Saat azan Asar menggema, suaminya diam di kursi. Lalu kenangan masa kecil datang menggulung: tentang ibu yang wafat di pangkuan, dan ayah yang tak pernah pulang dari tikar judi.
Oleh : Sri Asian
Desir angin bulan Juli pada Jumat sore serasa menusuk sampai ke tulang. Suara azan asar berkumandang dari corong masjid yang tak jauh dari rumah.
Setelah berwudu, kukenakan mukena. Sedikit heran ketika langkahku sampai ruang tamu rumah, Mas Teduh, suamiku, masih tertidur di atas kursi. Tumben. Biasanya dia yang membangunkanku.
Memang begitulah rutinitas kami berdua—selalu berusaha salat tepat waktu dan berjemaah di masjid.
“Mas… bangun, Mas!”
Sekali, dua kali, berkali-kali kupanggil, Mas Teduh tetap diam. Perasaan takutku perlahan menjadi kenyataan. Mas Teduh diam… untuk selamanya.
“Ya Allah… innalillahi wainna ilaihiraji’un…”
Tak kuasa air mataku membasahi wajahku, mukena putihku, dan sajadahku.
Bukan kematian yang aku sesali, tapi datangnya kematian yang tiba-tiba. Ketika aku belum menyiapkan diri untuk berpisah dengan orang yang aku cinta.
Air mataku ini untuk hari ini, ketika suamiku, orang yang sangat aku cintai, meninggalkanku untuk selama-lamanya. Dan air mata ini juga untuk tiga puluh lima tahun silam yang tak bisa kuhapus.
Waktu itu usiaku sepuluh tahun. Aku anak pertama dengan tiga adik perempuan yang masih kecil-kecil. Si bungsu belum genap dua tahun, masih menyusu.
Kondisi ekonomi keluarga yang kurang dari cukup memaksaku untuk hidup mandiri.
Mencari kayu bakar di hutan, mencari wol-wolan—ulat yang hidup di pangkal batang pohon turi—untuk dijadikan lauk. Bahkan belalang pun kutangkap demi memenuhi kebutuhan protein, yang tak perlu mengeluarkan uang.
Setahuku, ibuku adalah wanita paling cantik yang kesabarannya luar biasa. Gurat di wajahnya tampak menua, walau sebenarnya usianya belum terlalu tua. Sementara ayahku, seorang mandor hutan, hari-harinya dihabiskan di meja judi.
Bulan Juli, tiga puluh lima tahun silam. Jumat dini hari.
Ibu batuk-batuk kecil, mengeluarkan darah dari dahaknya. Aku terjaga.
“Nduk… adikmu ya…”
Setelah itu, ibu tak berkata apa-apa lagi. Aku menjerit sekeras-kerasnya, memeluk tubuhnya erat-erat. Kutaruh kepalanya di pangkuanku—pangkuan anak kecil berusia sepuluh tahun.
“Bu, bangun, Bu… bangun, Bu…!”
Kuciumi wajahnya. Kugerakkan tangannya. Ia tetap diam. Lalu kugendong adik bayi dan bergegas keluar mencari ayah.
Aku sibak semak, menerobos jalan kecil menuju pasar yang jaraknya sekitar lima ratus meter. Sesekali kudengar ayam berkokok. Hari masih pagi.
Seseorang menyapaku, menatapku penuh selidik, lalu bertanya, “Oh, anake Cokro, arep lapo?”
Sambil menangis aku pegangi bajunya. “Pak… Bapak suruh pulang sekarang… tolong, Pak…!”
Dari kejauhan kudengar suara ayah: “Diluk engkas!”
Refleks aku berlari ke arah suara itu. Ayahku sedang membawa kartu, duduk di atas tikar lusuh bersama beberapa lelaki paruh baya. Permainan itu bubar seketika. Aku tak menghiraukannya.
Yah… kepergian orang-orang yang sangat aku cintai meninggalkan trauma yang sulit dihapus.
Hari-hari kulalui dengan menggantikan posisi ibu, merawat ketiga adikku. Semua pekerjaan rumah tangga ada di pundakku.
Rupanya, ayah benar-benar insaf. Ia menikah lagi dengan perempuan yang menyayangi kami semua hingga kami tumbuh remaja.
Pada usia yang terbilang sangat muda, tujuh belas tahun, Mas Teduh melamarku. Aku pun mengiyakan.
Memulai hidup baru dengannya sungguh sangat indah. Ia seorang pegawai negeri, tepatnya guru SD di tempat tinggalku, yang mampu mengubah hidupku seratus delapan puluh derajat.
Dialah imanku, juga suamiku, sekaligus sandaran hidupku yang berpijak pada ajaran agama dalam mengelola rumah tangga.
Buah cinta kami, dua anak perempuan cantik dan salehah yang kini telah berumah tangga dan hidup bersama suaminya masing-masing.
Ya Allah, kuatkan dan ikhlaskan hatiku untuk melepas Mas Teduh.
“Sebenarnya tidak ada kata kesepian jika orang hanya bersandar kepada Allah.” Itulah kalimat terakhirnya pada malam-malam kami berdua.
Tak kusangka, itulah kalimat terakhir yang kudengar darinya.
Selamat jalan, Mas. Terima kasih telah membersamaiku selama dua puluh delapan tahun. Terima kasih telah mengentasku dari tempat yang gelap menuju terang benderang. Semoga semua kebaikanmu menjadi amal jariyah, dan semoga Mas Teduh ditempatkan di jannah-Nya. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar