Rabu, 06 Agustus 2025

Rumus Bahagia

Neil Pasricha pernah jadi Direktur Pengembangan Kepemimpinan di Walmart, perusahaan ritel terbesar di dunia. Dia juga penulis buku motivasi. Ia juga seorang pengamat kehidupan yang tajam, dan pembicara publik yang memikat.

Dari ruang-ruang rapat para eksekutif hingga panggung konferensi internasional, Pasricha telah berjumpa dengan para pemimpin bisnis, miliarder, dan tokoh berpengaruh. 

Namun di balik kemilau kesuksesan mereka, ia menemukan kenyataan yang menggelitik pikirannya: begitu banyak orang hebat itu ternyata tidak benar-benar bahagia.

Di sela-sela makan siang konferensi atau percakapan santai di lorong kantor, topik yang muncul bukanlah tentang impian atau pencapaian, melainkan keluhan tentang stres, kelelahan, dan tekanan hidup yang tak kunjung reda.

Ironisnya, hal ini tidak hanya terjadi pada orang biasa, tetapi juga pada para tokoh yang dianggap berada di puncak pencapaian hidup. 

Pengalaman ini menanamkan sebuah pertanyaan besar dalam benak Pasricha.  

Jika mereka yang “memiliki segalanya” tidak merasa bahagia, lalu apa sebenarnya kunci kebahagiaan itu?

Dari perenungan panjang dan pengalaman pribadinya, Pasricha merumuskan sebuah persamaan sederhana yang menjadi inti bukunya The Happiness Equation:

Want Nothing + Do Anything = Have Everything

(Ingin Tidak Menginginkan Apa Pun + Melakukan Apa Pun = Memiliki Segalanya)

Bagi Pasricha, kebahagiaan bukanlah hadiah yang datang setelah kita mencapai tujuan tertentu. Sebaliknya, kebahagiaan adalah titik awal. Ia membalik logika umum yang kita dengar sejak kecil—bekerja keras, meraih sukses, lalu bahagia—menjadi sebaliknya: bahagialah dulu, maka Anda akan bekerja lebih baik, dan kesuksesan akan datang sebagai akibat alami.

Pendekatan ini bukan sekadar slogan manis. Penelitian mendukungnya. 

Harvard Business Review menunjukkan bahwa orang yang bahagia 31 persen lebih produktif, 37 persen lebih tinggi penjualannya, dan tiga kali lebih kreatif. 

Secara biologis, otak manusia memang terbiasa fokus pada hal negatif karena ribuan tahun hidup dalam kondisi singkat, keras, dan penuh persaingan. 

Namun kini, di dunia modern, kita tidak lagi terancam predator setiap saat. Meski begitu, otak kita masih memindai masalah, membuat kita sulit merasa cukup. Pasricha menunjukkan bahwa 90 persen kebahagiaan kita sebenarnya berasal dari cara kita memandang dunia dan aktivitas yang kita pilih, bukan dari keadaan hidup itu sendiri.

Itulah mengapa ia menekankan pentingnya melatih diri untuk “bahagia sekarang”. 

Kebahagiaan bukan sesuatu yang menunggu di ujung perjalanan; ia dibangun dari kebiasaan sehari-hari—langkah-langkah kecil yang mengubah cara kita merasakan hidup. 

Mulai dari berjalan kaki di pagi hari, menulis pengalaman positif, melakukan kebaikan acak, meluangkan waktu untuk diam, hingga melatih rasa syukur, semua itu adalah pintu masuk menuju keadaan batin yang lebih damai.

Pasricha juga menyoroti betapa rapuhnya kebahagiaan jika kita hanya mengandalkan validasi eksternal. 

Ia menceritakan pengalamannya sendiri ketika terjebak dalam lingkaran mengejar angka kunjungan blog, daftar bestseller, dan penghargaan. Setiap pencapaian hanya memuaskan sebentar, sebelum ia menetapkan target baru. 

Lama-kelamaan, ia menyadari bahwa motivasi eksternal membuat kita meng-outsource rasa percaya diri. Jika pujian membuat kita melayang, kritik bisa dengan mudah menjatuhkan kita.

Di sinilah empat kata sederhana menjadi pelindung: Do it for you. Lakukan untuk dirimu sendiri. Pasricha juga mengingatkan bahwa kita harus memahami jenis kesuksesan yang kita cari, apakah itu kesuksesan komersial, pengakuan sosial, atau kepuasan pribadi. 

Tidak semua bisa dimiliki sekaligus, dan sering kali dua di antaranya justru menghalangi yang ketiga.

Lebih jauh lagi, ia mengajak kita keluar dari “Budaya Lebih”, obsesi tak berujung untuk memiliki lebih banyak. 

Dengan kisah sederhana seperti nelayan Meksiko yang menolak tawaran membangun usaha besar karena ia sudah puas dengan hidupnya, Pasricha menunjukkan bahwa kekayaan sejati datang ketika kita merasa cukup. 

Ia menyebut fakta bahwa hanya dengan menjadi hidup saat ini—di antara miliaran manusia yang pernah ada—kita sudah memenangkan “loteri kehidupan”.

Salah satu gagasan paling menantang dari Pasricha adalah anjurannya untuk “tidak pernah pensiun”. Bukan berarti bekerja tanpa henti, tetapi menemukan makna melalui aktivitas yang memberi tujuan, struktur, stimulasi, dan hubungan sosial. 

Ia mencontohkan masyarakat Okinawa di Jepang yang memiliki ikigai, alasan untuk bangun setiap pagi, dan tetap aktif hingga usia lanjut.

Waktu, menurut Pasricha, adalah aset paling berharga yang sering kita remehkan. Ia mendorong pembaca untuk menghitung “gaji nyata” per jam, menyadari bahwa pendapatan besar bisa kehilangan maknanya jika dibayar dengan waktu hidup yang habis untuk hal yang tidak kita cintai. 

Karena itu, ia mengajak kita menciptakan ruang—menghapus pilihan yang tidak perlu, membatasi waktu yang dihabiskan untuk tugas tertentu, dan memutuskan akses terhadap gangguan.

Yang tak kalah penting, Pasricha membalik urutan motivasi: jangan menunggu ingin, baru melakukan. Mulailah bertindak, dan rasa mampu serta keinginan akan mengikuti. 

Seperti hukum fisika pertama Newton, gerak akan terus berlanjut kecuali dihentikan oleh gaya yang lebih besar. Begitu kita memulai, momentum akan membawa kita maju.

Pada akhirnya, inti dari semua ini adalah keaslian. Menjadi diri sendiri sepenuhnya adalah satu-satunya cara untuk menghindari penyesalan terbesar di akhir hidup. 

Pasricha mengingatkan bahwa semua nasihat pada dasarnya subjektif. Jawaban terbaik ada di dalam diri kita, menunggu untuk ditemukan.

The Happiness Equation bukan hanya buku, tetapi undangan untuk mengubah cara kita menjalani hari-hari. Dengan ingin tidak menginginkan apa pun, kita membebaskan diri dari jeratan “kurang”. 

Dengan berani melakukan apa pun, kita membuka pintu bagi kemungkinan yang tak terbatas. 

Dan ketika dua hal ini bersatu, kita akan merasa telah memiliki segalanya, bahkan sebelum dunia mengatakan demikian.

Penulis: Aruman

SUMBER:

Pasricha, N. (2016). The happiness equation: Want nothing + do anything = have everything. G. P. Putnam’s Sons.

Jumat, 01 Agustus 2025

PARKINSON

 



Zaman yang serba cepat dan penuh tuntutan membuat waktu terasa selalu kurang. Tugas datang bertubi-tubi, kalender nyaris tanpa jeda, dan deadline terasa terus memburu. 

Orang sibuk setiap hari, tapi sering tak tahu apakah kesibukan itu benar-benar perlu, atau hanya karena memberi ruang terlalu besar untuk pekerjaan yang terus membesar.

Tak bisa dipungkiri, kita terus bergerak. Tapi kita sering lupa bertanya: apakah kita benar-benar sibuk, atau sekadar membiarkan pekerjaan melebar melebihi yang seharusnya? Pernahkah kita merenung: apakah benar pekerjaan kita sebanyak itu, ataukah sebenarnya kita membiarkannya mengembang mengikuti waktu yang tersedia?

Pertanyaan ini bukan sekadar renungan pribadi, tapi merupakan inti dari apa yang dikenal sebagai Parkinson’s Law, sebuah prinsip legendaris dari sejarawan dan birokrat Inggris, C. Northcote Parkinson. 

Dalam bukunya Parkinson’s Law, and Other Studies in Administration (1957), ia menyampaikan satu kalimat sederhana yang sangat mengena: “Work expands so as to fill the time available for its completion.” Atau dalam bahasa kita, pekerjaan akan membengkak untuk mengisi waktu yang tersedia untuk menyelesaikannya.

Parkinson menemukan bahwa dalam organisasi, terutama birokrasi pemerintahan, semakin banyak waktu dan sumber daya yang tersedia, maka semakin kompleks dan besar pula tugas yang diciptakan. Bahkan ketika kebutuhan nyatanya tidak meningkat. 

Dalam sebuah studi satir tetapi didukung data nyata, ia menunjukkan bahwa jumlah pegawai administratif di Kementerian Angkatan Laut Inggris meningkat drastis antara tahun 1914 dan 1928, meskipun jumlah kapal dan personel militer justru menurun. 

Fenomena ini menunjukkan bahwa pertumbuhan organisasi seringkali bukan karena beban kerja, tetapi karena dorongan internal untuk terlihat sibuk dan penting.

Namun, Parkinson’s Law bukan hanya tentang birokrasi. 

Ia juga berlaku dalam hidup kita sehari-hari. Saat diberi waktu dua jam untuk menyelesaikan laporan yang sebenarnya bisa selesai dalam 30 menit, kita cenderung menunda-nunda, mempercantik hal-hal yang tidak perlu, atau tenggelam dalam rincian yang tidak penting. 

Kita tidak sadar bahwa kita membiarkan pekerjaan tumbuh mengikuti wadah waktunya. Bukan karena kita membutuhkan waktu lebih, tetapi karena kita tidak membatasi diri.

Parkinson menulis dengan ironi yang halus tapi tajam. Salah satu bab yang paling terkenal dalam bukunya berjudul “Injelititis, or Palsied Paralysis” , istilah yang terdengar seperti penyakit medis. 

Tapi ini bukan tentang kesehatan fisik, melainkan penyakit organisasi. 

Dalam metafora brilian ini, Parkinson menggambarkan kondisi di mana pejabat senior dalam organisasi menjadi tumpul dan tidak produktif, pejabat menengah saling menjegal demi posisi, dan orang-orang muda yang kompeten tertekan dan akhirnya memilih mundur atau diam. 

Organisasi yang terkena “injelititis” akan terlihat sibuk di permukaan, tapi sejatinya berada dalam kondisi koma. Ia tidak bergerak maju, tidak mengambil keputusan bermakna.

Parkinson menyusun gejala-gejala injelititis layaknya dokter menulis diagnosis: mulai dari kemunculan pemimpin yang iri dan tidak kompeten, menyebarnya budaya aman dan tidak berani bersuara, hingga fase akhir di mana kantor penuh perabot mewah, tapi tidak ada hasil nyata. 

Meskipun mengutip istilah-istilah medis seperti “penyakit” dan “penyembuhan,” penting diingat bahwa ini hanyalah metafora. 

Parkinson adalah seorang sejarawan, bukan dokter. Fokusnya adalah administrasi publik dan organisasi bisnis, bukan kesehatan tubuh manusia.

Hal ini penting untuk ditegaskan karena banyak orang mengira Parkinson’s Law berkaitan dengan Penyakit Parkinson , sebuah kondisi neurologis serius yang memengaruhi pergerakan tubuh manusia. 

Padahal keduanya tidak memiliki hubungan sama sekali, meskipun namanya sama. 

Penyakit Parkinson dinamai dari James Parkinson, seorang dokter Inggris yang pada tahun 1817 menulis esai medis pertama yang mendeskripsikan kondisi ini secara klinis. Penyakit ini berkaitan dengan kerusakan saraf dan penurunan produksi dopamin di otak, menyebabkan gejala seperti tremor, kekakuan otot, dan lambatnya gerak.

Sedangkan Parkinson’s Law adalah hasil pengamatan dan sindiran C. Northcote Parkinson terhadap dunia birokrasi dan organisasi. 

Ia bukan berbicara tentang tubuh manusia, melainkan tentang “tubuh” organisasi . tentang  bagaimana ia tumbuh, melebar, dan kadang mati karena terlalu banyak kompleksitas yang diciptakan dari dalam.

Dengan memahami perbedaan ini, kita bisa lebih menghargai kejeniusan C. Northcote Parkinson. 

Ia tidak hanya menunjukkan masalah, tetapi juga menyodorkan cermin kepada kita semua — bahwa sering kali, keterlambatan, inefisiensi, dan stagnasi bukan datang dari luar, melainkan dari sistem yang kita pelihara sendiri. 

Sistem yang membenarkan rapat tanpa akhir, organisasi yang mengukur keberhasilan dari jumlah staf bukan dari hasil, dan pribadi-pribadi yang merasa sibuk padahal sebenarnya hanya sedang terjebak dalam ilusi kesibukan.

Parkinson’s Law memberi kita satu pelajaran penting: bahwa efisiensi bukan soal kerja keras tanpa henti, melainkan tentang keberanian menyederhanakan. 

Tentang kemampuan menetapkan batas waktu yang masuk akal, dan disiplin untuk tidak membiarkan pekerjaan meluas tanpa kendali. Bahwa terkadang, membatasi diri adalah bentuk tertinggi dari kebebasan.

Di era yang terobsesi dengan produktivitas, mungkin justru prinsip Parkinson-lah yang perlu diingat ulang: jangan izinkan pekerjaan tumbuh tanpa batas. 

Bentuklah waktu, jangan dibentuk olehnya. Maka kita akan kembali pada esensi: bekerja bukan untuk terlihat sibuk, melainkan untuk menyelesaikan yang penting. 


Penulis: Edhy Aruman


DAFTAR PUSTAKA 

Parkinson, C. N. (1957). Parkinson’s law, and other studies in administration. Houghton Mifflin.

Minggu, 27 Juli 2025

Jumat Terakhir Mas Teduh



Saat azan Asar menggema, suaminya diam di kursi. Lalu kenangan masa kecil datang menggulung: tentang ibu yang wafat di pangkuan, dan ayah yang tak pernah pulang dari tikar judi.

Oleh : Sri Asian

Desir angin bulan Juli pada Jumat sore serasa menusuk sampai ke tulang. Suara azan asar berkumandang dari corong masjid yang tak jauh dari rumah.

Setelah berwudu, kukenakan mukena. Sedikit heran ketika langkahku sampai ruang tamu rumah, Mas Teduh, suamiku, masih tertidur di atas kursi. Tumben. Biasanya dia yang membangunkanku.

Memang begitulah rutinitas kami berdua—selalu berusaha salat tepat waktu dan berjemaah di masjid.

“Mas… bangun, Mas!”

Sekali, dua kali, berkali-kali kupanggil, Mas Teduh tetap diam. Perasaan takutku perlahan menjadi kenyataan. Mas Teduh diam… untuk selamanya.

“Ya Allah… innalillahi wainna ilaihiraji’un…”

Tak kuasa air mataku membasahi wajahku, mukena putihku, dan sajadahku.

Bukan kematian yang aku sesali, tapi datangnya kematian yang tiba-tiba. Ketika aku belum menyiapkan diri untuk berpisah dengan orang yang aku cinta.

Air mataku ini untuk hari ini, ketika suamiku, orang yang sangat aku cintai, meninggalkanku untuk selama-lamanya. Dan air mata ini juga untuk tiga puluh lima tahun silam yang tak bisa kuhapus.

Waktu itu usiaku sepuluh tahun. Aku anak pertama dengan tiga adik perempuan yang masih kecil-kecil. Si bungsu belum genap dua tahun, masih menyusu.

Kondisi ekonomi keluarga yang kurang dari cukup memaksaku untuk hidup mandiri.

Mencari kayu bakar di hutan, mencari wol-wolan—ulat yang hidup di pangkal batang pohon turi—untuk dijadikan lauk. Bahkan belalang pun kutangkap demi memenuhi kebutuhan protein, yang tak perlu mengeluarkan uang.

Setahuku, ibuku adalah wanita paling cantik yang kesabarannya luar biasa. Gurat di wajahnya tampak menua, walau sebenarnya usianya belum terlalu tua. Sementara ayahku, seorang mandor hutan, hari-harinya dihabiskan di meja judi.

Bulan Juli, tiga puluh lima tahun silam. Jumat dini hari.

Ibu batuk-batuk kecil, mengeluarkan darah dari dahaknya. Aku terjaga.

“Nduk… adikmu ya…”

Setelah itu, ibu tak berkata apa-apa lagi. Aku menjerit sekeras-kerasnya, memeluk tubuhnya erat-erat. Kutaruh kepalanya di pangkuanku—pangkuan anak kecil berusia sepuluh tahun.

“Bu, bangun, Bu… bangun, Bu…!”

Kuciumi wajahnya. Kugerakkan tangannya. Ia tetap diam. Lalu kugendong adik bayi dan bergegas keluar mencari ayah.

Aku sibak semak, menerobos jalan kecil menuju pasar yang jaraknya sekitar lima ratus meter. Sesekali kudengar ayam berkokok. Hari masih pagi.

Seseorang menyapaku, menatapku penuh selidik, lalu bertanya, “Oh, anake Cokro, arep lapo?”

Sambil menangis aku pegangi bajunya. “Pak… Bapak suruh pulang sekarang… tolong, Pak…!”

Dari kejauhan kudengar suara ayah: “Diluk engkas!”

Refleks aku berlari ke arah suara itu. Ayahku sedang membawa kartu, duduk di atas tikar lusuh bersama beberapa lelaki paruh baya. Permainan itu bubar seketika. Aku tak menghiraukannya.

Yah… kepergian orang-orang yang sangat aku cintai meninggalkan trauma yang sulit dihapus.

Hari-hari kulalui dengan menggantikan posisi ibu, merawat ketiga adikku. Semua pekerjaan rumah tangga ada di pundakku.

Rupanya, ayah benar-benar insaf. Ia menikah lagi dengan perempuan yang menyayangi kami semua hingga kami tumbuh remaja.

Pada usia yang terbilang sangat muda, tujuh belas tahun, Mas Teduh melamarku. Aku pun mengiyakan.

Memulai hidup baru dengannya sungguh sangat indah. Ia seorang pegawai negeri, tepatnya guru SD di tempat tinggalku, yang mampu mengubah hidupku seratus delapan puluh derajat.

Dialah imanku, juga suamiku, sekaligus sandaran hidupku yang berpijak pada ajaran agama dalam mengelola rumah tangga.

Buah cinta kami, dua anak perempuan cantik dan salehah yang kini telah berumah tangga dan hidup bersama suaminya masing-masing.

Ya Allah, kuatkan dan ikhlaskan hatiku untuk melepas Mas Teduh.

“Sebenarnya tidak ada kata kesepian jika orang hanya bersandar kepada Allah.” Itulah kalimat terakhirnya pada malam-malam kami berdua.


Tak kusangka, itulah kalimat terakhir yang kudengar darinya.


Selamat jalan, Mas. Terima kasih telah membersamaiku selama dua puluh delapan tahun. Terima kasih telah mengentasku dari tempat yang gelap menuju terang benderang. Semoga semua kebaikanmu menjadi amal jariyah, dan semoga Mas Teduh ditempatkan di jannah-Nya. Amin.

Jumat, 18 Juli 2025

JACK WELCH


Dalam sejarah modern Amerika, jarang ada sosok yang begitu dipuja sekaligus dikritik seperti Jack Welch, mantan CEO General Electric (GE). 

Ia bermain golf dengan presiden, bergaul dengan bintang film, dan dipuja banyak orang.  

Di mata sebagian orang, ia adalah simbol keberhasilan luar biasa karena menjadikan GE perusahaan paling bernilai di dunia. 

Namun di balik kilau keberhasilannya, tersimpan kisah tentang bagaimana satu orang bisa mengubah arah kapitalisme, menurut sebagian orang, bukan ke arah yang lebih baik.

Pertengahan abad ke-20, kapitalisme Amerika hidup dalam harmoni yang langka. Perusahaan, pekerja, dan pemerintah berada dalam sebuah ekosistem ekonomi yang relatif adil. 

Upah layak dibayar. Regulasi dihormati. Pajak dikucurkan untuk membangun infrastruktur dan pendidikan. 

Dan perusahaan-perusahaan besar, seperti General Electric, dianggap sebagai simbol tanggung jawab sosial, bukan hanya mesin laba. GE bangga menyebut "progress" sebagai produk utamanya. 

Pada tahun 1953, mereka membelanjakan 37% dari pendapatannya untuk pekerja dan hanya 3,9% untuk investor. Ini bukan sekadar angka. Ini mencerminkan filosofi bahwa bisnis adalah bagian dari masyarakat, bukan sebagai penguasa tunggalnya.

Namun keseimbangan itu tidak bertahan lama. 

Di tahun 1970-an, seiring munculnya gagasan pasar bebas ekstrem, paradigma ekonomi mulai terguncang. Milton Friedman -- ekonom Amerika terkemuka, pemenang Nobel, dan tokoh utama ekonomi pasar bebas --  menyerukan agar perusahaan berhenti memedulikan masyarakat, dan fokus tunggal pada satu hal: laba bagi pemegang saham. 

Gagasan ini mendapatkan kaki-kakinya di Wall Street, di kampus-kampus bisnis, dan di ruang dewan perusahaan. Apa yang sebelumnya merupakan harmoni pascaperang mulai diretas dari dalam.

Masuklah Jack Welch, simbol puncak dari ideologi baru ini. 

Ketika Welch mengambil alih GE pada tahun 1981, ia tidak hanya memimpin sebuah perusahaan, tetapi merancang ulang mentalitas korporat seluruh negeri. Ia mempopulerkan pemangkasan besar-besaran, outsourcing, merger agresif, dan finansialisasi. 

Langkah itu  bukan untuk menciptakan nilai jangka panjang, tetapi demi satu hal: harga saham.

Dengan ketegasan dingin, Welch merombak GE dari perusahaan yang menghargai pekerja dan inovasi, menjadi mesin laba jangka pendek yang mengorbankan manusia di dalamnya. Ia memecat puluhan ribu orang, mendorong industri manufaktur AS ke jurang, dan menanamkan benih ketimpangan sosial yang kini tumbuh menjadi realitas getir di banyak kota Amerika.

Namun warisan Welch tidak berhenti di GE. Ia melatih generasi baru pemimpin yang meniru taktiknya di perusahaan-perusahaan besar lain, mulai dari Boeing hingga Home Depot. 

Strategi “nilai pemegang saham di atas segalanya” menjadi hukum tak tertulis bisnis Amerika. 

Hasilnya? 

Kelas menengah tergerus, kepercayaan terhadap institusi melemah, dan jurang antara pekerja dan elite semakin lebar.

Tapi kisah ini tidak berakhir di sana.

David Gelles, reporter New York Times, dalam buku The Man Who Broke Capitalism, bukan hanya membongkar bagaimana Welch membentuk sistem yang kini banyak dikritik, tapi juga menyoroti benih perubahan yang mulai tumbuh. 

Ia memperkenalkan tokoh-tokoh baru di dunia bisnis yang menolak warisan Welch, yang percaya bahwa kesuksesan tidak harus dibayar dengan penderitaan banyak orang.

Mereka memilih jalur berbeda dan menolak gagasan bahwa keberhasilan harus dibayar dengan pemangkasan, pengorbanan karyawan, dan pengabaian nilai-nilai kemanusiaan. 

Mereka membuktikan bahwa bisnis bisa tetap unggul tanpa harus mengorbankan siapa pun.

Salah satunya adalah Paul Polman, mantan CEO Unilever. Ketika mengambil alih perusahaan pada saat kritis, ia tak sekadar fokus pada pertumbuhan. Dia membawa Unilever ke akar nilai sosial yang ditanam oleh pendirinya. 

Ia menghentikan laporan panduan keuangan triwulanan, menolak tekanan pasar saham, dan mengarahkan perusahaannya untuk tumbuh tanpa merusak lingkungan atau melupakan pekerja. 

Ketika Kraft Heinz, perusahaan yang sangat berhaluan “Welchian,” berusaha mengambil alih Unilever, Polman menolak mentah-mentah. Ia percaya bahwa bisnis harus melayani banyak orang, bukan hanya segelintir investor.

Di sisi lain, Dan Schulman di PayPal menjalankan kepemimpinan yang sangat manusiawi. Setelah mengetahui bahwa sebagian besar karyawan garis depannya hidup dengan kesulitan keuangan, ia meluncurkan program kesejahteraan finansial, menaikkan gaji, dan memangkas biaya kesehatan. Baginya, karyawan bukanlah beban, melainkan aset terpenting perusahaan.

Keduanya—Polman dan Schulman—menawarkan bukti nyata bahwa kita tidak harus mewarisi sistem bisnis yang keras dan tidak berperasaan. Mereka menunjukkan jalan lain: bahwa kapitalisme bisa berpihak, bahwa perusahaan bisa sukses sambil tetap peduli, dan bahwa menolak warisan Welch bukan kelemahan—tapi keberanian.

Mereka membuktikan bahwa bisnis bisa tetap hebat tanpa menghancurkan komunitas, tanpa melecehkan regulasi, dan tanpa melupakan bahwa perusahaan, pada akhirnya, adalah bagian dari masyarakat.

“Perubahan besar sering dimulai dengan kesadaran akan kesalahan masa lalu. Kini saatnya bisnis menulis ulang misinya. Bukan sekadar mengejar laba, tapi menghidupkan kembali nilai-nilai kemanusiaan.” 

Penulis: Edhy Aruman

Rabu, 16 Juli 2025

Korup Itu ...





William Magear Tweed , yang lebih dikenal sebagai "Boss" Tweed, adalah nama yang tercatat dalam sejarah kelam Amerika Serikat. 

Ia bukan seorang presiden, jenderal perang, atau tokoh ilmuwan besar. 

Ia adalah politisi. Tapi bukan politisi biasa. 

Boss Tweed adalah simbol sempurna dari korupsi yang tidak hanya disembunyikan, tetapi dipertontonkan di panggung publik, seolah itu bagian sah dari demokrasi. 

Lahir di New York pada 1823, Tweed menjadi lambang dari sebuah era di mana kekuasaan dan uang bisa membentuk ulang keadilan, hukum, dan bahkan takdir kota sebesar New York.

Tweed memulai karier politiknya sebagai anggota Dewan Kota New York di usia 28 tahun.

Namun, bukan kebijakan atau kepeduliannya terhadap rakyat yang menjadikannya terkenal. Melainkan kepiawaiannya menguasai sistem dari dalam dan memanfaatkannya demi keuntungan pribadi. 

Ia membangun jaringan kekuasaan yang dikenal dengan nama Tammany Hall, organisasi politik Partai Demokrat yang mengendalikan birokrasi kota New York dengan tangan besi dan dompet penuh uang rakyat.

Meski tak punya latar belakang hukum, Tweed mendirikan firma hukum. 

Ironisnya, kantor ini tak pernah menangani perkara-perkara hukum biasa. 

Di situlah ia memulai praktik “pelicin” politik: perusahaan-perusahaan besar membayar Tweed untuk mendapatkan proyek atau perlindungan hukum, yang pada dasarnya adalah bentuk pemerasan. 

Uang hasil suap digunakan untuk membeli lahan-lahan strategis di Manhattan dan memperkuat jaringan loyalis di dalam pemerintahan kota. 

Inilah awal dari “mesin” korupsi modern yang luar biasa efektif. Ini adalah sebuah sistem yang, seperti dikatakan oleh Kenneth D. Ackerman dalam buku Boss Tweed: The rise and fall of the corrupt pol who conceived the soul of modern New York , bekerja seperti jam Swiss, dengan strategi kontrol terhadap pengadilan, legislator, bendahara kota, bahkan hingga tempat pemungutan suara.

Pada puncak kekuasaannya, diperkirakan Tweed dan kelompoknya mencuri antara $45 juta hingga $200 juta dari kas kota, setara dengan $1 hingga $4 miliar sekarang. 

Mereka memanipulasi anggaran, memalsukan laporan, dan membebani proyek pembangunan dengan biaya yang berkali-kali lipat untuk memperkaya diri. 

Sistem yang dijalankan Tweed begitu kuat sehingga kartun satire tahun 1889 di majalah Puck menggambarkan Senat Amerika sebagai panggung para monopolis dan pengusaha rakus, sementara pintu masuk rakyat ditutup rapat dengan tulisan: “The People’s Entrance: Closed.”

Namun, sebagaimana sejarah seringkali mencatat, zaman kegelapan akan memunculkan lentera-lentera harapan. 

Maraknya korupsi dan ketimpangan ini mulai memantik perlawanan. 

Dalam salah satu tulisannya pada 1913, Presiden Woodrow Wilson mengecam pengadilan-pengadilan yang tak lagi berdiri untuk kepentingan publik, melainkan menjadi pelayan dari segelintir elite ekonomi. 

Ia mempertanyakan: jika benteng terakhir keadilan ikut rusak, ke mana rakyat akan berlindung?

Korupsi tidak hanya mencengkeram pemerintahan. Ia juga menjalar ke proyek-proyek besar infrastruktur, seperti pembangunan jalur kereta api dan jalan raya. 

Subsidi pemerintah diberikan bukan berdasarkan kualitas, tetapi kuantitas mil jalan yang dibangun. Ini membuka celah bagi kontraktor nakal untuk membuat jalur yang berliku-liku tanpa arah, demi keuntungan pribadi. 

Setelah revolusi industri dan munculnya mobil di awal abad ke-20, pembangunan jalan menjadi ladang emas baru bagi para oportunis. Seperti dicatat oleh Earl Swift dalam The Big Roads, hanya 10 sen dari setiap dolar pajak yang benar-benar diwujudkan dalam bentuk jalan berkualitas.

Namun, seiring berkembangnya kelas menengah dan meningkatnya kesadaran warga negara akan hak dan transparansi, korupsi tidak lagi dapat berjalan dengan tenang. 

Menurut sejarawan hukum Lawrence Friedman, +“amarah rakyat tak berarti apa-apa di tahun 1840, masih kecil di 1860, tetapi menjadi kekuatan besar di 1890.”_ Ini adalah titik balik.

Yang menarik, sebagaimana ditunjukkan oleh The Prosperity Paradox karya Christensen, Ojomo, dan Dillon, perubahan ini tidak semata-mata digerakkan oleh hukum yang lebih ketat atau polisi yang lebih rajin menangkap koruptor. 

Ia datang karena warga negara menemukan cara-cara baru untuk hidup lebih baik. 

Ketika inovasi membuka jalan untuk menciptakan kekayaan secara sah—melalui kewirausahaan, teknologi, dan peluang ekonomi yang inklusif, maka korupsi perlahan kehilangan relevansinya. 

Jika dulu korupsi adalah satu-satunya jalan untuk naik kelas, sekarang ada alternatif yang lebih bermartabat.

Kisah Boss Tweed adalah kisah tentang bagaimana sebuah bangsa bisa terjerembab begitu dalam ke dalam lumpur ketidakadilan, tapi juga bagaimana bangsa itu bisa bangkit. 

Amerika Serikat yang kita kenal hari ini, negara dengan peringkat ke-16 dalam indeks transparansi dunia, pernah menjadi negara di mana hukum dijual, pemilu direkayasa, dan rakyat kecil tak punya suara. 

Namun, rakyatnya memilih untuk berubah. Mereka tidak hanya membentuk hukum baru, tetapi membangun sistem ekonomi dan sosial yang lebih inklusif.

Tahun 1871, seorang mantan sekutu Tweed yang kecewa, James O'Brien, membocorkan dokumen keuangan rahasia yang membongkar pemborosan dan pencurian anggaran kota. 

Dokumen ini menjadi bahan bagi jurnalis investigatif seperti Thomas Nast, yang melalui karikatur di majalah Harper’s Weekly, mengubah Tweed menjadi simbol nasional korupsi politik.

Disertai kampanye karikatur tajam oleh Thomas Nast, masyarakat mulai menuntut keadilan.

Tweed ditangkap diadili pada tahun 1873 dan dijatuhi hukuman 12 tahun penjara karena korupsi, meskipun hukumannya kemudian dikurangi menjadi 1 tahun. Namun, segera setelah dibebaskan, ia ditangkap kembali dalam kasus perdata dan dijebloskan ke Ludlow Street Jail.

Ia melarikan diri ke Spanyol, tetapi tertangkap setelah polisi mengenalinya dari karikatur Nast. Tweed diekstradisi ke Amerika dan dipenjara kembali. Dalam kondisi sakit dan ditinggalkan para sekutunya, ia meninggal dunia pada 12 April 1878, sendirian di balik jeruji besi.

Akhir tragis Tweed menjadi simbol bahwa kekuasaan tanpa moral hanya menunggu waktu untuk runtuh.

Pesan abadi dari era Boss Tweed adalah bahwa korupsi akan selalu menemukan ruang ketika masyarakat tak punya pilihan lain. Tapi ketika kesempatan dan harapan muncul, suara rakyat akan kembali menemukan jalannya. Dan di situlah letak kekuatan demokrasi yang sejati.

Penulis: Edhy Aruman




Selasa, 15 Juli 2025

Dibalik Angka, Janji, dan Luka Lama yang Bernama Kesenjangan

Indonesia bukan negara yang kekurangan pertumbuhan. Ia tumbuh, seperti pohon tua yang menjulang di tengah ladang gersang. Tapi dari akar hingga dahan, tak semua mendapat cahaya dan air yang sama.

Di balik pidato tentang stabilitas dan data yang dirapikan, tersembunyi kenyataan yang terus berulang: segelintir tumbuh terlalu tinggi, sementara mayoritas dipaksa puas menjadi akar yang tak pernah menyentuh langit. Mereka yang tumbuh terlalu tinggi itu bukan semata pekerja keras biasa mereka adalah bagian dari struktur kekuasaan ekonomi-politik yang makin mengeras yaitu oligarki.

Satu Persen Menggenggam, Sembilan Puluh Sembilan Persen Bertahan. Laporan dari Credit Suisse dan Oxfam menyebutkan bahwa lebih dari 45% kekayaan nasional dikuasai oleh hanya 1% populasi Indonesia. Bahkan dalam daftar orang terkaya Indonesia, kekayaan satu konglomerat bisa setara dengan gabungan pengeluaran berjuta-juta warga kelas pekerja. Ini bukan sekadar ketimpangan ekonomi, ini adalah distribusi kuasa.

Di negeri ini, konglomerasi bukan sekadar bisnis, melainkan jaring laba-laba yang membungkus politik, media, hingga regulasi. Mereka mendanai pemilu, menyusun narasi publik, bahkan menekan arah kebijakan agar berpihak pada kelangsungan bisnis mereka, bukan kelangsungan hidup rakyat.

Hukum yang bisa dibeli, dan keadilan yang bisa diatur. Dalam struktur negara yang sehat, hukum adalah penyeimbang kekuasaan. Tapi dalam sistem yang dikuasai oligarki, hukum adalah alat. Ia tajam ke bawah, tegas pada pencuri ayam, keras kepada pedagang kecil. Tapi tumpul ke atas, lembek kepada pelanggar HAM, koruptor, dan penyeleweng pajak.

Kita menyaksikan korupsi triliunan yang berakhir dengan hukuman ringan atau bahkan bebas bersyarat. Kita melihat kasus-kasus hukum besar menguap di udara, atau berakhir dengan "restorative justice" yang tak pernah tersedia untuk rakyat miskin. Sementara itu, petani yang mempertahankan tanahnya, buruh yang menuntut upah, atau aktivis yang bersuara kritis diintimidasi, dikriminalisasi, bahkan dipenjara.

Di sini kita paham: hukum bukan lagi alat keadilan, tapi kadang justru alat bagi kekuasaan.

Pertumbuhan yang disandera Elit dapat dilihat dari Gini Ratio Indonesia yang naik ke 0,381 pada September 2024, di tengah klaim pertumbuhan ekonomi, menunjukkan bahwa pertumbuhan itu semakin eksklusif. Kelas menengah yang dulu digadang-gadang sebagai penyangga demokrasi, kini justru menyusut. Dari 60 juta menjadi hanya 47 juta dalam enam tahun terakhir. Mereka tersingkir pelan-pelan, tergantikan oleh struktur ekonomi yang dikendalikan oleh segelintir grup besar. Ketika lapangan kerja didominasi kongsi-kongsi elite, dan UMKM hanya dijadikan alat pencitraan politik, maka keseimbangan struktural mustahil tercipta.

Filosofi Keadilan yang Hilang

Pertanyaan filosofis pun muncul:

Apakah arti demokrasi, jika suara hanya bisa dibeli?

Apakah arti keadilan, jika hanya untuk yang berpunya?

Dan apa arti kemajuan, jika hanya memanjakan mereka yang sudah di atas?

Indonesia hari ini seperti rumah mewah dengan atap bocor. Dari luar tampak gagah, dari dalam tak nyaman dihuni dan ironisnya, yang membangun rumah itu justru tak diizinkan tinggal di dalamnya.

Bangsa Ini Perlu Ditegakkan, Bukan Sekadar Dikelola. Kita tak butuh lebih banyak janji. Kita butuh nyali untuk memutus lingkaran setan oligarki, untuk membalik sistem ekonomi-politik yang selama ini bekerja bukan untuk rakyat, tapi untuk para pemilik modal.

Kita perlu:

Reformasi hukum yang benar-benar independen dari kuasa ekonomi-politik.

Pemisahan nyata antara konglomerasi dan negara.

Distribusi kekayaan yang adil, dengan pajak progresif dan perlindungan sektor riil.

Pekerjaan bermartabat dan jaminan sosial universal untuk memperkuat kelas menengah sebagai penyangga demokrasi.

Media dan pendidikan yang tidak tunduk pada sponsor dan kekuasaan, tapi berpihak pada kebenaran dan rakyat.

Menuju Negara yang Adil, Bukan Sekadar Aman

Kita telah terlalu lama terjebak dalam ilusi bahwa pertumbuhan adalah solusi segala masalah. Tapi kenyataannya, tanpa keadilan dan pemerataan, pertumbuhan hanya melanggengkan dominasi segelintir orang atas yang lain.

Negara ini tidak boleh diwariskan pada segelintir elite yang bisa membeli hukum dan menggenggam kebijakan.

Negara ini harus dibangun kembali: dari suara rakyat, untuk kepentingan rakyat, demi masa depan rakyat.

Karena kemerdekaan sejati bukanlah berdiri di bawah bendera,

tetapi berdiri dengan kepala tegak di hadapan hukum yang adil, ekonomi yang manusiawi, dan negara yang tak bisa dibeli.


Bandung, 12 Juli 2025

Tulisan diambil dari grup WA NPA yang ditulis oleh Dwi Guna Mandhasiya

Jumat, 11 Juli 2025

MEMO


Katharine Gun adalah penerjemah bahasa Mandarin di Government Communications Headquarters (GCHQ) Inggris. 

Di balik kesunyiannya itu, dia menyaring ribuan koridor elektronik.

Dia menerjemahkan, menyusun, dan memahami rahasia negara.

Tapi pada 31 Januari 2003, hidupnya berubah selamanya ketika memo Top Secret//COMINT//X1 dari National Security Agency (NSA) AS tiba di antarmukanya .

Selama ini, Katharine menjalaninya sebagai rutinitas biasa: bangun pagi, meneguk kopi, lalu menyelami dokumen intelijen. 

Namun, pagi yang dingin itu, sebuah pesan dari Frank Koza, Kepala Staf Pertahanan Regional NSA, terkuak: NSA dan GCHQ diminta melakukan operasi spionase rahasia untuk memanipulasi suara anggota Dewan Keamanan PBB; Angola, Bulgaria, Kamerun, Chili, Guinea, dan Pakistan, agar mendukung resolusi perang Irak. 

“It was quite cold that Friday morning… I felt quite excited—no, more shocked than anything else,” kenang Katharine, saat mengetahui operasi ilegal itu .

Hatinya bergejolak. Ia selalu percaya bahwa intelijen seharusnya hanya mengumpulkan fakta, bukan menghancurkan kedaulatan diplomatik. 

Ia merenung: jika publik tahu bahwa Presiden AS George Bush dan Perdana Menteri Inggris Tony Blair diam-diam menekan suara-suara penentang dengan cara kotor, mungkin invasi itu bisa dicegah. 

“What I hoped,” ujarnya kemudian, “was that people would see what was happening and be so disgusted that nobody would support the war in Iraq… And I even hoped that the US general public would somehow realize that they were being dragged hook, line, and sinker into the war”.

Keputusan moral itu tiba-tiba—segera setelah membaca memo, Katharine menyelinapkan selembar salinan ke dalam tas tangan. 

Dia mencari satu orang yang bisa dia percaya untuk meneruskan pesan itu: teman karibnya—sebut saja “Jane” — yang diketahui memiliki koneksi ke jurnalis investigasi. 

Tanpa ragu, Katharine mengirim memo itu melalui email, berharap anonimitasnya terjaga .

Memo itu berpindah tangan dengan cepat. Jane menyerahkan naskahnya kepada wartawati Yvonne Ridley, yang menandainya sebagai dokumen otentik dan menghubungi Martin Bright, editor The Observer. 

Setelah tiga minggu verifikasi yang penuh gentar, termasuk usaha membuktikan keaslian serta mempertimbangkan potensi risiko hukum, The Observer mempublikasikan seluruh memo Koza pada 2 Maret 2003 itu. 

Editor Bright kemudian mengakui, “More of a concern to us was that we would be joined in the prosecution. To publish is an offence under the Official Secrets Act as well … So they preferred to take on the little guy—in this case, little woman—rather than us big guys” .

Keesokan harinya, panggilan dari GCHQ datang. Katharine ditanyai di departemen keamanan, lalu diserahkan ke polisi Metropolitan. 

Di ruang tahanan Cheltenham, ia digelandang tanpa gelang dan diborgol, merasakan dinginnya sel beton. 

Ia pun memutuskan untuk jujur: “I have only ever followed my conscience,” tegasnya. 

Dia mengaku pembocoran memo demi menghentikan perang ilegal yang akan merenggut ribuan nyawa sipil dan tentara Inggris .

Proses peradilan berlangsung dramatis. Tim pembela dari organisasi hak asasi Liberty mengajukan “Advance Notice of Defence Statement” yang menuntut pengungkapan dokumen pendukung pandangan bahwa perang Irak tanpa resolusi baru PBB melanggar hukum internasional . 

Saat itulah pemerintah terjepit, membuka kemungkinan terbongkarnya nasihat hukum Lord Goldsmith tentang legalitas invasi. 

Enam hari sebelum persidangan di Old Bailey, jaksa memutuskan menghentikan kasus tanpa penjelasan resmi. 

Ruang sidang sunyi sesaat, lalu bergemuruh sorak sorai ketika Katharine keluar .

Keputusan itu menghindarkan pemerintah dari aib besar. Seandainya sidang berlanjut, legalitas perang dan kebebasan pers akan diuji tuntas dengan risiko bocornya dokumen rahasia tertinggi, termasuk surat menyurat Blair–Bush. 

Sir Menzies Campbell menyatakan, “Dropping the charges will avoid severe government embarrassment … It is even possible that the full text of the attorney general’s advice to the cabinet might have been published at last.”

Dampaknya meluas ke ranah politik Inggris dan AS. 

Di Inggris, kepercayaan publik terhadap Tony Blair merosot tajam. Momentum ini memberikan kontribusi pada kejatuhan pemerintahnya. 

Di AS, media mulai mempertanyakan narasi WMD dan melahirkan gerakan pemeriksaan ulang keputusan invasi. 

Laporan Chilcot 2016 akhirnya menyimpulkan bahwa invasi itu “tidak sah” dan “berdasarkan intelijen yang dipertanyakan” . 

Dalam debat panjang tentang legalitas perang, kasus Katharine Gun menjadi simbol penting konflik antara keamanan nasional dan hak publik untuk mengetahui kebenaran.

Katharine Teresa Harwood tumbuh sebagai “third-culture kid.”

Masa kecilnya dihabiskan di Taiwan. Dia menguasai Bahasa Mandarin tanpa aksen asing sebelum melanjutkan pendidikan di Morrison Academy, AS. Kemudian dia mengajar selama dua tahun di pedesaan Jepang, memperkaya wawasan lintas budaya dan mematangkan etos kerjanya. 

Keahliannya dalam bahasa Mandarin dan pengetahuan lintas budaya mempersiapkannya menjadi salah satu penerjemah paling handal di Government Communications Headquarters (GCHQ), di mana ia menangani komunikasi intelijen tingkat tinggi antara NSA dan pemerintah Inggris . 

Pada 4 Januari 2001, Katharine menandatangani dokumen Official Secrets Act sebagai syarat bergabung dan melewati serangkaian tes keamanan serta kemahiran bahasa yang ketat sebelum resmi menjadi penerjemah di Cheltenham pada usia 26 tahun . 

Selama proses rekrutmen, ia juga menjalani pekerjaan sementara guna mendukung hidupnya di Inggris barat daya, termasuk mengajar bahasa dan pekerjaan serabutan lainnya. Di Cheltenham, Katharine menetap bersama suaminya, Yasar, imigran Turki yang menjalankan sebuah kafe di dekat markas GCHQ, saling mendukung dalam kehidupan yang tenang namun penuh tantangan

Kisah Katharine menegaskan peran pers sebagai penegak akuntabilitas. Tanpa Observer, operasi NSA itu mungkin tetap tersembunyi. Kebebasan pers menguat, whistleblower lain terinspirasi oleh keberaniannya. 

Julukan “moral compass” pun melekat padanya.  Katharine rela mengorbankan karier, kebebasan, dan rasa aman keluarga demi menyalakan lentera kebenaran di lorong kelam kekuasaan.

Setelah semua gegap gempita politik mereda, Katharine memilih hidup sederhana bersama suaminya, Yasar, di pedesaan Turki, mengajar bahasa Mandarin, dan menuntut ilmu etika global . Namun, suaranya tidak pernah padam: “I would do it again,” katanya, menegaskan komitmen bahwa pada momen kritis, hanya suara nurani yang dapat diandalkan .

Kisah Katharine Gun adalah pengingat abadi bahwa kebenaran, sekecil apa pun, memiliki kekuatan untuk mengguncang monolit kekuasaan. Dalam dilema antara ketaatan dan keadilan, ia memilih keberanian—dan mengubah jalannya sejarah.


RUJUKAN

Mitchell, M., & Mitchell, T. (2019). The spy who tried to stop a war: Katharine Gun and the secret plot to sanction the Iraq invasion. HarperCollins Publishers.

Penuulis: Edhy Aruman

Kamis, 10 Juli 2025

West Point

West Point adalah Akademi Militer Amerika Serikat yang mendidik calon perwira Angkatan Darat melalui pelatihan keras, disiplin tinggi, dan pembentukan karakter kepemimpinan berbasis nilai dan kehormatan.

Di sebagian besar dari kita, West Point begitu populer karena tidak sedikit para pemimpin angkatan darat kita adalah alumni atau pernah mendapat pelatihan dan pendidikan lanjutan di West Point.

Di balik reputasinya yang megah, West Point bukan sekadar tempat mencetak jenderal dan perwira. Akademi ini adalah ruang pembentukan karakter, di mana nilai kepemimpinan ditanamkan melalui pengalaman nyata dan refleksi mendalam. 

Para alumninya tidak hanya belajar strategi dan taktik, tetapi juga bagaimana memimpin dalam kondisi paling sulit—seperti yang dialami Kapten Jim Smith dalam kisah berikut ini.

Suatu malam yang dingin di pinggiran Mosul, Kapten Jim Smith, dengan kaki terluka dan wajah yang masih menyisakan sisa debu medan perang, berdiri di hadapan kelas pelatihan militer. 

Ia tidak membaca dari buku. Ia tidak menggunakan slide presentasi. Ia hanya berkata, “Ada satu malam, saat tembakan penembak jitu menghantam kami….”

Dan sejak kalimat pertama itu, para taruna mendengarkan dengan napas tertahan. 

Apa yang dibagikannya bukan hanya strategi atau teori kepemimpinan, melainkan kisah nyata yang dipenuhi keberanian, ketakutan, keputusan yang berat, dan kesetiaan. 

Hari itu, ia bukan hanya seorang perwira. Dia adalah seorang pendidik, seorang pengembang pemimpin, dan seseorang yang telah berdiri di garis batas antara hidup dan mati.

Dari tempat inilah, Akademi Militer Amerika Serikat, West Point, membentuk pondasi kepemimpinan yang tak tertandingi. Bukan karena mereka mengajarkan perintah, tetapi karena mereka membentuk karakter. 

Buku Leadership Lessons from West Point membawa kita ke dalam jantung pengalaman-pengalaman ini. Bukan untuk menjadikan kita jenderal, tetapi untuk menjadikan kita pemimpin di kantor, di kelas, di organisasi sosial, bahkan dalam keluarga kita sendiri.

Pelajaran utama dari West Point adalah bahwa kepemimpinan sejati bukan tentang prestise, tetapi tentang pengaruh; bukan tentang jabatan, tetapi tentang tanggung jawab. 

Seorang pemimpin tidak dinilai dari statistik laporan tahunan, tetapi dari mata orang-orang yang ia pimpin. 

Seperti yang dikatakan Mayor Eric G. Kail: keberhasilan seorang pemimpin sejati terpantul dari keberhasilan orang lain yang telah ia bantu bentuk.

Kepemimpinan di West Point menuntut refleksi yang dalam terhadap kegagalan. Mayor Doug Crandall membagi kegagalan dalam tiga tingkatan, dan yang paling menyakitkan adalah ketika tindakan kita bertentangan dengan siapa kita ingin menjadi. 

Pelajaran ini menyakitkan, bahkan menjijikkan, tetapi itulah jalan satu-satunya untuk tumbuh. Kepemimpinan bukan tentang selalu benar, tetapi tentang cukup berani untuk mengakui saat salah dan berubah.

Di sana, kita juga belajar bahwa kepemimpinan dimulai dari diri sendiri. Seorang kadet muda, Greg Hastings, pernah ditegur karena misi iseng yang ia ikuti. 

Namun pelatihnya tidak sekadar menghukum. Ia mengajarkan bahwa tidak peduli betapa rendahnya posisi kita dalam rantai komando, kita selalu memimpin satu orang: diri kita sendiri. 

Dari pelajaran ini tumbuhlah pemahaman bahwa setiap tindakan kita menciptakan pengaruh, sekecil apapun.

Namun, kepemimpinan sejati tidak berhenti pada pengaruh personal. Ia membentuk moral kolektif. Brian Tribus menunjukkan bagaimana pemimpin harus mampu memengaruhi filosofi moral organisasinya. 

Dia membangun budaya yang tidak sekadar tertulis dalam aturan, tetapi hidup dalam tindakan sehari-hari. 

Kepemimpinan adalah tentang menanamkan nilai, bukan memaksakan disiplin.

Sementara itu, Tom Kolditz berbicara tentang kepemimpinan dalam situasi ekstrem, di mana nyawa dipertaruhkan. Di sinilah semua teori runtuh dan yang tersisa hanya karakter. Pemimpin in extremis berbagi risiko, bukan hanya perintah. 

Mereka berjalan bersama timnya, tidur di tanah yang sama, lapar bersama, dan tetap tenang ketika dunia di sekelilingnya runtuh.

Dari langit dengan tim terjun payung hingga lorong-lorong kelas di akademi, dari hutan pertempuran hingga ruang rapat perusahaan, semua pelajaran ini menemukan tempatnya. 

West Point mengajarkan bahwa pemimpin hebat tidak muncul karena keberuntungan. Mereka dibentuk—oleh pengalaman, kegagalan, kerendahan hati, dan komitmen untuk melayani yang lain.

Inilah inti dari Leadership Lessons from West Point: Kepemimpinan bukanlah bakat, tetapi pilihan yang diambil setiap hari, dalam diam maupun dalam sorotan. 

Kepemimpinan terbaik tidak selalu datang dari mereka yang paling keras bersuara, tetapi dari mereka yang berjalan di belakang dan mendorong orang lain ke depan. 

Dunia tidak membutuhkan lebih banyak bos. Dunia membutuhkan lebih banyak pengembang pemimpin.

Karena di akhir hidup kita, bukan gelar atau statistik yang akan dikenang. Tapi orang-orang yang berkata, “Saya menjadi pemimpin yang lebih baik karena dia pernah memimpin saya.”

 Penulis: Edhy Aruman

Minggu, 06 Juli 2025

Naik-Turun


Grafik jogging saya agak kacau sepekan terakhir ini. Naik-turun terlalu ekstrim. Padahal sudah berbulan-bulan konsisten dengan jarak tempuh kisaran 5 km per hari.

Penyebabnya dua: Gangguan eksternal seperti cuaca yang sering hujan dadakan dan gangguan internal seperti munculnya aji mumpung. Mumpung mendung, joggingnya berhenti. Padahal, mendung bukan berarti hujan.

Hari ini, misalnya. Langkah saya berhenti pada catatan 4,78 km. Hanya kurang 220 meter saja untuk mencapai 5 km. Mendadak malas melanjutkan karena timer sudah mencatatkan waktu tempuh 60 menit! Hanya karena notifikasi itu saja, saya berhenti jogging.

Ada ''seseorang'' yang berbisik: ''Sudah cukup itu,'' katanya.

Mungkin pembisik ini sejenis makhluk astral yang tidak senang kalau ada penderita diabetes hidup sehat. Yang pasti, ia sering datang pada saat durasi jogging mendekati 60 menit. Dalam tujuh hari terakhir, pembisik menang 4 kali. Saya menang 3 kali. Skor 4-3.

Meski grafiknya masih tidak stabil, dampak terhadap kesehatan saya tetap bagus. Secara garis besar, saya sejak 1 Maret 2024, atau selama 494 hari terakhir, saya tidak pernah lagi suntik insulin untuk mengendalikan kadar gula darah.

Bila setiap hari saya harus suntik insulin dua kali, Gemini Google menginformasikan bahwa saya telah menghemat uang kurang lebih Rp10.800.000. Perhitungannya cukup panjang. Anda bisa bertanya sendiri kepada Gemini dengan promp:

''Seandainya saya bergantung dengan injeksi insulin untuk mengendalikan kadar gula darah sejak 1 Maret 2024 sampai hari ini, berapa banyak injeksi yang saya habiskan dan berapa uang yang saya keluarkan untuk membeli insulin tersebut? Saya tinggal di Jakarta.'' 

Selain tidak menggunakan insulin, saya juga berhasil berhenti merokok secara total sejak 1 Maret 2024. Dulu, saya menghabiskan rokok rata-rata dua bungkus seharga Rp 70.000 per hari. Dengan demikian, saya menghemat belanja rokok selama 494 hari senilai Rp34.580.000. Cukup untuk membeli satu unit sepeda motor Honda PCX atau Yamaha NMAX. 

Tidak mengonsumsi insulin dan rokok hanya dua manfaat yang bisa dihitung nilainya. Namun ada satu manfaat lagi yang tidak bisa ditakar dengan uang, yakni kondisi sehat itu sendiri. 

Coba saja!

Penulis: Joko Intarto

Sabtu, 05 Juli 2025

Ketinggalan Kereta


Dalam dua pekan terakhir, kita disuguhi dua musibah beruntun: Satu di gunung Rinjani, satu lagi di Selat Bali. Ada pelajaran penting tentang manajemen keselamatan yang bisa dipetik dari dua kejadian memilukan itu.

Juliana Marins mengalami kecelakaan di Gunung Rinjani pada Sabtu, 21 Juni 2025, sekitar pukul 06:30 WITA (23:30 GMT Jumat, 20 Juni 2025). Dia terjatuh ke jurang sedalam sekitar 600 meter di kawasan Cemara Tunggal, jalur Sembalun, saat mendaki menuju puncak bersama lima pendaki lain dan seorang pemandu.

Pendaki gunung asal Brazil itu sempat terdeteksi pada kedalaman 200 meter oleh kamera drone pendaki lain asal Malaysia. Namun beberapa saat kemudian, korban hilang dari posisi tersebut. Korban ditemukan dalam keadaan tewas, tiga hari kemudian, pada kedalaman 600 meter. Rupanya dia terperosok 400 meter dari posisi semula. 

Kecelakaan feri terbaru di Selat Bali terjadi pada Rabu malam, 2 Juli 2025, melibatkan Kapal Motor Penumpang (KMP) Tunu Pratama Jaya yang tenggelam di lintasan Ketapang (Banyuwangi) menuju Gilimanuk (Bali). 

Status Terkini (per 4 Juli 2025):

Korban meninggal: 5–6 orang 

Korban selamat: 29–31 orang.

Korban hilang: 30 orang.

Total penumpang dan awak: 65–66 orang di kapal, dengan 22 kendaraan. Dalam kasus kecelakaan kapal penyeberangan ini, ditemukan ketidakpastian jumlah korban, karena data pada manifes yang tidak akurat. 

Saya jadi ingat pada sahabat saya yang sudah lama tidak berjumpa: Avon Testri Wibowo. Sejak lulus kuliah di Universitas Indonesia, ia menekuni bisnis di bidang teknologi informasi. Namun saya masih sering membaca namanya dalam daftar muzakki di Lazismu PP Muhammadiyah. Namanya setiap bulan muncul dalam data transaksi sebagai pembayar zakat.

Terakhir ketemu pada tahun 2012, Avon memperlihatkan alat mungil berbentuk bandul dengan gelangnya.  Alat itu rupanya Global Positioning System (GPS) tracker yang berguna untuk melacak keberadaan kucing dan anjing yang hilang. 

Avon kemudian memamerkan alat lain yang serupa tetapi beda model. Ternyata GPS tracker yang ini ditujukan bagi orang tua untuk ingin mengetahui posisi anak-anaknya sepulang sekolah.

Saat itu, kasus penculikan anak-anak di Jabodetabek sedang marak. Penjahat berpura-pura menjadi penjemput anak-anak yang menunggu korban di gerbang sekolah. Avon menyarankan orang tua murid untuk memasang GPS tracker model gantungan kunci di tas putra-putrinya, agar bisa memonitor posisinya secara real time.

Avon juga memamerkan GPS tracker yang digunakan untuk memonitor pergerakan mobil. Saat itu, masih tahap ujicoba. Avon memonitor beberapa unit bus sekolah gratis yang berseliweran di kawasan Jakarta Selatan. Sistem itu berguna bagi operator bus sekolah dalam memaksimalkan layanannya kepada para penumpang.

Dalam potongan video pertemuan antara Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni dengan rombongan tim evakuasi Juliana Marins, terungkap fakta bahwa GPS tracker belum menjadi bagian dari manajemen keselamatan pendakian gunung Rinjani. Para pendaki memang memiliki peralatan digital untuk memonitor posisinya, tetapi alat itu hanya untuk dirinya sendiri. 

Seharusnya Basarnas memiliki sistem pemantauan dan pelacakan posisi seluruh porter, guide dan pendaki Rinjani secara real time. Semua pihak yang mendaki Rinjani diwajibkan menggunakan GPS tracker dari Basarnas, yang bentuknya bisa bandul kalung, gelang atau gantungan kunci.

Di kantor pusat PT Pelni, saya sempat melihat command center-nya yang menampilkan posisi dan rute pergerakan kapal-kapal milik Pelni di seluruh Indonesia. Data yang tampil di layar raksasa itu real time.  Bila salah satu kapal Pelni mengalami masalah, pusan komando di kantor pusat langsung tahu. Pimpinan bisa mengambil keputusan cepat.

GPS adalah teknologi berbasis satelit yang digunakan untuk menentukan lokasi secara real-time di mana saja di bumi. GPS Tracker adalah perangkat yang memanfaatkan teknologi GPS untuk melacak posisi objek seperti pendaki di gunung Rinjani atau penumpang kapal/feri di Selat Bali. 

Selama masih berfungsi dan baterainya masih menyala, GPS tracker akan mengirimkan sinyal ke satelit secara terus-menerus. Oleh satelit, sinyal itu dikirimkan ke server pusat pemantauan melalui jaringan seluler (2G/3G/4G).

Tiga belas tahun lalu, Avon sudah menjadikan jasa monitoring dan pelacakan posisi kucing berbasis GPS sebagai bidang usaha. Ternyata hari ini masih banyak penanggung jawab keselamatan orang yang ketinggalan kereta.

Penulis: Joko Intarto 

Rabu, 02 Juli 2025

Sejarah Itu


Sejarah kadang berlaku tidak adil. Beberapa nama ditulis besar, dielu-elukan sepanjang masa. Sementara yang lain, meski keringatnya mengalir di panggung yang sama, peluhnya ikut membangun kejayaan yang sama, perlahan menghilang dari ingatan.

Ini seolah membenarkan adagium, bahwa sejarah ditulis oleh para pemenang.

Tan King Gwan adalah salah satunya.

Indonesia mengenal Ferry Sonneville. Mengenal Tan Joe Hok. Mengenang Rudy Hartono, Liem Swie King, dan generasi emas lainnya. Tapi siapa yang masih menyebut nama Tan King Gwan, lelaki sederhana dari Salatiga, yang pernah menjadi bagian penting dari kejayaan Indonesia di lapangan bulu tangkis dunia?

Malam itu, 15 Juni 1958, saat waktu menunjukkan pukul 22.00, sejarah olahraga Indonesia berubah. Singapore Badminton Stadium menjadi saksi, Indonesia untuk pertama kalinya merebut Piala Thomas, lambang supremasi bulu tangkis beregu putra dunia. 

Ferry Sonneville memang menjadi penentu kemenangan di partai keenam, tapi kemenangan Indonesia adalah buah dari perjuangan kolektif. Dan jauh sebelum itu, Tan King Gwan dan pasangannya, Nyoo Kiem Bie, sudah mengukir lima angka kemenangan untuk Merah Putih.

Yang mungkin tak banyak tahu, Tan King Gwan memulai kariernya bukan sebagai pemain ganda, melainkan tunggal. 

Di usia 12 tahun, ia sudah jatuh cinta pada bulu tangkis. Di usia 21, ia mengukir prestasi besar di PON 1953 Medan dan Kejurnas 1954 Surabaya, bahkan pernah mengalahkan Ferry Sonneville, sang bintang utama Indonesia kala itu. 

Tapi di sektor tunggal, persaingan begitu ketat. Tan King Gwan harus mengakui keunggulan nama-nama besar seperti Eddy Jusuf dan Tan Joe Hok.

Takdir membawanya ke jalur lain. Tahun 1955, sebuah pertandingan ekshibisi diadakan untuk mengumpulkan dana keberangkatan atlet. Tan King Gwan dipasangkan dengan Nyoo Kiem Bie. 

Tanpa ekspektasi besar, mereka menantang pasangan kuat Eddy Jusuf dan Ferry Sonneville. 

Siapa sangka, mereka menang telak 15-0, 15-1. Kemenangan itu jadi awal perjalanan duet legendaris yang dikenal dunia sebagai “Ghost Double” — pasangan hantu yang sering membuat lawan tak berkutik.

Bukan hanya soal teknik. Tan King Gwan dikenal karena ketenangan, kerja keras, dan dedikasi tanpa henti. Dia bukan tipe pemain flamboyan yang mencuri sorotan. Dia adalah sosok yang mengerjakan tugasnya, diam-diam, tapi pasti. Setiap pukulan, setiap poin, adalah hasil latihan panjang, bukan keajaiban sesaat.

Fisiknya kecil, tapi semangatnya besar. Smes tajam dari Nyoo Kiem Bie dan pertahanan kokoh dari Tan King Gwan menjadi kombinasi mematikan yang membawa Indonesia berjaya di Singapura 1958. Mereka bahkan mengalahkan ganda Denmark terbaik, Hammergaard Hansen dan Henning Borch, sesuatu yang saat itu dianggap nyaris mustahil.

Di balik semua itu, ada sisi manusiawi yang menggetarkan hati. Bung Karno sendiri memberi nama Indonesia untuknya: Darmawan Saputra. Sebuah simbol bahwa Tan King Gwan adalah bagian dari harapan besar bangsa.

Sayangnya, ketenaran bukan hal yang dikejarnya. Setelah masa emasnya, Tan King Gwan sempat melatih di Pelatnas PBSI, khusus menangani sektor ganda putri. Tapi dunia glamor olahraga tak lama memikatnya. Ia memilih bekerja di perusahaan otomotif, hidup sederhana, jauh dari sorotan publik.

Tan King Gwan wafat pada 9 Februari 2001. Dia meninggalkan warisan sebagai salah satu pahlawan besar bulu tangkis Indonesia yang nyaris terlupakan.

Sahabatnya, Tan Joe Hok, pernah berkata, "Dia ini pemain yang rajin. Permainannya tidak istimewa, tapi juga tidak biasa-biasa saja." Kalimat sederhana itu merangkum esensi sosok Tan King Gwan — bukan superstar di mata publik, tapi pahlawan di hati timnya.

Tan King Gwan mengajarkan, kejayaan tak selalu datang dari sorotan kamera. Ada nama-nama yang memilih berjuang dalam senyap, tanpa haus pujian, tapi memberi dampak besar. Ada legenda yang tak sibuk mengejar popularitas, tapi fokus memberi kontribusi nyata.

Kini, saat Indonesia dikenal sebagai raksasa bulu tangkis dunia, mari sejenak menundukkan kepala, mengenang mereka yang pondasinya kita pijak. Tan King Gwan, legenda yang tak boleh dilupakan. Karena tanpa mereka yang diam-diam berjuang, kemenangan tak pernah jadi kenyataan. 

Penulis: Edhy Aruman


Sumber:

Jahja, H. J. (2001). Peranakan Idealis: Dari Lie Eng Hok sampai Teguh Karya. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Selasa, 01 Juli 2025

Tiga Puluh Tiga


Usia 33 kerap disebut sebagai salah satu tonggak istimewa dalam perjalanan hidup manusia. Bukan sekadar angka, 33 memuat lapisan simbolisme spiritual, sejarah, dan energi transformatif yang melampaui hitungan waktu biasa. 

Dalam tradisi numerologi modern, 33 dikenal sebagai Master Number , yang kerap dijuluki sebagai Master Teacher.

Angka ini beresonansi dengan energi kasih sayang, keberkahan, inspirasi, kejujuran, keberanian, dan disiplin diri. Lebih dari itu, 33 diyakini sebagai angka yang mengingatkan manusia bahwa "semua hal adalah mungkin" ( all things are possible ) serta melambangkan bimbingan dalam perjalanan hidup

Mirip dengan cerita-cerita para pesohor di industri teknologi informasi, lembaga pendidikan LSPR dimulai dari sebuah ruangan kecil. Ketekunan, kegigihan, kesabaran, dan karakter humanis Prita Kemal Gani membuat LSPR makin kokoh dan terkenal.

Tiga puluh tiga tahun lalu, dimulai dari sepetak ruangan berukuran 12 m2 di Gedung WTC Jl. Sudirman, Jakarta, Prita membuat training school di bidang public relations (PR). Ruang seukuran itu hanya cukup untuk menempatkan meja pegawai penerima murid. Berada di antara ruang lainnya di gedung (saat itu) yang berkelas internasional, ruangan tersebut tidak menonjol.

Mirip dengan cerita-cerita para pesohor di industri teknologi informasi, lembaga pendidikan LSPR tidak langsung besar. Kiprahnya dalam pengembangan ilmu dan pofesi PR dimulai dari kecil, bahkan sangat kecil. Untuk ruang kelasnya, karena sebenarnya saat itu belum memiliki ruang kelas, Prita menyewa ruangan kelas di WTC secara jam-jaman.

Keterbatasan itu membutuhkan kreativitas, terutama dalam pengaturan kelas jam belajar. Tim Prita yang saat itu tidak sampai lima orang harus memutar otak mengatur ruangan. Tidak mudah, apalagi saat itu hampir semua pesertanya adalah pekerja. 

Jadinya, kelas dan jam pembelajarannya diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu pekerjaan peserta. Untuk kelas awal kursus, misalnya, ditetapkan selama tiga bulan dengan jadwal belajar dua kali seminggu, misalnya Senin dan Kamis, sehabis jam kantor pukul 18.30-21.00.

Langkah kecil ini ternyata membuka peluang. Peserta dimulai dari 30 orang dan terus bertambah hingga peserta yang ingin mendaftar harus masuk daftar tunggu.

Saat itu, seperti dituturkan Prita dalam buku ini, PR terbilang ilmu baru. Kebanyakan peserta adalah pekerja yang ingin memperluas wawasan tentang PR. Training memberikan ilmu yang fokus di bidang PR, mulai dari basic PR, pembuatan program dan perencanaan PR, media relations, PR strategy dan tactic, serta penulisan PR.

Kini lembaga kursus itu berkembang menjadi Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR, dan telah meluluskan hampir seratus ribu sarjana S-1 dan S-2. Di antara mereka terdapat pesohor seperti Prilly Latuconsina; Angkie Yudistia, Staf Khusus Presiden Republik Indonesia; dan Audrey P Puetriny, Deputy Chief of Corporate Affairs Gojek. Ada juga pesohor lain, termasuk Duta Besar Indonesia untuk Beijing Djauhari Oratmangun.

Kampus LSPR berada di Sudirman Park, Jakarta; Transpark Bekasi, dan Bali. Mahasiswanya berasal dari berbagai wilayah di Indonesia dan luar negeri.

Perjalanan menuju sukses sangat panjang dan penuh liku. Untuk mendapatkan nama LSPR, misalnya, prosesnya tidak semudah yang diduga orang. Sebelum mendapatkan nama LSPR (The London School of Public Relations), Prita pernah mempunyai rencana ―dan itu sudah hampir setengah jalan― bekerjasama dengan seorang warga negara asing. Maksud Prita adalah menjalin kemitraan guna membesarkan lembaga pendidikan yang mempunyai kekhususan di bidang PR ini.

Namun, setelah melewati berbagai diskusi, kemitraan itu tidak terwujud. Prita dan calon mitranya tidak sepakat. Meski demikian, Prita tak patah semangat. Penerima gelar doktor kehormatan di bidang PR dari Coventry University, Inggris, ini kukuh mewujudkan mimpinya mempunyai lembaga pendidikan PR. Kegagalan itu membuatnya makin bersemangat dan rajin berdiskusi dengan sang suami, Kemal Effendi Gani, sehingga membuahkan hasil dengan pemilihan nama LSPR Jakarta.

Setelah LSPR berdiri pada 1992, Prita terus berusaha keras memajukannya. Salah satu pencapaiannya adalah mendapatkan izin pemerintah untuk menaikkan status LSPR dari lembaga kursus ke tingkat yang lebih tinggi.

Namun, tantangan tetap muncul. Tahun 1998, Indonesa mengalami krisis ekonomi, bahkan multidimensi karena terjadi juga krisis politik. Nilai dolar yang semula hanya Rp 2.500 melejit menjadi Rp 16.900. Harga-harga barang dan inflasi membubung tinggi.

Salah satu dampaknya adalah banyak pelajar Indonesia yang sekolah di luar negeri pulang ke Tanah Air, dan mahasiswa Indonesia yang berencana kuliah di luar negeri batal. Situasi ini ternyata berdampak positif bagi perkembangan LSPR. Banyak calon mahasiswa yang mendaftarkan diri ke LSPR. Ini juga membangkitkan semangat Prita untuk terus meningkatkan dan mengembangkan LSPR.

Pada tahun 1999, secara resmi LSPR berubah status dari lembaga kursus menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi The London School of Public Relations (STIKOM LSPR). Nama itu dipilih karena Prita sempat menuntut ilmu PR di London. Itu sebabnya, banyak kurikulum yang diberlakukan di LSPR merupakan adaptasi dari pendidikan PR dari London.

Pada 1999 itulah mahasiswa LSPR datang bagaikan air mengalir dari keran yang terbuka ke sebuah kolam besar atau telaga, yakni LSPR. Setelah beberapa lama menempati kampus di Intiland Tower (Wisma Dharmala Sakti), Jalan Sudirman, gedung yang banyak mendapat pujian karena desainnya itu tidak bisa lagi menampung mahasiswa yang semakin banyak.

Akhirnya, sebagian pindah ke Gedung Dewan Pers di Jl. Kebon Sirih. Masih belum menampung jumlah mahasiswa yang semakin banyak ―sering membuat kemacetan― akhirnya sebagian lagi berkuliah di kampus di Gedung Bimantara selama beberapa tahun.

Kepindahan sebagian itu selain karena terbatasnya daya tampung di Kampus Dewan Pers, ada cerita lain di baliknya. Suatu malam, plafon salah satu ruangan kampus di Dewan Pers ambruk dan jatuh di tengah kelas. Untunglah, tidak menimbulkan korban. Saat itulah, tekad Prita makin bulat untuk mencari tempat baru yang lebih layak.

Suatu hari, Prita bersama sang suami melewati Sudirman Park di Jl. K.H. Mas Mansyur, Jakarta. Mereka melihat di situ ada pembangunan apartemen dan ruko. Di depannya terpampang promo penjualan ruko dengan harga perdana. Mereka pun mampir. Ternyata, mereka tergerak membeli ruko yang kemudian didesain kembali menjadi bangunan kampus yang cantik untuk menampung mahasiswa yang semakin banyak.

Mereka membeli dua ruko yang uang mukanya dibayar dengan dua kartu kredit. Namun, itu tak berlangsung lama karena beberapa waktu kemudian ―sebelum proyek itu rampung― mereka melengkapi dua ruko tadi menjadi 18 unit. Inilah yang menjadi kampus LSPR pertama.

Lembaga pendidikan dan jumlah mahasiswa LSPR terus berkembang. Tahun 2019, LSPR membangun kampus baru ―sebuah gedung yang tinggi dan nyaman untuk mahasiswa belajar dan beraktivitas― di Transpark Bekasi. Ini merupakan berkat uluran tangan pengusaha Chairul Tanjung yang memberi kemudahan dalam kepemilikannya.

Tiga puluh tahun sejak berdiri, nama LSPR disempurnakan. Saat ini LSPR terdaftar di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi sebagai Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR. Rebranding pun dilakukan dengan nama LSPR Institute of Communication & Business.

Kesuksesan LSPR mencerminkan gaya kepemimpinan Prita yang selalu mengedepankan sisi kemanusiaan, antara lain penghargaan dan hormat kepada kedua orang tua.

“Sejak kecil saya mengagumi sosok seorang guru. Kehadirannya ditunggu, suaranya didengarkan, dan sosoknya dimuliakan. Seorang guru tampil hebat, karena memiliki jawaban dari semua pertanyaan murid-murid di hadapannya,” kata Prita. Maka, ketika sudah bekerja sebagai seorang profesional, di dalam dirinya tetap ingin mewujudkan keinginan menjadi seorang pendidik.

Namun, yang tak kalah menarik adalah episode-episode kehidupan Prita sebagai seorang pemimpin. Ia menganggap pegawai serta pendidik di LSPR adalah keluarga. Ia mengibaratkan mendirikan LSPR seperti membangun sebuah rumah tangga. “Sejak awal saya selalu yang terdepan memperjuangkan pegawai. Tak jarang saya menjual perhiasan untuk membayar gaji dosen. Semua kami lakukan bersama-sama, hasilnya kami nikmati bersama,” katanya.

“Mungkin bekerja sebagai pendidik jumlah penghasilannya tidak berlebihan, namun kami memiliki kebahagiaan yang tak bisa dibeli dengan uang,” ungkap Prita. Dalam jajaran tim LSPR saat ini, banyak posisi penting yang dibina dari awal. “Banyak dari mereka yang kini menduduki posisi-posisi penting di LSPR awalnya adalah mahasiswa dan kami sekolahkan hingga meraih gelar Ph.D,” katanya. 

Penulis: Edhy Aruman

Rabu, 25 Juni 2025

Diplomasi Lembek Tak Hasilkan Apapun, Bersiagalah!

Indonesia berdiri di persimpangan sejarah, tempat di mana politik dan ekonomi bertemu untuk menentukan masa depan bangsa. Kekuasaan politik yang sejati—yang berada di tangan rakyat—adalah kunci utama untuk memajukan ekonomi. Namun, jalan menuju kekuasaan itu bukanlah jalan yang lembut dan nyaman. Ia menuntut aksi revolusioner yang teratur, keberanian tanpa tunduk pada tekanan, dan komitmen yang tak tergoyahkan.

Sejarah telah mengajarkan kita bahwa diplomasi lembek dan kongres penuh basa-basi tak pernah berhasil meruntuhkan imperialisme. Dewan Rakyat, misalnya, hanya menjadi tempat permainan kata-kata tanpa tindakan nyata. Bagi bangsa yang haus akan kebebasan, kekuasaan yang sesungguhnya tidak bisa diperoleh melalui kompromi dengan penjajah, tetapi dengan mengguncang sistem yang menindas.

Indonesia harus memahami bahwa perjuangan kemerdekaannya bukanlah perjuangan lokal semata. Ini adalah bagian dari pertempuran yang lebih besar—antara Timur dan Barat, antara bangsa-bangsa berwarna melawan dominasi kekuasaan kulit putih. Kebebasan Indonesia akan menjadi sinyal bagi bangsa-bangsa Asia lainnya untuk bangkit melawan penindasan.

Bayangkan, kemerdekaan Indonesia adalah seperti letusan sebuah pistol yang menggema ke seluruh Asia, mengancam kedudukan Barat. Ketika Indonesia bebas, dunia akan menyaksikan perubahan besar dalam keseimbangan kekuasaan global. Seperti yang ditakuti oleh kekuatan Barat, kebebasan Indonesia adalah katalis bagi pemberontakan di seluruh benua.

Namun, untuk mewujudkan itu, aksi massa yang terorganisir adalah keharusan. Rakyat harus bersatu, melangkah maju dengan keyakinan yang tak tergoyahkan. Tidak ada ruang untuk kepasifan. Mengandalkan keputusan-keputusan kongres atau perbincangan di warung kopi hanya akan menjadi fatamorgana yang menyesatkan.

Rakyat Indonesia harus menggali semua pengetahuan dan sumber daya yang dimilikinya untuk membangun gerakan yang solid. Dengan aksi yang terencana, kemerdekaan adalah takdir yang tak terelakkan, seperti ayam yang pulang ke kandangnya.

Kita harus sadar bahwa perjuangan ini tidak hanya soal politik dan ekonomi; ia adalah perjuangan untuk martabat dan kebebasan bangsa. Setiap langkah menuju kemerdekaan adalah langkah yang menggerakkan roda sejarah, tak hanya bagi Indonesia tetapi bagi seluruh Asia.

Kemerdekaan Indonesia akan menjadi pesan yang kuat: bahwa bangsa-bangsa Asia tidak lagi tunduk di bawah kekuasaan kolonial. Ketika kekuatan rakyat bersatu dalam satu tujuan, tidak ada kekuatan imperialisme yang dapat bertahan.

Dan ketika saat itu tiba, Indonesia tidak hanya akan merdeka, tetapi juga menjadi obor bagi bangsa-bangsa lain untuk bangkit, menerangi jalan menuju dunia yang lebih adil dan merdeka.

Selasa, 24 Juni 2025

Indonesia: Mata Rantai Utuh

Indonesia, dengan segala tantangannya, berdiri di ambang perubahan besar. Kesadaran kolektif bangsa ini adalah awal dari sebuah kebangkitan yang tak bisa lagi dibendung. Di tengah keterpurukan ekonomi dan penindasan sosial, muncul bibit-bibit perlawanan yang tak hanya berakar pada rasa sakit, tetapi juga pada harapan yang mengakar kuat.

Keunikan perjuangan Indonesia terletak pada keberanian untuk melawan tanpa dukungan modal besar, tanpa perlindungan tuan tanah lokal, dan tanpa sistem pendidikan yang memadai. Tetapi, justru inilah yang menjadi kekuatannya. Keberanian itu lahir dari kesadaran bahwa bangsa yang tertindas harus menggantungkan masa depannya pada tekad dan kebersamaan.

Di balik semua tantangan itu, sejarah mencatat bahwa tanah ini telah melahirkan pemikir-pemikir besar, tokoh-tokoh intelektual yang menjadi obor di tengah gelapnya penjajahan. Mereka mengingatkan bangsa ini akan satu hal: kemerdekaan bukanlah hadiah dari penjajah, tetapi sesuatu yang harus direbut dengan perjuangan.

Sebuah perlawanan yang dimulai dari kebangkitan rakyat kecil—petani yang dirampas tanahnya, buruh yang diperas tenaganya, dan pedagang kecil yang tergusur dari pasar—mulai menjelma menjadi sebuah gelombang besar. Gelombang yang menyatukan lintas golongan, lintas suku, dan lintas agama.

Indonesia yang dulu dianggap mata rantai terlemah, kini berubah menjadi bara perjuangan yang menyala. Setiap langkah maju bangsa ini menjadi ancaman bagi imperialisme, dan setiap kesadaran baru yang tumbuh di hati rakyatnya adalah tamparan bagi sistem penjajahan yang sudah rapuh.

Kebangkitan Asia adalah kisah yang baru dimulai, dan Indonesia akan menuliskan bab-bab terpentingnya. Bangsa ini akan menunjukkan kepada dunia bahwa kemerdekaan bukan sekadar impian, tetapi sebuah hak yang diperjuangkan dengan darah, air mata, dan pengorbanan.

Di ujung jalan ini, kemerdekaan bukan hanya untuk Indonesia. Gelora perjuangan ini akan menginspirasi bangsa-bangsa Asia lainnya untuk bangkit dari belenggu yang sama. Dan ketika saat itu tiba, sejarah akan mengingat Indonesia bukan hanya sebagai sebuah bangsa yang merdeka, tetapi juga sebagai pemantik kebangkitan dunia Timur.

Indonesia tidak lagi menjadi mata rantai terlemah. Indonesia telah menjadi mata rantai yang memutus belenggu penjajahan!

Senin, 23 Juni 2025

Indonesia: Ayo Bangkit dari Rantai Keterpurukan

Tulisan ini dibuat dalam konteks situasi dunia sedang terjadi perang Israel yang menyerang Iran, kemudian dibalas dengan rudal hipersonik yang mengagetkan dunia. Pertahanan Israel yang digembar-gemborkan itu, ternyata koyak oleh serangan balasan Iran yang selama ini dipikir lemah.

Melihat kekuatan ini, membangkitkan banyak pihak kelompok Islam. Mereka menyaksikan, Iran dapat mengambil tongkat estafet keberanian menyerang Israel secara langsung. Negara yang selama ini seolah-olah bisa leluasa bertindak dengan menyerang seenaknya. Terutama terhadap Palestina, yang sudah "tidak berdaya"...

Kondisinya, mirip meski dalam konteks yang berbeda ketika Jepang memegang panji kebangkitan Asia, yang memberikan semangat negara-negara Asia bangkit melawan negara penjajah. Ketika itu, tahun 1940-an, Asia sedang menggeliat. Satu demi satu, bangsa-bangsa yang terbelenggu di Timur mulai menggugat kebebasan. Namun, tak seorang pun dapat memastikan kapan dan di mana bendera kemerdekaan akan pertama kali berkibar. Bagi mereka yang menelisik dalam-dalam persoalan ekonomi, politik, dan sosiologi Timur, jelaslah bahwa Indonesia adalah mata rantai terlemah dalam belenggu panjang imperialisme. Di sinilah, benteng penjajahan Barat pertama-tama bisa dijebol.

Imperialisme Belanda, yang sudah tua dan usang, berdiri di atas pondasi yang rapuh dibandingkan dengan Inggris atau Amerika. Jarak yang membentang luas antara negeri Belanda dan tanah jajahannya di Indonesia mempertegas jurang ini. Negeri Belanda, tanpa sumber daya alam yang cukup untuk industrinya sendiri, mengandalkan hasil bumi Indonesia sejak dahulu kala. Ironisnya, pusat ekonomi yang menopang kehidupan Belanda sebenarnya berada di Indonesia, sementara para bankir, pengusaha, dan pedagang besar tinggal di tanah Eropa.

Di sinilah paradoks muncul. Antara penjajah dan yang terjajah terbentang perbedaan besar—bangsa, agama, bahasa, hingga adat istiadat. Di dalam struktur imperialisme yang mencengkeram dunia kala itu, hubungan antara Indonesia dan Belanda adalah sesuatu yang luar biasa. Kaum pribumi di Indonesia hampir sepenuhnya terpinggirkan dari dunia modal. Tidak ada lapisan pengusaha bumiputra yang kuat untuk menjadi perantara, apalagi sekutu, bagi imperialisme Belanda dalam mempertahankan kekuasaan ekonominya.

Berbeda dengan negara-negara lain seperti Mesir, India, atau Filipina, Indonesia tidak memiliki tuan tanah lokal yang signifikan. Mereka yang pernah ada kini hanyalah bayang-bayang—menjadi buruh, kuli, atau bahkan sekadar pekerja tinta di balik meja. Kaum pedagang besar, menengah, hingga kecil dikuasai oleh bangsa-bangsa lain seperti Eropa, Tionghoa, dan Arab. Sementara itu, lapisan menengah pribumi nyaris lenyap, terkikis oleh masuknya barang-barang pabrik dari Eropa.

Kunci

Pendidikan, salah satu jalur penting menuju kemajuan, sengaja diabaikan oleh penguasa Belanda. Dengan intelektual yang terbatas, upaya membangun kekuatan ekonomi pribumi hampir mustahil. Tidak ada kaum saudagar atau pemodal lokal yang bisa menopang pembangunan industri pribumi, meskipun mereka ada sekalipun. Akibatnya, jalan parlementer yang diimpikan oleh berbagai partai nasional menjadi sia-sia belaka.

Bagaimana mungkin “bapak gula” dan “nenek minyak” di Belanda menyerahkan hak pilih kepada rakyat Indonesia yang mayoritas petani dan buruh miskin? Sistem pemerintahan yang tunduk pada modal asing takkan pernah diakui sebagai pemerintahan dari rakyat dan oleh rakyat.

Realitas ini menunjukkan bahwa Indonesia pada saat itu tidak memiliki faktor ekonomi, sosial, atau intelektual yang cukup kuat untuk melepaskan diri dari imperialisme Belanda. Impian akan kebebasan melalui jalur parlementer hanyalah ilusi, lamunan yang sia-sia.

Namun, bukan berarti harapan itu hilang selamanya. Justru dari kesadaran akan ketimpangan dan ketidakadilan inilah api perjuangan menyala. Bangsa Indonesia mulai menyadari bahwa hanya dengan melawan—menantang kekuatan imperialisme di medan juang—kemerdekaan yang hakiki dapat diraih.

Asia sedang bangkit, dan Indonesia adalah ujung tombak perjuangan itu.

Minggu, 22 Juni 2025

Tuntaskanlah!



Musim panas, Peter Hollins, penulis buku Finish What You Start: The Art of Following Through, Taking Action, Executing, & Self-Discipline, dia membuat ukiran berupa sebuah kano kayu kecil sepanjang 30 senti. 

Minggu pertama berjalan mulus, minggu kedua terasa berat akibat otot tangan yang pegal, dan pada minggu ketiga godaan menonton film baru membuatnya berhenti. Kano itu menjadi saksi bisu kemalasan dan penundaan yang terus membayangi. 

Namun, ketika ia mengenal konsep temptation bundling — menggabungkan tugas yang harus diselesaikan dengan imbalan instan yang kita nikmati — semua berubah. Sambil mendengarkan album favoritnya, Hollins berhasil menuntaskan kano itu hingga selesai.

Cerita Hollins mengajari kita bahwa memulai sesuatu jauh lebih mudah daripada menuntaskannya. 

Banyak dari kita yang pernah menjadi seperti Esther yang bertekad membuka usaha kue rumahan setelah bertahun-tahun terkekang rutinitas kantor dan rindukan kebahagiaan dari hobinya. 

Saat cuti dua minggu tiba, ia membayangkan riset resep, survei pasar, dan perencanaan matang. Namun hari-harinya terbuang untuk tidur siang, urusan rumah, dan nongkrong bersama teman tanpa sekalipun menanyakan dukungan atau masukan. 

Impiannya tetap teronggok di kepala, tanpa jejak tindakan nyata.

Begitu pula Sally, idealis yang mendirikan yayasan untuk membantu kaum miskin. Semangatnya berkobar saat mendirikan badan amal, hingga ia dihadapkan pada realita pahit: menggalang dana, bersaing mendapatkan donasi, dan merancang kampanye pemasaran. 

Beban itu membuatnya tercekam frustrasi, hingga dalam hitungan bulan ia memutuskan berhenti, tanpa pernah merencanakan cara agar sisi positif yayasan bisa menutupi tantangan bisnis di baliknya.

Di sisi lain, ada John, penulis novel yang berjuang membagi energi antara pekerjaan kantor dan menulis. Tanpa aturan tegas, tekadnya menulis dua bab per malam luntur saat lelah—hingga novel itu terus tertunda. 

Namun ketika ia menetapkan satu-satunya aturan: setiap malam wajib menyelesaikan dua bab tanpa kompromi, ia mendapati dirinya menuntaskan naskah dengan bangga, meski tubuhnya kelelahan.

Rasa takut juga menghantui Lara, sukarelawan yang merencanakan kampanye galang dana. Idenya brilian, tetapi bayangan penolakan dan penilaian membuatnya membatalkan segala sesuatunya sebelum langkah pertama. Alih-alih kehilangan peluang, ia malah menolak dirinya sendiri, membiarkan kegemarannya padam dalam ketakutan.

Perfectionism pun tak kalah merusak. Paul, sudah bertahun-tahun menambah sertifikasi dan gelar pascasarjana demi persiapan promosi, tetapi tak kunjung melamar. Itu karena dia merasa “resume” belum sempurna. 

Jadinya, kesempurnaan yang dikejar menutup pintu kesempatan lebih awal, membuatnya terjebak stagnasi.

Gerald punya cita-cita besar sebagai pengusaha, namun investasi modal dan pemangkasan gaya hidupnya terlalu menakutkan—hingga ia memilih kembali ke pekerjaan nyaman, meninggalkan mimpinya. Ketakutan akan ketidaknyamanan mengalahkan keberanian berkorban untuk masa depan.

Michael, konsultan lepas, salah satu korban false hope syndrome, kondisi menanam harapan berlebihan untuk perubahan cepat, kecewa dan kehilangan motivasi.  

Ia membayangkan pendapatan besar dengan usaha minimal, namun kenyataan menuntut jam kerja pagi yang tak sesuai ritme tubuhnya. 

Setelah kecewa berulang, ia menyesuaikan jadwal dengan kebiasaan terbaiknya—bangun saat tubuhnya fit dan menunda tugas yang menguras tenaga, sehingga ia dapat menindaklanjuti langkah-langkah kecil secara konsisten.

Sepanjang kisah ini, satu pelajaran jelas: menyelesaikan apa yang dimulai adalah seni mengatur fokus, disiplin, dan momentum. 

Dengan strategi seperti temptation bundling, pembagian tugas kecil harian, aturan tak tergoyahkan, dan kesadaran akan biaya peluang setiap pilihan, kita dapat menyeimbangkan antara kenyamanan masa kini dan hasil masa depan. 

Menindaklanjut berarti mengambil langkah—sekecil apa pun—setiap hari, hingga puncak tujuan akhirnya pun tercapai.

Penulis: Edhy Aruman

Sabtu, 21 Juni 2025

Memo Itu Menyelamatkan Nyawa


Katharine Gun adalah penerjemah bahasa Mandarin di Government Communications Headquarters (GCHQ) Inggris. 

Di balik kesunyiannya itu, dia menyaring ribuan koridor elektronik.

Dia menerjemahkan, menyusun, dan memahami rahasia negara.

Tapi pada 31 Januari 2003, hidupnya berubah selamanya ketika memo Top Secret//COMINT//X1 dari National Security Agency (NSA) AS tiba di antarmukanya .

Selama ini, Katharine menjalaninya sebagai rutinitas biasa: bangun pagi, meneguk kopi, lalu menyelami dokumen intelijen. 

Namun, pagi yang dingin itu, sebuah pesan dari Frank Koza, Kepala Staf Pertahanan Regional NSA, terkuak: NSA dan GCHQ diminta melakukan operasi spionase rahasia untuk memanipulasi suara anggota Dewan Keamanan PBB; Angola, Bulgaria, Kamerun, Chili, Guinea, dan Pakistan, agar mendukung resolusi perang Irak. 

“It was quite cold that Friday morning… I felt quite excited—no, more shocked than anything else,” kenang Katharine, saat mengetahui operasi ilegal itu .

Hatinya bergejolak. Ia selalu percaya bahwa intelijen seharusnya hanya mengumpulkan fakta, bukan menghancurkan kedaulatan diplomatik. 

Ia merenung: jika publik tahu bahwa Presiden AS George Bush dan Perdana Menteri Inggris Tony Blair diam-diam menekan suara-suara penentang dengan cara kotor, mungkin invasi itu bisa dicegah. 

“What I hoped,” ujarnya kemudian, “was that people would see what was happening and be so disgusted that nobody would support the war in Iraq… And I even hoped that the US general public would somehow realize that they were being dragged hook, line, and sinker into the war”.

Keputusan moral itu tiba-tiba—segera setelah membaca memo, Katharine menyelinapkan selembar salinan ke dalam tas tangan. 

Dia mencari satu orang yang bisa dia percaya untuk meneruskan pesan itu: teman karibnya—sebut saja “Jane” — yang diketahui memiliki koneksi ke jurnalis investigasi. 

Tanpa ragu, Katharine mengirim memo itu melalui email, berharap anonimitasnya terjaga .

Memo itu berpindah tangan dengan cepat. Jane menyerahkan naskahnya kepada wartawati Yvonne Ridley, yang menandainya sebagai dokumen otentik dan menghubungi Martin Bright, editor The Observer. 

Setelah tiga minggu verifikasi yang penuh gentar, termasuk usaha membuktikan keaslian serta mempertimbangkan potensi risiko hukum, The Observer mempublikasikan seluruh memo Koza pada 2 Maret 2003 itu. 

Editor Bright kemudian mengakui, “More of a concern to us was that we would be joined in the prosecution. To publish is an offence under the Official Secrets Act as well … So they preferred to take on the little guy—in this case, little woman—rather than us big guys” .

Keesokan harinya, panggilan dari GCHQ datang. Katharine ditanyai di departemen keamanan, lalu diserahkan ke polisi Metropolitan. 

Di ruang tahanan Cheltenham, ia digelandang tanpa gelang dan diborgol, merasakan dinginnya sel beton. 

Ia pun memutuskan untuk jujur: _“I have only ever followed my conscience,” tegasnya. 

Dia mengaku pembocoran memo demi menghentikan perang ilegal yang akan merenggut ribuan nyawa sipil dan tentara Inggris .

Proses peradilan berlangsung dramatis. Tim pembela dari organisasi hak asasi Liberty mengajukan “Advance Notice of Defence Statement” yang menuntut pengungkapan dokumen pendukung pandangan bahwa perang Irak tanpa resolusi baru PBB melanggar hukum internasional . 

Saat itulah pemerintah terjepit, membuka kemungkinan terbongkarnya nasihat hukum Lord Goldsmith tentang legalitas invasi. 

Enam hari sebelum persidangan di Old Bailey, jaksa memutuskan menghentikan kasus tanpa penjelasan resmi. 

Ruang sidang sunyi sesaat, lalu bergemuruh sorak sorai ketika Katharine keluar .

Keputusan itu menghindarkan pemerintah dari aib besar. Seandainya sidang berlanjut, legalitas perang dan kebebasan pers akan diuji tuntas dengan risiko bocornya dokumen rahasia tertinggi, termasuk surat menyurat Blair–Bush. 

Sir Menzies Campbell menyatakan, “Dropping the charges will avoid severe government embarrassment … It is even possible that the full text of the attorney general’s advice to the cabinet might have been published at last.”

Dampaknya meluas ke ranah politik Inggris dan AS. 

Di Inggris, kepercayaan publik terhadap Tony Blair merosot tajam. Momentum ini memberikan kontribusi pada kejatuhan pemerintahnya. 

Di AS, media mulai mempertanyakan narasi WMD dan melahirkan gerakan pemeriksaan ulang keputusan invasi. 

Laporan Chilcot 2016 akhirnya menyimpulkan bahwa invasi itu “tidak sah” dan “berdasarkan intelijen yang dipertanyakan” . 

Dalam debat panjang tentang legalitas perang, kasus Katharine Gun menjadi simbol penting konflik antara keamanan nasional dan hak publik untuk mengetahui kebenaran.

Katharine Teresa Harwood tumbuh sebagai “third-culture kid.”.

Masa kecilnya dihabiskan di Taiwan. Dia menguasai Bahasa Mandarin tanpa aksen asing sebelum melanjutkan pendidikan di Morrison Academy, AS. Kemudian dia mengajar selama dua tahun di pedesaan Jepang, memperkaya wawasan lintas budaya dan mematangkan etos kerjanya. 

Keahliannya dalam bahasa Mandarin dan pengetahuan lintas budaya mempersiapkannya menjadi salah satu penerjemah paling handal di Government Communications Headquarters (GCHQ), di mana ia menangani komunikasi intelijen tingkat tinggi antara NSA dan pemerintah Inggris . 

Pada 4 Januari 2001, Katharine menandatangani dokumen Official Secrets Act sebagai syarat bergabung dan melewati serangkaian tes keamanan serta kemahiran bahasa yang ketat sebelum resmi menjadi penerjemah di Cheltenham pada usia 26 tahun . 

Selama proses rekrutmen, ia juga menjalani pekerjaan sementara guna mendukung hidupnya di Inggris barat daya, termasuk mengajar bahasa dan pekerjaan serabutan lainnya . Di Cheltenham, Katharine menetap bersama suaminya, Yasar, imigran Turki yang menjalankan sebuah kafe di dekat markas GCHQ, saling mendukung dalam kehidupan yang tenang namun penuh tantangan

Kisah Katharine menegaskan peran pers sebagai penegak akuntabilitas. Tanpa Observer, operasi NSA itu mungkin tetap tersembunyi. Kebebasan pers menguat, whistleblower lain terinspirasi oleh keberaniannya. 

Julukan “moral compass” pun melekat padanya.  Katharine rela mengorbankan karier, kebebasan, dan rasa aman keluarga demi menyalakan lentera kebenaran di lorong kelam kekuasaan.

Setelah semua gegap gempita politik mereda, Katharine memilih hidup sederhana bersama suaminya, Yasar, di pedesaan Turki, mengajar bahasa Mandarin, dan menuntut ilmu etika global . Namun, suaranya tidak pernah padam: “I would do it again,” katanya, menegaskan komitmen bahwa pada momen kritis, hanya suara nurani yang dapat diandalkan .

Kisah Katharine Gun adalah pengingat abadi bahwa kebenaran, sekecil apa pun, memiliki kekuatan untuk mengguncang monolit kekuasaan. Dalam dilema antara ketaatan dan keadilan, ia memilih keberanian—dan mengubah jalannya sejarah.

Penulis: Edhy Aruman


RUJUKAN

Mitchell, M., & Mitchell, T. (2019). The spy who tried to stop a war: Katharine Gun and the secret plot to sanction the Iraq invasion. HarperCollins Publishers.

Jumat, 20 Juni 2025

Ahab di Tengah Samudra Konflik: Netanyahu, Iran, dan Obsesi yang Menenggelamkan


Herman Melville membuka Moby-Dick dengan kata-kata sederhana namun penuh makna: "Call me Ishmael." Sebuah undangan bagi pembaca untuk menyelami cerita epik yang penuh obsesi, dendam, dan kehancuran. Di tengah samudra yang luas, kita bertemu Kapten Ahab, seorang pria tua yang karisma dan kebenciannya menyatu menjadi nyala api. Dengan kapal Pequod, ia memimpin awaknya untuk memburu seekor paus putih raksasa bernama Moby Dick — makhluk yang baginya lebih dari sekadar binatang. Moby Dick adalah lambang kekuatan tak terlihat yang, dalam pandangan Ahab, mempermainkan penderitaan manusia.

Narasi ini dibawakan oleh Ishmael, seorang pelaut muda yang gelisah, mencari pelipur di lautan. Ia bergabung dengan awak Pequod bersama Queequeg, seorang harpuner eksotis dengan tato yang melingkupi tubuhnya. Hubungan mereka menjadi simbol persatuan manusia yang melampaui ras, agama, dan budaya. Ketika mereka berlayar, barulah sosok Ahab muncul, seorang kapten pincang dengan pandangan gelap dan suara yang mampu menundukkan hati setiap orang di sekitarnya.

Misi Ahab bukanlah perburuan paus biasa. Ia ingin mengalahkan Moby Dick untuk membuktikan bahwa manusia tidak sepenuhnya tunduk pada nasib. Tetapi obsesi itu perlahan menggerogoti dirinya, menjadikannya seorang tiran yang buta akan realitas. Beberapa, seperti Starbuck, perwira pertama yang religius dan rasional, berusaha mengingatkan Ahab bahwa kebencian terhadap sesuatu yang tidak dapat dimengerti adalah bahaya terbesar. Namun suara logika tenggelam di bawah badai dendam Ahab.

Moby Dick jarang muncul, tetapi kehadirannya merasuki setiap sudut cerita. Ia adalah dewa yang tenang dan tak terjangkau, simbol misteri alam semesta yang menolak untuk dijelaskan. Ahab membencinya karena paus itu adalah cerminan ketidakpastian, sesuatu yang tak bisa dikontrol atau dipahami. Dan kebencian itu membawa Pequod pada kehancuran. Setelah berbulan-bulan melaut, mereka akhirnya bertemu Moby Dick. Dalam tiga hari perburuan, paus itu menghancurkan kapal, membunuh awaknya, dan menyeret Ahab ke kedalaman laut. Hanya Ishmael yang selamat — terapung di atas peti mati Queequeg — untuk menjadi saksi dan penutur tragedi ini.

Kisah Ahab bukan sekadar cerita fiksi. Sosoknya kini menjelma dalam rupa perdana menteri Israel, Benjamin Netanyahu. Sejak awal kariernya, Netanyahu menjadikan Iran sebagai "paus putih" geopolitik yang harus dikalahkan. Baginya, Iran adalah ancaman eksistensial: pengembang senjata nuklir, pendukung terorisme, penyebar kebencian. Di panggung dunia, ia berdiri seperti Ahab, memegang harpun diplomatik dan militer, menatap horison, siap menyerang.

Namun seperti Ahab, obsesi Netanyahu juga memiliki harga. Ketika Hamas menyerang Israel pada 7 Oktober 2023, Netanyahu melihat kesempatan untuk memukul poros Iran: Gaza, Beirut, Damaskus. Tetapi respons Iran datang langsung — rudal dan drone menghujani Israel. Kota-kota seperti Tel Aviv dan Haifa kini menghadapi kekacauan yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Sirene berbunyi tanpa henti, ledakan menggetarkan tanah, rasa aman menghilang.

Netanyahu, seperti Ahab, melihat musuhnya sebagai entitas metafisik, bukan aktor rasional. Dalam kebenciannya, ia kehilangan kemampuan untuk membaca perubahan zaman, menyeret rakyatnya ke dalam konflik yang tidak lagi bisa dikendalikan. Sementara itu, dunia mulai mempertanyakan legitimasi Israel. Demonstrasi bermunculan di Barat, Mahkamah Pidana Internasional membuka penyelidikan, dan kepercayaan publik runtuh. Namun Netanyahu tetap teguh, percaya bahwa satu-satunya jalan keluar adalah dengan menusukkan harpun terakhir ke "paus putih" itu — Iran.

Dalam Moby-Dick, hanya Ishmael yang selamat. Ia adalah saksi yang selamat untuk menceritakan kisah kehancuran itu. Mungkin Ishmael di dunia nyata adalah rakyat Israel yang mulai bertanya: apakah semua ini sepadan? Atau mungkin Ishmael adalah dunia luar, yang mengamati tragedi ini dari kejauhan, mencatat, dan memperingatkan: hati-hati, jangan menjadi Ahab.

Melville memulai novelnya dengan kutipan dari Ayub: “Cuma aku yang bisa lolos agar aku bisa bercerita.” Tragedi besar meninggalkan satu saksi, bukan untuk menang, tetapi untuk menjadi penutur. Jika Netanyahu terus melangkah tanpa mendengar suara waras di sekitarnya, takdirnya bisa jadi tak berbeda dari Ahab: tenggelam bersama dendam yang tidak pernah bisa ditebus.