Ia bukan seorang presiden, jenderal perang, atau tokoh ilmuwan besar.
Ia adalah politisi. Tapi bukan politisi biasa.
Boss Tweed adalah simbol sempurna dari korupsi yang tidak hanya disembunyikan, tetapi dipertontonkan di panggung publik, seolah itu bagian sah dari demokrasi.
Lahir di New York pada 1823, Tweed menjadi lambang dari sebuah era di mana kekuasaan dan uang bisa membentuk ulang keadilan, hukum, dan bahkan takdir kota sebesar New York.
Tweed memulai karier politiknya sebagai anggota Dewan Kota New York di usia 28 tahun.
Namun, bukan kebijakan atau kepeduliannya terhadap rakyat yang menjadikannya terkenal. Melainkan kepiawaiannya menguasai sistem dari dalam dan memanfaatkannya demi keuntungan pribadi.
Ia membangun jaringan kekuasaan yang dikenal dengan nama Tammany Hall, organisasi politik Partai Demokrat yang mengendalikan birokrasi kota New York dengan tangan besi dan dompet penuh uang rakyat.
Meski tak punya latar belakang hukum, Tweed mendirikan firma hukum.
Ironisnya, kantor ini tak pernah menangani perkara-perkara hukum biasa.
Di situlah ia memulai praktik “pelicin” politik: perusahaan-perusahaan besar membayar Tweed untuk mendapatkan proyek atau perlindungan hukum, yang pada dasarnya adalah bentuk pemerasan.
Uang hasil suap digunakan untuk membeli lahan-lahan strategis di Manhattan dan memperkuat jaringan loyalis di dalam pemerintahan kota.
Inilah awal dari “mesin” korupsi modern yang luar biasa efektif. Ini adalah sebuah sistem yang, seperti dikatakan oleh Kenneth D. Ackerman dalam buku Boss Tweed: The rise and fall of the corrupt pol who conceived the soul of modern New York , bekerja seperti jam Swiss, dengan strategi kontrol terhadap pengadilan, legislator, bendahara kota, bahkan hingga tempat pemungutan suara.
Pada puncak kekuasaannya, diperkirakan Tweed dan kelompoknya mencuri antara $45 juta hingga $200 juta dari kas kota, setara dengan $1 hingga $4 miliar sekarang.
Mereka memanipulasi anggaran, memalsukan laporan, dan membebani proyek pembangunan dengan biaya yang berkali-kali lipat untuk memperkaya diri.
Sistem yang dijalankan Tweed begitu kuat sehingga kartun satire tahun 1889 di majalah Puck menggambarkan Senat Amerika sebagai panggung para monopolis dan pengusaha rakus, sementara pintu masuk rakyat ditutup rapat dengan tulisan: “The People’s Entrance: Closed.”
Namun, sebagaimana sejarah seringkali mencatat, zaman kegelapan akan memunculkan lentera-lentera harapan.
Maraknya korupsi dan ketimpangan ini mulai memantik perlawanan.
Dalam salah satu tulisannya pada 1913, Presiden Woodrow Wilson mengecam pengadilan-pengadilan yang tak lagi berdiri untuk kepentingan publik, melainkan menjadi pelayan dari segelintir elite ekonomi.
Ia mempertanyakan: jika benteng terakhir keadilan ikut rusak, ke mana rakyat akan berlindung?
Korupsi tidak hanya mencengkeram pemerintahan. Ia juga menjalar ke proyek-proyek besar infrastruktur, seperti pembangunan jalur kereta api dan jalan raya.
Subsidi pemerintah diberikan bukan berdasarkan kualitas, tetapi kuantitas mil jalan yang dibangun. Ini membuka celah bagi kontraktor nakal untuk membuat jalur yang berliku-liku tanpa arah, demi keuntungan pribadi.
Setelah revolusi industri dan munculnya mobil di awal abad ke-20, pembangunan jalan menjadi ladang emas baru bagi para oportunis. Seperti dicatat oleh Earl Swift dalam The Big Roads, hanya 10 sen dari setiap dolar pajak yang benar-benar diwujudkan dalam bentuk jalan berkualitas.
Namun, seiring berkembangnya kelas menengah dan meningkatnya kesadaran warga negara akan hak dan transparansi, korupsi tidak lagi dapat berjalan dengan tenang.
Menurut sejarawan hukum Lawrence Friedman, +“amarah rakyat tak berarti apa-apa di tahun 1840, masih kecil di 1860, tetapi menjadi kekuatan besar di 1890.”_ Ini adalah titik balik.
Yang menarik, sebagaimana ditunjukkan oleh The Prosperity Paradox karya Christensen, Ojomo, dan Dillon, perubahan ini tidak semata-mata digerakkan oleh hukum yang lebih ketat atau polisi yang lebih rajin menangkap koruptor.
Ia datang karena warga negara menemukan cara-cara baru untuk hidup lebih baik.
Ketika inovasi membuka jalan untuk menciptakan kekayaan secara sah—melalui kewirausahaan, teknologi, dan peluang ekonomi yang inklusif, maka korupsi perlahan kehilangan relevansinya.
Jika dulu korupsi adalah satu-satunya jalan untuk naik kelas, sekarang ada alternatif yang lebih bermartabat.
Kisah Boss Tweed adalah kisah tentang bagaimana sebuah bangsa bisa terjerembab begitu dalam ke dalam lumpur ketidakadilan, tapi juga bagaimana bangsa itu bisa bangkit.
Amerika Serikat yang kita kenal hari ini, negara dengan peringkat ke-16 dalam indeks transparansi dunia, pernah menjadi negara di mana hukum dijual, pemilu direkayasa, dan rakyat kecil tak punya suara.
Namun, rakyatnya memilih untuk berubah. Mereka tidak hanya membentuk hukum baru, tetapi membangun sistem ekonomi dan sosial yang lebih inklusif.
Tahun 1871, seorang mantan sekutu Tweed yang kecewa, James O'Brien, membocorkan dokumen keuangan rahasia yang membongkar pemborosan dan pencurian anggaran kota.
Dokumen ini menjadi bahan bagi jurnalis investigatif seperti Thomas Nast, yang melalui karikatur di majalah Harper’s Weekly, mengubah Tweed menjadi simbol nasional korupsi politik.
Disertai kampanye karikatur tajam oleh Thomas Nast, masyarakat mulai menuntut keadilan.
Tweed ditangkap diadili pada tahun 1873 dan dijatuhi hukuman 12 tahun penjara karena korupsi, meskipun hukumannya kemudian dikurangi menjadi 1 tahun. Namun, segera setelah dibebaskan, ia ditangkap kembali dalam kasus perdata dan dijebloskan ke Ludlow Street Jail.
Ia melarikan diri ke Spanyol, tetapi tertangkap setelah polisi mengenalinya dari karikatur Nast. Tweed diekstradisi ke Amerika dan dipenjara kembali. Dalam kondisi sakit dan ditinggalkan para sekutunya, ia meninggal dunia pada 12 April 1878, sendirian di balik jeruji besi.
Akhir tragis Tweed menjadi simbol bahwa kekuasaan tanpa moral hanya menunggu waktu untuk runtuh.
Pesan abadi dari era Boss Tweed adalah bahwa korupsi akan selalu menemukan ruang ketika masyarakat tak punya pilihan lain. Tapi ketika kesempatan dan harapan muncul, suara rakyat akan kembali menemukan jalannya. Dan di situlah letak kekuatan demokrasi yang sejati.
Penulis: Edhy Aruman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar