Dalam sejarah modern Amerika, jarang ada sosok yang begitu dipuja sekaligus dikritik seperti Jack Welch, mantan CEO General Electric (GE).
Ia bermain golf dengan presiden, bergaul dengan bintang film, dan dipuja banyak orang.
Di mata sebagian orang, ia adalah simbol keberhasilan luar biasa karena menjadikan GE perusahaan paling bernilai di dunia.
Namun di balik kilau keberhasilannya, tersimpan kisah tentang bagaimana satu orang bisa mengubah arah kapitalisme, menurut sebagian orang, bukan ke arah yang lebih baik.
Pertengahan abad ke-20, kapitalisme Amerika hidup dalam harmoni yang langka. Perusahaan, pekerja, dan pemerintah berada dalam sebuah ekosistem ekonomi yang relatif adil.
Upah layak dibayar. Regulasi dihormati. Pajak dikucurkan untuk membangun infrastruktur dan pendidikan.
Dan perusahaan-perusahaan besar, seperti General Electric, dianggap sebagai simbol tanggung jawab sosial, bukan hanya mesin laba. GE bangga menyebut "progress" sebagai produk utamanya.
Pada tahun 1953, mereka membelanjakan 37% dari pendapatannya untuk pekerja dan hanya 3,9% untuk investor. Ini bukan sekadar angka. Ini mencerminkan filosofi bahwa bisnis adalah bagian dari masyarakat, bukan sebagai penguasa tunggalnya.
Namun keseimbangan itu tidak bertahan lama.
Di tahun 1970-an, seiring munculnya gagasan pasar bebas ekstrem, paradigma ekonomi mulai terguncang. Milton Friedman -- ekonom Amerika terkemuka, pemenang Nobel, dan tokoh utama ekonomi pasar bebas -- menyerukan agar perusahaan berhenti memedulikan masyarakat, dan fokus tunggal pada satu hal: laba bagi pemegang saham.
Gagasan ini mendapatkan kaki-kakinya di Wall Street, di kampus-kampus bisnis, dan di ruang dewan perusahaan. Apa yang sebelumnya merupakan harmoni pascaperang mulai diretas dari dalam.
Masuklah Jack Welch, simbol puncak dari ideologi baru ini.
Ketika Welch mengambil alih GE pada tahun 1981, ia tidak hanya memimpin sebuah perusahaan, tetapi merancang ulang mentalitas korporat seluruh negeri. Ia mempopulerkan pemangkasan besar-besaran, outsourcing, merger agresif, dan finansialisasi.
Langkah itu bukan untuk menciptakan nilai jangka panjang, tetapi demi satu hal: harga saham.
Dengan ketegasan dingin, Welch merombak GE dari perusahaan yang menghargai pekerja dan inovasi, menjadi mesin laba jangka pendek yang mengorbankan manusia di dalamnya. Ia memecat puluhan ribu orang, mendorong industri manufaktur AS ke jurang, dan menanamkan benih ketimpangan sosial yang kini tumbuh menjadi realitas getir di banyak kota Amerika.
Namun warisan Welch tidak berhenti di GE. Ia melatih generasi baru pemimpin yang meniru taktiknya di perusahaan-perusahaan besar lain, mulai dari Boeing hingga Home Depot.
Strategi “nilai pemegang saham di atas segalanya” menjadi hukum tak tertulis bisnis Amerika.
Hasilnya?
Kelas menengah tergerus, kepercayaan terhadap institusi melemah, dan jurang antara pekerja dan elite semakin lebar.
Tapi kisah ini tidak berakhir di sana.
David Gelles, reporter New York Times, dalam buku The Man Who Broke Capitalism, bukan hanya membongkar bagaimana Welch membentuk sistem yang kini banyak dikritik, tapi juga menyoroti benih perubahan yang mulai tumbuh.
Ia memperkenalkan tokoh-tokoh baru di dunia bisnis yang menolak warisan Welch, yang percaya bahwa kesuksesan tidak harus dibayar dengan penderitaan banyak orang.
Mereka memilih jalur berbeda dan menolak gagasan bahwa keberhasilan harus dibayar dengan pemangkasan, pengorbanan karyawan, dan pengabaian nilai-nilai kemanusiaan.
Mereka membuktikan bahwa bisnis bisa tetap unggul tanpa harus mengorbankan siapa pun.
Salah satunya adalah Paul Polman, mantan CEO Unilever. Ketika mengambil alih perusahaan pada saat kritis, ia tak sekadar fokus pada pertumbuhan. Dia membawa Unilever ke akar nilai sosial yang ditanam oleh pendirinya.
Ia menghentikan laporan panduan keuangan triwulanan, menolak tekanan pasar saham, dan mengarahkan perusahaannya untuk tumbuh tanpa merusak lingkungan atau melupakan pekerja.
Ketika Kraft Heinz, perusahaan yang sangat berhaluan “Welchian,” berusaha mengambil alih Unilever, Polman menolak mentah-mentah. Ia percaya bahwa bisnis harus melayani banyak orang, bukan hanya segelintir investor.
Di sisi lain, Dan Schulman di PayPal menjalankan kepemimpinan yang sangat manusiawi. Setelah mengetahui bahwa sebagian besar karyawan garis depannya hidup dengan kesulitan keuangan, ia meluncurkan program kesejahteraan finansial, menaikkan gaji, dan memangkas biaya kesehatan. Baginya, karyawan bukanlah beban, melainkan aset terpenting perusahaan.
Keduanya—Polman dan Schulman—menawarkan bukti nyata bahwa kita tidak harus mewarisi sistem bisnis yang keras dan tidak berperasaan. Mereka menunjukkan jalan lain: bahwa kapitalisme bisa berpihak, bahwa perusahaan bisa sukses sambil tetap peduli, dan bahwa menolak warisan Welch bukan kelemahan—tapi keberanian.
Mereka membuktikan bahwa bisnis bisa tetap hebat tanpa menghancurkan komunitas, tanpa melecehkan regulasi, dan tanpa melupakan bahwa perusahaan, pada akhirnya, adalah bagian dari masyarakat.
“Perubahan besar sering dimulai dengan kesadaran akan kesalahan masa lalu. Kini saatnya bisnis menulis ulang misinya. Bukan sekadar mengejar laba, tapi menghidupkan kembali nilai-nilai kemanusiaan.”
Penulis: Edhy Aruman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar