Neil Pasricha pernah jadi Direktur Pengembangan Kepemimpinan di Walmart, perusahaan ritel terbesar di dunia. Dia juga penulis buku motivasi. Ia juga seorang pengamat kehidupan yang tajam, dan pembicara publik yang memikat.
Dari ruang-ruang rapat para eksekutif hingga panggung konferensi internasional, Pasricha telah berjumpa dengan para pemimpin bisnis, miliarder, dan tokoh berpengaruh.
Namun di balik kemilau kesuksesan mereka, ia menemukan kenyataan yang menggelitik pikirannya: begitu banyak orang hebat itu ternyata tidak benar-benar bahagia.
Di sela-sela makan siang konferensi atau percakapan santai di lorong kantor, topik yang muncul bukanlah tentang impian atau pencapaian, melainkan keluhan tentang stres, kelelahan, dan tekanan hidup yang tak kunjung reda.
Ironisnya, hal ini tidak hanya terjadi pada orang biasa, tetapi juga pada para tokoh yang dianggap berada di puncak pencapaian hidup.
Pengalaman ini menanamkan sebuah pertanyaan besar dalam benak Pasricha.
Jika mereka yang “memiliki segalanya” tidak merasa bahagia, lalu apa sebenarnya kunci kebahagiaan itu?
Dari perenungan panjang dan pengalaman pribadinya, Pasricha merumuskan sebuah persamaan sederhana yang menjadi inti bukunya The Happiness Equation:
Want Nothing + Do Anything = Have Everything
(Ingin Tidak Menginginkan Apa Pun + Melakukan Apa Pun = Memiliki Segalanya)
Bagi Pasricha, kebahagiaan bukanlah hadiah yang datang setelah kita mencapai tujuan tertentu. Sebaliknya, kebahagiaan adalah titik awal. Ia membalik logika umum yang kita dengar sejak kecil—bekerja keras, meraih sukses, lalu bahagia—menjadi sebaliknya: bahagialah dulu, maka Anda akan bekerja lebih baik, dan kesuksesan akan datang sebagai akibat alami.
Pendekatan ini bukan sekadar slogan manis. Penelitian mendukungnya.
Harvard Business Review menunjukkan bahwa orang yang bahagia 31 persen lebih produktif, 37 persen lebih tinggi penjualannya, dan tiga kali lebih kreatif.
Secara biologis, otak manusia memang terbiasa fokus pada hal negatif karena ribuan tahun hidup dalam kondisi singkat, keras, dan penuh persaingan.
Namun kini, di dunia modern, kita tidak lagi terancam predator setiap saat. Meski begitu, otak kita masih memindai masalah, membuat kita sulit merasa cukup. Pasricha menunjukkan bahwa 90 persen kebahagiaan kita sebenarnya berasal dari cara kita memandang dunia dan aktivitas yang kita pilih, bukan dari keadaan hidup itu sendiri.
Itulah mengapa ia menekankan pentingnya melatih diri untuk “bahagia sekarang”.
Kebahagiaan bukan sesuatu yang menunggu di ujung perjalanan; ia dibangun dari kebiasaan sehari-hari—langkah-langkah kecil yang mengubah cara kita merasakan hidup.
Mulai dari berjalan kaki di pagi hari, menulis pengalaman positif, melakukan kebaikan acak, meluangkan waktu untuk diam, hingga melatih rasa syukur, semua itu adalah pintu masuk menuju keadaan batin yang lebih damai.
Pasricha juga menyoroti betapa rapuhnya kebahagiaan jika kita hanya mengandalkan validasi eksternal.
Ia menceritakan pengalamannya sendiri ketika terjebak dalam lingkaran mengejar angka kunjungan blog, daftar bestseller, dan penghargaan. Setiap pencapaian hanya memuaskan sebentar, sebelum ia menetapkan target baru.
Lama-kelamaan, ia menyadari bahwa motivasi eksternal membuat kita meng-outsource rasa percaya diri. Jika pujian membuat kita melayang, kritik bisa dengan mudah menjatuhkan kita.
Di sinilah empat kata sederhana menjadi pelindung: Do it for you. Lakukan untuk dirimu sendiri. Pasricha juga mengingatkan bahwa kita harus memahami jenis kesuksesan yang kita cari, apakah itu kesuksesan komersial, pengakuan sosial, atau kepuasan pribadi.
Tidak semua bisa dimiliki sekaligus, dan sering kali dua di antaranya justru menghalangi yang ketiga.
Lebih jauh lagi, ia mengajak kita keluar dari “Budaya Lebih”, obsesi tak berujung untuk memiliki lebih banyak.
Dengan kisah sederhana seperti nelayan Meksiko yang menolak tawaran membangun usaha besar karena ia sudah puas dengan hidupnya, Pasricha menunjukkan bahwa kekayaan sejati datang ketika kita merasa cukup.
Ia menyebut fakta bahwa hanya dengan menjadi hidup saat ini—di antara miliaran manusia yang pernah ada—kita sudah memenangkan “loteri kehidupan”.
Salah satu gagasan paling menantang dari Pasricha adalah anjurannya untuk “tidak pernah pensiun”. Bukan berarti bekerja tanpa henti, tetapi menemukan makna melalui aktivitas yang memberi tujuan, struktur, stimulasi, dan hubungan sosial.
Ia mencontohkan masyarakat Okinawa di Jepang yang memiliki ikigai, alasan untuk bangun setiap pagi, dan tetap aktif hingga usia lanjut.
Waktu, menurut Pasricha, adalah aset paling berharga yang sering kita remehkan. Ia mendorong pembaca untuk menghitung “gaji nyata” per jam, menyadari bahwa pendapatan besar bisa kehilangan maknanya jika dibayar dengan waktu hidup yang habis untuk hal yang tidak kita cintai.
Karena itu, ia mengajak kita menciptakan ruang—menghapus pilihan yang tidak perlu, membatasi waktu yang dihabiskan untuk tugas tertentu, dan memutuskan akses terhadap gangguan.
Yang tak kalah penting, Pasricha membalik urutan motivasi: jangan menunggu ingin, baru melakukan. Mulailah bertindak, dan rasa mampu serta keinginan akan mengikuti.
Seperti hukum fisika pertama Newton, gerak akan terus berlanjut kecuali dihentikan oleh gaya yang lebih besar. Begitu kita memulai, momentum akan membawa kita maju.
Pada akhirnya, inti dari semua ini adalah keaslian. Menjadi diri sendiri sepenuhnya adalah satu-satunya cara untuk menghindari penyesalan terbesar di akhir hidup.
Pasricha mengingatkan bahwa semua nasihat pada dasarnya subjektif. Jawaban terbaik ada di dalam diri kita, menunggu untuk ditemukan.
The Happiness Equation bukan hanya buku, tetapi undangan untuk mengubah cara kita menjalani hari-hari. Dengan ingin tidak menginginkan apa pun, kita membebaskan diri dari jeratan “kurang”.
Dengan berani melakukan apa pun, kita membuka pintu bagi kemungkinan yang tak terbatas.
Dan ketika dua hal ini bersatu, kita akan merasa telah memiliki segalanya, bahkan sebelum dunia mengatakan demikian.
Penulis: Aruman
SUMBER:
Pasricha, N. (2016). The happiness equation: Want nothing + do anything = have everything. G. P. Putnam’s Sons.