Dari kedalaman sejarah hingga denyut nadi masa kini, para ulama Syiah telah mengukir jejak perhatian yang tak tergoyahkan terhadap ilmu-ilmu Al-Qur'an, khususnya tafsir. Sejak masa klasik, tradisi tafsir dalam mazhab ini tak pernah padam; ia justru terus hidup dan berkembang, memancarkan corak yang khas: mendalam, filosofis, dan reflektif. Di era kontemporer ini, hampir setiap ulama besar Syiah menjelma menjadi seorang mufasir. Mereka bukan hanya menguasai fikih dan ushul, melainkan juga melahirkan karya-karya tafsir fenomenal yang menjadi rujukan dunia Islam.
Mahakarya Tafsir yang Membentuk Peradaban
Lihatlah Tafsir al-Mizan karya Allamah Thabathaba’i. Sebuah mahakarya yang menyatukan pendekatan tematik, rasional, dan spiritual dalam satu tarikan napas. Ia tak sekadar menjelaskan ayat, tetapi membuka cakrawala makna, mengaitkannya dengan filsafat, sejarah, dan bahkan realitas sosial-politik. Karya ini adalah bukti nyata bagaimana tafsir bisa menjadi jendela untuk memahami kompleksitas dunia melalui lensa ilahi.
Begitu pula dengan Ayatullah Makarim Shirazi, yang melalui Tafsir Nemuneh berhasil membumikan ajaran-ajaran Al-Qur'an untuk masyarakat modern. Tafsir ini lahir dari semangat kolektif dan keinginan kuat untuk menjadikan tafsir sebagai jawaban atas berbagai tantangan zaman. Tidak kalah penting, Ayatullah Jawadi Amuli dan Ayatullah Misbah Yazdi juga turut memperluas cakrawala tafsir dengan pendekatan ‘irfani dan falsafi yang mendalam, menjadikan Al-Qur'an sebagai petunjuk intelektual sekaligus spiritual.
Membangun Masyarakat Qur'ani
Kecintaan para ulama Syiah terhadap Al-Qur'an tak hanya termanifestasi dalam penulisan tafsir. Ia juga tampak jelas dalam upaya mereka untuk membina masyarakat Qur’ani. Di Iran, pelajaran tafsir menjadi bagian integral dalam kurikulum hauzah, dan pelatihan penghafal Al-Qur'an didukung penuh oleh para marja’ (otoritas keagamaan tertinggi). Mereka memiliki keyakinan teguh bahwa jalan menuju masyarakat yang adil dan beradab tak mungkin tercapai tanpa kembali kepada wahyu Ilahi.
Salah satu contoh paling monumental dari perhatian ini adalah Tafsir al-Tasnim, sebuah karya agung dari Ayatullah Abdullah Jawadi Amuli. Ia adalah seorang filosof, arif, dan mufasir kontemporer terkemuka. Tafsir ini ditulis dalam 80 jilid selama 40 tahun, menjadikannya salah satu tafsir terpanjang dan paling komprehensif dalam sejarah Islam. Berbeda dengan tafsir kebanyakan, al-Tasnim menggabungkan pendekatan tematik, filosofis, dan irfani (gnostik), namun tetap setia pada metode tafsir bi al-Qur’an (menafsirkan ayat dengan ayat).
Tafsir ini tidak hanya menyajikan penjelasan atas ayat-ayat Al-Qur'an, tetapi juga membahas isu-isu fundamental dalam teologi, filsafat, akhlak, dan sosial-politik dengan kedalaman yang luar biasa. Al-Tasnim bisa dikatakan sebagai bentuk tafsir multidisipliner yang menyatukan wahyu dan rasio, teks dan konteks, serta zahir dan batin.
Dengan hadirnya karya-karya semacam ini, tafsir dalam tradisi Syiah tidak pernah menjadi stagnan. Ia terus bergerak, menjawab tantangan zaman, dan membentuk pemikiran umat. Karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa para ulama Syiah kontemporer bukan hanya penjaga warisan Al-Qur'an, tetapi juga pemelopornya. Bagi mereka, tafsir bukan sekadar ilmu, melainkan proyek peradaban. Ia bukan hanya membaca teks, tapi juga membentuk manusia—dan dari manusia, membentuk sejarah.