (Harper Collins, 2010).

Aroma ini tidak lahir dari laboratorium pencari laba. Ia lahir dari seorang perempuan yang memahami luka, kehilangan, dan cita-cita tentang masa depan. Gabrielle “Coco” Chanel, perempuan yang dibesarkan di panti asuhan, melawan kemiskinan dan stigma untuk membangun kerajaannya sendiri. 

Coco lahir di sebuah rumah miskin—tempat penampungan bagi tunawisma—di kota Saumur, Prancis, pada 19 Agustus 1883. Ayahnya, seorang pedagang keliling, sedang berada di jalan ketika ia lahir, sehingga dua petugas dari rumah sakit amal pergi ke balai kota untuk mencatat kelahirannya. 

Ibunya saat itu terlalu lemah untuk hadir. Ketika walikota menanyakan nama keluarga sang bayi, tidak ada yang tahu bagaimana cara mengejanya dengan benar, sehingga ia menuliskannya secara keliru sebagai “Chasnel.”

Setelah Perang Dunia I, saat dunia mencari kembali bentuk dan harapan, Chanel hadir dengan gaun hitam sederhana dan ide radikal: bahwa keindahan tidak memerlukan ornamen, dan kemewahan sejati adalah kebebasan.

Namun bagi Chanel, membebaskan perempuan tidak cukup melalui busana. Ia ingin menciptakan sesuatu yang bisa menyentuh indera paling pribadi: penciuman. 

Dalam sebuah pernyataan yang menggambarkan visinya secara gamblang, Coco Chanel menyebut bahwa pada tahun 1920, ia ingin menciptakan parfum yang membuat pemakainya “smell like a woman, not a flower.”

Kalimat ini menjadi deklarasi revolusioner: parfum bukan sekadar aksesori, tetapi identitas. 

Chanel ingin wewangian yang tidak mempermanis atau menyamarkan, tetapi menampilkan kekuatan dan kompleksitas perempuan dalam bentuk paling murni.

Dengan Ernest Beaux, perfumer Rusia yang pernah membuat wewangian untuk keluarga Tsar, ia menciptakan sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya—parfum dengan struktur abstrak, komposisi sintetis, dan aroma yang tidak bisa dikenali sebagai satu jenis bunga atau bahan alam. 

Dari sepuluh sampel, Chanel memilih nomor lima. Maka lahirlah Chanel No. 5 (Allure, n.d.).

Wewangian ini adalah revolusi cair. Tidak feminin dalam cara lama. Tidak mencoba merayu. Ia memancarkan kehadiran. Ia adalah bentuk aroma dari perempuan yang tidak tunduk, tidak minta disukai, tetapi layak dikenang. Chanel No. 5 menjadi simbol sosial yang kuat—perempuan baru yang menghirup kebebasan dan menebarkan wibawa.

Dari sisi sosiologis, Chanel No. 5 adalah artefak dari perubahan zaman. Ia mencerminkan momen ketika perempuan merebut kembali tubuh dan narasinya. Parfum ini bukan ornamen, tapi pernyataan. 

Di era 1920-an, ketika perempuan mulai menulis sejarah mereka sendiri, Chanel No. 5 menjadi penanda tak kasat mata dari kehadiran yang ingin dikenang bukan karena fisik semata, tetapi karena identitas yang sadar dan utuh.

Ketika Marilyn Monroe berkata dalam wawancara tahun 1952 bahwa yang ia kenakan saat tidur hanyalah "beberapa tetes Chanel No. 5," itu bukan hanya sensualitas, itu adalah kontrol. Itu adalah cara perempuan bicara tentang tubuhnya, pilihannya, tanpa malu, tanpa minta izin (Monroe, 1952). 

Chanel No. 5 bukan sekadar aroma, tapi manifestasi dari keberanian itu.

Namun, kekuatan Chanel No. 5 yang paling luar biasa mungkin justru terlihat dalam dunia sekarang. 

Di tengah dunia yang kini bergerak cepat, di mana “buzzer” mengisi linimasa dengan suara-suara bising dan tren datang dan pergi seperti musim tanpa jeda, Chanel No. 5 berdiri diam—tak bergeming. 

Ia tak pernah menjadi bagian dari hiruk-pikuk influencer sesaat, atau tren viral yang meledak lalu menguap dalam 24 jam. Chanel No. 5 tidak dibangun di atas klik, likes, atau algoritma.

Parfum ini tidak pernah membutuhkan buzzer untuk menjadi legenda, karena ia adalah bukti bahwa yang abadi tidak perlu berteriak untuk didengar. Ia tidak menjual sensasi. Ia menawarkan pengalaman—halus, lambat, dan dalam. 

Ketika banyak brand bersaing menyusun strategi pemasaran real-time, Chanel tetap menjadi lambang slow luxury.  Ia tidak mengikuti keramaian, ia menciptakan ruang tenang untuk dihayati.

Era buzzer melahirkan ikon yang cepat naik dan cepat hilang. Chanel No. 5 sebaliknya, adalah sebuah kehadiran—yang tetap bertahan saat dunia berubah. Ia adalah perlawanan halus terhadap kultur instan, pernyataan bahwa sesuatu yang indah, bermakna, dan otentik butuh waktu, visi, dan sejarah. 

Dalam linimasa yang penuh suara, Chanel No. 5 adalah keheningan yang elegan—dan justru karena itu, ia lebih terasa, lebih diingat.

Maka ketika parfum ini disemprotkan hari ini, ia bukan sekadar aroma. Ia adalah jejak perlawanan terhadap dunia yang terlalu cepat lupa. Ia adalah napas lambat di tengah tarikan terburu-buru. 

Dan dari botol kaca persegi yang sederhana itu, Chanel No. 5 terus membisikkan sesuatu yang sangat manusiawi: bahwa yang tulus, yang otentik, dan yang dirawat dengan waktu—akan selalu bertahan. 

Penulis: Edhy Aruman

Senin, 12 Mei 2025

Menyerah?



John Irving tidak pernah terlihat seperti orang yang akan menjadi penulis besar. Ia mendapatkan nilai C– (baca C minus) untuk mata pelajaran Bahasa Inggris. 

Skor verbal SAT-nya sangat rendah. Ia butuh satu tahun tambahan hanya untuk lulus dari sekolah menengah. Banyak gurunya menganggapnya sebagai seorang pemalas. 

Tapi Irving – lengkapnya John Winslow Irving – tidak bodoh. Dia orang yang tidak mudah menyerah. Ia hanya disleksik, kondisi neurologis yang memengaruhi kemampuan seseorang dalam membaca, menulis, dan mengeja, meskipun memiliki kecerdasan normal atau di atas rata-rata. Ini bukan tanda kemalasan.

Dan karena itulah, ia belajar sejak muda bahwa satu-satunya cara untuk mencapai sesuatu adalah dengan mengulang, mengulang, dan mengulang. Murojaah...

Ia menulis ulang setiap draf. Ia membaca lebih lambat, menulis lebih lambat, berpikir lebih lambat. Tapi ia tetap menulis. Ia memilih untuk terus datang ke meja kerjanya setiap hari. 

Sehingga pada akhirnya, John Irving menjadi penulis hebat. Dia memenagkan penghargaan  National Book Award. Dia menjadi penulis naskah pemenang Oscar. Bukan karena bakatnya mencolok. Tapi karena ia tidak pernah berhenti. Dia mengulang, mengulang, dan mengulang

“Untuk melakukan sesuatu dengan sangat baik,” katanya, “kamu harus melakukannya berulang kali. Sesuatu yang awalnya tidak alami, akan menjadi kebiasaan jika kamu cukup sabar dan cukup gigih.”

Kisah Irving menyuarakan makna terdalam dari apa yang dikenal sebagai Treadmill Test. Ini adalah bentuk latihan atau eksperimen yang mengukur daya tahan fisik dan mental seseorang. Caranya, dengan meminta mereka berlari di treadmill miring. Tujuannya adalah memprediksi ketangguhan psikologis jangka panjang.

Dan Treadmill Test menunjukkan satu realitas penting dalam kehidupan. Dalam hidup, seperti di atas treadmill, yang paling menentukan bukanlah kecepatan atau kehebatan sesaat, melainkan siapa yang tidak menyerah lebih dulu. Siapa yang mampu terus melangkah, meski perlahan. Itulah yang pada akhirnya membentuk ketangguhan sejati.

Pada tahun 1940, peneliti Harvard meminta sekelompok mahasiswa untuk berlari di atas treadmill dengan kecepatan tinggi dan kemiringan curam. Tujuannya bukan semata-mata untuk menguji kekuatan fisik, tetapi untuk mengukur daya tahan psikologis: seberapa lama seseorang bertahan saat tubuhnya ingin berhenti.

Yang mengejutkan, waktu yang mereka habiskan di atas treadmill terbukti menjadi prediktor kuat atas kesehatan mental dan keberhasilan hidup mereka puluhan tahun kemudian (Duckworth, 2016). Tes itu bukan tentang siapa yang tercepat, tapi siapa yang paling lama bertahan.

Angela Duckworth menyebut ini sebagai grit —kombinasi antara hasrat jangka panjang dan kegigihan sehari-hari. Ketekunan bukanlah glamor. Ia sunyi. Ia tidak viral. Tapi ia membentuk segalanya. 

Karena dalam kehidupan, sebagaimana di treadmill, yang membuat perbedaan bukan langkah pertama kita, tapi keputusan untuk terus melangkah saat kaki mulai gemetar.

Will Smith adalah bukti hidup bahwa ketahanan bukan soal siapa yang bersinar paling awal, tetapi siapa yang tetap berjalan ketika cahaya mulai padam. Ia menyadari bahwa dalam dunia yang penuh bakat alami, kerja keras tetap tak tergantikan. 

Ia memilih untuk bertahan di jalur yang sama, mengulang, memperbaiki, memantapkan. Dan hasilnya? Ia menaklukkan musik, film, panggung, dan hati jutaan orang. Bukan karena ia paling jenius, tapi karena ia paling gigih.

Smith menyebut ini sebagai “filsafat treadmill.”  Katanya, “Kamu mungkin lebih berbakat, lebih pintar, lebih menarik. Tapi kalau kita sama-sama naik ke treadmill, hanya ada dua kemungkinan: kamu turun lebih dulu, atau aku mati di sana.”

Smith percaya bahwa keberhasilan bukan soal siapa yang memulai dengan bintang di pundaknya, tapi siapa yang tetap datang ke tempat latihan—hari demi hari—meski tidak ada yang menonton.

“Kalau kita berlari bersama,” katanya dalam sebuah wawancara, “hanya ada dua kemungkinan: kamu turun lebih dulu, atau aku mati.” 

Dalam kalimat sederhana itu, tersimpan filosofi hidup Will Smith. Keyakinan bahwa ketekunan akan selalu mengalahkan talenta ketika ia muncul setiap hari, tanpa henti, tanpa alasan.

Kita semua memiliki treadmill kita sendiri. Kadang itu berbentuk studi yang panjang, pekerjaan yang terasa stagnan, keluarga yang penuh beban, atau mimpi yang terasa jauh. Terkadang, tidak ada hasil instan. Tidak ada kemajuan yang terlihat. 

Tapi jika kita memilih untuk kembali lagi besok, maka tanpa sadar kita sedang membangun sesuatu yang tak tergantikan.

Treadmill Test adalah metafora paling jujur tentang hidup. Ia tidak menilai seberapa cepat kamu bisa berlari. Ia hanya menanyakan: apakah kamu akan kembali besok, dan melanjutkan satu langkah lagi?

Dan pada akhirnya, bukan mereka yang lahir hebat yang mengubah dunia, melainkan mereka yang tidak berhenti ketika yang lain memilih menyerah. 

Penulis: Edhy Aruman


PUSTAKA 

Duckworth, A. (2016). Grit: The Power of Passion and Perseverance. Scribner.

Minggu, 11 Mei 2025

Ditolak Akhirnya Jadi Post-it

Pagi ini, seperti biasa, ada tulisan menarik yang dibagikan dalam salah satu wa grup yang saya ikuti. Ceritanya sederhanya tapi menarik, tentang sebuah penolakan yang membawa berkah.

Tak banyak orang yang bisa berkata bahwa hidup mereka berubah karena ditolak. Spencer Silver adalah salah satu yang bisa. Ia bukan selebriti, bukan tokoh politik, melainkan seorang kimiawan pendiam yang bekerja di sebuah laboratorium riset.

Pada tahun 1968, Dr. Silver tengah mencoba menciptakan perekat superkuat untuk aplikasi di industri pesawat terbang. Ia membayangkan hasil eksperimen itu akan memperkuat sayap-sayap logam raksasa. 

Yang terjadi justru sebaliknya. Ia menciptakan perekat yang nyaris tidak lengket. Mudah dilepas, tidak meninggalkan bekas, dan tampaknya... tidak berguna.

Tapi Silver melihat sesuatu yang orang lain tidak lihat. Ia menyebut penemuannya itu "unik" dan menghabiskan bertahun-tahun berkeliling di dalam perusahaan, menyampaikan seminar kepada rekan-rekannya dengan harapan satu di antara mereka melihat potensi yang ia yakini. Karena kegigihannya, ia pun dijuluki "Mr. Persistent."

Selama bertahun-tahun, tak ada satupun ide produk yang lahir dari perekat itu. Sampai akhirnya, pada suatu hari yang biasa di lapangan golf 3M, seorang kolega menceritakan penemuan Silver kepada Art Fry, insinyur kimia dari divisi pita perekat. 

Beberapa hari kemudian, di latihan paduan suara, Fry merasa frustrasi karena penanda lagu di himnalnya selalu jatuh. Ia butuh penanda yang menempel tapi tidak merusak halaman. Dan saat itulah ia ingat akan perekat Silver.

Dengan menggabungkan ide Fry dan perekat Silver, lahirlah awal mula Post-it Notes. Namun produk ini pun tidak langsung diterima. Peluncuran pertama pada tahun 1977 gagal total. Orang-orang tidak mengerti apa manfaat kertas kecil yang bisa ditempel dan dilepas itu. 

Tapi seperti Silver, tim ini tidak menyerah. Mereka mencoba strategi distribusi gratis di kota Boise, Idaho. Mereka membagikan kotak-kotak Post-it secara gratis kepada para sekretaris CEO dan staf kantor lainnya. Mereka ingin tahu, apakah orang-orang yang benar-benar menggunakan dokumen setiap hari akan melihat kegunaannya.

Dan hasilnya mengejutkan: 90 persen dari mereka yang mencoba ingin membeli lagi. Tanpa iklan besar-besaran, hanya dari mulut ke mulut, Post-it meledak di pasaran dan menjadi salah satu ikon terbesar dari 3M.

Post-it Notes pun resmi diluncurkan secara nasional pada tahun 1980 dan menjadi fenomena global. Kini, lebih dari tiga ribu varian produk Post-it dipasarkan di seluruh dunia. Spencer Silver tak hanya berhasil menciptakan sesuatu yang menempel pada permukaan—ia menciptakan sesuatu yang menempel dalam keseharian manusia modern.

Spencer Silver bukan hanya penemu, tapi simbol dari sebuah kebenaran yang sering kita lupakan: bahwa tidak semua kegagalan adalah akhir. Terkadang, kegagalan adalah awal dari sesuatu yang luar biasa—asal kita cukup tekun untuk mempercayainya.

Dalam wawancaranya dengan CNN, Silver berkata bahwa Post-it adalah produk yang "mengiklankan dirinya sendiri." Orang melihat, memainkan, dan langsung mencari tahu di mana bisa membelinya. Tanpa gembar-gembor, Post-it menyebar melalui rasa penasaran dan kebutuhan nyata. Persis seperti ketekunan Silver yang pelan-pelan namun pasti, menempel dan menetap di sejarah inovasi.

Spencer Silver wafat pada 8 Mei 2021 di usia 80 tahun, akibat gangguan jantung yang telah ia tanggulangi selama hampir tiga dekade sejak transplantasi. Ia meninggalkan istri, Linda, seorang programmer komputer yang menggunakan Post-it untuk menandai bug di dokumen cetakannya; seorang putri, Jennifer; dan dua cucu. Satu putrinya, Allison, telah lebih dulu meninggal pada 2017.

Kisah hidup Spencer Silver telah ditulis oleh Richard Sandomir dalam The New York Times, 13 Mei 2021. Di sana, Silver digambarkan bukan hanya sebagai ilmuwan, tapi sebagai pelukis, pemikir, dan seorang yang tidak pernah berhenti percaya. Mungkin itulah warisan sejati Spencer Silver—keyakinan bahwa sebuah ide, sekecil apapun, bisa mengubah dunia... selama kita cukup gigih untuk terus menempelkannya, lagi dan lagi.

Kisah Post-it bukan hanya tentang inovasi, tapi tentang ketekunan. Tentang keyakinan bahwa kegagalan bukanlah akhir dari cerita, melainkan awal dari perjalanan yang lebih bermakna. Dan kisah ini bukanlah kisah unik satu-satunya. Naskah J.K. Rowling pernah 12 kali ditolak oleh penerbit sebelum akhirnya Harry Potter menjelma menjadi fenomena. 

Sylvester Stallone pernah ditolak lebih dari 1.500 kali saat mencoba menjual naskah Rocky, karena dia bersikeras ingin memerankan tokoh utama. Bahkan saat keuangannya sangat sulit, dia menolak tawaran besar jika tidak ikut main. Akhirnya, studionya setuju—dan Rocky memenangkan Oscar dan melambungkan namanya.

Oprah Winfrey pernah dipecat dari pekerjaan awalnya sebagai reporter televisi karena dianggap "tidak cocok untuk TV". Namun ia tetap melanjutkan kariernya dan menciptakan The Oprah Winfrey Show, acara talk show paling berpengaruh dalam sejarah.

Bahkan Lady Gaga – Penyanyi dan Ikon Pop, Label rekaman pertamanya memecatnya hanya tiga bulan setelah menandatangani kontrak. Tapi dia tidak berhenti. Dia terus menulis lagu, tampil di klub kecil, dan membangun audiens sendiri hingga akhirnya menjadi megabintang dan ikon budaya pop.

Mereka semua memiliki satu kesamaan: keberanian untuk tetap melangkah, meski pintu-pintu ditutup di hadapan mereka. Sama seperti Post-it, mereka tak menyerah pada penilaian awal. Mereka terus mencoba hingga akhirnya dunia menyadari nilai mereka.

Karena kadang, yang kita butuhkan bukanlah ide sempurna sejak awal, tapi keberanian untuk percaya pada potensi sesuatu—dan tekad untuk terus berdiri meski berkali-kali dijatuhkan. Dan dari sanalah, legenda lahir. 

Penulis: Edhy Aruman

Sabtu, 10 Mei 2025

Menulis Ulang Sejarah, Menulis Ulang Identitas Bangsa


Saat Indonesia bersiap menyambut delapan dekade kemerdekaannya pada 17 Agustus 2025, pemerintah mengambil langkah berani dan patut diapresiasi: menulis ulang narasi sejarah nasional. Ini memang sebuah proyek besar.

Proyek besar ini bukan sekadar revisi dokumen lama, melainkan upaya mendalam untuk menata ulang ingatan kolektif bangsa—sebuah kerja peradaban yang membutuhkan keberanian intelektual, keterbukaan, dan kesungguhan akademik. Ingatan kolektif dari perjalanan kebangsaan negeri ini. Ada bagian yang memerlukan penekanan, dan mungkin ada bagian lain yang perlu direvisi dengan 

Dikoordinasikan oleh Prof. Dr. Susanto Zuhdi, M.Hum., Guru Besar Sejarah Universitas Indonesia, proyek ini melibatkan lebih dari 100 sejarawan dari berbagai kampus di seluruh Indonesia. Ini adalah langkah penting: sejarah bangsa tidak boleh ditulis dari satu sudut pandang, melainkan harus mencerminkan keragaman suara, pengalaman, dan perspektif dari seluruh penjuru negeri.

Selama ini, sejarah Indonesia cenderung bertumpu pada narasi besar tokoh-tokoh nasional dan peristiwa politik di pusat kekuasaan. Sementara itu, banyak kisah penting dari wilayah luar Jawa, dari komunitas adat, perempuan pejuang, hingga rakyat kecil yang menjadi tulang punggung revolusi, sering kali terabaikan. Penulisan ulang sejarah ini memberi harapan bahwa narasi bangsa akan menjadi lebih adil dan mencerminkan kenyataan yang lebih lengkap.

Sosok Prof. Susanto Zuhdi, yang dikenal luas sebagai pakar sejarah maritim, adalah pilihan tepat untuk memimpin proyek ini. Melalui karya-karyanya seperti Nasionalisme, Laut, dan Sejarah serta Sejarah Buton Yang Terabaikan, ia telah menunjukkan keberanian intelektual dalam mengangkat sejarah yang selama ini luput dari perhatian arus utama. Dedikasinya selama puluhan tahun menunjukkan bahwa sejarah bukan sekadar kumpulan tanggal dan peristiwa, tetapi jantung dari identitas bangsa.

Tentu, proyek ini bukan tanpa tantangan. Menyusun ulang sejarah berarti membuka kembali lembar-lembar yang mungkin tidak nyaman bagi sebagian pihak. Akan ada resistensi, bahkan mungkin upaya politisasi. Namun, justru di sinilah urgensinya. Sejarah yang sehat adalah sejarah yang berani ditinjau ulang—bukan untuk menghapus, tetapi untuk memahami dengan lebih jernih dan dewasa.

Penulisan ulang sejarah nasional ini diharapkan bukan sekadar proyek seremonial menyambut 80 tahun kemerdekaan. Ia harus menjadi awal dari tradisi intelektual baru: bahwa sejarah adalah ruang hidup yang terus dikritisi, diperbarui, dan dimaknai ulang secara kontekstual. Bahwa menjadi bangsa merdeka juga berarti merdeka dalam memahami siapa diri kita, dari mana kita datang, dan ke mana kita ingin menuju.

Semoga proyek ini menjadi bukan hanya warisan dokumen, tetapi warisan pemikiran yang menyalakan cahaya bagi generasi masa depan.

Jumat, 09 Mei 2025

Cemooh

Kevin Durant adalah salah satu ikon terbesar dalam sejarah NBA modern. Lahir pada 29 September 1988, ia memulai karier profesionalnya sebagai pilihan kedua dalam NBA Draft 2007 oleh Seattle SuperSonics. 

Sejak itu, ia telah menjadi kekuatan dominan di liga. Dia bermain untuk Oklahoma City Thunder, Golden State Warriors, Brooklyn Nets, dan kini Phoenix Suns. 

Dengan tinggi hampir 7 kaki dan kemampuan mencetak poin yang luar biasa, Durant telah meraih dua gelar juara NBA dan dua kali menjadi MVP Final.

Namun, di balik prestasi gemilangnya, Durant juga dikenal karena kepribadiannya yang reflektif dan empatik. Salah satu momen yang mencerminkan hal ini terjadi pada 22 Februari 2024, sebelum pertandingan antara Phoenix Suns dan Dallas Mavericks di American Airlines Center, Dallas.

Saat Durant melakukan pemanasan pra-pertandingan, dua penggemar Mavericks—seorang wanita dan seorang pria—melontarkan umpatan kasar kepadanya. Mereka menyebutkan kata-kata yang tidak pantas. 

Suasana yang seharusnya penuh fokus dan konsentrasi itu seketika berubah menjadi ujian kesabaran. Di tengah riuh rendah arena dan sorotan publik, Durant dihadapkan pada situasi yang bisa dengan mudah memancing emosi siapa pun. Namun, justru dari momen inilah terlihat siapa dirinya sebenarnya.

Kebanyakan orang mungkin marah ketika dicemooh. Tapi Durant, yang mendengar hinaan tersebut, tidak membalas cemoohan itu dengan kemarahan. Dia mendekati mereka dan memulai dialog.

Dalam momen yang penuh ketegangan itu, Durant memilih jalan pengertian. Ia menyadari bahwa hinaan yang ia terima mungkin lahir dari emosi sesaat—entah karena alkohol atau euforia mendukung tim kesayangan.

Alih-alih terpancing emosi, Kevin Durant memilih jalan yang jarang ditempuh: ia mengingatkan semua orang bahwa meskipun ia berdiri di bawah gemerlap lampu sorot dan disambut sorakan penonton, ia tetaplah manusia. Manusia yang bisa terluka, yang berusaha memahami, dan yang pantas dihargai seperti siapa pun juga.

Saat petugas keamanan bersiap mengeluarkan dua penggemar yang telah menghina, Durant malah meminta mereka untuk tetap tinggal. Baginya, reaksi itu bukan kelemahan—justru itulah kekuatan. Ia berharap, dengan memberinya ruang dan empati, dua orang itu bisa belajar sesuatu: bahwa rasa hormat jauh lebih bermakna daripada sorakan keras.

Durant sadar benar, setiap tindakannya jadi sorotan. Ia tahu, satu reaksi bisa mengguncang citra yang telah ia bangun selama bertahun-tahun dengan kerja keras dan dedikasi. Tapi di titik itu, ia memilih untuk menanggapi bukan dengan ego, melainkan dengan ketenangan dan jiwa besar. Itu bukan hanya tentang menjaga reputasi, tapi tentang memberi contoh.

"Kalau saya minta kalian keluar, itu terlalu gampang," ujarnya dengan tenang. "Tapi mungkin, kalian memang perlu dengar langsung dari saya… bahwa saya ini juga manusia."

Ia melanjutkan, “Saya tahu kalian mungkin tidak benar-benar berniat jahat. Saya juga paham, mungkin kalian sudah minum beberapa gelas. Tapi saya percaya, setiap orang punya sisi baik—dan saya ingin kalian pulang dari sini membawa sesuatu yang lebih dari sekadar pertandingan.”

Pernyataannya bukan hanya tanda maaf. Itu adalah bentuk kedewasaan. Durant bukan hanya menoleransi, ia mencoba mengerti. Tapi pemahamannya tidak berarti ia membiarkan semuanya begitu saja—ia tetap menegaskan bahwa ada batasan yang harus dihormati dalam interaksi, seberapa pun riuh dan panasnya suasana pertandingan.

“Saya tahu kalian ingin diperhatikan. Tapi percayalah, ada cara yang jauh lebih baik daripada meneriaki saya dengan kata-kata kasar hanya karena merasa aman di arena ini.”

Durant juga mengangkat isu yang lebih besar—bahwa banyak atlet sering kali diperlakukan hanya sebagai hiburan. Ia mengingatkan, di balik setiap jersey ada pribadi dengan hati, lelah, dan kehidupan yang tak selalu terlihat di layar TV. Ia ingin dunia tahu: para atlet bukan objek. Mereka juga manusia.

Dari kejadian ini, Durant mengajak kita semua untuk berpikir ulang. Ia menunjukkan bahwa kehebatan sejati tak diukur dari seberapa keras kita membalas, tapi dari seberapa dalam kita bisa memahami.

Dan kadang, justru di momen-momen sulit seperti itulah, seseorang menunjukkan siapa dirinya yang sesungguhnya. Durant memilih untuk tetap berkelas, tetap manusiawi, dan tetap berdampak.

Dalam dunia yang sering dibanjiri konflik dan adu ego, sikap seperti inilah yang mengingatkan kita: bahwa kekuatan terbesar bukan selalu soal kemenangan, tapi soal keberanian untuk tetap mengedepankan hati. 

Ditulis oleh: Edhy Aruman

Rabu, 07 Mei 2025

Pernah Nggak Mikir Pengen Nulis Tapi Nggak Tahu Harus Mulai Dari Mana?

Kadang kita suka mikir, “Ide buat nulis dari mana, sih?” 

Padahal, jawabannya tuh sering banget ada di depan mata, cuma kita yang suka nggak sadar. Coba deh, mulai perhatiin apa yang ada di sekitar kamu. Mulai dari hal-hal kecil kayak liatin orang-orang di jalan, perhatiin cara jalannya, cermati ekspresi wajahnya, denger obrolan random di KRL, di stasiun, di halte Transjakarta, atau bahkan sekadar scroll media sosial. Semua itu bisa jadi bahan cerita yang seru banget kalau kita bisa ngolahnya.

Misalnya, lagi duduk di cafe yang rame pengunjung, sambil nunggu temen. Coba tengok dan cermati orang-orang yang ada sekelilingmu. Di sebelah kamu ada pasangan yang lagi ribut pelan-pelan dengan suara yang nyaris tertelan kebisingan cafe. Kamu nggak sengaja denger sepenggal kalimat mereka. Nah, itu tuh bisa jadi ide untuk menulis! 

Coba bayangin latar belakang mereka, kenapa mereka ribut, gimana kelanjutan ceritanya? Kamu bisa bikin fiksi dari situ. Seru kan! Jadi jangan ragu jadi orang kepo ...

Atau ketika lagi macet-macetan di jalan, di trotoar kamu lihat seorang bapak tua jualan kerupuk di tengah terik matahari. Mukanya penuh peluh dan tak terlihat seorang pun yang membeli jualannya. 

Ada banyak cerita yang bisa kamu gali dari apa yang bisa lihat. Kenapa dia masih kerja di usia segitu? Kemana anak-anaknya? Apa yang dia pikirkan? 

Dari situ, kamu bisa bikin esai atau cerita pendek yang menyentuh hati.

Nggak cuma dari orang-orang yang dilihat, bahkan benda mati di sekitar kita juga bisa jadi inspirasi. Misalnya, lihat buku catatan lama yang nggak sengaja ketemu waktu bersihin kamar. Halaman-halaman penuh coretan tangan kamu yang dulu. Apa yang kamu pikirkan waktu nulis itu? Kamu bisa buat tulisan tentang nostalgia, tentang gimana kamu berubah dari waktu ke waktu.

Intinya, ide tuh nggak perlu jauh-jauh. Semua ada di sekitar kita. Tinggal gimana kita ngelatih mata, hati, dan pikiran buat lebih peka. Mulai dari yang sederhana, dan lihat gimana tulisan kamu bisa berkembang dari hari ke hari. 

Jadi, udah siap belum buat mulai nulis dari apa yang kamu lihat hari ini?


Minggu, 04 Mei 2025

Nulis dari Pengalaman Masa Lalu: Cerita Lama, Rasa Baru

Cerita lama, tapi rasa baru. Inilah yang akan menjadi bahan berlatih menulis. Kita kadang kita mikir, “Mau nulis apa ya?” Padahal, sumber ide paling dekat itu ya… masa lalu kita sendiri. Nggak harus kejadian luar biasa kok. Cerita-cerita kecil yang pernah kita alami bisa jadi bahan tulisan yang ngena banget.

Kenapa sih pengalaman pribadi itu menarik buat ditulis?

Soalnya jujur. Nggak ngarang-ngarang, nggak sok dramatis. Yang penting kita cerita apa adanya. Bisa tentang jatuh cinta pertama kali, dimarahin guru gara-gara lupa PR, atau cuma momen sederhana kayak main hujan pas kecil. Kecebur di got, atau kecipirit di kelas. 

Justru hal-hal kecil itu yang sering bikin orang senyum waktu baca.

Gimana cara mulai nulis dari pengalaman masa lalu?

  1. Ngobrol sama diri sendiri: Coba inget-inget kejadian yang bikin kamu terkesan. Apa yang bikin kamu ketawa, sedih, atau mikir panjang?

  2. Ceritain rasanya, bukan cuma kejadiannya: Misalnya, “Aku duduk di bangku belakang kelas, pura-pura nyatet, padahal hatiku deg-degan lihat dia senyum.” Nah, itu yang bikin tulisan jadi hidup.

  3. Benda atau tempat bisa jadi pintu kenangan: Kayak suara motor bapak tiap pagi, wangi kue buatan ibu, atau lagu jadul yang dulu sering diputar di radio.

  4. Tulis aja dulu, nggak usah mikir bagus atau nggaknya: Yang penting ngalir. Tulis kayak lagi cerita ke temen.

Nulis buat diri sendiri, tapi bisa nyentuh orang lain

Mungkin awalnya kamu nulis cuma buat curhat. Tapi jangan kaget kalau ternyata ada yang baca dan bilang, “Wah, gue banget nih!” Karena kadang, yang kita rasain juga dirasain orang lain, cuma mereka belum nemu kata-kata buat ngungkapinnya.

Jadi, kalau lagi bingung mau nulis apa, coba deh tengok ke belakang dari pengalaman yang pernah dialami selama perjalanan hidup kita. Siapa tahu, di situ ada cerita yang belum sempat kamu ceritain. Nggak harus sempurna, yang penting tulus. Karena tulisan paling enak dibaca, ya tulisan yang datang dari hati.

Sabtu, 03 Mei 2025

Belajar Menulis dari Hal Sehari-hari: Biar Nggak Nunggu Mood Terus

Gue nggak bisa nulis, kalo nggak mood. Wah bahaya juga. Tapi bagi seorang penulis, tentu dia harus berdamai dengan mood nya. Gue punya beberapa tips yang bisa dijadikan pegangan untuk menulis tanpa nunggu mood.

Banyak orang pengin jago nulis, tapi bingung mulai dari mana. Nunggu inspirasi, nunggu mood, nunggu waktu luang — yang seringnya malah nggak datang-datang. Padahal, belajar nulis bisa dimulai dari hal simpel yang kita temui tiap hari.

Nulis Itu Nggak Harus Nunggu “Ide Besar”

Sering kali kita mikir, tulisan itu harus tentang topik yang berat atau luar biasa. Padahal, justru hal-hal kecil yang kita alami setiap hari bisa jadi latihan nulis yang ampuh. Nulis soal macet di jalan, obrolan random di warung, atau hal absurd yang kita lihat di medsos pun bisa jadi bahan.

Contoh:

  • Hari ini ketemu ibu-ibu bawa ayam naik motor. Kocak? Iya. Tapi bisa kamu jadiin tulisan pendek tentang kehidupan di kampung.

  • Semalam, sewaktu pulang ke rumah naik KRL, ada sekeluarga yang kerepotan membawa barang belanjaan banyak, dan menggandeng tiga orang anak. Miris, sedih, pengen ketawa, karena ada kejadian lucu dan serunya.

  • Lupa bawa dompet ke minimarket? Tulis aja cerita malu-malunya, terus bumbui dikit biar lucu.

Bikin Kebiasaan Kecil Tapi Konsisten

  1. Nulis 5-10 menit tiap hari: Nggak usah panjang, yang penting rutin. Bisa di notes HP, buku kecil, atau platform online.

  2. Tulis apa yang dilihat, didengar, dirasa: Lagi nunggu ojek? Lihat sekeliling. Denger anak kecil nyanyi? Catat. Hal remeh itu bisa jadi bahan tulisan yang unik.

  3. Baca ulang dan perbaiki dikit-dikit: Nggak perlu langsung bagus. Yang penting, kamu belajar dari tiap tulisan yang kamu buat.

Jangan Takut Jelek, yang Penting Jalan

Namanya juga belajar. Nggak semua tulisan pertama langsung enak dibaca. Kadang kamu bakal ngerasa aneh, kaku, atau terlalu sederhana. Tapi justru dari situ kamu berkembang. Tulis dulu, edit belakangan. Tulis dulu, malu belakangan (kalau perlu 😄).

Menulis Bukan Cuma Soal Bakat, Tapi Kebiasaan

Penulis yang keliatan hebat sekarang, dulunya juga mulai dari nulis seadanya. Bakat itu bonus, tapi kebiasaan nulis itu modal utama. Semakin sering kamu nulis, semakin peka kamu sama ide-ide di sekitar.

Belajar menulis nggak harus nunggu liburan, inspirasi, atau kopi susu dingin. Cukup mulai dari hal-hal kecil yang kamu temui tiap hari. Lama-lama, kamu bakal terbiasa nulis, dan dari situ, tulisanmu bakal makin kuat.

Jumat, 02 Mei 2025

Apa hal kecil yang pernah membuatmu sangat bahagia?

 Mari kita ikuti latihan untuk menjadi penulis hebat. Hari ini, bisa dimulai dengan menjawab pertanyaan ini. Pertanyaan ini sekedar untuk memancing dan membantu kamu untuk berlatih menulis.

Apa hal kecil yang pernah membuatmu sangat bahagia?

Ini adalah contoh pertanyaan sederhana, tapi punya potensi besar untuk menghasilkan tulisan yang menyentuh, otentik, dan penuh makna. Banyak penulis pemula merasa harus punya pengalaman "besar" untuk ditulis—padahal justru hal-hal kecil dan personal bisa jauh lebih kuat karena lebih relatable.

💡 Kenapa Pertanyaan Ini Kuat?

Karena:

  • Hal kecil biasanya jujur, tidak dibuat-buat.

  • Setiap orang punya versi jawabannya sendiri.

  • Bisa menggali emosi bahagia, syukur, haru, bahkan nostalgia.

✍️ Tips Menulis dari Pertanyaan Ini

1. Fokus pada satu momen kecil saja

Jangan mencoba menceritakan semua kebahagiaan sekaligus. Ambil satu hal sederhana, misalnya:

  • Senyuman orang tua.

  • Aroma masakan.

  • Jalan kaki sore sambil dengar lagu favorit.

  • kebiasaan ayah disaat sarapan di meja makan.

  • kebiasaan ibu saat waktu makan.

✅ Fokus = "Momen minum teh bersama ibu di sore hari."
❌ Tidak fokus = "Semua momen bahagia sejak kecil sampai sekarang."


2. Gunakan detail inderawi (apa yang kamu lihat, dengar, cium, rasa)

Biar pembaca bisa “masuk” ke dalam momenmu.

Contoh:
"Aku mencium aroma daun pandan yang baru ditumbuk. Ibu mengaduk adonan kue lumpur sambil bersenandung kecil."

           "Tak terasa, air liur sudah mulai mengalir, disaat aroma rendang mengular kemana-mana." 

3. Tulis seperti kita sedang bercerita ke teman dekat

Hindari bahasa yang terlalu formal atau berjarak. Gunakan gaya yang hangat, personal. Atau kalau perlu, dengan ungkapan bahasa daerah yang menjadi kekuatan dalam komunikasi personal dan kedekatan.

📝 Contoh Tulisan Pendek (Dikembangkan)

Hari itu hujan deras. Aku duduk di dapur, menggenggam gelas teh hangat yang ibu buat lima menit lalu. Meja kayu tua berderak sedikit saat aku mekan siku ke meja, lalu aku bersandar di kursi kayu yang umurnya mungkin sama tuanya dengan meja kayu ini. Ibu diam-diam menyelipkan biskuit ke piring kecilku, seperti biasa. Sementara di luar, suara hujan bercampur dengan desis air mendidih dari ceret saling bersilangan. Rasanya dunia berhenti sebentar. Bahagia itu, ternyata sederhana sekali. Aku pun tersenyum, entah untuk apa. 

🔍 Analisis Singkat

  • Momen kecil: Minum teh saat hujan.

  • Detail: Meja kayu, suara hujan, desis ceret.

  • Perasaan: Tenang, bahagia, nyaman.

  • Ingatan: tentang apa yang terjadi semalam

💭 Variasi Lain dari Pertanyaan Ini

Kalau kamu ingin mengeksplorasi lebih jauh, ubah sedikit sudut pandangnya:

  • Apa hal kecil yang membuat kamu tersenyum hari ini?

  • Kapan terakhir kali kamu merasa tenang tanpa alasan besar?

  • Apa hadiah kecil yang pernah kamu dapatkan, tapi sangat berarti?

  • Siapa yang memberikan hadiah itu?


Bertanya pada Diri Sendiri, Jadi Ampuh untuk Menemukan Ide?

Tentu! Metode "Tanya pada Diri Sendiri" sebagai cara menemukan ide menulis yang cukup ampuh. Asal kita jujur bertanya dan menggali dengan memberikan jawaban apa adanya, maka bukan tidak mungkin bisa menjadi pintu pembuka jalan untuk memulai sebuah tulisan.

Bertanya pada diri sendiri adalah cara yang paling sederhana namun mendalam untuk menggali ide. Setiap orang menyimpan ribuan kenangan, pengalaman, emosi, dan pemikiran dalam dirinya. Dengan sedikit kejujuran dan refleksi, semua itu bisa diubah menjadi bahan tulisan yang kuat dan menyentuh.

Metode ini cocok untuk kamu yang:

  • Sering bingung harus mulai dari mana.

  • Ingin menulis sesuatu yang jujur dan bermakna.

  • Ingin membangun kebiasaan menulis harian.

🧠 Contoh Pertanyaan dan Aplikasinya dalam Tulisan

❓ Pertanyaan 1:

Apa hal kecil yang pernah membuatmu sangat bahagia?

📝 Contoh tulisan pendek:

Aku masih ingat aroma telur dadar yang dibuat Ibu setiap pagi sebelum sekolah. Bukan karena rasanya yang luar biasa, tapi karena itu satu-satunya waktu kami bisa duduk bersama, meski hanya lima menit. Di tengah pagi yang tergesa, sepotong telur hangat bisa membuatku merasa diperhatikan dan dicintai.

🎯 Catatan: Dari pertanyaan sederhana, muncul tema besar: kasih sayang yang hadir dalam hal kecil.

❓ Pertanyaan 2:

Pernahkah kamu merasa sangat gagal? Apa yang kamu pelajari?

📝 Contoh tulisan pendek:

Saat gagal masuk universitas impian, aku merasa seluruh rencana hidup runtuh. Tapi kegagalan itu justru membawaku ke jurusan lain yang membuatku menemukan dunia baru: menulis. Aku mungkin gagal di rencana A, tapi ternyata sukses di rencana yang dulu bahkan tidak pernah kupikirkan.

🎯 Catatan: Tulisan ini bisa dikembangkan jadi esai motivasi atau refleksi personal.

❓ Pertanyaan 3:

Apa tempat favoritmu untuk "melarikan diri" saat hidup terasa berat?

📝 Contoh tulisan pendek:

Di pojok kecil kamar kosku, ada jendela kecil yang menghadap ke langit sore. Setiap kali hati terasa berat, aku duduk di sana, diam, menatap awan yang berlalu. Tempat itu tidak mewah, tapi cukup untuk membuatku merasa dunia masih luas, dan bebanku suatu saat akan berlalu juga.

🎯 Catatan: Pertanyaan ini menghasilkan suasana dan suasana batin yang kuat.

❓ Pertanyaan 4:

Kalau bisa bicara pada dirimu yang lebih muda, apa yang ingin kamu katakan?

📝 Contoh tulisan pendek:

Hei, kamu yang dulu takut bicara di depan kelas—tenang saja. Suatu hari nanti kamu akan bicara di depan ratusan orang, dan mereka akan mendengarkan. Luka-luka kecil yang kamu alami sekarang, ternyata adalah latihan untuk keberanian yang kamu perlukan nanti.

🎯 Catatan: Pertanyaan ini membentuk tulisan dengan nada reflektif dan penuh harapan.


Tips Menulis dari Hasil Tanya Diri Sendiri

  1. Jangan buru-buru mengedit saat menulis jawaban awal.
    Biarkan mengalir seperti curhat ke teman.

  2. Fokus pada satu momen, satu emosi, atau satu kenangan.
    Tulisan akan terasa lebih tajam dan tidak melebar.

  3. Gunakan detail konkret.
    Misalnya: "teh hangat dalam gelas enamel biru" lebih kuat daripada "minuman hangat".

  4. Tulis dengan suara yang jujur.
    Tidak perlu terlalu puitis. Keaslian lebih menyentuh daripada keindahan yang dipaksakan.

  5. Siapkan waktu khusus dan kalau bisa jam pelaksanannya sama.

Metode “tanya pada diri sendiri” bisa jadi alat yang sangat efektif untuk memulai menulis — bahkan untuk kamu yang merasa tidak punya ide. Dalam diri setiap orang, selalu ada cerita. Yang dibutuhkan hanyalah kemauan untuk duduk, bertanya, dan mendengarkan jawaban yang muncul dari dalam.

Kalau kamu mau, aku bisa bantu jadikan kumpulan tulisan reflektif ini, bisa menjadi antologi mini pribadi. Mau lanjut ke situ? Jangan Ragu Untuk memulainya.

Bagaimana Latihan Menulisnya, Yok Dicoba

Setiap hari, pilih satu tema dan jawab dengan jujur. Jangan takut untuk mengeksplorasi perasaan dan pengalaman yang mendalam. Dengan konsisten menulis, kamu akan menemukan banyak ide menulis yang berharga dan mungkin juga cerita-cerita yang menantikan untuk ditulis.  
Cobalah mulai Bulan Mei 2005 untuk menulis setiap hari, dengan ide yang sudah saya tuliskan di pos tulisan sebelumnya.

Selamat mencoba.

Sekedar contoh tulisan fiksi

Di Balik Sampul Buku

Hujan turun rintik-rintik saat Fira memutuskan membereskan lemari tua di ruang tamu rumah neneknya. Buku-buku berdebu, kartu pos dari tahun entah berapa, dan... satu buku bersampul biru langit yang langsung membuatnya berhenti.

“100 Kisah Petualangan Dunia”

Buku itu milik masa SD-nya. Saat dibuka, satu kertas lipat kecil jatuh dari dalamnya.

Tulisan tangan khas anak-anak terpampang di sana:

“Kalau kamu nemu surat ini, berarti kamu masih inget aku.
Aku suka kamu dari kelas 3, tapi nggak berani bilang.
Semoga kita bisa naik sepeda bareng lagi kayak dulu.

Dari: Arga (yang duduk di sebelah kamu, tapi deg-degan tiap kamu nanya PR)”

Fira terkesiap. Arga. Nama yang dulu mewarnai masa kecilnya. Mereka dulu sering main bareng, bahkan pernah pura-pura nikah di bawah pohon jambu belakang sekolah. Tapi setelah lulus SD, Arga pindah dan mereka kehilangan kontak.

Jantung Fira berdebar aneh. Ia menatap tulisan itu sambil tersenyum kecil — antara geli dan hangat.

Tiba-tiba notifikasi ponselnya berbunyi. Pesan masuk dari grup alumni SD.

"Guys, Arga baru balik ke kota! Katanya pengen reuni kecil-kecilan minggu depan!"

Fira menatap lagi surat kecil itu, lalu menggenggamnya pelan.

Kadang cinta masa kecil cuma jadi memori manis. Tapi siapa tahu… kali ini, kisahnya bisa berlanjut.

Kamis, 01 Mei 2025

Belajar Menulis dari Membaca: Meniru Dulu, Biar Bisa Menemukan Gaya Sendiri.

ATM, amati tiru dan modifikasi. Ini juga bisa diterapkan dalam berlatih menulis. Jadi jangan takut dan malu dikatakan sebagai peniru, asal bukan seorang plagiator yang mengakui tulisan orang lain sebagai tulisan sendiri. Kita meniru gaya penulisannya, gaya bercerita, dan gaya diksi yang dipergunakan para penulis hebat. Gunakan beragam gaya itu, berlatihlah dan jadikan bekal untuk membangun gaya penulisan sendiri. 

Meniru Dulu, Biar Bisa Menulis dengan Gaya Sendiri

Pernah nggak ngerasa bingung pas nulis, kayak… “Ini kenapa tulisan gue datar banget ya?” atau “Gaya nulis orang lain kok enak dibaca sih?” Nah, tenang. Semua penulis, bahkan yang udah terkenal, biasanya juga mulai dari niru.

Serius. Niru itu bukan dosa — asal kamu tahu batasnya.

Rumusnya sebetulnya tidak susah-susah amat. Ketika membaca, bukan cuma untuk menikmati cerita yang disajikan dalam sebuah novel misalnya, tetapi juga pelajari gaya penulisannya.

Kalau kamu suka baca, coba sesekali jangan cuma nikmatin ceritanya, tapi juga perhatiin gimana penulisnya nyusun kata. Gaya kalimatnya gimana? Dialognya hidup atau nggak? Transisinya halus atau tiba-tiba? Itu semua bisa kamu pelajari. Dan buat catatan-catatan sendiri untuk mendapatkan apa yang menarik buatmu.

Coba aja:

  • Baca cerpen atau novel yang kamu suka.

  • Pilih satu paragraf yang menurutmu keren.

  • Tulis ulang dengan gaya kamu sendiri. Bisa kamu ubah sudut pandangnya, bahasanya, atau suasananya.

Meniru Itu Bagian dari Proses

Nggak semua penulis langsung punya gaya khas dari awal. Justru dengan meniru beberapa gaya penulisan, lama-lama kamu bakal tahu mana yang paling cocok buat kamu. Kayak nyobain beberapa sepatu dulu sebelum nemu yang paling nyaman.

Misalnya:

  • Baca novel Pramodya Anantatoer, nikmati alur cerita yang mengalir sampai tak sadar ratusan halaman sudah dilewati.

  • Nikmati petualangan yang ditulis oleh Karl May tentang suku Apache.

  • Kamu tiru gaya penulisan Raditya Dika yang santai dan lucu.

  • Besok coba gaya Tere Liye yang puitis dan dalam.

  • Lusa, gaya tulisan berita atau feature dari media online.

Dari situ, kamu bisa ambil elemen yang cocok dan gabungkan jadi gaya kamu sendiri.

Tapi Jangan Cuma Niru Terus…

Setelah kamu terbiasa, mulai tulis sesuatu yang lebih personal. Campur pengalaman sendiri, opini sendiri, dan kata-kata yang biasanya kamu pakai sehari-hari. Karena, gaya nulis yang kuat itu muncul kalau kamu udah berani jujur dalam tulisan.

Meniru gaya penulis lain itu bukan berarti kamu nggak kreatif. Justru itu jalan buat belajar dan bereksperimen. Kayak musisi yang belajar dari lagu orang lain sebelum bikin lagu sendiri. Nggak ada yang instan. Tapi kalau kamu rajin baca dan coba-coba nulis, lama-lama gaya tulisanmu bakal terbentuk sendiri.