Tampilkan postingan dengan label Sejarah Indonesia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah Indonesia. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 10 Mei 2025

Menulis Ulang Sejarah, Menulis Ulang Identitas Bangsa


Saat Indonesia bersiap menyambut delapan dekade kemerdekaannya pada 17 Agustus 2025, pemerintah mengambil langkah berani dan patut diapresiasi: menulis ulang narasi sejarah nasional. Ini memang sebuah proyek besar.

Proyek besar ini bukan sekadar revisi dokumen lama, melainkan upaya mendalam untuk menata ulang ingatan kolektif bangsa—sebuah kerja peradaban yang membutuhkan keberanian intelektual, keterbukaan, dan kesungguhan akademik. Ingatan kolektif dari perjalanan kebangsaan negeri ini. Ada bagian yang memerlukan penekanan, dan mungkin ada bagian lain yang perlu direvisi dengan 

Dikoordinasikan oleh Prof. Dr. Susanto Zuhdi, M.Hum., Guru Besar Sejarah Universitas Indonesia, proyek ini melibatkan lebih dari 100 sejarawan dari berbagai kampus di seluruh Indonesia. Ini adalah langkah penting: sejarah bangsa tidak boleh ditulis dari satu sudut pandang, melainkan harus mencerminkan keragaman suara, pengalaman, dan perspektif dari seluruh penjuru negeri.

Selama ini, sejarah Indonesia cenderung bertumpu pada narasi besar tokoh-tokoh nasional dan peristiwa politik di pusat kekuasaan. Sementara itu, banyak kisah penting dari wilayah luar Jawa, dari komunitas adat, perempuan pejuang, hingga rakyat kecil yang menjadi tulang punggung revolusi, sering kali terabaikan. Penulisan ulang sejarah ini memberi harapan bahwa narasi bangsa akan menjadi lebih adil dan mencerminkan kenyataan yang lebih lengkap.

Sosok Prof. Susanto Zuhdi, yang dikenal luas sebagai pakar sejarah maritim, adalah pilihan tepat untuk memimpin proyek ini. Melalui karya-karyanya seperti Nasionalisme, Laut, dan Sejarah serta Sejarah Buton Yang Terabaikan, ia telah menunjukkan keberanian intelektual dalam mengangkat sejarah yang selama ini luput dari perhatian arus utama. Dedikasinya selama puluhan tahun menunjukkan bahwa sejarah bukan sekadar kumpulan tanggal dan peristiwa, tetapi jantung dari identitas bangsa.

Tentu, proyek ini bukan tanpa tantangan. Menyusun ulang sejarah berarti membuka kembali lembar-lembar yang mungkin tidak nyaman bagi sebagian pihak. Akan ada resistensi, bahkan mungkin upaya politisasi. Namun, justru di sinilah urgensinya. Sejarah yang sehat adalah sejarah yang berani ditinjau ulang—bukan untuk menghapus, tetapi untuk memahami dengan lebih jernih dan dewasa.

Penulisan ulang sejarah nasional ini diharapkan bukan sekadar proyek seremonial menyambut 80 tahun kemerdekaan. Ia harus menjadi awal dari tradisi intelektual baru: bahwa sejarah adalah ruang hidup yang terus dikritisi, diperbarui, dan dimaknai ulang secara kontekstual. Bahwa menjadi bangsa merdeka juga berarti merdeka dalam memahami siapa diri kita, dari mana kita datang, dan ke mana kita ingin menuju.

Semoga proyek ini menjadi bukan hanya warisan dokumen, tetapi warisan pemikiran yang menyalakan cahaya bagi generasi masa depan.