Selasa, 27 Mei 2025

Kedalaman Sejarah Hingga Denyut Nadi Saat ini

Dari kedalaman sejarah hingga denyut nadi masa kini, para ulama Syiah telah mengukir jejak perhatian yang tak tergoyahkan terhadap ilmu-ilmu Al-Qur'an, khususnya tafsir. Sejak masa klasik, tradisi tafsir dalam mazhab ini tak pernah padam; ia justru terus hidup dan berkembang, memancarkan corak yang khas: mendalam, filosofis, dan reflektif. Di era kontemporer ini, hampir setiap ulama besar Syiah menjelma menjadi seorang mufasir. Mereka bukan hanya menguasai fikih dan ushul, melainkan juga melahirkan karya-karya tafsir fenomenal yang menjadi rujukan dunia Islam.

Mahakarya Tafsir yang Membentuk Peradaban

Lihatlah Tafsir al-Mizan karya Allamah Thabathaba’i. Sebuah mahakarya yang menyatukan pendekatan tematik, rasional, dan spiritual dalam satu tarikan napas. Ia tak sekadar menjelaskan ayat, tetapi membuka cakrawala makna, mengaitkannya dengan filsafat, sejarah, dan bahkan realitas sosial-politik. Karya ini adalah bukti nyata bagaimana tafsir bisa menjadi jendela untuk memahami kompleksitas dunia melalui lensa ilahi.

Begitu pula dengan Ayatullah Makarim Shirazi, yang melalui Tafsir Nemuneh berhasil membumikan ajaran-ajaran Al-Qur'an untuk masyarakat modern. Tafsir ini lahir dari semangat kolektif dan keinginan kuat untuk menjadikan tafsir sebagai jawaban atas berbagai tantangan zaman. Tidak kalah penting, Ayatullah Jawadi Amuli dan Ayatullah Misbah Yazdi juga turut memperluas cakrawala tafsir dengan pendekatan ‘irfani dan falsafi yang mendalam, menjadikan Al-Qur'an sebagai petunjuk intelektual sekaligus spiritual.

Membangun Masyarakat Qur'ani

Kecintaan para ulama Syiah terhadap Al-Qur'an tak hanya termanifestasi dalam penulisan tafsir. Ia juga tampak jelas dalam upaya mereka untuk membina masyarakat Qur’ani. Di Iran, pelajaran tafsir menjadi bagian integral dalam kurikulum hauzah, dan pelatihan penghafal Al-Qur'an didukung penuh oleh para marja’ (otoritas keagamaan tertinggi). Mereka memiliki keyakinan teguh bahwa jalan menuju masyarakat yang adil dan beradab tak mungkin tercapai tanpa kembali kepada wahyu Ilahi.

Salah satu contoh paling monumental dari perhatian ini adalah Tafsir al-Tasnim, sebuah karya agung dari Ayatullah Abdullah Jawadi Amuli. Ia adalah seorang filosof, arif, dan mufasir kontemporer terkemuka. Tafsir ini ditulis dalam 80 jilid selama 40 tahun, menjadikannya salah satu tafsir terpanjang dan paling komprehensif dalam sejarah Islam. Berbeda dengan tafsir kebanyakan, al-Tasnim menggabungkan pendekatan tematik, filosofis, dan irfani (gnostik), namun tetap setia pada metode tafsir bi al-Qur’an (menafsirkan ayat dengan ayat).

Tafsir ini tidak hanya menyajikan penjelasan atas ayat-ayat Al-Qur'an, tetapi juga membahas isu-isu fundamental dalam teologi, filsafat, akhlak, dan sosial-politik dengan kedalaman yang luar biasa. Al-Tasnim bisa dikatakan sebagai bentuk tafsir multidisipliner yang menyatukan wahyu dan rasio, teks dan konteks, serta zahir dan batin.

Dengan hadirnya karya-karya semacam ini, tafsir dalam tradisi Syiah tidak pernah menjadi stagnan. Ia terus bergerak, menjawab tantangan zaman, dan membentuk pemikiran umat. Karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa para ulama Syiah kontemporer bukan hanya penjaga warisan Al-Qur'an, tetapi juga pemelopornya. Bagi mereka, tafsir bukan sekadar ilmu, melainkan proyek peradaban. Ia bukan hanya membaca teks, tapi juga membentuk manusia—dan dari manusia, membentuk sejarah.

Senin, 26 Mei 2025

Kalung Besi yang Mengubah Dunia — Koridor Kereta Api Tiongkok-Iran Telah Dibuka


Di tengah bayang-bayang ketegangan global dan pengawasan ketat lautan dunia, sebuah langkah diam-diam tapi mengguncang geopolitik sedang terjadi… dari daratan luas Asia.

Kereta pertama dari Tiongkok meluncur melewati gurun, pegunungan, dan perbatasan yang kerap panas—dan dalam waktu hanya 15 hari, ia tiba di Iran. Cepat. Efisien. Dan yang paling penting: lepas dari kendali laut yang dijaga ketat oleh armada Amerika.

Selama ini, ekspor Iran, terutama minyak, harus menghadapi risiko tinggi saat melewati jalur laut yang selalu dibayangi sanksi dan pengawasan militer. Tapi kini, jalur baru ini membuka pintu lebar bagi Iran untuk mengekspor minyak langsung ke Tiongkok — tanpa harus bergantung pada Selat Hormuz yang penuh ketegangan.

Dan bukan hanya itu… barang-barang dari Tiongkok kini bisa menembus jantung Eropa, tanpa harus melewati selat, pelabuhan, atau kapal-kapal perang. Jalur darat ini menjadi “urat nadi baru” yang tak bisa diblokir begitu saja.

Ini bukan sekadar rel baja. Ini adalah strategi sunyi yang mampu mengubah peta kekuatan global. Sebuah perlawanan halus terhadap dominasi laut, dan langkah berani menuju dunia multipolar.

Koridor kereta api Tiongkok-Iran telah resmi berjalan. Dan dunia sedang memperhatikannya — dengan cemas, kagum, dan waspada.

Minggu, 25 Mei 2025

RASPUTIN


Semalam, iseng-iseng buka Spotify. Lama nggak membuka aplikasi itu. Browsing lagu-lagu dan akhirnya mata tertuju pada Rasputin yang dibawakan grup disko legendaris Boney M. 

Lagu yang dirilis akhir dekade 1970an itu mengabadikan kisah hidup Rasputin dalam dentuman beat yang tak lekang oleh waktu. Penasaran, saya googling dan Amazon mencari buku-buku tentang Rasputin. Ada lebih dari 50an judul. 

Pilihan saya, karya Joseph T. Fuhrmann, Rasputin: The Untold Story. (Wiley, 2012); dan Massie berjudul Nicholas and Alexandra: The Fall of the Romanov Dynasty. (Random House Publishing Group, 1967).

Grigori Yefimovich Rasputin lahir pada 1872 di Pokrovskoe, sebuah desa terpencil di Siberia, dalam keluarga petani yang hidup di bawah tekanan iklim ekstrem. 

Sejak kecil, ia sudah terkenal karena kemampuannya meramalkan kejadian. Misalnya, pada usia dua belas tahun ia mampu menyebut siapa pencuri kudanya di tengah kerumunan tetangga. Itu adalah sebuah kemampuan yang memicu kekaguman sekaligus keraguan.

Pengalaman spiritual awal inilah yang kemudian mendorong Rasputin meninggalkan kehidupan kampung halamannya. Dia melakukan ziarah panjang, termasuk kunjungan ke biara-biara di Gunung Athos, Yunani. Disitu ia membenamkan diri dalam praktik asketik dan doa panjang (Fuhrmann, 2012).

Pulang ke Rusia, dia membangun reputasi sebagai starets , orang suci yang mampu menyembuhkan dan ‘melihat’ penderitaan jiwa manusia. 

Ketika berita tentang kemampuannya sampai ke St. Petersburg, kalangan aristokrat dan bahkan anggota Gereja Ortodoks mulai mengundangnya untuk menenangkan kegundahan batin mereka. 

November 1905, Rasputin diperkenalkan kepada Tsarina Alexandra Feodorovna. Kepercayaan Alexandra tumbuh ketika sang starets berhasil meredakan episode pendarahan putra mahkota, Alexis, yang menderita hemofilia. 

Malam itu, doa dan tatapan penuh keyakinan Rasputin di samping ranjang Alexis menghasilkan perbaikan kondisi kesehatan sang pangeran keesokan harinya. Alexandra pun  menulis bahwa ia ingin “terlelap di pundak… Sahabat Kami” .

Keberhasilan ini mengangkat pengaruh Rasputin jauh di luar pengobatan. Ia menjadi penasihat tak resmi bagi keluarga kekaisaran, memberi bimbingan rohani sekaligus mendukung keputusan politik yang dianggap selaras dengan kehendak ilahi. 

Pertama kali bertemu Rasputin, Perdana Menteri Peter Stolypin merasa “terhipnotis, sekaligus jijik.” Aura mistis Rasputin membuat Stolypin terhanyut dalam kekuatan batinnya. Namun, dia juga jengah melihat penampilan Rasputin yang jauh dari bersih: rambut panjang berminyak, janggut kusut penuh kotoran, baju lusuh yang tak pernah diganti, dan bau lembu atau keringat yang menyengat.

Gairah spiritual yang memikatnya beradu dengan naluri fisik untuk menjauh itu oleh istana ditafsirkan sebagai tanda kurangnya “kesetiaan pada kehendak Tuhan.” Kepercayaan para bangsawan terhadap Stolypin pun memudar. 

Iklim istana yang sangat mengedepankan legitimasi agama, membuat kecurigaan seperti itu cukup untuk melemahkan posisi seorang Perdana Menteri. Stolypin kehilangan dukungan utama di istana, rencana-rencana reformasinya diperlambat, dan akhirnya ia dipinggirkan dari pengambilan keputusan paling kritis di masa itu 

Menariknya, meskipun dikenal berperan dalam lingkaran kekaisaran, kehidupan pribadi Rasputin sarat dengan kontradiksi. 

Arsip kepolisian St. Petersburg tahun 1912–1913 mencatat rutinitas Rasputin di malam hari. Kesukaannya mengunjungi penyedia layanan intim dan perempuan bangsawan, menampakkan sisi duniawi yang jauh dari citra suci yang ia rawat di siang hari . 

Beberapa pejabat istana maupun pengikut setianya, seperti Anna Vyrubova, menyaksikan dualitas Rasputin. Ini menimbulkan mitos sekaligus kecaman: penyembuh rohani dan pemuja kesenangan dalam satu tubuh.

Masa hidup Rasputin berakhir tragis pada Desember 1916, ketika sebuah konspirasi yang dipimpin oleh Pangeran Felix Yusupov dan Vladimir Purishkevich menewaskannya. Racun sianida yang gagal, tembakan berulang kali, dan penenggelaman jasadnya di Sungai Neva menjadi puncak cerita yang menegaskan konflik antara kepercayaan rakyat dan intrik politik istana . 

Penelitian selanjutnya mengungkap dugaan peran agen Intelijen Inggris dalam “Operasi Dark Forces” , termasuk kemungkinan peluru 455 Webley milik agen tersebut menembus kening Rasputin. Ini bukti bahwa ia telah menjadi pion dalam permainan kekuatan global yang lebih luas.

Kehidupan Grigori Rasputin mengingatkan kita bahwa karisma dan bakat penyembuhan, bila tak diimbangi dengan integritas, justru dapat menjerumuskan diri dan orang lain. 

Dari seorang petani desa yang bertransformasi menjadi penasihat istana, menunjukkan kemampuan kekuatan pribadi membius hati banyak orang. Namun, Rasputin juga menunjukkan betapa cepatnya kepercayaan itu bisa berubah menjadi senjata politik yang mematikan. 

Ia menunjukkan bahwa perubahan batin dapat membawa seseorang menembus batas sosial, tetapi juga bahwa karisma yang luar biasa sering kali menimbulkan ketegangan antara iman, politik, dan moralitas.

Kisahnya mengajarkan pentingnya keseimbangan antara iman dan akal sehat, kerendahan hati, serta tanggung jawab moral: tanpa itu, bahkan niat baik seberat bumi akan mudah rusak oleh nafsu dan ambisi. 

Penulis: Edhy Aruman

Senin, 19 Mei 2025

Parfum


Jean-Baptiste Grenouille lahir di antara tumpukan sampah dan bau busuk pasar ikan Paris abad ke-18—sebuah zaman ketika setiap sudut kota dipenuhi oleh bau kematian, penyakit, dan pengabaian.

Ibunya seorang penjual ikan yang melahirkan dia secara spontan di tengah tumpukan jeroan dan sampah ikan, lalu langsung meninggalkannya begitu saja untuk mati.

Dalam dunia yang dipenuhi aroma itu, Grenouille hadir tanpa bau, tanpa jejak keberadaan. Tidak ada satu pun yang bisa mencium kehadirannya. 

Namun, ironisnya, ia sendiri dikaruniai indra penciuman yang luar biasa: ia bisa membedakan ratusan ribu aroma. Memori olfaktorinya tak tertandingi, dan obsesi keharuman murninya tak terbendung.

Olfaktori adalah segala hal yang berkaitan dengan indera penciuman. Sistem olfaktori memungkinkan manusia dan hewan mendeteksi, mengenali, dan mengingat berbagai aroma atau bau di lingkungan sekitar.

Dan di balik ketidakberbauannya, Grenouille tumbuh menjadi sosok yang dingin, terisolasi, dan haus akan identitas. Ia tidak memahami cinta, tidak mengenal rasa bersalah, dan hanya mengerti satu hal: kekuatan aroma. 

Dunia telah menolaknya, dan ia pun membalas dunia dengan cara yang hanya ia pahami—melalui wewangian. 

Ketika suatu hari ia mencium aroma seorang gadis muda yang begitu murni dan menggoda, ia menemukan tujuan hidupnya. Ia ingin mengabadikan keharuman itu. Bukan untuk dipuja, bukan untuk dijual, tetapi untuk memilikinya, menjadikannya bagian dari dirinya, agar ia bisa menjadi "seseorang."

Perjalanannya membawanya dari gang-gang kumuh Paris ke pusat-pusat pembuatan parfum seperti Grasse, kota di Prancis selatan yang dikenal sebagai ibu kota parfum dunia, pusat produksi minyak esensial dan wewangian sejak abad ke-18

Di kota itu, dia belajar semua teknik ekstraksi aroma, dari distilasi hingga enfleurage -  teknik tradisional ekstraksi aroma bunga dengan menggunakan lemak untuk menyerap minyak esensial secara perlahan dan alami. Dia jadi piawai dalam membuat wewangian.

Namun, tak satu pun dari keahlian itu digunakan untuk tujuan mulia. Ia mulai membunuh gadis-gadis demi mencuri keharuman mereka, mengumpulkan esensi tubuh mereka satu per satu. 

Ia percaya bahwa dengan menggabungkan aroma dari dua puluh empat gadis muda yang tak berdosa, ia bisa menciptakan parfum yang akan membuat manusia tunduk dan cinta kepadanya.

Dan benar, ia berhasil. Parfum ciptaannya membuat orang-orang percaya bahwa ia adalah malaikat, bahkan dewa. 

Namun, di puncak kekuasaannya, Grenouille menyadari kenyataan yang paling tragis: sekalipun dunia memujanya karena aroma yang ia kenakan, ia sendiri tetap tidak bisa mencium dirinya. Ia tetap kosong. Ia tetap bukan siapa-siapa.

Dalam keputusasaan yang paling dalam, Grenouille memutuskan untuk menghancurkan dirinya. Ia kembali ke Paris, ke tempat ia dilahirkan, dan membiarkan dirinya dilalap oleh orang-orang jalanan yang terpikat oleh aroma parfumnya. Mereka tidak tahu siapa dia. Mereka hanya mencium aroma surgawi. Dan dalam sekejap, Jean-Baptiste Grenouille yang tidak pernah benar-benar hidup, menghilang tanpa bekas.

Film

Cerita ini diambil dari novel luar biasa karya Patrick S"uskind, "Perfume: The Story of a Murderer" (Penguin Books, 2006). Novel ini diangkat ke layar lebar yang disutradarai oleh Tom Tykwer, dan dibintangi oleh Ben Whishaw sebagai Jean-Baptiste Grenouille. 

Film ini adalah adaptasi langsung dari novel dan sangat setia pada narasi gelap dan atmosferik karya aslinya.

Kemudian,  diadaptasi menjadi serial televisi berjudul Perfume (judul aslinya Parfum). Serial ini merupakan produksi Jerman. Pertama kali ditayangkan di ZDFneo pada 14 November 2018, dan kemudian dirilis secara internasional di Netflix pada 21 Desember 2018. 

Meskipun bukan adaptasi langsung dari novel atau film tahun 2006, serial ini terinspirasi oleh tema dan elemen cerita dari keduanya. Serial di Netfliz bercerita tentang seorang penyanyi yang ditemukan tewas dengan kelenjar aromanya diambil, memicu penyelidikan yang mengungkap rahasia kelam dari masa lalu sekelompok teman yang terobsesi dengan penciptaan aroma manusia.

Pesannya sama. Di balik kisah kelam dan menakutkan itu tersembunyi refleksi tajam tentang pencarian identitas, kehausan akan pengakuan, dan kegilaan manusia terhadap ilusi keindahan. 

Grenouille adalah cermin ekstrem dari manusia yang tersingkir, yang menolak ditelan ketiadaan, dan yang akhirnya memilih akhir dengan cara yang hanya bisa didefinisikan oleh dirinya sendiri.

Ia mengajarkan kita bahwa bahkan kejeniusan pun bisa menjadi kutukan jika tidak disertai dengan rasa kemanusiaan. Dan bahwa keharuman paling kuat di dunia ini pun tak akan pernah mampu menutupi kekosongan hati yang tak pernah mengenal cinta. 

PenulisL Edhy Aruman

Sabtu, 17 Mei 2025

Berhenti

Dalam sejarah olahraga, ada momen-momen yang tak hanya mencetak kemenangan, tapi menggambarkan esensi terdalam dari keberanian manusia. Muhammad Ali dan Lindsey Vonn adalah dua nama besar yang menandai dua kutub berbeda dari keberanian itu.

Ali adalah legenda tinju dunia, Linda legenda ski dunia. Ali mewakili grit. Linda dengan caranya sendiri yang jujur dan penuh pengakuan, mewakili quit.

Muhammad Ali berdiri sebagai simbol ketangguhan tak tergoyahkan. Tahun 1974, ketika dunia sudah mulai meragukannya, ia naik ke ring dan menjatuhkan George Foreman dalam “Rumble in the Jungle.” Pertarungan tinju legendaris.

Bukan hanya Foreman yang ia kalahkan. Ali mengalahkan usia, prediksi, dan keraguan. Ia adalah wujud dari tekad yang tak mau tunduk, dari hasrat yang terus membara walau tubuh mulai lelah. Ia tidak sekadar bertarung; ia melawan kenyataan dan menang. 

Ali menghidupkan grit (keberanian) sebagai semangat untuk terus berdiri meski jatuh, untuk tetap maju meski luka.

Budaya mengagungkan ketekunan. Grit dianggap kebajikan, sedangkan menyerah—quit—adalah aib. Kutipan dari para legenda: Thomas Edison, Babe Ruth, Vince Lombardi sering terdengar. Mereka semua menyampaikan satu pesan: teruslah berjuang, dan kamu akan berhasil. 

Annie Duke menuliskan dalam bukunya Quit: The Power of Knowing When to Walk Away (Portfolio, 2022).

Tapi grit juga punya sisi gelap. Ali terus bertarung jauh melewati batas aman tubuhnya. Ia mengabaikan sinyal-sinyal bahaya yang datang dari dokter, dari ring, dari rasa sakit itu sendiri. Dan akhirnya, ia membayar mahal—dengan kerusakan permanen pada tubuh dan sistem sarafnya.

Namuni ia tetap dikenang sebagai sang petarung sejati. Ali adalah legenda karena ia tidak tahu kata menyerah. 

Dan justru karena itu, kisahnya menjadi pelajaran: grit perlu disandingkan dengan kebijaksanaan.

Kenapa? Ada sisi lain dari kenyataan. Tidak semua yang bertahan akan menang. Bertahan dalam sesuatu yang salah bisa jadi membawa kehancuran. Seperti seseorang yang terus mengejar mimpi menjadi penyanyi meski tak punya nada dasar, atau yang mengorbankan segalanya untuk ambisi yang tidak realistis. 

Di saat-saat seperti itu, quit bukan kelemahan, tapi kebijaksanaan.

Lindsey Vonn beberapa kali jatuh. Namun, dia justru terkenal karena bangkit dari luka yang paling mengerikan. Diseret turun dari gunung bersalju, menjalani operasi demi operasi, absen dari Olimpiade, dan tetap kembali untuk menang. Tapi ketika tubuhnya berkata cukup, ia mendengarkan.

Dengan nada getir namun penuh kejujuran, Lindsey menulis: “Tubuhku rusak... … dan sekarang aku harus mendengarnya.” Ia berhenti. Ia mengakui bahwa babak itu telah usai. 

Tapi seperti banyak dari kita, ia masih merasa perlu menyamarkannya: “Aku tidak menyerah… aku memulai babak baru.”

Jika seseorang sekelas Lindsey Vonn saja masih merasa perlu menyamarkan kata "berhenti", bayangkan betapa beratnya bagi kita, manusia biasa, untuk mengucapkannya. Kita tidak hanya takut akan kegagalan. Kita takut akan stigma. Takut akan label. Takut disebut pecundang.

Lalu terciptalah bahasa-bahasa halus untuk menutupinya: pivot, move on, start fresh, chapter baru, rebranding, bahkan redeployment strategis. Bila jujur: semua itu hanyalah kata lain dari “berhenti.”

Bahasa telah memihak. Kita menciptakan ribuan istilah untuk menggambarkan ketekunan: gigih, tangguh, ulet, berani, pantang menyerah. Tapi untuk “menyerah,” tidak ada padanan yang terdengar indah. Ia seperti kata terlarang. Voldemort atau tabu dalam dunia motivasi. Maka dibungkuslah semua itu dalam eufemisme, agar tidak menyakitkan saat ditelan.

Mungkin itu bukan sekadar upaya menjaga citra. Mungkin itu cara kita semua merangkul konsep quit tanpa merasa kalah. Karena berhenti pun perlu keberanian. Kadang lebih berat dari bertahan. 

Butuh kedewasaan untuk berkata, “Ini sudah cukup.” Butuh ketenangan batin untuk melepaskan gelar, lampu sorot, dan semua pengakuan yang pernah membuat kita merasa hidup.

Ali dan Vonn mengajarkan kita bahwa keberanian tak punya satu wajah.

Kadang keberanian adalah tetap bertarung saat semua orang bilang berhenti.

Kadang keberanian adalah berhenti saat semua orang ingin kau terus bertarung.

Ali mewakili grit, Vonn mewakili quit. Tapi keduanya mewakili hal yang sama:

keberanian untuk memilih dengan hati, bukan dengan tekanan.

Dan pada akhirnya, keberanian sejati bukan soal berapa lama kamu bertahan. Tapi soal bagaimana kamu tahu kapan waktunya berjuang, dan kapan waktunya pulang.

Menyerah bukan dosa. Itu hanya cara lain untuk berkata: “Aku telah cukup berjuang, dan kini aku memilih untuk pulang.”

Kadang, keberanian bukan tentang tetap berdiri di medan perang. Tapi tentang tahu kapan saatnya turun dari panggung, dan berjalan tenang menuju panggilan hidup yang baru. Karena,  kejujuran paling dalam datang dari keberanian untuk berhenti. 

Grit memang mengubah dunia. Tapi kadang, quit menyelamatkan hidupmu.

Penulis: Edhy Aruman

Kamis, 15 Mei 2025

Merancang Nyali


Nyali bukan hanya soal keberanian besar, tapi tentang langkah kecil yang berani diambil meski takut. Merancang nyali artinya membangun kepercayaan diri dari kegagalan—dan belajar bahwa keberanian bisa dilatih.

Setiap orang punya ide. Tapi tidak semua orang punya keberanian untuk mewujudkannya. Ketakutan akan kegagalan—ditolak, salah, atau terlihat bodoh—seringkali lebih besar daripada ide itu sendiri. 

Kita mundur bahkan sebelum mulai. Bukan kita tidak mampu, tapi karena kita tidak cukup punya nyali.

Walt Disney pernah dianggap “kurang imajinatif” dan mengalami kebangkrutan sebelum akhirnya membangun kerajaan mimpi bernama Disneyland. J.K. Rowling menulis Harry Potter dalam keterpurukan sebagai ibu tunggal yang hidup dari tunjangan. Naskahnya ditolak 12 kali sebelum akhirnya menjadi fenomena global. 

Howard Schultz, sebelum menjadikan Starbucks merek kopi dunia, ditolak oleh lebih dari 200 investor karena idenya dianggap tidak masuk akal.

Mereka semua memiliki satu hal yang sama: nyali.

Bukan nyali untuk bertarung di medan perang, tapi nyali untuk terlihat bodoh, nyali untuk ditertawakan, ditolak, dijatuhkan—dan tetap melangkah maju. Nyali seperti ini yang sering tak terlihat. Tapi menentukan segalanya. Inilah nyali yang ingin dibangun Tom Kelley dan David Kelley dalam buku mereka Creative Confidence.

Menurut mereka, keberanian tidak muncul begitu saja. Ia bukan sesuatu yang magis yang datang di saat genting. Sebaliknya, keberanian bisa dirancang. Mereka menyebutnya designing for courage —sebuah pendekatan bertahap, terstruktur, dan penuh empati untuk menumbuhkan rasa percaya diri melalui keberhasilan-keberhasilan kecil (Kelley & Kelley, 2013).

Konsep ini terinspirasi dari psikolog Albert Bandura yang menciptakan metode guided mastery, di mana seseorang dilatih untuk mengatasi ketakutan besar melalui langkah kecil dan aman. Rasa percaya diri tumbuh bukan dari teori, tapi dari pengalaman nyata: berhasil sedikit demi sedikit.

Dalam guided mastery, seseorang dilatih untuk mengatasi ketakutan besar melalui langkah kecil dan aman. Misalnya, dalam salah satu eksperimennya, Bandura membantu orang yang memiliki fobia terhadap ular. Mereka tidak langsung diminta menyentuh atau memegang ular. 

Langkah pertama hanya melihat ular dari balik kaca. Setelah itu, peserta didorong untuk mendekat beberapa langkah. Lalu duduk di ruangan yang sama. Hingga akhirnya, setelah serangkaian keberhasilan kecil yang terkumpul, mereka bisa menyentuh ular dengan tenang. 

Bukan karena rasa takut itu hilang begitu saja, tapi karena mereka secara bertahap belajar bahwa mereka bisa dan biasa menghadapinya.

Di Stanford d.school, para murid tidak langsung mengerjakan proyek besar. Mereka diberi tantangan-tantangan kecil. Misalnya, mendesain ulang pengalaman memberi hadiah atau menyusun ulang rutinitas perjalanan ke tempat kerja. Mereka tidak hanya dilatih untuk memecahkan masalah, tapi juga untuk menghadapi kegagalan dengan kepala tegak.

Inilah nyali sejati: nyali untuk rapuh di ruang terbuka, untuk berkata, "Saya belum bisa," tapi tetap mencoba. Nyali bukan berarti tak takut, tapi berani walau takut.

Dalam proses itu, Kelley bersaudara menciptakan lingkungan yang disebut zona aman untuk gagal. Mereka tidak memulai kelas dengan kuliah panjang, tapi dengan tantangan nyata. 

Mereka percaya bahwa semakin cepat seseorang gagal, semakin cepat pula ia belajar. Itulah sebabnya mereka lebih suka murid menyelesaikan banyak proyek kecil daripada satu proyek besar—karena setiap kegagalan kecil memberi ruang untuk tumbuh.

Cerita paling sederhana tapi menyentuh dalam buku mereka berasal dari John “Cass” Cassidy. Dalam Juggling for the Complete Klutz,  Cass mengajarkan juggling bukan dengan melempar tiga bola sekaligus, tapi dengan satu langkah awal: “The Drop.” 

Ia meminta kita melempar semua bola dan membiarkannya jatuh. Lagi dan lagi. Tujuannya? Membuat kegagalan jadi sesuatu yang biasa, bukan menakutkan.

Karena ketika kita tidak lagi takut menjatuhkan bola, kita lebih berani mencoba lagi. Dan ketika kita lebih berani mencoba, kita mulai belajar. Dan dari situlah kepercayaan diri tumbuh—bukan dari keberhasilan pertama, tapi dari kegagalan ke-20 yang akhirnya bisa dilewati.

Inilah makna terdalam dari merancang keberanian. Keberanian adalah keterampilan yang bisa dipelajari. Dan seperti Walt Disney, Rowling, dan Schultz, kita semua bisa menumbuhkannya—dengan satu syarat: kita punya nyali untuk memulai, bahkan jika itu berarti menjatuhkan bola untuk yang kesekian kalinya.

Penulis: Edhy Aruman

Rabu, 14 Mei 2025

Takdir!

Frederic Henry hanyalah seorang perwira muda Amerika. Dia bertugas sebagai sopir ambulans bagi tentara Italia saat Perang Dunia I. Ia bukan pahlawan besar yang ingin mengubah dunia atau tampil di barisan depan sejarah. 

Ia seseorang yang sedang mencari tempatnya di tengah kekacauan, mencoba bertahan hidup dengan cara yang paling manusiawi—dengan cinta, kejujuran, dan keberanian dalam diam.
Justru karena itu, ia begitu dekat dengan kita. Ia adalah cermin dari jiwa yang rapuh namun tetap memilih bertahan—di tengah kehancuran, kehilangan, dan cinta yang akhirnya tak mampu diselamatkan.

Dalam novel perang romantik,_A Farewell to Arms,_ Ernest Hemingway menciptakan tokoh Frederic sebagai cerminan manusia biasa yang dilempar ke tengah badai perang. Frederic tidak banyak bicara soal moral atau patriotisme. Ia skeptis terhadap slogan dan pidato. 

Hemingway sendiri pernah menjadi sopir ambulans Palang Merah di Italia selama perang, dan pengalamannya itu sangat memengaruhi karakter dan jalan cerita dalam novel. Jadi, meskipun Frederic Henry adalah tokoh fiksi, ia banyak mencerminkan pengalaman pribadi Hemingway sendiri.

Di dalam diri Frederic, ada kepekaan yang sunyi dan dalam. Ia jatuh cinta pada Catherine Barkley, seorang perawat Inggris. Dan lewat hubungan mereka, Frederic mengenal makna kebersamaan, kasih sayang, dan harapan yang bersinar samar di tengah gelapnya dunia.

Cinta mereka tidak megah, tapi intim dan nyata. Frederic, yang telah menyaksikan terlalu banyak kematian, menemukan kembali rasa hidup lewat sentuhan Catherine. Mereka membangun dunia kecil yang penuh kehangatan di tengah reruntuhan. 

Namun Hemingway tidak menawarkan pelipur lara. Dalam salah satu adegan paling menyayat di A Farewell to Arms, kita mendapati Catherine Barkley terbaring lemah di rumah sakit. Ia baru saja melahirkan, namun bayinya meninggal. Tubuhnya yang lelah tak sanggup lagi melawan komplikasi yang datang satu per satu. 

Frederic Henry, kekasihnya, duduk di samping ranjang, menggenggam tangan yang dulu menuntunnya menuju harapan. Kini, harapan itu perlahan memudar.

Catherine menatapnya dengan tenang. _“I’m not afraid. I just hate it,”_ katanya lirih. 
Bukan ketakutan yang menyelimuti dirinya, tapi penyesalan yang sunyi—karena hidup yang dibayangkan bersama Frederic, rumah kecil mereka, masa depan yang mereka impikan, semua harus pupus begitu cepat.

Frederic tidak bisa menerima kenyataan itu. Ia membalas dengan suara bergetar, seolah berusaha meyakinkan dunia, bukan hanya Catherine. “You’re not going to die. You’re not. You can’t.”

Tapi kata-kata itu jatuh hampa di ruang yang makin senyap. Frederic tahu, jauh di dalam hatinya, bahwa ia tidak sedang melawan penyakit—ia sedang melawan kepergian yang tak bisa ditawar.

Tak lama setelah itu, Catherine pergi. Tanpa drama, tanpa akhir bahagia. Ia pergi meninggalkan Frederic sendirian, dengan bayi yang tak sempat hidup dan hati yang kini kosong. 

Dan dalam kesunyian itu, Hemingway tidak menulis pernyataan heroik. Ia hanya menuliskan seorang pria yang berjalan keluar dari rumah sakit, melangkah ke tengah hujan. Dunia tidak runtuh bersamanya, tapi dalam dirinya, sesuatu telah hancur.

Inilah momen ketika perang dalam novel Hemingway berubah wujud. Bukan lagi soal peluru atau medan tempur, tapi tentang ketidakberdayaan manusia di hadapan takdir. Kekuatan tak terhindarkan yang merenggut cinta dan harapan mereka, meskipun telah berjuang bersama di tengah perang dan penderitaan.

Tentang cinta yang sekuat apa pun tetap bisa kandas, dan tentang seorang pria yang mesti terus hidup, meski semua yang ia cintai telah hilang.

Disini, takdir bukan sesuatu yang megah atau dramatis, melainkan kekuatan diam yang merampas segalanya—dengan tenang, tanpa memberi alasan. Ia bukan vonis dari langit, melainkan kenyataan sunyi bahwa bahkan cinta yang paling tulus pun bisa kandas.

Namun dari kehancuran itu, muncul bentuk keberanian baru: untuk terus hidup, bukan karena hidup menjanjikan sesuatu, tetapi karena itu satu-satunya jalan yang tersisa.
Inilah realisme Hemingway yang menyayat, namun jujur dan mengena: “The world breaks everyone, and afterward, many are strong at the broken places” (Hemingway, 1929/1995, hlm. 249)

Dari retakan itulah, Frederic perlahan menjadi sosok yang lebih utuh. Bukan karena ia menemukan jawabannya, tapi karena ia belajar menerima bahwa kehidupan tidak selalu memberi alasan.

Dalam kehilangan, ia belajar tentang cinta yang sejati, tentang keberanian untuk terus berjalan, meski jalan itu tak lagi bercahaya. 

Penulis: Edhy Aruman

Selasa, 13 Mei 2025

CHANEL NO. 5


Setiap tiga puluh detik, di suatu sudut dunia, ada seseorang yang membeli sebotol Chanel No. 5. Klaim ini diumumkan pemerintah Prancis pada tahun 2006, dan meski angka pastinya kini menjadi rahasia dagang yang sulit diungkapkan, namun satu hal tetap tak terbantahkan: sejak 1921, Chanel No. 5 telah menjadi legenda hidup. 

Ia tak pernah menjadi tren sesaat. Mungkin bukan hanya karena skalanya yang luar biasa, tetapi karena setiap tetes Chanel No. 5 mengandung sesuatu yang lebih dari sekadar aroma. Ia merupakan kenangan, kekuatan, dan ilusi akan keabadian. 

Institusi rasa, memori, dan misteri yang melintasi generasi, tulis Tilar J. Mazzeo di bukunya, The Secret of Chanel No. 5: The Intimate History of the World's Most Famous Perfume.  (Harper Collins, 2010).

Aroma ini tidak lahir dari laboratorium pencari laba. Ia lahir dari seorang perempuan yang memahami luka, kehilangan, dan cita-cita tentang masa depan. Gabrielle “Coco” Chanel, perempuan yang dibesarkan di panti asuhan, melawan kemiskinan dan stigma untuk membangun kerajaannya sendiri. 

Coco lahir di sebuah rumah miskin—tempat penampungan bagi tunawisma—di kota Saumur, Prancis, pada 19 Agustus 1883. Ayahnya, seorang pedagang keliling, sedang berada di jalan ketika ia lahir, sehingga dua petugas dari rumah sakit amal pergi ke balai kota untuk mencatat kelahirannya. 

Ibunya saat itu terlalu lemah untuk hadir. Ketika walikota menanyakan nama keluarga sang bayi, tidak ada yang tahu bagaimana cara mengejanya dengan benar, sehingga ia menuliskannya secara keliru sebagai “Chasnel.”

Setelah Perang Dunia I, saat dunia mencari kembali bentuk dan harapan, Chanel hadir dengan gaun hitam sederhana dan ide radikal: bahwa keindahan tidak memerlukan ornamen, dan kemewahan sejati adalah kebebasan.

Namun bagi Chanel, membebaskan perempuan tidak cukup melalui busana. Ia ingin menciptakan sesuatu yang bisa menyentuh indera paling pribadi: penciuman. 

Dalam sebuah pernyataan yang menggambarkan visinya secara gamblang, Coco Chanel menyebut bahwa pada tahun 1920, ia ingin menciptakan parfum yang membuat pemakainya “smell like a woman, not a flower.”

Kalimat ini menjadi deklarasi revolusioner: parfum bukan sekadar aksesori, tetapi identitas. 

Chanel ingin wewangian yang tidak mempermanis atau menyamarkan, tetapi menampilkan kekuatan dan kompleksitas perempuan dalam bentuk paling murni.

Dengan Ernest Beaux, perfumer Rusia yang pernah membuat wewangian untuk keluarga Tsar, ia menciptakan sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya—parfum dengan struktur abstrak, komposisi sintetis, dan aroma yang tidak bisa dikenali sebagai satu jenis bunga atau bahan alam. 

Dari sepuluh sampel, Chanel memilih nomor lima. Maka lahirlah Chanel No. 5 (Allure, n.d.).

Wewangian ini adalah revolusi cair. Tidak feminin dalam cara lama. Tidak mencoba merayu. Ia memancarkan kehadiran. Ia adalah bentuk aroma dari perempuan yang tidak tunduk, tidak minta disukai, tetapi layak dikenang. Chanel No. 5 menjadi simbol sosial yang kuat—perempuan baru yang menghirup kebebasan dan menebarkan wibawa.

Dari sisi sosiologis, Chanel No. 5 adalah artefak dari perubahan zaman. Ia mencerminkan momen ketika perempuan merebut kembali tubuh dan narasinya. Parfum ini bukan ornamen, tapi pernyataan. 

Di era 1920-an, ketika perempuan mulai menulis sejarah mereka sendiri, Chanel No. 5 menjadi penanda tak kasat mata dari kehadiran yang ingin dikenang bukan karena fisik semata, tetapi karena identitas yang sadar dan utuh.

Ketika Marilyn Monroe berkata dalam wawancara tahun 1952 bahwa yang ia kenakan saat tidur hanyalah "beberapa tetes Chanel No. 5," itu bukan hanya sensualitas, itu adalah kontrol. Itu adalah cara perempuan bicara tentang tubuhnya, pilihannya, tanpa malu, tanpa minta izin (Monroe, 1952). 

Chanel No. 5 bukan sekadar aroma, tapi manifestasi dari keberanian itu.

Namun, kekuatan Chanel No. 5 yang paling luar biasa mungkin justru terlihat dalam dunia sekarang. 

Di tengah dunia yang kini bergerak cepat, di mana “buzzer” mengisi linimasa dengan suara-suara bising dan tren datang dan pergi seperti musim tanpa jeda, Chanel No. 5 berdiri diam—tak bergeming. 

Ia tak pernah menjadi bagian dari hiruk-pikuk influencer sesaat, atau tren viral yang meledak lalu menguap dalam 24 jam. Chanel No. 5 tidak dibangun di atas klik, likes, atau algoritma.

Parfum ini tidak pernah membutuhkan buzzer untuk menjadi legenda, karena ia adalah bukti bahwa yang abadi tidak perlu berteriak untuk didengar. Ia tidak menjual sensasi. Ia menawarkan pengalaman—halus, lambat, dan dalam. 

Ketika banyak brand bersaing menyusun strategi pemasaran real-time, Chanel tetap menjadi lambang slow luxury.  Ia tidak mengikuti keramaian, ia menciptakan ruang tenang untuk dihayati.

Era buzzer melahirkan ikon yang cepat naik dan cepat hilang. Chanel No. 5 sebaliknya, adalah sebuah kehadiran—yang tetap bertahan saat dunia berubah. Ia adalah perlawanan halus terhadap kultur instan, pernyataan bahwa sesuatu yang indah, bermakna, dan otentik butuh waktu, visi, dan sejarah. 

Dalam linimasa yang penuh suara, Chanel No. 5 adalah keheningan yang elegan—dan justru karena itu, ia lebih terasa, lebih diingat.

Maka ketika parfum ini disemprotkan hari ini, ia bukan sekadar aroma. Ia adalah jejak perlawanan terhadap dunia yang terlalu cepat lupa. Ia adalah napas lambat di tengah tarikan terburu-buru. 

Dan dari botol kaca persegi yang sederhana itu, Chanel No. 5 terus membisikkan sesuatu yang sangat manusiawi: bahwa yang tulus, yang otentik, dan yang dirawat dengan waktu—akan selalu bertahan. 

Penulis: Edhy Aruman

Senin, 12 Mei 2025

Menyerah?



John Irving tidak pernah terlihat seperti orang yang akan menjadi penulis besar. Ia mendapatkan nilai C– (baca C minus) untuk mata pelajaran Bahasa Inggris. 

Skor verbal SAT-nya sangat rendah. Ia butuh satu tahun tambahan hanya untuk lulus dari sekolah menengah. Banyak gurunya menganggapnya sebagai seorang pemalas. 

Tapi Irving – lengkapnya John Winslow Irving – tidak bodoh. Dia orang yang tidak mudah menyerah. Ia hanya disleksik, kondisi neurologis yang memengaruhi kemampuan seseorang dalam membaca, menulis, dan mengeja, meskipun memiliki kecerdasan normal atau di atas rata-rata. Ini bukan tanda kemalasan.

Dan karena itulah, ia belajar sejak muda bahwa satu-satunya cara untuk mencapai sesuatu adalah dengan mengulang, mengulang, dan mengulang. Murojaah...

Ia menulis ulang setiap draf. Ia membaca lebih lambat, menulis lebih lambat, berpikir lebih lambat. Tapi ia tetap menulis. Ia memilih untuk terus datang ke meja kerjanya setiap hari. 

Sehingga pada akhirnya, John Irving menjadi penulis hebat. Dia memenagkan penghargaan  National Book Award. Dia menjadi penulis naskah pemenang Oscar. Bukan karena bakatnya mencolok. Tapi karena ia tidak pernah berhenti. Dia mengulang, mengulang, dan mengulang

“Untuk melakukan sesuatu dengan sangat baik,” katanya, “kamu harus melakukannya berulang kali. Sesuatu yang awalnya tidak alami, akan menjadi kebiasaan jika kamu cukup sabar dan cukup gigih.”

Kisah Irving menyuarakan makna terdalam dari apa yang dikenal sebagai Treadmill Test. Ini adalah bentuk latihan atau eksperimen yang mengukur daya tahan fisik dan mental seseorang. Caranya, dengan meminta mereka berlari di treadmill miring. Tujuannya adalah memprediksi ketangguhan psikologis jangka panjang.

Dan Treadmill Test menunjukkan satu realitas penting dalam kehidupan. Dalam hidup, seperti di atas treadmill, yang paling menentukan bukanlah kecepatan atau kehebatan sesaat, melainkan siapa yang tidak menyerah lebih dulu. Siapa yang mampu terus melangkah, meski perlahan. Itulah yang pada akhirnya membentuk ketangguhan sejati.

Pada tahun 1940, peneliti Harvard meminta sekelompok mahasiswa untuk berlari di atas treadmill dengan kecepatan tinggi dan kemiringan curam. Tujuannya bukan semata-mata untuk menguji kekuatan fisik, tetapi untuk mengukur daya tahan psikologis: seberapa lama seseorang bertahan saat tubuhnya ingin berhenti.

Yang mengejutkan, waktu yang mereka habiskan di atas treadmill terbukti menjadi prediktor kuat atas kesehatan mental dan keberhasilan hidup mereka puluhan tahun kemudian (Duckworth, 2016). Tes itu bukan tentang siapa yang tercepat, tapi siapa yang paling lama bertahan.

Angela Duckworth menyebut ini sebagai grit —kombinasi antara hasrat jangka panjang dan kegigihan sehari-hari. Ketekunan bukanlah glamor. Ia sunyi. Ia tidak viral. Tapi ia membentuk segalanya. 

Karena dalam kehidupan, sebagaimana di treadmill, yang membuat perbedaan bukan langkah pertama kita, tapi keputusan untuk terus melangkah saat kaki mulai gemetar.

Will Smith adalah bukti hidup bahwa ketahanan bukan soal siapa yang bersinar paling awal, tetapi siapa yang tetap berjalan ketika cahaya mulai padam. Ia menyadari bahwa dalam dunia yang penuh bakat alami, kerja keras tetap tak tergantikan. 

Ia memilih untuk bertahan di jalur yang sama, mengulang, memperbaiki, memantapkan. Dan hasilnya? Ia menaklukkan musik, film, panggung, dan hati jutaan orang. Bukan karena ia paling jenius, tapi karena ia paling gigih.

Smith menyebut ini sebagai “filsafat treadmill.”  Katanya, “Kamu mungkin lebih berbakat, lebih pintar, lebih menarik. Tapi kalau kita sama-sama naik ke treadmill, hanya ada dua kemungkinan: kamu turun lebih dulu, atau aku mati di sana.”

Smith percaya bahwa keberhasilan bukan soal siapa yang memulai dengan bintang di pundaknya, tapi siapa yang tetap datang ke tempat latihan—hari demi hari—meski tidak ada yang menonton.

“Kalau kita berlari bersama,” katanya dalam sebuah wawancara, “hanya ada dua kemungkinan: kamu turun lebih dulu, atau aku mati.” 

Dalam kalimat sederhana itu, tersimpan filosofi hidup Will Smith. Keyakinan bahwa ketekunan akan selalu mengalahkan talenta ketika ia muncul setiap hari, tanpa henti, tanpa alasan.

Kita semua memiliki treadmill kita sendiri. Kadang itu berbentuk studi yang panjang, pekerjaan yang terasa stagnan, keluarga yang penuh beban, atau mimpi yang terasa jauh. Terkadang, tidak ada hasil instan. Tidak ada kemajuan yang terlihat. 

Tapi jika kita memilih untuk kembali lagi besok, maka tanpa sadar kita sedang membangun sesuatu yang tak tergantikan.

Treadmill Test adalah metafora paling jujur tentang hidup. Ia tidak menilai seberapa cepat kamu bisa berlari. Ia hanya menanyakan: apakah kamu akan kembali besok, dan melanjutkan satu langkah lagi?

Dan pada akhirnya, bukan mereka yang lahir hebat yang mengubah dunia, melainkan mereka yang tidak berhenti ketika yang lain memilih menyerah. 

Penulis: Edhy Aruman


PUSTAKA 

Duckworth, A. (2016). Grit: The Power of Passion and Perseverance. Scribner.

Minggu, 11 Mei 2025

Ditolak Akhirnya Jadi Post-it

Pagi ini, seperti biasa, ada tulisan menarik yang dibagikan dalam salah satu wa grup yang saya ikuti. Ceritanya sederhanya tapi menarik, tentang sebuah penolakan yang membawa berkah.

Tak banyak orang yang bisa berkata bahwa hidup mereka berubah karena ditolak. Spencer Silver adalah salah satu yang bisa. Ia bukan selebriti, bukan tokoh politik, melainkan seorang kimiawan pendiam yang bekerja di sebuah laboratorium riset.

Pada tahun 1968, Dr. Silver tengah mencoba menciptakan perekat superkuat untuk aplikasi di industri pesawat terbang. Ia membayangkan hasil eksperimen itu akan memperkuat sayap-sayap logam raksasa. 

Yang terjadi justru sebaliknya. Ia menciptakan perekat yang nyaris tidak lengket. Mudah dilepas, tidak meninggalkan bekas, dan tampaknya... tidak berguna.

Tapi Silver melihat sesuatu yang orang lain tidak lihat. Ia menyebut penemuannya itu "unik" dan menghabiskan bertahun-tahun berkeliling di dalam perusahaan, menyampaikan seminar kepada rekan-rekannya dengan harapan satu di antara mereka melihat potensi yang ia yakini. Karena kegigihannya, ia pun dijuluki "Mr. Persistent."

Selama bertahun-tahun, tak ada satupun ide produk yang lahir dari perekat itu. Sampai akhirnya, pada suatu hari yang biasa di lapangan golf 3M, seorang kolega menceritakan penemuan Silver kepada Art Fry, insinyur kimia dari divisi pita perekat. 

Beberapa hari kemudian, di latihan paduan suara, Fry merasa frustrasi karena penanda lagu di himnalnya selalu jatuh. Ia butuh penanda yang menempel tapi tidak merusak halaman. Dan saat itulah ia ingat akan perekat Silver.

Dengan menggabungkan ide Fry dan perekat Silver, lahirlah awal mula Post-it Notes. Namun produk ini pun tidak langsung diterima. Peluncuran pertama pada tahun 1977 gagal total. Orang-orang tidak mengerti apa manfaat kertas kecil yang bisa ditempel dan dilepas itu. 

Tapi seperti Silver, tim ini tidak menyerah. Mereka mencoba strategi distribusi gratis di kota Boise, Idaho. Mereka membagikan kotak-kotak Post-it secara gratis kepada para sekretaris CEO dan staf kantor lainnya. Mereka ingin tahu, apakah orang-orang yang benar-benar menggunakan dokumen setiap hari akan melihat kegunaannya.

Dan hasilnya mengejutkan: 90 persen dari mereka yang mencoba ingin membeli lagi. Tanpa iklan besar-besaran, hanya dari mulut ke mulut, Post-it meledak di pasaran dan menjadi salah satu ikon terbesar dari 3M.

Post-it Notes pun resmi diluncurkan secara nasional pada tahun 1980 dan menjadi fenomena global. Kini, lebih dari tiga ribu varian produk Post-it dipasarkan di seluruh dunia. Spencer Silver tak hanya berhasil menciptakan sesuatu yang menempel pada permukaan—ia menciptakan sesuatu yang menempel dalam keseharian manusia modern.

Spencer Silver bukan hanya penemu, tapi simbol dari sebuah kebenaran yang sering kita lupakan: bahwa tidak semua kegagalan adalah akhir. Terkadang, kegagalan adalah awal dari sesuatu yang luar biasa—asal kita cukup tekun untuk mempercayainya.

Dalam wawancaranya dengan CNN, Silver berkata bahwa Post-it adalah produk yang "mengiklankan dirinya sendiri." Orang melihat, memainkan, dan langsung mencari tahu di mana bisa membelinya. Tanpa gembar-gembor, Post-it menyebar melalui rasa penasaran dan kebutuhan nyata. Persis seperti ketekunan Silver yang pelan-pelan namun pasti, menempel dan menetap di sejarah inovasi.

Spencer Silver wafat pada 8 Mei 2021 di usia 80 tahun, akibat gangguan jantung yang telah ia tanggulangi selama hampir tiga dekade sejak transplantasi. Ia meninggalkan istri, Linda, seorang programmer komputer yang menggunakan Post-it untuk menandai bug di dokumen cetakannya; seorang putri, Jennifer; dan dua cucu. Satu putrinya, Allison, telah lebih dulu meninggal pada 2017.

Kisah hidup Spencer Silver telah ditulis oleh Richard Sandomir dalam The New York Times, 13 Mei 2021. Di sana, Silver digambarkan bukan hanya sebagai ilmuwan, tapi sebagai pelukis, pemikir, dan seorang yang tidak pernah berhenti percaya. Mungkin itulah warisan sejati Spencer Silver—keyakinan bahwa sebuah ide, sekecil apapun, bisa mengubah dunia... selama kita cukup gigih untuk terus menempelkannya, lagi dan lagi.

Kisah Post-it bukan hanya tentang inovasi, tapi tentang ketekunan. Tentang keyakinan bahwa kegagalan bukanlah akhir dari cerita, melainkan awal dari perjalanan yang lebih bermakna. Dan kisah ini bukanlah kisah unik satu-satunya. Naskah J.K. Rowling pernah 12 kali ditolak oleh penerbit sebelum akhirnya Harry Potter menjelma menjadi fenomena. 

Sylvester Stallone pernah ditolak lebih dari 1.500 kali saat mencoba menjual naskah Rocky, karena dia bersikeras ingin memerankan tokoh utama. Bahkan saat keuangannya sangat sulit, dia menolak tawaran besar jika tidak ikut main. Akhirnya, studionya setuju—dan Rocky memenangkan Oscar dan melambungkan namanya.

Oprah Winfrey pernah dipecat dari pekerjaan awalnya sebagai reporter televisi karena dianggap "tidak cocok untuk TV". Namun ia tetap melanjutkan kariernya dan menciptakan The Oprah Winfrey Show, acara talk show paling berpengaruh dalam sejarah.

Bahkan Lady Gaga – Penyanyi dan Ikon Pop, Label rekaman pertamanya memecatnya hanya tiga bulan setelah menandatangani kontrak. Tapi dia tidak berhenti. Dia terus menulis lagu, tampil di klub kecil, dan membangun audiens sendiri hingga akhirnya menjadi megabintang dan ikon budaya pop.

Mereka semua memiliki satu kesamaan: keberanian untuk tetap melangkah, meski pintu-pintu ditutup di hadapan mereka. Sama seperti Post-it, mereka tak menyerah pada penilaian awal. Mereka terus mencoba hingga akhirnya dunia menyadari nilai mereka.

Karena kadang, yang kita butuhkan bukanlah ide sempurna sejak awal, tapi keberanian untuk percaya pada potensi sesuatu—dan tekad untuk terus berdiri meski berkali-kali dijatuhkan. Dan dari sanalah, legenda lahir. 

Penulis: Edhy Aruman

Sabtu, 10 Mei 2025

Menulis Ulang Sejarah, Menulis Ulang Identitas Bangsa


Saat Indonesia bersiap menyambut delapan dekade kemerdekaannya pada 17 Agustus 2025, pemerintah mengambil langkah berani dan patut diapresiasi: menulis ulang narasi sejarah nasional. Ini memang sebuah proyek besar.

Proyek besar ini bukan sekadar revisi dokumen lama, melainkan upaya mendalam untuk menata ulang ingatan kolektif bangsa—sebuah kerja peradaban yang membutuhkan keberanian intelektual, keterbukaan, dan kesungguhan akademik. Ingatan kolektif dari perjalanan kebangsaan negeri ini. Ada bagian yang memerlukan penekanan, dan mungkin ada bagian lain yang perlu direvisi dengan 

Dikoordinasikan oleh Prof. Dr. Susanto Zuhdi, M.Hum., Guru Besar Sejarah Universitas Indonesia, proyek ini melibatkan lebih dari 100 sejarawan dari berbagai kampus di seluruh Indonesia. Ini adalah langkah penting: sejarah bangsa tidak boleh ditulis dari satu sudut pandang, melainkan harus mencerminkan keragaman suara, pengalaman, dan perspektif dari seluruh penjuru negeri.

Selama ini, sejarah Indonesia cenderung bertumpu pada narasi besar tokoh-tokoh nasional dan peristiwa politik di pusat kekuasaan. Sementara itu, banyak kisah penting dari wilayah luar Jawa, dari komunitas adat, perempuan pejuang, hingga rakyat kecil yang menjadi tulang punggung revolusi, sering kali terabaikan. Penulisan ulang sejarah ini memberi harapan bahwa narasi bangsa akan menjadi lebih adil dan mencerminkan kenyataan yang lebih lengkap.

Sosok Prof. Susanto Zuhdi, yang dikenal luas sebagai pakar sejarah maritim, adalah pilihan tepat untuk memimpin proyek ini. Melalui karya-karyanya seperti Nasionalisme, Laut, dan Sejarah serta Sejarah Buton Yang Terabaikan, ia telah menunjukkan keberanian intelektual dalam mengangkat sejarah yang selama ini luput dari perhatian arus utama. Dedikasinya selama puluhan tahun menunjukkan bahwa sejarah bukan sekadar kumpulan tanggal dan peristiwa, tetapi jantung dari identitas bangsa.

Tentu, proyek ini bukan tanpa tantangan. Menyusun ulang sejarah berarti membuka kembali lembar-lembar yang mungkin tidak nyaman bagi sebagian pihak. Akan ada resistensi, bahkan mungkin upaya politisasi. Namun, justru di sinilah urgensinya. Sejarah yang sehat adalah sejarah yang berani ditinjau ulang—bukan untuk menghapus, tetapi untuk memahami dengan lebih jernih dan dewasa.

Penulisan ulang sejarah nasional ini diharapkan bukan sekadar proyek seremonial menyambut 80 tahun kemerdekaan. Ia harus menjadi awal dari tradisi intelektual baru: bahwa sejarah adalah ruang hidup yang terus dikritisi, diperbarui, dan dimaknai ulang secara kontekstual. Bahwa menjadi bangsa merdeka juga berarti merdeka dalam memahami siapa diri kita, dari mana kita datang, dan ke mana kita ingin menuju.

Semoga proyek ini menjadi bukan hanya warisan dokumen, tetapi warisan pemikiran yang menyalakan cahaya bagi generasi masa depan.

Jumat, 09 Mei 2025

Cemooh

Kevin Durant adalah salah satu ikon terbesar dalam sejarah NBA modern. Lahir pada 29 September 1988, ia memulai karier profesionalnya sebagai pilihan kedua dalam NBA Draft 2007 oleh Seattle SuperSonics. 

Sejak itu, ia telah menjadi kekuatan dominan di liga. Dia bermain untuk Oklahoma City Thunder, Golden State Warriors, Brooklyn Nets, dan kini Phoenix Suns. 

Dengan tinggi hampir 7 kaki dan kemampuan mencetak poin yang luar biasa, Durant telah meraih dua gelar juara NBA dan dua kali menjadi MVP Final.

Namun, di balik prestasi gemilangnya, Durant juga dikenal karena kepribadiannya yang reflektif dan empatik. Salah satu momen yang mencerminkan hal ini terjadi pada 22 Februari 2024, sebelum pertandingan antara Phoenix Suns dan Dallas Mavericks di American Airlines Center, Dallas.

Saat Durant melakukan pemanasan pra-pertandingan, dua penggemar Mavericks—seorang wanita dan seorang pria—melontarkan umpatan kasar kepadanya. Mereka menyebutkan kata-kata yang tidak pantas. 

Suasana yang seharusnya penuh fokus dan konsentrasi itu seketika berubah menjadi ujian kesabaran. Di tengah riuh rendah arena dan sorotan publik, Durant dihadapkan pada situasi yang bisa dengan mudah memancing emosi siapa pun. Namun, justru dari momen inilah terlihat siapa dirinya sebenarnya.

Kebanyakan orang mungkin marah ketika dicemooh. Tapi Durant, yang mendengar hinaan tersebut, tidak membalas cemoohan itu dengan kemarahan. Dia mendekati mereka dan memulai dialog.

Dalam momen yang penuh ketegangan itu, Durant memilih jalan pengertian. Ia menyadari bahwa hinaan yang ia terima mungkin lahir dari emosi sesaat—entah karena alkohol atau euforia mendukung tim kesayangan.

Alih-alih terpancing emosi, Kevin Durant memilih jalan yang jarang ditempuh: ia mengingatkan semua orang bahwa meskipun ia berdiri di bawah gemerlap lampu sorot dan disambut sorakan penonton, ia tetaplah manusia. Manusia yang bisa terluka, yang berusaha memahami, dan yang pantas dihargai seperti siapa pun juga.

Saat petugas keamanan bersiap mengeluarkan dua penggemar yang telah menghina, Durant malah meminta mereka untuk tetap tinggal. Baginya, reaksi itu bukan kelemahan—justru itulah kekuatan. Ia berharap, dengan memberinya ruang dan empati, dua orang itu bisa belajar sesuatu: bahwa rasa hormat jauh lebih bermakna daripada sorakan keras.

Durant sadar benar, setiap tindakannya jadi sorotan. Ia tahu, satu reaksi bisa mengguncang citra yang telah ia bangun selama bertahun-tahun dengan kerja keras dan dedikasi. Tapi di titik itu, ia memilih untuk menanggapi bukan dengan ego, melainkan dengan ketenangan dan jiwa besar. Itu bukan hanya tentang menjaga reputasi, tapi tentang memberi contoh.

"Kalau saya minta kalian keluar, itu terlalu gampang," ujarnya dengan tenang. "Tapi mungkin, kalian memang perlu dengar langsung dari saya… bahwa saya ini juga manusia."

Ia melanjutkan, “Saya tahu kalian mungkin tidak benar-benar berniat jahat. Saya juga paham, mungkin kalian sudah minum beberapa gelas. Tapi saya percaya, setiap orang punya sisi baik—dan saya ingin kalian pulang dari sini membawa sesuatu yang lebih dari sekadar pertandingan.”

Pernyataannya bukan hanya tanda maaf. Itu adalah bentuk kedewasaan. Durant bukan hanya menoleransi, ia mencoba mengerti. Tapi pemahamannya tidak berarti ia membiarkan semuanya begitu saja—ia tetap menegaskan bahwa ada batasan yang harus dihormati dalam interaksi, seberapa pun riuh dan panasnya suasana pertandingan.

“Saya tahu kalian ingin diperhatikan. Tapi percayalah, ada cara yang jauh lebih baik daripada meneriaki saya dengan kata-kata kasar hanya karena merasa aman di arena ini.”

Durant juga mengangkat isu yang lebih besar—bahwa banyak atlet sering kali diperlakukan hanya sebagai hiburan. Ia mengingatkan, di balik setiap jersey ada pribadi dengan hati, lelah, dan kehidupan yang tak selalu terlihat di layar TV. Ia ingin dunia tahu: para atlet bukan objek. Mereka juga manusia.

Dari kejadian ini, Durant mengajak kita semua untuk berpikir ulang. Ia menunjukkan bahwa kehebatan sejati tak diukur dari seberapa keras kita membalas, tapi dari seberapa dalam kita bisa memahami.

Dan kadang, justru di momen-momen sulit seperti itulah, seseorang menunjukkan siapa dirinya yang sesungguhnya. Durant memilih untuk tetap berkelas, tetap manusiawi, dan tetap berdampak.

Dalam dunia yang sering dibanjiri konflik dan adu ego, sikap seperti inilah yang mengingatkan kita: bahwa kekuatan terbesar bukan selalu soal kemenangan, tapi soal keberanian untuk tetap mengedepankan hati. 

Ditulis oleh: Edhy Aruman

Rabu, 07 Mei 2025

Pernah Nggak Mikir Pengen Nulis Tapi Nggak Tahu Harus Mulai Dari Mana?

Kadang kita suka mikir, “Ide buat nulis dari mana, sih?” 

Padahal, jawabannya tuh sering banget ada di depan mata, cuma kita yang suka nggak sadar. Coba deh, mulai perhatiin apa yang ada di sekitar kamu. Mulai dari hal-hal kecil kayak liatin orang-orang di jalan, perhatiin cara jalannya, cermati ekspresi wajahnya, denger obrolan random di KRL, di stasiun, di halte Transjakarta, atau bahkan sekadar scroll media sosial. Semua itu bisa jadi bahan cerita yang seru banget kalau kita bisa ngolahnya.

Misalnya, lagi duduk di cafe yang rame pengunjung, sambil nunggu temen. Coba tengok dan cermati orang-orang yang ada sekelilingmu. Di sebelah kamu ada pasangan yang lagi ribut pelan-pelan dengan suara yang nyaris tertelan kebisingan cafe. Kamu nggak sengaja denger sepenggal kalimat mereka. Nah, itu tuh bisa jadi ide untuk menulis! 

Coba bayangin latar belakang mereka, kenapa mereka ribut, gimana kelanjutan ceritanya? Kamu bisa bikin fiksi dari situ. Seru kan! Jadi jangan ragu jadi orang kepo ...

Atau ketika lagi macet-macetan di jalan, di trotoar kamu lihat seorang bapak tua jualan kerupuk di tengah terik matahari. Mukanya penuh peluh dan tak terlihat seorang pun yang membeli jualannya. 

Ada banyak cerita yang bisa kamu gali dari apa yang bisa lihat. Kenapa dia masih kerja di usia segitu? Kemana anak-anaknya? Apa yang dia pikirkan? 

Dari situ, kamu bisa bikin esai atau cerita pendek yang menyentuh hati.

Nggak cuma dari orang-orang yang dilihat, bahkan benda mati di sekitar kita juga bisa jadi inspirasi. Misalnya, lihat buku catatan lama yang nggak sengaja ketemu waktu bersihin kamar. Halaman-halaman penuh coretan tangan kamu yang dulu. Apa yang kamu pikirkan waktu nulis itu? Kamu bisa buat tulisan tentang nostalgia, tentang gimana kamu berubah dari waktu ke waktu.

Intinya, ide tuh nggak perlu jauh-jauh. Semua ada di sekitar kita. Tinggal gimana kita ngelatih mata, hati, dan pikiran buat lebih peka. Mulai dari yang sederhana, dan lihat gimana tulisan kamu bisa berkembang dari hari ke hari. 

Jadi, udah siap belum buat mulai nulis dari apa yang kamu lihat hari ini?


Minggu, 04 Mei 2025

Nulis dari Pengalaman Masa Lalu: Cerita Lama, Rasa Baru

Cerita lama, tapi rasa baru. Inilah yang akan menjadi bahan berlatih menulis. Kita kadang kita mikir, “Mau nulis apa ya?” Padahal, sumber ide paling dekat itu ya… masa lalu kita sendiri. Nggak harus kejadian luar biasa kok. Cerita-cerita kecil yang pernah kita alami bisa jadi bahan tulisan yang ngena banget.

Kenapa sih pengalaman pribadi itu menarik buat ditulis?

Soalnya jujur. Nggak ngarang-ngarang, nggak sok dramatis. Yang penting kita cerita apa adanya. Bisa tentang jatuh cinta pertama kali, dimarahin guru gara-gara lupa PR, atau cuma momen sederhana kayak main hujan pas kecil. Kecebur di got, atau kecipirit di kelas. 

Justru hal-hal kecil itu yang sering bikin orang senyum waktu baca.

Gimana cara mulai nulis dari pengalaman masa lalu?

  1. Ngobrol sama diri sendiri: Coba inget-inget kejadian yang bikin kamu terkesan. Apa yang bikin kamu ketawa, sedih, atau mikir panjang?

  2. Ceritain rasanya, bukan cuma kejadiannya: Misalnya, “Aku duduk di bangku belakang kelas, pura-pura nyatet, padahal hatiku deg-degan lihat dia senyum.” Nah, itu yang bikin tulisan jadi hidup.

  3. Benda atau tempat bisa jadi pintu kenangan: Kayak suara motor bapak tiap pagi, wangi kue buatan ibu, atau lagu jadul yang dulu sering diputar di radio.

  4. Tulis aja dulu, nggak usah mikir bagus atau nggaknya: Yang penting ngalir. Tulis kayak lagi cerita ke temen.

Nulis buat diri sendiri, tapi bisa nyentuh orang lain

Mungkin awalnya kamu nulis cuma buat curhat. Tapi jangan kaget kalau ternyata ada yang baca dan bilang, “Wah, gue banget nih!” Karena kadang, yang kita rasain juga dirasain orang lain, cuma mereka belum nemu kata-kata buat ngungkapinnya.

Jadi, kalau lagi bingung mau nulis apa, coba deh tengok ke belakang dari pengalaman yang pernah dialami selama perjalanan hidup kita. Siapa tahu, di situ ada cerita yang belum sempat kamu ceritain. Nggak harus sempurna, yang penting tulus. Karena tulisan paling enak dibaca, ya tulisan yang datang dari hati.

Sabtu, 03 Mei 2025

Belajar Menulis dari Hal Sehari-hari: Biar Nggak Nunggu Mood Terus

Gue nggak bisa nulis, kalo nggak mood. Wah bahaya juga. Tapi bagi seorang penulis, tentu dia harus berdamai dengan mood nya. Gue punya beberapa tips yang bisa dijadikan pegangan untuk menulis tanpa nunggu mood.

Banyak orang pengin jago nulis, tapi bingung mulai dari mana. Nunggu inspirasi, nunggu mood, nunggu waktu luang — yang seringnya malah nggak datang-datang. Padahal, belajar nulis bisa dimulai dari hal simpel yang kita temui tiap hari.

Nulis Itu Nggak Harus Nunggu “Ide Besar”

Sering kali kita mikir, tulisan itu harus tentang topik yang berat atau luar biasa. Padahal, justru hal-hal kecil yang kita alami setiap hari bisa jadi latihan nulis yang ampuh. Nulis soal macet di jalan, obrolan random di warung, atau hal absurd yang kita lihat di medsos pun bisa jadi bahan.

Contoh:

  • Hari ini ketemu ibu-ibu bawa ayam naik motor. Kocak? Iya. Tapi bisa kamu jadiin tulisan pendek tentang kehidupan di kampung.

  • Semalam, sewaktu pulang ke rumah naik KRL, ada sekeluarga yang kerepotan membawa barang belanjaan banyak, dan menggandeng tiga orang anak. Miris, sedih, pengen ketawa, karena ada kejadian lucu dan serunya.

  • Lupa bawa dompet ke minimarket? Tulis aja cerita malu-malunya, terus bumbui dikit biar lucu.

Bikin Kebiasaan Kecil Tapi Konsisten

  1. Nulis 5-10 menit tiap hari: Nggak usah panjang, yang penting rutin. Bisa di notes HP, buku kecil, atau platform online.

  2. Tulis apa yang dilihat, didengar, dirasa: Lagi nunggu ojek? Lihat sekeliling. Denger anak kecil nyanyi? Catat. Hal remeh itu bisa jadi bahan tulisan yang unik.

  3. Baca ulang dan perbaiki dikit-dikit: Nggak perlu langsung bagus. Yang penting, kamu belajar dari tiap tulisan yang kamu buat.

Jangan Takut Jelek, yang Penting Jalan

Namanya juga belajar. Nggak semua tulisan pertama langsung enak dibaca. Kadang kamu bakal ngerasa aneh, kaku, atau terlalu sederhana. Tapi justru dari situ kamu berkembang. Tulis dulu, edit belakangan. Tulis dulu, malu belakangan (kalau perlu 😄).

Menulis Bukan Cuma Soal Bakat, Tapi Kebiasaan

Penulis yang keliatan hebat sekarang, dulunya juga mulai dari nulis seadanya. Bakat itu bonus, tapi kebiasaan nulis itu modal utama. Semakin sering kamu nulis, semakin peka kamu sama ide-ide di sekitar.

Belajar menulis nggak harus nunggu liburan, inspirasi, atau kopi susu dingin. Cukup mulai dari hal-hal kecil yang kamu temui tiap hari. Lama-lama, kamu bakal terbiasa nulis, dan dari situ, tulisanmu bakal makin kuat.

Jumat, 02 Mei 2025

Apa hal kecil yang pernah membuatmu sangat bahagia?

 Mari kita ikuti latihan untuk menjadi penulis hebat. Hari ini, bisa dimulai dengan menjawab pertanyaan ini. Pertanyaan ini sekedar untuk memancing dan membantu kamu untuk berlatih menulis.

Apa hal kecil yang pernah membuatmu sangat bahagia?

Ini adalah contoh pertanyaan sederhana, tapi punya potensi besar untuk menghasilkan tulisan yang menyentuh, otentik, dan penuh makna. Banyak penulis pemula merasa harus punya pengalaman "besar" untuk ditulis—padahal justru hal-hal kecil dan personal bisa jauh lebih kuat karena lebih relatable.

💡 Kenapa Pertanyaan Ini Kuat?

Karena:

  • Hal kecil biasanya jujur, tidak dibuat-buat.

  • Setiap orang punya versi jawabannya sendiri.

  • Bisa menggali emosi bahagia, syukur, haru, bahkan nostalgia.

✍️ Tips Menulis dari Pertanyaan Ini

1. Fokus pada satu momen kecil saja

Jangan mencoba menceritakan semua kebahagiaan sekaligus. Ambil satu hal sederhana, misalnya:

  • Senyuman orang tua.

  • Aroma masakan.

  • Jalan kaki sore sambil dengar lagu favorit.

  • kebiasaan ayah disaat sarapan di meja makan.

  • kebiasaan ibu saat waktu makan.

✅ Fokus = "Momen minum teh bersama ibu di sore hari."
❌ Tidak fokus = "Semua momen bahagia sejak kecil sampai sekarang."


2. Gunakan detail inderawi (apa yang kamu lihat, dengar, cium, rasa)

Biar pembaca bisa “masuk” ke dalam momenmu.

Contoh:
"Aku mencium aroma daun pandan yang baru ditumbuk. Ibu mengaduk adonan kue lumpur sambil bersenandung kecil."

           "Tak terasa, air liur sudah mulai mengalir, disaat aroma rendang mengular kemana-mana." 

3. Tulis seperti kita sedang bercerita ke teman dekat

Hindari bahasa yang terlalu formal atau berjarak. Gunakan gaya yang hangat, personal. Atau kalau perlu, dengan ungkapan bahasa daerah yang menjadi kekuatan dalam komunikasi personal dan kedekatan.

📝 Contoh Tulisan Pendek (Dikembangkan)

Hari itu hujan deras. Aku duduk di dapur, menggenggam gelas teh hangat yang ibu buat lima menit lalu. Meja kayu tua berderak sedikit saat aku mekan siku ke meja, lalu aku bersandar di kursi kayu yang umurnya mungkin sama tuanya dengan meja kayu ini. Ibu diam-diam menyelipkan biskuit ke piring kecilku, seperti biasa. Sementara di luar, suara hujan bercampur dengan desis air mendidih dari ceret saling bersilangan. Rasanya dunia berhenti sebentar. Bahagia itu, ternyata sederhana sekali. Aku pun tersenyum, entah untuk apa. 

🔍 Analisis Singkat

  • Momen kecil: Minum teh saat hujan.

  • Detail: Meja kayu, suara hujan, desis ceret.

  • Perasaan: Tenang, bahagia, nyaman.

  • Ingatan: tentang apa yang terjadi semalam

💭 Variasi Lain dari Pertanyaan Ini

Kalau kamu ingin mengeksplorasi lebih jauh, ubah sedikit sudut pandangnya:

  • Apa hal kecil yang membuat kamu tersenyum hari ini?

  • Kapan terakhir kali kamu merasa tenang tanpa alasan besar?

  • Apa hadiah kecil yang pernah kamu dapatkan, tapi sangat berarti?

  • Siapa yang memberikan hadiah itu?


Bertanya pada Diri Sendiri, Jadi Ampuh untuk Menemukan Ide?

Tentu! Metode "Tanya pada Diri Sendiri" sebagai cara menemukan ide menulis yang cukup ampuh. Asal kita jujur bertanya dan menggali dengan memberikan jawaban apa adanya, maka bukan tidak mungkin bisa menjadi pintu pembuka jalan untuk memulai sebuah tulisan.

Bertanya pada diri sendiri adalah cara yang paling sederhana namun mendalam untuk menggali ide. Setiap orang menyimpan ribuan kenangan, pengalaman, emosi, dan pemikiran dalam dirinya. Dengan sedikit kejujuran dan refleksi, semua itu bisa diubah menjadi bahan tulisan yang kuat dan menyentuh.

Metode ini cocok untuk kamu yang:

  • Sering bingung harus mulai dari mana.

  • Ingin menulis sesuatu yang jujur dan bermakna.

  • Ingin membangun kebiasaan menulis harian.

🧠 Contoh Pertanyaan dan Aplikasinya dalam Tulisan

❓ Pertanyaan 1:

Apa hal kecil yang pernah membuatmu sangat bahagia?

📝 Contoh tulisan pendek:

Aku masih ingat aroma telur dadar yang dibuat Ibu setiap pagi sebelum sekolah. Bukan karena rasanya yang luar biasa, tapi karena itu satu-satunya waktu kami bisa duduk bersama, meski hanya lima menit. Di tengah pagi yang tergesa, sepotong telur hangat bisa membuatku merasa diperhatikan dan dicintai.

🎯 Catatan: Dari pertanyaan sederhana, muncul tema besar: kasih sayang yang hadir dalam hal kecil.

❓ Pertanyaan 2:

Pernahkah kamu merasa sangat gagal? Apa yang kamu pelajari?

📝 Contoh tulisan pendek:

Saat gagal masuk universitas impian, aku merasa seluruh rencana hidup runtuh. Tapi kegagalan itu justru membawaku ke jurusan lain yang membuatku menemukan dunia baru: menulis. Aku mungkin gagal di rencana A, tapi ternyata sukses di rencana yang dulu bahkan tidak pernah kupikirkan.

🎯 Catatan: Tulisan ini bisa dikembangkan jadi esai motivasi atau refleksi personal.

❓ Pertanyaan 3:

Apa tempat favoritmu untuk "melarikan diri" saat hidup terasa berat?

📝 Contoh tulisan pendek:

Di pojok kecil kamar kosku, ada jendela kecil yang menghadap ke langit sore. Setiap kali hati terasa berat, aku duduk di sana, diam, menatap awan yang berlalu. Tempat itu tidak mewah, tapi cukup untuk membuatku merasa dunia masih luas, dan bebanku suatu saat akan berlalu juga.

🎯 Catatan: Pertanyaan ini menghasilkan suasana dan suasana batin yang kuat.

❓ Pertanyaan 4:

Kalau bisa bicara pada dirimu yang lebih muda, apa yang ingin kamu katakan?

📝 Contoh tulisan pendek:

Hei, kamu yang dulu takut bicara di depan kelas—tenang saja. Suatu hari nanti kamu akan bicara di depan ratusan orang, dan mereka akan mendengarkan. Luka-luka kecil yang kamu alami sekarang, ternyata adalah latihan untuk keberanian yang kamu perlukan nanti.

🎯 Catatan: Pertanyaan ini membentuk tulisan dengan nada reflektif dan penuh harapan.


Tips Menulis dari Hasil Tanya Diri Sendiri

  1. Jangan buru-buru mengedit saat menulis jawaban awal.
    Biarkan mengalir seperti curhat ke teman.

  2. Fokus pada satu momen, satu emosi, atau satu kenangan.
    Tulisan akan terasa lebih tajam dan tidak melebar.

  3. Gunakan detail konkret.
    Misalnya: "teh hangat dalam gelas enamel biru" lebih kuat daripada "minuman hangat".

  4. Tulis dengan suara yang jujur.
    Tidak perlu terlalu puitis. Keaslian lebih menyentuh daripada keindahan yang dipaksakan.

  5. Siapkan waktu khusus dan kalau bisa jam pelaksanannya sama.

Metode “tanya pada diri sendiri” bisa jadi alat yang sangat efektif untuk memulai menulis — bahkan untuk kamu yang merasa tidak punya ide. Dalam diri setiap orang, selalu ada cerita. Yang dibutuhkan hanyalah kemauan untuk duduk, bertanya, dan mendengarkan jawaban yang muncul dari dalam.

Kalau kamu mau, aku bisa bantu jadikan kumpulan tulisan reflektif ini, bisa menjadi antologi mini pribadi. Mau lanjut ke situ? Jangan Ragu Untuk memulainya.

Bagaimana Latihan Menulisnya, Yok Dicoba

Setiap hari, pilih satu tema dan jawab dengan jujur. Jangan takut untuk mengeksplorasi perasaan dan pengalaman yang mendalam. Dengan konsisten menulis, kamu akan menemukan banyak ide menulis yang berharga dan mungkin juga cerita-cerita yang menantikan untuk ditulis.  
Cobalah mulai Bulan Mei 2005 untuk menulis setiap hari, dengan ide yang sudah saya tuliskan di pos tulisan sebelumnya.

Selamat mencoba.

Sekedar contoh tulisan fiksi

Di Balik Sampul Buku

Hujan turun rintik-rintik saat Fira memutuskan membereskan lemari tua di ruang tamu rumah neneknya. Buku-buku berdebu, kartu pos dari tahun entah berapa, dan... satu buku bersampul biru langit yang langsung membuatnya berhenti.

“100 Kisah Petualangan Dunia”

Buku itu milik masa SD-nya. Saat dibuka, satu kertas lipat kecil jatuh dari dalamnya.

Tulisan tangan khas anak-anak terpampang di sana:

“Kalau kamu nemu surat ini, berarti kamu masih inget aku.
Aku suka kamu dari kelas 3, tapi nggak berani bilang.
Semoga kita bisa naik sepeda bareng lagi kayak dulu.

Dari: Arga (yang duduk di sebelah kamu, tapi deg-degan tiap kamu nanya PR)”

Fira terkesiap. Arga. Nama yang dulu mewarnai masa kecilnya. Mereka dulu sering main bareng, bahkan pernah pura-pura nikah di bawah pohon jambu belakang sekolah. Tapi setelah lulus SD, Arga pindah dan mereka kehilangan kontak.

Jantung Fira berdebar aneh. Ia menatap tulisan itu sambil tersenyum kecil — antara geli dan hangat.

Tiba-tiba notifikasi ponselnya berbunyi. Pesan masuk dari grup alumni SD.

"Guys, Arga baru balik ke kota! Katanya pengen reuni kecil-kecilan minggu depan!"

Fira menatap lagi surat kecil itu, lalu menggenggamnya pelan.

Kadang cinta masa kecil cuma jadi memori manis. Tapi siapa tahu… kali ini, kisahnya bisa berlanjut.

Kamis, 01 Mei 2025

Belajar Menulis dari Membaca: Meniru Dulu, Biar Bisa Menemukan Gaya Sendiri.

ATM, amati tiru dan modifikasi. Ini juga bisa diterapkan dalam berlatih menulis. Jadi jangan takut dan malu dikatakan sebagai peniru, asal bukan seorang plagiator yang mengakui tulisan orang lain sebagai tulisan sendiri. Kita meniru gaya penulisannya, gaya bercerita, dan gaya diksi yang dipergunakan para penulis hebat. Gunakan beragam gaya itu, berlatihlah dan jadikan bekal untuk membangun gaya penulisan sendiri. 

Meniru Dulu, Biar Bisa Menulis dengan Gaya Sendiri

Pernah nggak ngerasa bingung pas nulis, kayak… “Ini kenapa tulisan gue datar banget ya?” atau “Gaya nulis orang lain kok enak dibaca sih?” Nah, tenang. Semua penulis, bahkan yang udah terkenal, biasanya juga mulai dari niru.

Serius. Niru itu bukan dosa — asal kamu tahu batasnya.

Rumusnya sebetulnya tidak susah-susah amat. Ketika membaca, bukan cuma untuk menikmati cerita yang disajikan dalam sebuah novel misalnya, tetapi juga pelajari gaya penulisannya.

Kalau kamu suka baca, coba sesekali jangan cuma nikmatin ceritanya, tapi juga perhatiin gimana penulisnya nyusun kata. Gaya kalimatnya gimana? Dialognya hidup atau nggak? Transisinya halus atau tiba-tiba? Itu semua bisa kamu pelajari. Dan buat catatan-catatan sendiri untuk mendapatkan apa yang menarik buatmu.

Coba aja:

  • Baca cerpen atau novel yang kamu suka.

  • Pilih satu paragraf yang menurutmu keren.

  • Tulis ulang dengan gaya kamu sendiri. Bisa kamu ubah sudut pandangnya, bahasanya, atau suasananya.

Meniru Itu Bagian dari Proses

Nggak semua penulis langsung punya gaya khas dari awal. Justru dengan meniru beberapa gaya penulisan, lama-lama kamu bakal tahu mana yang paling cocok buat kamu. Kayak nyobain beberapa sepatu dulu sebelum nemu yang paling nyaman.

Misalnya:

  • Baca novel Pramodya Anantatoer, nikmati alur cerita yang mengalir sampai tak sadar ratusan halaman sudah dilewati.

  • Nikmati petualangan yang ditulis oleh Karl May tentang suku Apache.

  • Kamu tiru gaya penulisan Raditya Dika yang santai dan lucu.

  • Besok coba gaya Tere Liye yang puitis dan dalam.

  • Lusa, gaya tulisan berita atau feature dari media online.

Dari situ, kamu bisa ambil elemen yang cocok dan gabungkan jadi gaya kamu sendiri.

Tapi Jangan Cuma Niru Terus…

Setelah kamu terbiasa, mulai tulis sesuatu yang lebih personal. Campur pengalaman sendiri, opini sendiri, dan kata-kata yang biasanya kamu pakai sehari-hari. Karena, gaya nulis yang kuat itu muncul kalau kamu udah berani jujur dalam tulisan.

Meniru gaya penulis lain itu bukan berarti kamu nggak kreatif. Justru itu jalan buat belajar dan bereksperimen. Kayak musisi yang belajar dari lagu orang lain sebelum bikin lagu sendiri. Nggak ada yang instan. Tapi kalau kamu rajin baca dan coba-coba nulis, lama-lama gaya tulisanmu bakal terbentuk sendiri.