Rabu, 06 Agustus 2025

Rumus Bahagia

Neil Pasricha pernah jadi Direktur Pengembangan Kepemimpinan di Walmart, perusahaan ritel terbesar di dunia. Dia juga penulis buku motivasi. Ia juga seorang pengamat kehidupan yang tajam, dan pembicara publik yang memikat.

Dari ruang-ruang rapat para eksekutif hingga panggung konferensi internasional, Pasricha telah berjumpa dengan para pemimpin bisnis, miliarder, dan tokoh berpengaruh. 

Namun di balik kemilau kesuksesan mereka, ia menemukan kenyataan yang menggelitik pikirannya: begitu banyak orang hebat itu ternyata tidak benar-benar bahagia.

Di sela-sela makan siang konferensi atau percakapan santai di lorong kantor, topik yang muncul bukanlah tentang impian atau pencapaian, melainkan keluhan tentang stres, kelelahan, dan tekanan hidup yang tak kunjung reda.

Ironisnya, hal ini tidak hanya terjadi pada orang biasa, tetapi juga pada para tokoh yang dianggap berada di puncak pencapaian hidup. 

Pengalaman ini menanamkan sebuah pertanyaan besar dalam benak Pasricha.  

Jika mereka yang “memiliki segalanya” tidak merasa bahagia, lalu apa sebenarnya kunci kebahagiaan itu?

Dari perenungan panjang dan pengalaman pribadinya, Pasricha merumuskan sebuah persamaan sederhana yang menjadi inti bukunya The Happiness Equation:

Want Nothing + Do Anything = Have Everything

(Ingin Tidak Menginginkan Apa Pun + Melakukan Apa Pun = Memiliki Segalanya)

Bagi Pasricha, kebahagiaan bukanlah hadiah yang datang setelah kita mencapai tujuan tertentu. Sebaliknya, kebahagiaan adalah titik awal. Ia membalik logika umum yang kita dengar sejak kecil—bekerja keras, meraih sukses, lalu bahagia—menjadi sebaliknya: bahagialah dulu, maka Anda akan bekerja lebih baik, dan kesuksesan akan datang sebagai akibat alami.

Pendekatan ini bukan sekadar slogan manis. Penelitian mendukungnya. 

Harvard Business Review menunjukkan bahwa orang yang bahagia 31 persen lebih produktif, 37 persen lebih tinggi penjualannya, dan tiga kali lebih kreatif. 

Secara biologis, otak manusia memang terbiasa fokus pada hal negatif karena ribuan tahun hidup dalam kondisi singkat, keras, dan penuh persaingan. 

Namun kini, di dunia modern, kita tidak lagi terancam predator setiap saat. Meski begitu, otak kita masih memindai masalah, membuat kita sulit merasa cukup. Pasricha menunjukkan bahwa 90 persen kebahagiaan kita sebenarnya berasal dari cara kita memandang dunia dan aktivitas yang kita pilih, bukan dari keadaan hidup itu sendiri.

Itulah mengapa ia menekankan pentingnya melatih diri untuk “bahagia sekarang”. 

Kebahagiaan bukan sesuatu yang menunggu di ujung perjalanan; ia dibangun dari kebiasaan sehari-hari—langkah-langkah kecil yang mengubah cara kita merasakan hidup. 

Mulai dari berjalan kaki di pagi hari, menulis pengalaman positif, melakukan kebaikan acak, meluangkan waktu untuk diam, hingga melatih rasa syukur, semua itu adalah pintu masuk menuju keadaan batin yang lebih damai.

Pasricha juga menyoroti betapa rapuhnya kebahagiaan jika kita hanya mengandalkan validasi eksternal. 

Ia menceritakan pengalamannya sendiri ketika terjebak dalam lingkaran mengejar angka kunjungan blog, daftar bestseller, dan penghargaan. Setiap pencapaian hanya memuaskan sebentar, sebelum ia menetapkan target baru. 

Lama-kelamaan, ia menyadari bahwa motivasi eksternal membuat kita meng-outsource rasa percaya diri. Jika pujian membuat kita melayang, kritik bisa dengan mudah menjatuhkan kita.

Di sinilah empat kata sederhana menjadi pelindung: Do it for you. Lakukan untuk dirimu sendiri. Pasricha juga mengingatkan bahwa kita harus memahami jenis kesuksesan yang kita cari, apakah itu kesuksesan komersial, pengakuan sosial, atau kepuasan pribadi. 

Tidak semua bisa dimiliki sekaligus, dan sering kali dua di antaranya justru menghalangi yang ketiga.

Lebih jauh lagi, ia mengajak kita keluar dari “Budaya Lebih”, obsesi tak berujung untuk memiliki lebih banyak. 

Dengan kisah sederhana seperti nelayan Meksiko yang menolak tawaran membangun usaha besar karena ia sudah puas dengan hidupnya, Pasricha menunjukkan bahwa kekayaan sejati datang ketika kita merasa cukup. 

Ia menyebut fakta bahwa hanya dengan menjadi hidup saat ini—di antara miliaran manusia yang pernah ada—kita sudah memenangkan “loteri kehidupan”.

Salah satu gagasan paling menantang dari Pasricha adalah anjurannya untuk “tidak pernah pensiun”. Bukan berarti bekerja tanpa henti, tetapi menemukan makna melalui aktivitas yang memberi tujuan, struktur, stimulasi, dan hubungan sosial. 

Ia mencontohkan masyarakat Okinawa di Jepang yang memiliki ikigai, alasan untuk bangun setiap pagi, dan tetap aktif hingga usia lanjut.

Waktu, menurut Pasricha, adalah aset paling berharga yang sering kita remehkan. Ia mendorong pembaca untuk menghitung “gaji nyata” per jam, menyadari bahwa pendapatan besar bisa kehilangan maknanya jika dibayar dengan waktu hidup yang habis untuk hal yang tidak kita cintai. 

Karena itu, ia mengajak kita menciptakan ruang—menghapus pilihan yang tidak perlu, membatasi waktu yang dihabiskan untuk tugas tertentu, dan memutuskan akses terhadap gangguan.

Yang tak kalah penting, Pasricha membalik urutan motivasi: jangan menunggu ingin, baru melakukan. Mulailah bertindak, dan rasa mampu serta keinginan akan mengikuti. 

Seperti hukum fisika pertama Newton, gerak akan terus berlanjut kecuali dihentikan oleh gaya yang lebih besar. Begitu kita memulai, momentum akan membawa kita maju.

Pada akhirnya, inti dari semua ini adalah keaslian. Menjadi diri sendiri sepenuhnya adalah satu-satunya cara untuk menghindari penyesalan terbesar di akhir hidup. 

Pasricha mengingatkan bahwa semua nasihat pada dasarnya subjektif. Jawaban terbaik ada di dalam diri kita, menunggu untuk ditemukan.

The Happiness Equation bukan hanya buku, tetapi undangan untuk mengubah cara kita menjalani hari-hari. Dengan ingin tidak menginginkan apa pun, kita membebaskan diri dari jeratan “kurang”. 

Dengan berani melakukan apa pun, kita membuka pintu bagi kemungkinan yang tak terbatas. 

Dan ketika dua hal ini bersatu, kita akan merasa telah memiliki segalanya, bahkan sebelum dunia mengatakan demikian.

Penulis: Aruman

SUMBER:

Pasricha, N. (2016). The happiness equation: Want nothing + do anything = have everything. G. P. Putnam’s Sons.

Jumat, 01 Agustus 2025

PARKINSON

 



Zaman yang serba cepat dan penuh tuntutan membuat waktu terasa selalu kurang. Tugas datang bertubi-tubi, kalender nyaris tanpa jeda, dan deadline terasa terus memburu. 

Orang sibuk setiap hari, tapi sering tak tahu apakah kesibukan itu benar-benar perlu, atau hanya karena memberi ruang terlalu besar untuk pekerjaan yang terus membesar.

Tak bisa dipungkiri, kita terus bergerak. Tapi kita sering lupa bertanya: apakah kita benar-benar sibuk, atau sekadar membiarkan pekerjaan melebar melebihi yang seharusnya? Pernahkah kita merenung: apakah benar pekerjaan kita sebanyak itu, ataukah sebenarnya kita membiarkannya mengembang mengikuti waktu yang tersedia?

Pertanyaan ini bukan sekadar renungan pribadi, tapi merupakan inti dari apa yang dikenal sebagai Parkinson’s Law, sebuah prinsip legendaris dari sejarawan dan birokrat Inggris, C. Northcote Parkinson. 

Dalam bukunya Parkinson’s Law, and Other Studies in Administration (1957), ia menyampaikan satu kalimat sederhana yang sangat mengena: “Work expands so as to fill the time available for its completion.” Atau dalam bahasa kita, pekerjaan akan membengkak untuk mengisi waktu yang tersedia untuk menyelesaikannya.

Parkinson menemukan bahwa dalam organisasi, terutama birokrasi pemerintahan, semakin banyak waktu dan sumber daya yang tersedia, maka semakin kompleks dan besar pula tugas yang diciptakan. Bahkan ketika kebutuhan nyatanya tidak meningkat. 

Dalam sebuah studi satir tetapi didukung data nyata, ia menunjukkan bahwa jumlah pegawai administratif di Kementerian Angkatan Laut Inggris meningkat drastis antara tahun 1914 dan 1928, meskipun jumlah kapal dan personel militer justru menurun. 

Fenomena ini menunjukkan bahwa pertumbuhan organisasi seringkali bukan karena beban kerja, tetapi karena dorongan internal untuk terlihat sibuk dan penting.

Namun, Parkinson’s Law bukan hanya tentang birokrasi. 

Ia juga berlaku dalam hidup kita sehari-hari. Saat diberi waktu dua jam untuk menyelesaikan laporan yang sebenarnya bisa selesai dalam 30 menit, kita cenderung menunda-nunda, mempercantik hal-hal yang tidak perlu, atau tenggelam dalam rincian yang tidak penting. 

Kita tidak sadar bahwa kita membiarkan pekerjaan tumbuh mengikuti wadah waktunya. Bukan karena kita membutuhkan waktu lebih, tetapi karena kita tidak membatasi diri.

Parkinson menulis dengan ironi yang halus tapi tajam. Salah satu bab yang paling terkenal dalam bukunya berjudul “Injelititis, or Palsied Paralysis” , istilah yang terdengar seperti penyakit medis. 

Tapi ini bukan tentang kesehatan fisik, melainkan penyakit organisasi. 

Dalam metafora brilian ini, Parkinson menggambarkan kondisi di mana pejabat senior dalam organisasi menjadi tumpul dan tidak produktif, pejabat menengah saling menjegal demi posisi, dan orang-orang muda yang kompeten tertekan dan akhirnya memilih mundur atau diam. 

Organisasi yang terkena “injelititis” akan terlihat sibuk di permukaan, tapi sejatinya berada dalam kondisi koma. Ia tidak bergerak maju, tidak mengambil keputusan bermakna.

Parkinson menyusun gejala-gejala injelititis layaknya dokter menulis diagnosis: mulai dari kemunculan pemimpin yang iri dan tidak kompeten, menyebarnya budaya aman dan tidak berani bersuara, hingga fase akhir di mana kantor penuh perabot mewah, tapi tidak ada hasil nyata. 

Meskipun mengutip istilah-istilah medis seperti “penyakit” dan “penyembuhan,” penting diingat bahwa ini hanyalah metafora. 

Parkinson adalah seorang sejarawan, bukan dokter. Fokusnya adalah administrasi publik dan organisasi bisnis, bukan kesehatan tubuh manusia.

Hal ini penting untuk ditegaskan karena banyak orang mengira Parkinson’s Law berkaitan dengan Penyakit Parkinson , sebuah kondisi neurologis serius yang memengaruhi pergerakan tubuh manusia. 

Padahal keduanya tidak memiliki hubungan sama sekali, meskipun namanya sama. 

Penyakit Parkinson dinamai dari James Parkinson, seorang dokter Inggris yang pada tahun 1817 menulis esai medis pertama yang mendeskripsikan kondisi ini secara klinis. Penyakit ini berkaitan dengan kerusakan saraf dan penurunan produksi dopamin di otak, menyebabkan gejala seperti tremor, kekakuan otot, dan lambatnya gerak.

Sedangkan Parkinson’s Law adalah hasil pengamatan dan sindiran C. Northcote Parkinson terhadap dunia birokrasi dan organisasi. 

Ia bukan berbicara tentang tubuh manusia, melainkan tentang “tubuh” organisasi . tentang  bagaimana ia tumbuh, melebar, dan kadang mati karena terlalu banyak kompleksitas yang diciptakan dari dalam.

Dengan memahami perbedaan ini, kita bisa lebih menghargai kejeniusan C. Northcote Parkinson. 

Ia tidak hanya menunjukkan masalah, tetapi juga menyodorkan cermin kepada kita semua — bahwa sering kali, keterlambatan, inefisiensi, dan stagnasi bukan datang dari luar, melainkan dari sistem yang kita pelihara sendiri. 

Sistem yang membenarkan rapat tanpa akhir, organisasi yang mengukur keberhasilan dari jumlah staf bukan dari hasil, dan pribadi-pribadi yang merasa sibuk padahal sebenarnya hanya sedang terjebak dalam ilusi kesibukan.

Parkinson’s Law memberi kita satu pelajaran penting: bahwa efisiensi bukan soal kerja keras tanpa henti, melainkan tentang keberanian menyederhanakan. 

Tentang kemampuan menetapkan batas waktu yang masuk akal, dan disiplin untuk tidak membiarkan pekerjaan meluas tanpa kendali. Bahwa terkadang, membatasi diri adalah bentuk tertinggi dari kebebasan.

Di era yang terobsesi dengan produktivitas, mungkin justru prinsip Parkinson-lah yang perlu diingat ulang: jangan izinkan pekerjaan tumbuh tanpa batas. 

Bentuklah waktu, jangan dibentuk olehnya. Maka kita akan kembali pada esensi: bekerja bukan untuk terlihat sibuk, melainkan untuk menyelesaikan yang penting. 


Penulis: Edhy Aruman


DAFTAR PUSTAKA 

Parkinson, C. N. (1957). Parkinson’s law, and other studies in administration. Houghton Mifflin.