Rabu, 11 Juni 2025

Muhammad dari Najd: Suara dari Padang Pasir

Ini bukan kisah sesungguhnya manusia alim ini. Tulisan ini dibuat juga bukan untuk mengecilkan nama, yang kebetulan sama. 

Matahari menyentuh ufuk di atas tanah Najd, memantulkan cahaya keemasan di atas bukit-bukit pasir yang seolah diam tapi menyimpan kisah besar. Di tengah padang pasir itulah, seorang anak laki-laki kecil berjalan kaki pulang dari masjid dengan secarik kertas di tangannya. Namanya Muhammad bin Abdil Wahhab — dan tanpa ia sadari, langkah-langkah kecilnya akan menoreh sejarah besar yang masih terasa sampai hari ini.

Muhammad tumbuh di kota kecil bernama ‘Uyaynah, sebuah wilayah tenang di jazirah Arab. Ayahnya adalah seorang ulama. Sejak kecil, Muhammad terbiasa mendengar diskusi agama, membaca kitab-kitab klasik, dan mendalami tafsir serta fiqih. Tapi ada satu hal yang selalu membuat hatinya bertanya-tanya: Mengapa banyak orang yang menyembelih hewan di kuburan keramat? Mengapa mereka menggantung jimat dan minta perlindungan kepada benda-benda selain Allah?

“Apakah ini benar ajaran Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ?” tanyanya suatu malam kepada ayahnya.
Sang ayah terdiam sejenak, lalu berkata pelan, “Itulah tugas generasi kalian. Membersihkan agama ini dari segala kotoran yang telah lama menempel.”

Perkataan itu tertanam kuat di hati Muhammad. Ia pun semakin giat belajar. Setelah menguasai banyak ilmu di kampung halaman, ia memutuskan pergi merantau: ke Makkah, Madinah, hingga ke Basrah. Di setiap kota, ia menimba ilmu dari para ulama besar. Tapi yang paling ia cari bukan hanya ilmu, melainkan kebenaran yang murni. Tauhid yang asli. Islam yang seperti zaman Rasulullah ﷺ dan para sahabat.

Di Basrah, ia menyaksikan masyarakat yang memuja wali-wali, menggantungkan hidup pada kuburan, dan menganggap hal-hal mistis sebagai bagian dari ibadah. Muhammad tertegun.

“Ini bukan Islam. Ini bukan ajaran Rasulullah,” bisiknya dalam hati.

Ia pulang ke kampung dengan semangat yang membara. Ia ingin mengubah umat.

Tapi perubahan bukan sesuatu yang disukai semua orang. Ketika ia mulai berdakwah, mengajak masyarakat untuk meninggalkan syirik, membakar jimat, dan berhenti meminta kepada kuburan, banyak orang marah. Para tokoh adat dan orang-orang yang diuntungkan oleh praktik syirik itu merasa terancam. Muhammad diusir, difitnah, bahkan nyawanya beberapa kali terancam.

Namun Muhammad tidak menyerah. Ia tahu jalan ini berat. Tapi jika bukan dia, lalu siapa lagi?

Di tengah masa-masa sulit itu, Allah mempertemukannya dengan seorang pemimpin daerah bernama Muhammad bin Su’ud, penguasa Dir’iyyah. Keduanya bersepakat: sang pemimpin akan mendukung dakwah Muhammad, dan Muhammad akan membimbing dengan ilmu. Dari sinilah gerakan dakwah yang kuat dan terorganisir lahir. Mereka menyebarkan ajakan tauhid ke seluruh wilayah Arabia.

Gerakan ini kelak dikenal sebagai Gerakan Dakwah Salafiyah. Tapi sayangnya, banyak orang salah paham. Ada yang menuduh ajarannya keras, terlalu kaku, bahkan menganggapnya membuat agama baru. Tapi jika kita mau membaca sendiri kitab-kitabnya, seperti Kitabut Tauhid, kita akan tahu: yang ia ajarkan hanyalah ajakan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah, sebagaimana pemahaman para sahabat.

Bayangkan, betapa beratnya hidup menjadi orang yang ingin mengubah dunia. Tapi itulah keberanian. Itulah makna dakwah.

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab wafat di usia tua, setelah menyaksikan dakwahnya tersebar, meski belum seluruhnya diterima. Tapi hari ini, jutaan orang di seluruh dunia membaca karya-karyanya, mendengar namanya, dan mengamalkan ilmunya.

Dan kamu, anak muda yang sedang membaca ini…
Tahukah kamu bahwa perubahan besar seringkali dimulai dari seseorang yang berani berbeda?

Asy-Syaikh Muhammad tak hanya menyampaikan dakwah, tapi menunjukkan bahwa kita semua bisa memilih jalan yang benar — meski sulit, meski sunyi, meski penuh tantangan.

Jadi, pertanyaannya sederhana:

Apakah kamu akan menjadi bagian dari orang-orang yang berani menjaga kemurnian agama ini… atau hanya diam dan mengikuti arus yang menyesatkan?

pertanyaan ini pun perlahan lewat dan diam-diam menghilang ditelan suara keheningan malam 

Lintingan Terakhir


Pasar mulai padat ketika matahari baru naik sejengkal. Di antara deretan penjual ikan, sayur, dan kain batik, seorang perempuan muda berjalan anggun. 

Baki bambu di tangannya berisi rokok lintingan. Rambutnya disanggul rapi, kainnya bersih, matanya jernih meski menyimpan lautan yang tak bisa dibaca.

"Rokok, Gusti?" suaranya lembut, nyaris seperti tembang.

Seorang bangsawan muda menoleh. "Ah, Roro Mendut," sapa lelaki itu sambil tersenyum. "Hari ini aku datang bukan karena rokokmu. Tapi karena kau."

Roro Mendut tersenyum tenang. "Kalau begitu, Gusti tidak perlu membeli. Karena yang hamba jual hanya rokok."

"Tapi tak ada lintingan yang selembut ini. Apa rahasianya?"

Ia menatap lelaki itu sejenak. "Doa, dan ketabahan."

Roro Mendut menjual rokok bukan semata demi kebutuhan, tapi demi pilihan. Setelah menolak dijadikan selir oleh Ki Tumenggung Wiroguno, ia keluar dari keraton dan kehilangan seluruh kenyamanan yang dulu ia miliki. 

Dalam karya sastra Ajip Rosidi, Wiroguno digambarkan sebagsai sesorang yang memiliki keberanian, kebijaksanaan, dan kesetiaannya yang tak tergoyahkan. Dia bukan hanya dihormati oleh para bangsawan dan rakyat jelata, tetapi juga dicintai oleh Sang Sultan dari Mataram.

Wiroguno mengawali pengabdiannya dari posisi rendah, namun perlahan menapaki tangga kepercayaan dengan kerja keras dan dedikasi luar biasa. Ia dikenal sebagai prajurit tangguh yang tak segan berada di barisan terdepan, bahkan rela menjadi tameng hidup bagi Sultan. 

Kesetiaannya tak sekadar ucapan, tetapi terbukti dalam setiap medan tempur yang dilalui, di mana banyak negeri kecil berhasil ia taklukkan dan persembahkan kepada junjungannya.

Atas segala jasanya, Sultan Agung menganugerahkan gelar Tumenggung kepada Wiroguno, sekaligus menjadikannya wedana—pemimpin para bupati seantero Mataram. Sebuah kehormatan yang tak sembarang orang bisa raih. 

Wilayah kekuasaannya dikenal dengan nama Wirogunan, sebuah tempat yang kelak menjadi simbol kebesaran dan keteladanannya.

Wiroguno juga mendapat hadiah berupa Roro Mendut dari Sultan. Namun, hubungan mereka menjadi rumit karena Roro Mendut menolak untuk menjadi istri atau selir Ki Tumenggung, meskipun ia telah diberi banyak kemewahan. 

Penolakan ini menimbulkan konflik karena Ki Tumenggung merasa dipermalukan dan marah besar atas keberanian Roro Mendut yang dianggap lancang sebagai wanita kelas bawah (anak tukang bakul) yang menolak seorang pejabat tinggi kerajaan.

Konflik ini bukan hanya menggambarkan ketegangan pribadi, tapi juga benturan nilai-nilai—antara kekuasaan yang menganggap semua bisa dimiliki, dan kehendak bebas seorang perempuan yang menuntut hak atas dirinya sendiri.

Keputusan Roro Mendut menolaknya bukan tanpa risiko. Dunia di sekelilingnya tidak memberi banyak pilihan bagi perempuan yang berani berbeda. Namun, dari keterbatasan itulah ia menemukan jalan perlawanan yang sederhana tapi penuh makna.

Ia memilih menjual lintingan, rokok dari daun jagung dan tembakau, karena itu satu-satunya cara ia bisa hidup tanpa menjual dirinya. Ia tidak sekadar mencari nafkah, ia mempertahankan kehormatan.

Namun lebih dari itu, Roro Mendut menjual dengan hati. Ia membangun hubungan dengan pelanggannya, bukan sekadar menjajakan barang, tetapi menyentuh emosi mereka dengan ketulusan. 

Inilah kekuatan dari Emotional Selling : memahami emosi, membangun koneksi, dan menawarkan lebih dari sekadar produk—yakni kepercayaan dan kenyamanan (Mayer & Salovey, 1997; Goleman, 1998).

Penelitian membuktikan bahwa kecerdasan emosional (emotional intelligence/EI) bukan hanya meningkatkan adaptasi penjual terhadap situasi pelanggan, tapi juga menciptakan loyalitas yang lebih tinggi melalui pendekatan yang empatik dan personal (Dulewicz et al., 2005; Wisker & Poulis, 2015). 

Dalam hal ini, Roro Mendut jauh lebih maju dari zamannya. Dengan intuisinya, ia telah mempraktikkan seni menjual dengan hati.

"Kau tahu risikonya. Dia bisa menghancurkanmu," kata lelaki itu.

"Biarlah," bisiknya. "Lebih baik tubuh ini hancur karena mempertahankan kehormatan, daripada utuh tapi hampa."

Angin pagi menyapu pasar. Sejenak keduanya terdiam.

Lelaki itu mengambil satu lintingan dan menyalakannya. "Rokokmu hari ini terasa lebih dalam."

Roro Mendut menatap jauh ke arah langit. "Karena ini lintingan terakhir. Besok hamba akan pergi dari kota ini. Menuju tempat yang tidak menuntut perempuan untuk menjual diri agar dianggap berarti."

Lintingan terakhir ini bukan hanya penutup dagangan, tapi pernyataan: bahwa hidup bisa dipilih, bahwa kehormatan bukan untuk ditukar, dan bahwa perempuan punya suara, bahkan jika hanya disampaikan lewat sebatang rokok yang perlahan terbakar.

Ia tidak lari—ia pergi dengan kepala tegak. Lintingan itu adalah jejak terakhir di tanah yang coba mengubur dirinya. Sebuah simbol penghabisan, namun juga permulaan. Karena dengan meletakkan lintingan terakhir itu, ia memulai hidup yang baru—dengan kebebasan utuh.

Lelaki itu tak berkata. Ia hanya menatap lintingan yang perlahan habis—seperti pagi yang mengantar seorang perempuan pergi, dengan kepala tegak dan hati yang tak bisa dibeli. 


Penulis: Edhy Aruman


RUJUKAN

Rosidi, A. (1985). Roro Mendut. Jakarta: Gunung Agung

Selasa, 10 Juni 2025

Tiga Bulan Saja


Tepuk tangan bergemuruh di Forum Romanum saat Senat dengan suara bulat memilih seorang lelaki tua, jujur, dan berwibawa untuk menjadi Kaisar. 

Ia bukan bangsawan besar, bukan anak kaisar sebelumnya, melainkan anak dari seorang mantan budak yang meniti hidupnya melalui kerja keras dan kehormatan. 

Nama lelaki itu: Publius Helvius Pertinax.

Kita tahu – lewat gambar-gambar sejarah Romawi -- forum Romanum itu sejenis plaza persegi yang dikelilingi oleh sejumlah bangunan pemerintahan kuno di pusat kota Roma. 

Selama berabad-abad, tempat ini menjadi pusat kehidupan masyarakat Romawi: tempat prosesi kemenangan dan pemilihan umum; tempat pidato umum, pengadilan kriminal, dan pertandingan gladiator; dan inti dari segala aktivitas perdagangan.

Dotilah Pertinax dipilih dan diumumkan menggantikan Kaisar Commodus yang kejam dan banyak sensasi. Kaisar itu banyak bohongnya daripada kerja nyata.

Saat menerima tongkat kekaisaran, Pertinax berdiri sejenak di depan para senator, lalu menatap langit seolah mencari restu dari para dewa—atau mungkin dari suara hati nuraninya sendiri.

“Aku tidak mencari kekuasaan,” katanya pelan, nyaris berbisik, “tapi jika tak ada yang tersisa untuk menyelamatkan negeri ini kecuali seorang tua yang sudah lelah namun masih jujur, maka biarlah aku berdiri di sini.”

Pertinax mengutuk warisan Commodus. Bukan dengan kata-kata hinaan, tapi dengan menampilkan kontras. Keadilan menggantikan ketakutan, kesederhanaan melawan kemewahan, kebajikan menyaingi kebusukan.

Hari-hari awal pemerintahannya bagai embun pagi setelah malam panjang yang penuh badai. Rakyat Roma, terbiasa dengan kekacauan dan kekejaman Kaisar Commodus, nyaris tak percaya ketika mendengar kabar-kabar ini: pajak dikurangi, budak-budak dibebaskan, para tahanan politik dipulihkan kehormatannya. 

Pertinax mengembalikan seluruh kekayaan pribadinya kepada istri dan putranya. Katanya, dengan kekayaan itu, istri dan anak-anaknya tidak boleh memiliki alasan untuk menggantungkan keuntungan pada negara. 

Ia menolak gelar Augusta bagi istrinya dan Caesar bagi putranya, serta mendidik anaknya dalam kesederhanaan yang keras—bukan sebagai pewaris tahta, tapi sebagai murid kehidupan.

Ketika seorang penasihat memprotes, Pertinax menjawab dengan lirih:

“Jika aku ajarkan anakku kekuasaan sebelum ia tahu kesederhanaan, maka aku sedang menciptakan Commodus kedua.”

Wajahnya mungkin tampak keras di hadapan publik, tapi suaranya lembut dan penuh perhatian. Ia bersahabat dengan para senator berbudi luhur. Bukan karena mereka kuat, tapi karena mereka bermoral. 

Ia membuka kembali pintu pengampunan bagi mereka yang pernah dipenjara atau diasingkan secara tidak adil, dan dengan tangan yang sama ia menghukum para delator, para penuduh palsu yang selama ini menjadi alat kekuasaan tirani. 

Dalam sidang pertama sebagai kaisar, ia berujar:

“Tak ada kedamaian tanpa keadilan, dan tak ada keadilan tanpa keberanian.”

Pada suatu pagi, ia berjalan tanpa pengawal menuju sebuah rumah kecil di pinggiran Roma. Itu adalah rumah seorang pria tua yang pernah diasingkan karena difitnah oleh penguasa lama. 

Pertinax mengetuk pintu sendiri. Si pria tua membuka pintu dengan gemetar, tak percaya melihat Kaisar berdiri di hadapannya.

“Kau bukan budakku,” ujar Pertinax, “tapi aku berutang padamu karena negara ini telah mempermalukanmu. Pulanglah ke dewan, dan bawa kembali kehormatanmu.”

Air mata mengalir di wajah lelaki tua itu.

Namun tak semua menyukai perubahan. Para prajurit elit, Praetorian Guard, murka karena Pertinax tak mau “membeli” kesetiaan mereka dengan emas dan pesta. Mereka memandang disiplin sebagai ancaman, bukan perbaikan.

Maka pada hari ke-86 dari pemerintahannya, mereka datang. 

Di istana, beberapa pengawal pribadi lari ketakutan. Hanya seorang pelayan yang tertinggal, menggenggam tangan sang Kaisar dengan gemetar.

“Pergilah, selamatkan diri Anda,” bisik pelayan itu.

Pertinax menatapnya dengan damai.

“Aku tidak lari dari keadilan, mengapa aku harus lari dari ketidakadilan?”

Saat para pembunuh masuk, Pertinax berdiri tegak, mengenakan toga putih bersih. Ia tidak melawan, tidak memohon.

“Jika darahku bisa menyelamatkan Roma dari ketamakan kalian, maka biarlah ia mengalir.”

Ia gugur dalam keheningan. Tidak dengan pekikan, tidak dengan kepanikan, tapi dengan martabat yang membuat sejarah menundukkan kepala.

Sejarawan Simon Elliott menyebut Kaisar Pertinax sebagai "JFK-nya Roma" karena kemiripan mereka dalam hal asal-usul sederhana, komitmen terhadap reformasi, dan akhir tragis yang mengguncang bangsa.

Pertinax hanya berkuasa kurang dari tiga bulan. Namun lebih dari itu, ia menunjukkan bahwa kejujuran bukan kelemahan, kesederhanaan bukan kemiskinan, dan integritas tidak memerlukan waktu lama untuk bersinar.

Seorang filsuf pernah berkata, “Kehidupan yang dijalani dengan benar tidak perlu panjang, cukup dalam saja.” Pertinax tidak hanya menjalani itu. Ia menjadi itu.

Dan dalam gema sejarah, namanya tidak berbisik—ia menggema: sebagai Kaisar yang tak lama berkuasa, tetapi selamanya menginspirasi. 


Penulis: Edhy Aruman

Senin, 09 Juni 2025

Karakter Post-truth Menggema Hari-hari Ini

Berikut tulisan seorang sahabat teman sejawat ketika masih bekerja sebagai jurnalis tentang sejumlah fenomena sosial politik yang terjadi akhir-akhir ini.

Fenomena politik yang kita saksikan di sekitar kita, entah itu soal menyangkut Ijazah palsu, atau kasus izin tambang nikel di Raja Ampat akhir-akhir ini, sangat pekat dengan politisasi. Bukan menyangkut soal data atau perizinan semata. Tapi juga menjadi bagian dari lanskap komunikasi publik yang sarat dengan fenomena post-truth — di mana emosi dan identitas politik lebih menentukan sikap seseorang daripada fakta-fakta objektif.

Ketika seseorang dengan mudah menuduh pihak lain sebagai “penjilat” atau “tak tahu malu” tanpa membuka ruang untuk klarifikasi atau dialog berbasis data, itu menunjukkan bahwa opini telah dibentuk dan dikunci bukan oleh bukti, tapi oleh afiliasi politik dan narasi emosional. Inilah karakter khas era post-truth.

Lebih lanjut, situasi ini juga mencerminkan strategi komunikasi yang disebut sebagai ‘firehose of falsehood’ — dalam bentuk penyebaran masif informasi palsu atau menyesatkan dari banyak sumber sekaligus, bahkan juga “sumber intelektual” dengan volume tinggi dan pengulangan terus-menerus, sehingga membingungkan publik dan merusak persepsi tentang mana yang benar dan mana yang salah. 

Dalam konteks ini, ketika fakta dikaburkan dengan narasi yang terus-menerus diulang, publik akan kesulitan membedakan mana informasi sahih dan mana yang manipulatif. Mana yang pener, mana yang keblinger.

Pantesan saja, Dahlan Iskan, mantan jurnalis dan mantan menteri ketika ia menerima gelar doktor kehormatan, memunculkan orasi tentang “kebenaran baru”. Ia mengatakan bahwa kebenaran hari ini tidak lagi ditentukan oleh siapa yang paling benar secara substansi, tetapi siapa yang paling banyak didengar dan paling dipercaya. Apalagi itu dari kalangan intelektual datangnya. Di tengah banjir informasi dan opini, kebenaran bisa dibentuk, dikonstruksi, bahkan dibeli, asalkan memiliki panggung dan pengikut.

Karena itu, yang dibutuhkan saat ini bukan hanya klarifikasi fakta atau pembuktian data, tapi juga ketahanan berpikir kritis dan keberanian untuk tetap waras di tengah “semburan kebohongan” yang membentuk opini publik. Kita harus kembali menempatkan kebenaran sebagai fondasi, bukan sekadar narasi yang menang dan lantang di ruang echo chamber politik. Harus berani berbeda pendapat. Perlu disensus, ketimbang konsensus dalam ‘amok kebohongan’ yang jelas bertendensi tujuan politik.

Yang dibutuhkan saat ini bukan hanya klarifikasi fakta atau pembuktian data, tapi juga ketahanan berpikir kritis dan keberanian untuk tetap waras di tengah “semburan kebohongan” yang membentuk opini publik. Kebenaran itu bukan sekadar narasi yang menang di ruang echo chamber politik… (sha)

Sabtu, 07 Juni 2025

Prasangka


Tahun 1983, Lynne Twist – penulis buku The Soul of Money mengunjungi Mumbai. Di bandara dia disambut langsung oleh pengundangnya, Ramkrishna Bajaj . Dia itu tokoh terhormat, industrialis konglomerat, dan dermawan besar India.

Perjalanan menuju kediaman Ramkrishna Bajaj, Twist melihat hiruk pikuk manusia, mendengar suara klakson, dan menyaksikan gubuk-gubuk yang menempel di setiap sisi jalan. Selama itu,  Twist mengamati kongklomerat Bajaj bijak ini dengan penuh hormat. 

Dia juga sempat berjalan berdampingan dengan seorang pria yang dijuluki “anak kelima Gandhi" di jalanan utama Mumbai. Julukan itu melekat di dia karena kedekatan batin dengan Mahatma Gandhi dan totalitasnya dalam menjalani hidup berdasarkan nilai-nilai Gandhian.

Dia menjalani ahimsa (tanpa kekerasan), satyagraha (perjuangan kebenaran), swadeshi (kemandirian), dan pelayanan sosial.

Namun hari itu, Twist melihat sesuatu yang lain. Bertolak belakang, pikirnya. Yang membuat sebuah kebenaran seakan goyah. 

Ketika melewati jalanan dari bandara ke kediaman Ramkrishna, dia menyaksikan sang konglomerat itu tidak melihat sedikitpun pada para pengemis yang berbaring di trotoar. 

Dia tidak menoleh pada tangan-tangan kecil yang menggapai. Bahkan dia tidak memberi reaksi pada tangisan bayi-bayi yang kelaparan. Ia berjalan melewati mereka seolah mereka tak ada.

Twist, yang selama itu mendedikasikan hidupnya untuk mengakhiri kelaparan dunia, merasa terbelah. Bagaimana bisa seorang yang begitu mulia, kaya dan dermawan itu menutup mata terhadap penderitaan nyata? 

Namun, dengan cepat menemukan kejelasan. Di balik kebutaan itu ada perlindungan. Perlindungan terhadap hati yang terlalu sering patah karena menyaksikan kesengsaraan setiap hari (Twist, 2003).

Ramkrishna Bajaj tampak tidak peduli bukan karena hatinya keras, tetapi karena ia terlalu sering melihat penderitaan, sampai hatinya perlu “melindungi diri.” 

Ramkrishna tak mau membiarkan dirinya merasakan setiap tangisan dan luka yang ia temui, hatinya bisa hancur. Jadi, “kebutaan” itu adalah cara bertahan—bukan karena ia tak peduli, tapi justru karena ia terlalu peduli dan harus tetap kuat untuk bisa terus membantu.

Hari-hari berikutnya di India membuka matanya tentang wajah uang yang belum pernah ia bayangkan. Ia menyaksikan kenyataan pahit bahwa kemiskinan, di beberapa titik, telah menjadi industri. 

Anak-anak dimutilasi agar lebih “efektif” dalam meminta belas kasihan. Keluarga-keluarga, didorong oleh ketidakberdayaan, terkadang dengan sadar mengorbankan tubuh anak-anak mereka demi sesuap nasi. 

Bukan sekadar penderitaan—ini adalah sistem. Sebuah konspirasi sunyi antara belas kasihan, penderitaan, dan kebutaan kolektif. Ia pun tersadar: bukan hanya kekayaan yang bisa merusak jiwa, kemiskinan juga mampu mereduksi cinta menjadi transaksi (Twist, 2003).

Namun, kisah Ramkrishna Bajaj tidak berhenti di sana. Ia bukanlah orang yang mengabaikan penderitaan, melainkan seseorang yang memilih untuk mengelolanya dengan sistem dan nilai. 

Sebagai pejuang kemerdekaan, ia telah mengorbankan masa mudanya, dipenjara selama empat tahun karena keterlibatannya dalam gerakan Quit India (Kamath, 1995). Ia belajar Sansekerta dari Vinoba Bhave di dalam penjara, memperkuat fondasi spiritual yang kemudian membimbing kiprahnya dalam dunia sosial dan industri.

Di tengah dunia yang mudah tergoda oleh laba, Ramkrishna Bajaj justru menekankan integritas dan etika. Ia memimpin Bajaj Group bukan untuk mengejar keuntungan semata, tetapi sebagai wadah pelayanan publik. 

Ia memperjuangkan perdagangan yang adil dengan mendirikan Council for Fair Business Practices dan Advertising Standards Council of India, menolak segala bentuk manipulasi dan eksploitasi dalam bisnis (FICCI, 1994).

Di dunia pendidikan dan filantropi, ia menjadi teladan. Melalui Jamnalal Bajaj Foundation, ia membangun sistem dukungan yang memperkuat masyarakat dari bawah—bukan sekadar menyantuni, tapi memberdayakan. 

Sebagai Ketua Shiksha Mandal di Wardha, ia memperluas akses pendidikan dan mendorong integrasi nilai-nilai Gita dalam pendidikan anak-anak.

Ramkrishna Bajaj wafat pada 1994, tetapi warisannya hidup terus. IMC Ramkrishna Bajaj National Quality Award yang didirikan dua tahun setelah wafatnya, menjadi bukti nyata komitmennya terhadap keunggulan berbasis etika. 

Ia dikenang bukan sebagai pemilik kekayaan besar, melainkan sebagai penjaga nilai yang teguh. Bagi banyak orang, ia bukan hanya industrialis—ia adalah hati nurani yang berjalan di tengah sistem, mencoba tetap jernih di tengah kemelut uang dan ketidakadilan.

Kisah Lynne Twist dan Ramkrishna Bajaj terselip pesan inspiratif yang kuat: jangan mudah berprasangka terhadap sikap yang tampak dingin atau tidak peduli. Kadang, apa yang terlihat seperti ketidakpedulian sebenarnya adalah cara seseorang bertahan agar tetap bisa membantu dalam jangka panjang.

Ramkrishna Bajaj bukan menutup mata karena cuek, tapi karena terlalu banyak melihat penderitaan, dan jika ia menyerap semuanya, ia tak akan mampu berdiri. Ia memilih diam bukan karena tak punya hati, tapi karena ia menjaga agar hatinya tetap utuh untuk bisa terus melayani. 

Inspirasi ini mengingatkan kita untuk menggali lebih dalam sebelum menilai orang lain, karena kebaikan sejati sering bekerja dalam keheningan yang tidak mencolok.

Melalui pengalaman Lynne Twist, kita diajak melihat dimensi yang lebih dalam: kadang, yang tampak seperti ketidakpedulian adalah cara bertahan dari kepekaan yang terlalu tajam. Ramkrishna Bajaj bukanlah orang yang menutup mata karena acuh, tapi karena hatinya telah remuk berkali-kali oleh penderitaan yang tak henti.

Ia mengajarkan bahwa memberi bukan soal reaksi emosional sesaat, tapi soal membangun sistem yang mencegah penderitaan itu tumbuh subur. 

Penulis: Edhy Aruman

Selasa, 27 Mei 2025

Kedalaman Sejarah Hingga Denyut Nadi Saat ini

Dari kedalaman sejarah hingga denyut nadi masa kini, para ulama Syiah telah mengukir jejak perhatian yang tak tergoyahkan terhadap ilmu-ilmu Al-Qur'an, khususnya tafsir. Sejak masa klasik, tradisi tafsir dalam mazhab ini tak pernah padam; ia justru terus hidup dan berkembang, memancarkan corak yang khas: mendalam, filosofis, dan reflektif. Di era kontemporer ini, hampir setiap ulama besar Syiah menjelma menjadi seorang mufasir. Mereka bukan hanya menguasai fikih dan ushul, melainkan juga melahirkan karya-karya tafsir fenomenal yang menjadi rujukan dunia Islam.

Mahakarya Tafsir yang Membentuk Peradaban

Lihatlah Tafsir al-Mizan karya Allamah Thabathaba’i. Sebuah mahakarya yang menyatukan pendekatan tematik, rasional, dan spiritual dalam satu tarikan napas. Ia tak sekadar menjelaskan ayat, tetapi membuka cakrawala makna, mengaitkannya dengan filsafat, sejarah, dan bahkan realitas sosial-politik. Karya ini adalah bukti nyata bagaimana tafsir bisa menjadi jendela untuk memahami kompleksitas dunia melalui lensa ilahi.

Begitu pula dengan Ayatullah Makarim Shirazi, yang melalui Tafsir Nemuneh berhasil membumikan ajaran-ajaran Al-Qur'an untuk masyarakat modern. Tafsir ini lahir dari semangat kolektif dan keinginan kuat untuk menjadikan tafsir sebagai jawaban atas berbagai tantangan zaman. Tidak kalah penting, Ayatullah Jawadi Amuli dan Ayatullah Misbah Yazdi juga turut memperluas cakrawala tafsir dengan pendekatan ‘irfani dan falsafi yang mendalam, menjadikan Al-Qur'an sebagai petunjuk intelektual sekaligus spiritual.

Membangun Masyarakat Qur'ani

Kecintaan para ulama Syiah terhadap Al-Qur'an tak hanya termanifestasi dalam penulisan tafsir. Ia juga tampak jelas dalam upaya mereka untuk membina masyarakat Qur’ani. Di Iran, pelajaran tafsir menjadi bagian integral dalam kurikulum hauzah, dan pelatihan penghafal Al-Qur'an didukung penuh oleh para marja’ (otoritas keagamaan tertinggi). Mereka memiliki keyakinan teguh bahwa jalan menuju masyarakat yang adil dan beradab tak mungkin tercapai tanpa kembali kepada wahyu Ilahi.

Salah satu contoh paling monumental dari perhatian ini adalah Tafsir al-Tasnim, sebuah karya agung dari Ayatullah Abdullah Jawadi Amuli. Ia adalah seorang filosof, arif, dan mufasir kontemporer terkemuka. Tafsir ini ditulis dalam 80 jilid selama 40 tahun, menjadikannya salah satu tafsir terpanjang dan paling komprehensif dalam sejarah Islam. Berbeda dengan tafsir kebanyakan, al-Tasnim menggabungkan pendekatan tematik, filosofis, dan irfani (gnostik), namun tetap setia pada metode tafsir bi al-Qur’an (menafsirkan ayat dengan ayat).

Tafsir ini tidak hanya menyajikan penjelasan atas ayat-ayat Al-Qur'an, tetapi juga membahas isu-isu fundamental dalam teologi, filsafat, akhlak, dan sosial-politik dengan kedalaman yang luar biasa. Al-Tasnim bisa dikatakan sebagai bentuk tafsir multidisipliner yang menyatukan wahyu dan rasio, teks dan konteks, serta zahir dan batin.

Dengan hadirnya karya-karya semacam ini, tafsir dalam tradisi Syiah tidak pernah menjadi stagnan. Ia terus bergerak, menjawab tantangan zaman, dan membentuk pemikiran umat. Karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa para ulama Syiah kontemporer bukan hanya penjaga warisan Al-Qur'an, tetapi juga pemelopornya. Bagi mereka, tafsir bukan sekadar ilmu, melainkan proyek peradaban. Ia bukan hanya membaca teks, tapi juga membentuk manusia—dan dari manusia, membentuk sejarah.

Senin, 26 Mei 2025

Kalung Besi yang Mengubah Dunia — Koridor Kereta Api Tiongkok-Iran Telah Dibuka


Di tengah bayang-bayang ketegangan global dan pengawasan ketat lautan dunia, sebuah langkah diam-diam tapi mengguncang geopolitik sedang terjadi… dari daratan luas Asia.

Kereta pertama dari Tiongkok meluncur melewati gurun, pegunungan, dan perbatasan yang kerap panas—dan dalam waktu hanya 15 hari, ia tiba di Iran. Cepat. Efisien. Dan yang paling penting: lepas dari kendali laut yang dijaga ketat oleh armada Amerika.

Selama ini, ekspor Iran, terutama minyak, harus menghadapi risiko tinggi saat melewati jalur laut yang selalu dibayangi sanksi dan pengawasan militer. Tapi kini, jalur baru ini membuka pintu lebar bagi Iran untuk mengekspor minyak langsung ke Tiongkok — tanpa harus bergantung pada Selat Hormuz yang penuh ketegangan.

Dan bukan hanya itu… barang-barang dari Tiongkok kini bisa menembus jantung Eropa, tanpa harus melewati selat, pelabuhan, atau kapal-kapal perang. Jalur darat ini menjadi “urat nadi baru” yang tak bisa diblokir begitu saja.

Ini bukan sekadar rel baja. Ini adalah strategi sunyi yang mampu mengubah peta kekuatan global. Sebuah perlawanan halus terhadap dominasi laut, dan langkah berani menuju dunia multipolar.

Koridor kereta api Tiongkok-Iran telah resmi berjalan. Dan dunia sedang memperhatikannya — dengan cemas, kagum, dan waspada.

Minggu, 25 Mei 2025

RASPUTIN


Semalam, iseng-iseng buka Spotify. Lama nggak membuka aplikasi itu. Browsing lagu-lagu dan akhirnya mata tertuju pada Rasputin yang dibawakan grup disko legendaris Boney M. 

Lagu yang dirilis akhir dekade 1970an itu mengabadikan kisah hidup Rasputin dalam dentuman beat yang tak lekang oleh waktu. Penasaran, saya googling dan Amazon mencari buku-buku tentang Rasputin. Ada lebih dari 50an judul. 

Pilihan saya, karya Joseph T. Fuhrmann, Rasputin: The Untold Story. (Wiley, 2012); dan Massie berjudul Nicholas and Alexandra: The Fall of the Romanov Dynasty. (Random House Publishing Group, 1967).

Grigori Yefimovich Rasputin lahir pada 1872 di Pokrovskoe, sebuah desa terpencil di Siberia, dalam keluarga petani yang hidup di bawah tekanan iklim ekstrem. 

Sejak kecil, ia sudah terkenal karena kemampuannya meramalkan kejadian. Misalnya, pada usia dua belas tahun ia mampu menyebut siapa pencuri kudanya di tengah kerumunan tetangga. Itu adalah sebuah kemampuan yang memicu kekaguman sekaligus keraguan.

Pengalaman spiritual awal inilah yang kemudian mendorong Rasputin meninggalkan kehidupan kampung halamannya. Dia melakukan ziarah panjang, termasuk kunjungan ke biara-biara di Gunung Athos, Yunani. Disitu ia membenamkan diri dalam praktik asketik dan doa panjang (Fuhrmann, 2012).

Pulang ke Rusia, dia membangun reputasi sebagai starets , orang suci yang mampu menyembuhkan dan ‘melihat’ penderitaan jiwa manusia. 

Ketika berita tentang kemampuannya sampai ke St. Petersburg, kalangan aristokrat dan bahkan anggota Gereja Ortodoks mulai mengundangnya untuk menenangkan kegundahan batin mereka. 

November 1905, Rasputin diperkenalkan kepada Tsarina Alexandra Feodorovna. Kepercayaan Alexandra tumbuh ketika sang starets berhasil meredakan episode pendarahan putra mahkota, Alexis, yang menderita hemofilia. 

Malam itu, doa dan tatapan penuh keyakinan Rasputin di samping ranjang Alexis menghasilkan perbaikan kondisi kesehatan sang pangeran keesokan harinya. Alexandra pun  menulis bahwa ia ingin “terlelap di pundak… Sahabat Kami” .

Keberhasilan ini mengangkat pengaruh Rasputin jauh di luar pengobatan. Ia menjadi penasihat tak resmi bagi keluarga kekaisaran, memberi bimbingan rohani sekaligus mendukung keputusan politik yang dianggap selaras dengan kehendak ilahi. 

Pertama kali bertemu Rasputin, Perdana Menteri Peter Stolypin merasa “terhipnotis, sekaligus jijik.” Aura mistis Rasputin membuat Stolypin terhanyut dalam kekuatan batinnya. Namun, dia juga jengah melihat penampilan Rasputin yang jauh dari bersih: rambut panjang berminyak, janggut kusut penuh kotoran, baju lusuh yang tak pernah diganti, dan bau lembu atau keringat yang menyengat.

Gairah spiritual yang memikatnya beradu dengan naluri fisik untuk menjauh itu oleh istana ditafsirkan sebagai tanda kurangnya “kesetiaan pada kehendak Tuhan.” Kepercayaan para bangsawan terhadap Stolypin pun memudar. 

Iklim istana yang sangat mengedepankan legitimasi agama, membuat kecurigaan seperti itu cukup untuk melemahkan posisi seorang Perdana Menteri. Stolypin kehilangan dukungan utama di istana, rencana-rencana reformasinya diperlambat, dan akhirnya ia dipinggirkan dari pengambilan keputusan paling kritis di masa itu 

Menariknya, meskipun dikenal berperan dalam lingkaran kekaisaran, kehidupan pribadi Rasputin sarat dengan kontradiksi. 

Arsip kepolisian St. Petersburg tahun 1912–1913 mencatat rutinitas Rasputin di malam hari. Kesukaannya mengunjungi penyedia layanan intim dan perempuan bangsawan, menampakkan sisi duniawi yang jauh dari citra suci yang ia rawat di siang hari . 

Beberapa pejabat istana maupun pengikut setianya, seperti Anna Vyrubova, menyaksikan dualitas Rasputin. Ini menimbulkan mitos sekaligus kecaman: penyembuh rohani dan pemuja kesenangan dalam satu tubuh.

Masa hidup Rasputin berakhir tragis pada Desember 1916, ketika sebuah konspirasi yang dipimpin oleh Pangeran Felix Yusupov dan Vladimir Purishkevich menewaskannya. Racun sianida yang gagal, tembakan berulang kali, dan penenggelaman jasadnya di Sungai Neva menjadi puncak cerita yang menegaskan konflik antara kepercayaan rakyat dan intrik politik istana . 

Penelitian selanjutnya mengungkap dugaan peran agen Intelijen Inggris dalam “Operasi Dark Forces” , termasuk kemungkinan peluru 455 Webley milik agen tersebut menembus kening Rasputin. Ini bukti bahwa ia telah menjadi pion dalam permainan kekuatan global yang lebih luas.

Kehidupan Grigori Rasputin mengingatkan kita bahwa karisma dan bakat penyembuhan, bila tak diimbangi dengan integritas, justru dapat menjerumuskan diri dan orang lain. 

Dari seorang petani desa yang bertransformasi menjadi penasihat istana, menunjukkan kemampuan kekuatan pribadi membius hati banyak orang. Namun, Rasputin juga menunjukkan betapa cepatnya kepercayaan itu bisa berubah menjadi senjata politik yang mematikan. 

Ia menunjukkan bahwa perubahan batin dapat membawa seseorang menembus batas sosial, tetapi juga bahwa karisma yang luar biasa sering kali menimbulkan ketegangan antara iman, politik, dan moralitas.

Kisahnya mengajarkan pentingnya keseimbangan antara iman dan akal sehat, kerendahan hati, serta tanggung jawab moral: tanpa itu, bahkan niat baik seberat bumi akan mudah rusak oleh nafsu dan ambisi. 

Penulis: Edhy Aruman

Senin, 19 Mei 2025

Parfum


Jean-Baptiste Grenouille lahir di antara tumpukan sampah dan bau busuk pasar ikan Paris abad ke-18—sebuah zaman ketika setiap sudut kota dipenuhi oleh bau kematian, penyakit, dan pengabaian.

Ibunya seorang penjual ikan yang melahirkan dia secara spontan di tengah tumpukan jeroan dan sampah ikan, lalu langsung meninggalkannya begitu saja untuk mati.

Dalam dunia yang dipenuhi aroma itu, Grenouille hadir tanpa bau, tanpa jejak keberadaan. Tidak ada satu pun yang bisa mencium kehadirannya. 

Namun, ironisnya, ia sendiri dikaruniai indra penciuman yang luar biasa: ia bisa membedakan ratusan ribu aroma. Memori olfaktorinya tak tertandingi, dan obsesi keharuman murninya tak terbendung.

Olfaktori adalah segala hal yang berkaitan dengan indera penciuman. Sistem olfaktori memungkinkan manusia dan hewan mendeteksi, mengenali, dan mengingat berbagai aroma atau bau di lingkungan sekitar.

Dan di balik ketidakberbauannya, Grenouille tumbuh menjadi sosok yang dingin, terisolasi, dan haus akan identitas. Ia tidak memahami cinta, tidak mengenal rasa bersalah, dan hanya mengerti satu hal: kekuatan aroma. 

Dunia telah menolaknya, dan ia pun membalas dunia dengan cara yang hanya ia pahami—melalui wewangian. 

Ketika suatu hari ia mencium aroma seorang gadis muda yang begitu murni dan menggoda, ia menemukan tujuan hidupnya. Ia ingin mengabadikan keharuman itu. Bukan untuk dipuja, bukan untuk dijual, tetapi untuk memilikinya, menjadikannya bagian dari dirinya, agar ia bisa menjadi "seseorang."

Perjalanannya membawanya dari gang-gang kumuh Paris ke pusat-pusat pembuatan parfum seperti Grasse, kota di Prancis selatan yang dikenal sebagai ibu kota parfum dunia, pusat produksi minyak esensial dan wewangian sejak abad ke-18

Di kota itu, dia belajar semua teknik ekstraksi aroma, dari distilasi hingga enfleurage -  teknik tradisional ekstraksi aroma bunga dengan menggunakan lemak untuk menyerap minyak esensial secara perlahan dan alami. Dia jadi piawai dalam membuat wewangian.

Namun, tak satu pun dari keahlian itu digunakan untuk tujuan mulia. Ia mulai membunuh gadis-gadis demi mencuri keharuman mereka, mengumpulkan esensi tubuh mereka satu per satu. 

Ia percaya bahwa dengan menggabungkan aroma dari dua puluh empat gadis muda yang tak berdosa, ia bisa menciptakan parfum yang akan membuat manusia tunduk dan cinta kepadanya.

Dan benar, ia berhasil. Parfum ciptaannya membuat orang-orang percaya bahwa ia adalah malaikat, bahkan dewa. 

Namun, di puncak kekuasaannya, Grenouille menyadari kenyataan yang paling tragis: sekalipun dunia memujanya karena aroma yang ia kenakan, ia sendiri tetap tidak bisa mencium dirinya. Ia tetap kosong. Ia tetap bukan siapa-siapa.

Dalam keputusasaan yang paling dalam, Grenouille memutuskan untuk menghancurkan dirinya. Ia kembali ke Paris, ke tempat ia dilahirkan, dan membiarkan dirinya dilalap oleh orang-orang jalanan yang terpikat oleh aroma parfumnya. Mereka tidak tahu siapa dia. Mereka hanya mencium aroma surgawi. Dan dalam sekejap, Jean-Baptiste Grenouille yang tidak pernah benar-benar hidup, menghilang tanpa bekas.

Film

Cerita ini diambil dari novel luar biasa karya Patrick S"uskind, "Perfume: The Story of a Murderer" (Penguin Books, 2006). Novel ini diangkat ke layar lebar yang disutradarai oleh Tom Tykwer, dan dibintangi oleh Ben Whishaw sebagai Jean-Baptiste Grenouille. 

Film ini adalah adaptasi langsung dari novel dan sangat setia pada narasi gelap dan atmosferik karya aslinya.

Kemudian,  diadaptasi menjadi serial televisi berjudul Perfume (judul aslinya Parfum). Serial ini merupakan produksi Jerman. Pertama kali ditayangkan di ZDFneo pada 14 November 2018, dan kemudian dirilis secara internasional di Netflix pada 21 Desember 2018. 

Meskipun bukan adaptasi langsung dari novel atau film tahun 2006, serial ini terinspirasi oleh tema dan elemen cerita dari keduanya. Serial di Netfliz bercerita tentang seorang penyanyi yang ditemukan tewas dengan kelenjar aromanya diambil, memicu penyelidikan yang mengungkap rahasia kelam dari masa lalu sekelompok teman yang terobsesi dengan penciptaan aroma manusia.

Pesannya sama. Di balik kisah kelam dan menakutkan itu tersembunyi refleksi tajam tentang pencarian identitas, kehausan akan pengakuan, dan kegilaan manusia terhadap ilusi keindahan. 

Grenouille adalah cermin ekstrem dari manusia yang tersingkir, yang menolak ditelan ketiadaan, dan yang akhirnya memilih akhir dengan cara yang hanya bisa didefinisikan oleh dirinya sendiri.

Ia mengajarkan kita bahwa bahkan kejeniusan pun bisa menjadi kutukan jika tidak disertai dengan rasa kemanusiaan. Dan bahwa keharuman paling kuat di dunia ini pun tak akan pernah mampu menutupi kekosongan hati yang tak pernah mengenal cinta. 

PenulisL Edhy Aruman

Sabtu, 17 Mei 2025

Berhenti

Dalam sejarah olahraga, ada momen-momen yang tak hanya mencetak kemenangan, tapi menggambarkan esensi terdalam dari keberanian manusia. Muhammad Ali dan Lindsey Vonn adalah dua nama besar yang menandai dua kutub berbeda dari keberanian itu.

Ali adalah legenda tinju dunia, Linda legenda ski dunia. Ali mewakili grit. Linda dengan caranya sendiri yang jujur dan penuh pengakuan, mewakili quit.

Muhammad Ali berdiri sebagai simbol ketangguhan tak tergoyahkan. Tahun 1974, ketika dunia sudah mulai meragukannya, ia naik ke ring dan menjatuhkan George Foreman dalam “Rumble in the Jungle.” Pertarungan tinju legendaris.

Bukan hanya Foreman yang ia kalahkan. Ali mengalahkan usia, prediksi, dan keraguan. Ia adalah wujud dari tekad yang tak mau tunduk, dari hasrat yang terus membara walau tubuh mulai lelah. Ia tidak sekadar bertarung; ia melawan kenyataan dan menang. 

Ali menghidupkan grit (keberanian) sebagai semangat untuk terus berdiri meski jatuh, untuk tetap maju meski luka.

Budaya mengagungkan ketekunan. Grit dianggap kebajikan, sedangkan menyerah—quit—adalah aib. Kutipan dari para legenda: Thomas Edison, Babe Ruth, Vince Lombardi sering terdengar. Mereka semua menyampaikan satu pesan: teruslah berjuang, dan kamu akan berhasil. 

Annie Duke menuliskan dalam bukunya Quit: The Power of Knowing When to Walk Away (Portfolio, 2022).

Tapi grit juga punya sisi gelap. Ali terus bertarung jauh melewati batas aman tubuhnya. Ia mengabaikan sinyal-sinyal bahaya yang datang dari dokter, dari ring, dari rasa sakit itu sendiri. Dan akhirnya, ia membayar mahal—dengan kerusakan permanen pada tubuh dan sistem sarafnya.

Namuni ia tetap dikenang sebagai sang petarung sejati. Ali adalah legenda karena ia tidak tahu kata menyerah. 

Dan justru karena itu, kisahnya menjadi pelajaran: grit perlu disandingkan dengan kebijaksanaan.

Kenapa? Ada sisi lain dari kenyataan. Tidak semua yang bertahan akan menang. Bertahan dalam sesuatu yang salah bisa jadi membawa kehancuran. Seperti seseorang yang terus mengejar mimpi menjadi penyanyi meski tak punya nada dasar, atau yang mengorbankan segalanya untuk ambisi yang tidak realistis. 

Di saat-saat seperti itu, quit bukan kelemahan, tapi kebijaksanaan.

Lindsey Vonn beberapa kali jatuh. Namun, dia justru terkenal karena bangkit dari luka yang paling mengerikan. Diseret turun dari gunung bersalju, menjalani operasi demi operasi, absen dari Olimpiade, dan tetap kembali untuk menang. Tapi ketika tubuhnya berkata cukup, ia mendengarkan.

Dengan nada getir namun penuh kejujuran, Lindsey menulis: “Tubuhku rusak... … dan sekarang aku harus mendengarnya.” Ia berhenti. Ia mengakui bahwa babak itu telah usai. 

Tapi seperti banyak dari kita, ia masih merasa perlu menyamarkannya: “Aku tidak menyerah… aku memulai babak baru.”

Jika seseorang sekelas Lindsey Vonn saja masih merasa perlu menyamarkan kata "berhenti", bayangkan betapa beratnya bagi kita, manusia biasa, untuk mengucapkannya. Kita tidak hanya takut akan kegagalan. Kita takut akan stigma. Takut akan label. Takut disebut pecundang.

Lalu terciptalah bahasa-bahasa halus untuk menutupinya: pivot, move on, start fresh, chapter baru, rebranding, bahkan redeployment strategis. Bila jujur: semua itu hanyalah kata lain dari “berhenti.”

Bahasa telah memihak. Kita menciptakan ribuan istilah untuk menggambarkan ketekunan: gigih, tangguh, ulet, berani, pantang menyerah. Tapi untuk “menyerah,” tidak ada padanan yang terdengar indah. Ia seperti kata terlarang. Voldemort atau tabu dalam dunia motivasi. Maka dibungkuslah semua itu dalam eufemisme, agar tidak menyakitkan saat ditelan.

Mungkin itu bukan sekadar upaya menjaga citra. Mungkin itu cara kita semua merangkul konsep quit tanpa merasa kalah. Karena berhenti pun perlu keberanian. Kadang lebih berat dari bertahan. 

Butuh kedewasaan untuk berkata, “Ini sudah cukup.” Butuh ketenangan batin untuk melepaskan gelar, lampu sorot, dan semua pengakuan yang pernah membuat kita merasa hidup.

Ali dan Vonn mengajarkan kita bahwa keberanian tak punya satu wajah.

Kadang keberanian adalah tetap bertarung saat semua orang bilang berhenti.

Kadang keberanian adalah berhenti saat semua orang ingin kau terus bertarung.

Ali mewakili grit, Vonn mewakili quit. Tapi keduanya mewakili hal yang sama:

keberanian untuk memilih dengan hati, bukan dengan tekanan.

Dan pada akhirnya, keberanian sejati bukan soal berapa lama kamu bertahan. Tapi soal bagaimana kamu tahu kapan waktunya berjuang, dan kapan waktunya pulang.

Menyerah bukan dosa. Itu hanya cara lain untuk berkata: “Aku telah cukup berjuang, dan kini aku memilih untuk pulang.”

Kadang, keberanian bukan tentang tetap berdiri di medan perang. Tapi tentang tahu kapan saatnya turun dari panggung, dan berjalan tenang menuju panggilan hidup yang baru. Karena,  kejujuran paling dalam datang dari keberanian untuk berhenti. 

Grit memang mengubah dunia. Tapi kadang, quit menyelamatkan hidupmu.

Penulis: Edhy Aruman

Kamis, 15 Mei 2025

Merancang Nyali


Nyali bukan hanya soal keberanian besar, tapi tentang langkah kecil yang berani diambil meski takut. Merancang nyali artinya membangun kepercayaan diri dari kegagalan—dan belajar bahwa keberanian bisa dilatih.

Setiap orang punya ide. Tapi tidak semua orang punya keberanian untuk mewujudkannya. Ketakutan akan kegagalan—ditolak, salah, atau terlihat bodoh—seringkali lebih besar daripada ide itu sendiri. 

Kita mundur bahkan sebelum mulai. Bukan kita tidak mampu, tapi karena kita tidak cukup punya nyali.

Walt Disney pernah dianggap “kurang imajinatif” dan mengalami kebangkrutan sebelum akhirnya membangun kerajaan mimpi bernama Disneyland. J.K. Rowling menulis Harry Potter dalam keterpurukan sebagai ibu tunggal yang hidup dari tunjangan. Naskahnya ditolak 12 kali sebelum akhirnya menjadi fenomena global. 

Howard Schultz, sebelum menjadikan Starbucks merek kopi dunia, ditolak oleh lebih dari 200 investor karena idenya dianggap tidak masuk akal.

Mereka semua memiliki satu hal yang sama: nyali.

Bukan nyali untuk bertarung di medan perang, tapi nyali untuk terlihat bodoh, nyali untuk ditertawakan, ditolak, dijatuhkan—dan tetap melangkah maju. Nyali seperti ini yang sering tak terlihat. Tapi menentukan segalanya. Inilah nyali yang ingin dibangun Tom Kelley dan David Kelley dalam buku mereka Creative Confidence.

Menurut mereka, keberanian tidak muncul begitu saja. Ia bukan sesuatu yang magis yang datang di saat genting. Sebaliknya, keberanian bisa dirancang. Mereka menyebutnya designing for courage —sebuah pendekatan bertahap, terstruktur, dan penuh empati untuk menumbuhkan rasa percaya diri melalui keberhasilan-keberhasilan kecil (Kelley & Kelley, 2013).

Konsep ini terinspirasi dari psikolog Albert Bandura yang menciptakan metode guided mastery, di mana seseorang dilatih untuk mengatasi ketakutan besar melalui langkah kecil dan aman. Rasa percaya diri tumbuh bukan dari teori, tapi dari pengalaman nyata: berhasil sedikit demi sedikit.

Dalam guided mastery, seseorang dilatih untuk mengatasi ketakutan besar melalui langkah kecil dan aman. Misalnya, dalam salah satu eksperimennya, Bandura membantu orang yang memiliki fobia terhadap ular. Mereka tidak langsung diminta menyentuh atau memegang ular. 

Langkah pertama hanya melihat ular dari balik kaca. Setelah itu, peserta didorong untuk mendekat beberapa langkah. Lalu duduk di ruangan yang sama. Hingga akhirnya, setelah serangkaian keberhasilan kecil yang terkumpul, mereka bisa menyentuh ular dengan tenang. 

Bukan karena rasa takut itu hilang begitu saja, tapi karena mereka secara bertahap belajar bahwa mereka bisa dan biasa menghadapinya.

Di Stanford d.school, para murid tidak langsung mengerjakan proyek besar. Mereka diberi tantangan-tantangan kecil. Misalnya, mendesain ulang pengalaman memberi hadiah atau menyusun ulang rutinitas perjalanan ke tempat kerja. Mereka tidak hanya dilatih untuk memecahkan masalah, tapi juga untuk menghadapi kegagalan dengan kepala tegak.

Inilah nyali sejati: nyali untuk rapuh di ruang terbuka, untuk berkata, "Saya belum bisa," tapi tetap mencoba. Nyali bukan berarti tak takut, tapi berani walau takut.

Dalam proses itu, Kelley bersaudara menciptakan lingkungan yang disebut zona aman untuk gagal. Mereka tidak memulai kelas dengan kuliah panjang, tapi dengan tantangan nyata. 

Mereka percaya bahwa semakin cepat seseorang gagal, semakin cepat pula ia belajar. Itulah sebabnya mereka lebih suka murid menyelesaikan banyak proyek kecil daripada satu proyek besar—karena setiap kegagalan kecil memberi ruang untuk tumbuh.

Cerita paling sederhana tapi menyentuh dalam buku mereka berasal dari John “Cass” Cassidy. Dalam Juggling for the Complete Klutz,  Cass mengajarkan juggling bukan dengan melempar tiga bola sekaligus, tapi dengan satu langkah awal: “The Drop.” 

Ia meminta kita melempar semua bola dan membiarkannya jatuh. Lagi dan lagi. Tujuannya? Membuat kegagalan jadi sesuatu yang biasa, bukan menakutkan.

Karena ketika kita tidak lagi takut menjatuhkan bola, kita lebih berani mencoba lagi. Dan ketika kita lebih berani mencoba, kita mulai belajar. Dan dari situlah kepercayaan diri tumbuh—bukan dari keberhasilan pertama, tapi dari kegagalan ke-20 yang akhirnya bisa dilewati.

Inilah makna terdalam dari merancang keberanian. Keberanian adalah keterampilan yang bisa dipelajari. Dan seperti Walt Disney, Rowling, dan Schultz, kita semua bisa menumbuhkannya—dengan satu syarat: kita punya nyali untuk memulai, bahkan jika itu berarti menjatuhkan bola untuk yang kesekian kalinya.

Penulis: Edhy Aruman

Rabu, 14 Mei 2025

Takdir!

Frederic Henry hanyalah seorang perwira muda Amerika. Dia bertugas sebagai sopir ambulans bagi tentara Italia saat Perang Dunia I. Ia bukan pahlawan besar yang ingin mengubah dunia atau tampil di barisan depan sejarah. 

Ia seseorang yang sedang mencari tempatnya di tengah kekacauan, mencoba bertahan hidup dengan cara yang paling manusiawi—dengan cinta, kejujuran, dan keberanian dalam diam.
Justru karena itu, ia begitu dekat dengan kita. Ia adalah cermin dari jiwa yang rapuh namun tetap memilih bertahan—di tengah kehancuran, kehilangan, dan cinta yang akhirnya tak mampu diselamatkan.

Dalam novel perang romantik,_A Farewell to Arms,_ Ernest Hemingway menciptakan tokoh Frederic sebagai cerminan manusia biasa yang dilempar ke tengah badai perang. Frederic tidak banyak bicara soal moral atau patriotisme. Ia skeptis terhadap slogan dan pidato. 

Hemingway sendiri pernah menjadi sopir ambulans Palang Merah di Italia selama perang, dan pengalamannya itu sangat memengaruhi karakter dan jalan cerita dalam novel. Jadi, meskipun Frederic Henry adalah tokoh fiksi, ia banyak mencerminkan pengalaman pribadi Hemingway sendiri.

Di dalam diri Frederic, ada kepekaan yang sunyi dan dalam. Ia jatuh cinta pada Catherine Barkley, seorang perawat Inggris. Dan lewat hubungan mereka, Frederic mengenal makna kebersamaan, kasih sayang, dan harapan yang bersinar samar di tengah gelapnya dunia.

Cinta mereka tidak megah, tapi intim dan nyata. Frederic, yang telah menyaksikan terlalu banyak kematian, menemukan kembali rasa hidup lewat sentuhan Catherine. Mereka membangun dunia kecil yang penuh kehangatan di tengah reruntuhan. 

Namun Hemingway tidak menawarkan pelipur lara. Dalam salah satu adegan paling menyayat di A Farewell to Arms, kita mendapati Catherine Barkley terbaring lemah di rumah sakit. Ia baru saja melahirkan, namun bayinya meninggal. Tubuhnya yang lelah tak sanggup lagi melawan komplikasi yang datang satu per satu. 

Frederic Henry, kekasihnya, duduk di samping ranjang, menggenggam tangan yang dulu menuntunnya menuju harapan. Kini, harapan itu perlahan memudar.

Catherine menatapnya dengan tenang. _“I’m not afraid. I just hate it,”_ katanya lirih. 
Bukan ketakutan yang menyelimuti dirinya, tapi penyesalan yang sunyi—karena hidup yang dibayangkan bersama Frederic, rumah kecil mereka, masa depan yang mereka impikan, semua harus pupus begitu cepat.

Frederic tidak bisa menerima kenyataan itu. Ia membalas dengan suara bergetar, seolah berusaha meyakinkan dunia, bukan hanya Catherine. “You’re not going to die. You’re not. You can’t.”

Tapi kata-kata itu jatuh hampa di ruang yang makin senyap. Frederic tahu, jauh di dalam hatinya, bahwa ia tidak sedang melawan penyakit—ia sedang melawan kepergian yang tak bisa ditawar.

Tak lama setelah itu, Catherine pergi. Tanpa drama, tanpa akhir bahagia. Ia pergi meninggalkan Frederic sendirian, dengan bayi yang tak sempat hidup dan hati yang kini kosong. 

Dan dalam kesunyian itu, Hemingway tidak menulis pernyataan heroik. Ia hanya menuliskan seorang pria yang berjalan keluar dari rumah sakit, melangkah ke tengah hujan. Dunia tidak runtuh bersamanya, tapi dalam dirinya, sesuatu telah hancur.

Inilah momen ketika perang dalam novel Hemingway berubah wujud. Bukan lagi soal peluru atau medan tempur, tapi tentang ketidakberdayaan manusia di hadapan takdir. Kekuatan tak terhindarkan yang merenggut cinta dan harapan mereka, meskipun telah berjuang bersama di tengah perang dan penderitaan.

Tentang cinta yang sekuat apa pun tetap bisa kandas, dan tentang seorang pria yang mesti terus hidup, meski semua yang ia cintai telah hilang.

Disini, takdir bukan sesuatu yang megah atau dramatis, melainkan kekuatan diam yang merampas segalanya—dengan tenang, tanpa memberi alasan. Ia bukan vonis dari langit, melainkan kenyataan sunyi bahwa bahkan cinta yang paling tulus pun bisa kandas.

Namun dari kehancuran itu, muncul bentuk keberanian baru: untuk terus hidup, bukan karena hidup menjanjikan sesuatu, tetapi karena itu satu-satunya jalan yang tersisa.
Inilah realisme Hemingway yang menyayat, namun jujur dan mengena: “The world breaks everyone, and afterward, many are strong at the broken places” (Hemingway, 1929/1995, hlm. 249)

Dari retakan itulah, Frederic perlahan menjadi sosok yang lebih utuh. Bukan karena ia menemukan jawabannya, tapi karena ia belajar menerima bahwa kehidupan tidak selalu memberi alasan.

Dalam kehilangan, ia belajar tentang cinta yang sejati, tentang keberanian untuk terus berjalan, meski jalan itu tak lagi bercahaya. 

Penulis: Edhy Aruman